Model surplus produksi Optimasi Sumberdaya Perikanan

dengan kendala :       t h t x F x t x      ; max h h   dengan menggunakan teknik Hamiltonian, maka model kontinyu di atas menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang secara matematis ditulis sebagai berikut Fauzi, 2004 :            h x x F dan h x F  dimana, x    adalah rente marginal akibat perubahan biomassa, h    adalah rente marginal akibat perubahan tangkap panen, x F   produktivitas dari biomasa. Dalam kondisi      h x   , maka persamaan menjadi     x F yang merupakan golden rule dari teori kapital, dimana kapital harus dimanfaatkan sampai manfaat marjinalnya sama dengan biaya opportunitas interest rate. Dalam konteks ini, ketika x    =0 yang identik dengan kondisi MEY, kondisi pengelolaan mengikuti kaidah teori kapital, dimana stok akan dipelihara pada tingkat laju pertumbuhannya sama dengan manfaat yang diperoleh dari investasi dalam hal ini interest rate.

2.5.4 Degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan

Pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia saat dihadapkan pada isu penting yang salah satunya adalah terjadinya degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan di beberapa wilayah penangkapan ikan. Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitaskuantitas sumberdaya alam dapat diperbaharukan renewable resource. Dalam hal ini kemampuan alami sumberdaya dapat diperbaharukan untuk bergenerasi sesuai dengan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya pengaruh aktifitas manusia dan faktor alam sendiri. Degradasi sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan terjadi karena perbuatan manusia, baik akibat aktifitas produksi penangkapan ikan, maupun karena aktifitas nonproduksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri Fauzi A dan Anna S 2004. Deplesi diartikan sebagai tingkatlaju pengurangan stok dari sumberdaya alam tidak dapat diperbarukan non-renewable resource. Sedangkan depresiasi diartikan sebagai pengukuran degradasi yang ditentukan dengan nilai ekonomi atau dirupiahkan. Moneterisasi dalam pengukuran depresiasi harus mengacu pada pengukuran nilai riil, bukan pada nilai nominal. Oleh karena itu untuk menghitungnya harus mengacu pada beberapa indikator perubahan harga, seperti inflasi, indeks harga konsumen IHK, dan sebagainya, yang berlaku untuk setiap komoditi sumberdaya alam pesisir dan laut Fauzi A dan Anna S 2005. Deplesi, degradasi dan depresiasi sumberdaya pesisir dan laut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam dan manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan kegiatan yang bersifat produktif dan nonproduktif. Deplesi dan degradasi diperparah pula oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan. Pada sumberdaya perikanan, degradasi dan depresiasi terjadi sebagai akibat dari tekanan lingkungan dan tangkap lebih overfishing. Perubahan present value of rent dari sumberdaya secara intertemporal dapat menggambarkan tingkat kerusakan lingkungan dan depresiasi sumberdaya alam. Sumberdaya alam dikatakan terdepresiasi jika present value of rent pada saat ini lebih kecil dari present value of rent pada saat yang lalu Fauzi A dan Anna S 2005. Mengetahui tingkatlaju degradasi sangat penting untuk menentukan langkah-langkah pengelolaan sumberdaya perikanan lebih jauh. Terutama dalam mengambil suatu kebijakan pengelolaan, apakah perlu dilakukan pengurangan atau penambahan effort, aktifitas ekstraksi dan bahkan menghentikan ekstraksi terhadap sumberdaya tersebut. Informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi reference point maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya Fauzi A dan Anna S 2005.

2.6 Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu upaya untuk mengantisipasi terjadinya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan open access terhadap permasalahan ekologi dan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai respon terhadap masalah- masalah yang terjadi dari praktek open access, berupa kerusakan sumberdaya ikan hayati laut maupun konflik antar nelayan di wilayah perairan Satria, 2001. Berdasarkan UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan pasar 1 ayat 7, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, implementasi serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya ikan dan tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya pada pasal 2 UU No.31 tahun 2004 tentang perikanan disebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Menurut Simanjuntak 2000 konsep dasar dari sustainability adalah penggunaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai batas kekuatan sumberdaya alam tersebut sampai seberapa jauh bisa digunakan tanpa terkuras atau rusak secara permanent. Menurut Charles 2001, keberlanjutan pembangunan perikanan mengandung 4 empat komponen dasar yang harus terpenuhi. Componen dasar tersebut adalah sebagai berikut : 1 Keberlanjutan ekologi ecological sustainability Berhubungan dengan stok dari sumberdaya ikan, daya dukung lingkungan dan keseimbangan dari ekosistem. 2 Keberlanjutan sosial ekonomi socioeconomi sustainability Berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan yang akan dan bisa diperoleh oleh generasi berikutnya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan. 3 Keberlanjutan masyarakat community sustanability Berhubungan dengan peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan, sehingga dengan ini di harapkan pengelolaan ikan secara berkelanjutan akan terus berlangsung secara turun temurun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. 4 Keberlanjutan kelembagaan institutional sustanability Berhungan dengan dukunagn dari lembaga pemerintah maupun swasta, administrasi yang baik dan keuangan sebagai prasyarat tercapainya 3 tiga komponen dasar sebelumnya. Dengan pendekatan ini, tampak bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kelestarian sumberdaya ikan itu sendiri atau keuntungan ekonomi saja, melainkan juga keberlanjutan masyarakat dan lembaga perikanan.

2.7 Kebijakan Perikanan dan Kelautan

Menurut Parson 2001, kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Menurut Simatupang 2001, kebijakan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik. Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat individu maupun lembaga swasta. Hogwood dan Gun 1986 diacu dalam Suyasa 2007 menambahkan bahwa, ciri-ciri kebijakan publik yaitu : 1 Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintah atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan pemerintah. 2 Bersifat memaksa, berpengaruh terhadap tindakan privat masyarakat atau publik. Dari uraian diatas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan kebijakan publik, yaitu suatu keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan pembangunan nasional. Perumusan kebijakan perikanan dan kelautan menurut Kusumastanto 2002 meliputi tiga tingkatan, yaitu tingkatan politis kebijakan yang terdiri atas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif; tingkatan organisasi institusi, aturan main yang terdiri atas lambaga departemen dan non departemen yang memiliki tugas dan fungsi yang memiliki keterkaitan koordinatif dan saling mendukung; dan tindakan implementasi evalusi, umpan balik yang terdiri atas unsur nelayan, petani, pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam implementasi kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan. Pada sidang negara-negara FAO di Roma, Italia Tahun 1995, telah ditetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries CCRF sebagai petunjuk umum dalam melaksanakan perikanan yang bertanggung jawab. FAO 1995 menyatakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab tersebut, yaitu : 1 Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2 Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih over fishing dan menjaga agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan carrying capacity. 3 Pengelolaan perikanan harus menjamin tersedianya perikanan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. 4 Pelaksanaan pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian. 5 Kebijakan pengelolaan perikanan harus didasarkan pada adanya bukti ilmiah terbaik yang tersedia. 6 Perlunya dilakukan perlindungan dan upaya rehabilitasi terhadap habitat perikanan yang kritis. 7 Negara harus menjamin pengelolaan perikanna yang trasnparan, mendorong adanya konsultasi dan pertisipasi dari para pengguna sumberdaya ikan. 8 Negara harus menjamin terlaksanya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan.