Alat tangkap Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru

ton per tahun. Sedangkan untuk koefisien daya tangkap q yang tertinggi adalah model estimasi WH yaitu 0,00003 ton per trip dan model yang memiliki nilai daya dukung lingkungan K tertinggi adalah model estimasi Algoritma Fox yaitu sebesar 288.347,9 ton per tahun. Nilai Uji F dan R square digunakan untuk mengukur goodness of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variable independen dalam model, dimana jika nilai signifikansi Uji F lebih kecil dan nilai R square semakin besar menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Pada Tabel di atas dapat dilihat model estimasi yang memiliki nilai signifikasi paling kecil dan nilai R square paling tinggi yaitu model estimasi Walter Hilborn. Berdasarkan perbandingan nilai pemanfaatan aktual dengan optimal MSY pada sumberdaya ikan lemuru, rata-rata tingkat produksi aktual dari model estimasi Walter Hilborn telah mencapai 30.190,09 ton atau 67 persen dari tingkat produksi maksimal nilai MSY = 45.128,38 ton. nilai biomas dari model estimasi Walter Hilborn sebesar 58.576,12 ton. Dari hasil estimasi model Walter Hilborn diperoleh nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik r sebesar 2,14; 2 koefisien daya tangkap q sebesar 0,00003 ton per trip; dan 3 dan daya dukung lingkungan K sumberdaya ikan lemuru sebesar 109.335,49 ton per tahun. Apabila dilihat dari nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik r sebesar 2,14 dimana lebih besar dari 1, maka secara logika dan teoritis hal tersebut menunjukkan bahwa model estimasi Walter Hilborn tidak dapat digunakan untuk menduga dan menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan pada Tabel 25 terdapat dua model estimasi yang memiliki nilai koefisien tingkat pertumbuhan intrinsik r yang lebih kecil dari 1 yaitu model estimasi Algoritma Fox dan model estimasi Schnute. Apabila dilihat dari nilai R square diketahui bahwa model estimasi Schnute memiliki nilai R square yang lebih besar. Dengan demikian model estimasi Schnute lebih memungkinkan digunakan untuk menduga dan menggambarkan kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan lemuru di Selat Bali. Berdasarkan model estimasi Schnute, maka diperoleh parameter biologi yang meliputi: 1 tingkat pertumbuhan intrinsik r, dimana sumberdaya ikan lemuru akan tumbuh secara alami tanpa ada gangguan dari gejala alam meupun kegiatan manusia sebesar 0,75 ton per tahun; 2 koefisien daya tangkap q, yang mengindikasikan bahwa setiap peningkatan satuan upaya penangkapan akan berpengaruh berpengaruh sebesar 0,000029 ton per trip; dan 3 dan daya dukung lingkungan K, yang menunjukkan kemampuan ekosistem mendukung produksi sumberdaya ikan lemuru sebesar 215.417,07 ton per tahun. Hasil perhitungan dari parameter biologi menurut model estimasi dapat dilihat pada Lampiran 3.

5.6 Estimasi Parameter Ekonomi

5.6.1 Standarisasi biaya input

Data untuk biaya input diperoleh dari responden yang menggunakan alat tangkap purse seine, payang dan gillnet yang terkait dengan sumberdaya ikan lemuru. Struktur biaya dan harga ini merupakan data cross section dan series yang diperoleh melalui wawancara di lapangan. Biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Struktur biaya dari masing-masing alat tangkap dari data time series diperoleh melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen IHK dari Badan Pusat Statistik BPS Provinsi Jawa Timur, untuk menghasilkan nilai biaya series tahun 1995-2010. Hasil perhitungan biaya per unit effort tahun 1995-2010, untuk masing-masing alat tangkap, seperti Tabel 26. Tabel 26. Biaya per unit effort dan rata-rata biaya masing-masing alat tangkap tahun 1995-2010 Tahun IHK 2006 Biaya Rp 1995 25,40 521.634 1996 26,99 554.163 1997 27,81 571.120 1998 53,56 1.099.792 1999 53,69 1.102.452 2000 59,30 1.217.718 2001 67,68 1.389.785 2002 73,87 1.516.966 2003 77,41 1.589.561 2004 82,12 1.686.318 2005 93,71 1.924.442 2006 100,00 2.053.506 2007 106,27 2.182.238 2008 117,85 2.420.029 2009 121,20 2.488.912 2010 124,87 2.564.213 Rataan 75,73 1.555.178 Dari Tabel 26 secara berturut-turut diketahui besarana rata-rata biaya riil dari penangkapan sumberdaya ikan lemuru rata-rata sebesar Rp 1,55 juta per trip. Perhitungan tersebut dilakukan selama selang periode tahun 1995 sampai dengan tahun 2010 dan indeks harga konsumen dengan tahun dasar tahun 2006.

5.6.2 Standarisasi harga output

Dalam menganalisis bionomi sumberdaya tersebut selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan. Variabel harga berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari masing- masing target spesies dari alat tangkap. Harga jenis ikan tersebut disajikan dalam bentuk harga ikan per ton, yang diperoleh dari data primer di lapangan. Setelah melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen IHK dari BPS Provinsi Jawa Timur maka diperoleh nilai harga ikan time series tahun 1995-2010, seperti Tabel 27. Tabel 27. Rata-rata harga ikan lemuru tahun 1995-2010 Tahun IHK Tahun Dasar 2006 Harga Ikan Lemuru Rpkg 1995 25.40 815.22 1996 26.99 866.06 1997 27.81 892.56 1998 53.56 1718.79 1999 53.69 1722.94 2000 59.30 1903.08 2001 67.68 2172.00 2002 73.87 2370.76 2003 77.41 2484.21 2004 82.12 2635.43 2005 93.71 3007.57 2006 100.00 3209.28 2007 106.27 3410.46 2008 117.85 3782.09 2009 121.20 3889.74 2010 124.87 4007.43 Rataan 75.73 2430.48 Dari Tabel 27 diketahui bahwa harga rata-rata ikan lemuru pada tahun 2010 mencapai Rp 4007,43 per kg. Harga riil selang periode tahun 1995 hingga tahun 2010 rata-rata sebesar Rp 2430,48 per kg atau sebesar Rp 2,43 juta per ton.