bersikap lebih kritis dan rasional, serta memiliki visi dan misi bisnis yang jauh ke depan. Oleh karena itu, keinginan dan kebutuhan yang
dimilikinya juga berbeda, terutama yang berkaitan dengan kegiatan promosi produk yang tidak hanya berorientasi jangka pendek
menyangkut target
penjualan produk
hard sell, namun
mempertimbangkan aspek kebutuhan jangka panjang manajemen merek produk.
Implikasi dari adanya pergeseran bentuk permintaan dan kebutuhan klien yang seperti ini, pada akhirnya menuntut Dwi Sapta
Advertising untuk mulai berpikir lebih konseptual dan strategik dalam merancang berbagai iklan dan kebutuhan promosi produk
klien. Untuk memenuhi perkembangan bentuk permintaan dan kebutuhan promosi produk klien yang seperti itu, Dwi Sapta
Advertising harus melakukan up grading kemampuan tim kreatifnya, terutama dari sisi penyusunan strategi dan pengembangan konseptual
komunikasi pemasaran dan periklanan yang lebih sistematis dalam mengelola merek produk klien. Selain itu, target dari program
upgrading kemampuan tim kreatif ini juga diarahkan untuk memberikan bekal dan wawasan baru untuk lebih memahami
karakteristik bentuk program social campaign yang berasal dari instansi pemerintahan dan BUMN, terutama yang menyangkut pada
pilihan pendekatan komunikasi sosial yang digunakan dan pemahaman tentang berbagai prosedur tender pitching yang
berbeda dengan klien-klien selama ini.
c. Menyusun kebijakan perusahaan yang lebih memberdayakan
dan mengatur porsi tanggungjawab dan kewenangan anggota Board of Director secara proporsional didasarkan pada faktor
eksternal peluang nomor 1, 2, 3, 4 dan 5, serta faktor internal kelemahan perusahaan nomor 3 dan 4
Secara historis hubungan kerjasama bisnis antara Dwi Sapta Advertising dan klien-kliennya cenderung lebih banyak berasal dari
hubungan personal antar pemilik perusahaan. Dalam struktur organisasi Dwi Sapta Advertising, posisi pemilik perusahaan secara
operasional merangkap sekaligus sebagai President Director Presdir. Kondisi-kondisi inilah yang menyebabkan posisi Presdir
menjadi ’tokoh sentral’ dari berbagai keputusan strategis bisnis perusahaan.
Sentralisasi proses pengambilan keputusan yang cenderung dominan masih berada di tangan Presdir ini pada akhirnya
menyebabkan kurang berfungsinya peran dan tanggungjawab anggota Board of Director BOD lainnya, terutama dalam
menyikapi berbagai perubahan dan perkembangan situasi persaingan bisnis periklanan yang terjadi. Posisi Presdir yang dominan dalam
berbagai pengambilan keputusan strategik bisnis perusahaan ini semakin menjadi kendala internal manajemen perusahaan, ketika
mempertimbangkan hubungan kerjasama bisnis dengan klien-klien yang bersifat personal. Dalam praktek sehari-hari, klien kadang
melakukan ’by pass’ untuk langsung melakukan negosiasi bisnis dengan Presdir, terutama ketika menyangkut kepentingan yang
dirasakan akan ’mentok’ ketika berhadapan dengan anggota BOD lainnya, misal menawar harga atau biaya jasa layanan perusahaan
tertentu yang lebih diinginkan oleh klien.
2.4. Rancangan Strategi Pemasaran Berbasis Kelemahan-Ancaman W-T
Inti dari strategi W-T adalah strategi yang berupaya mengurangi berbagai kelemahan perusahaan untuk menghadapi berbagai ancaman
yang ada. Kelemahan-kelemahan perusahaan tersebut dianggap sebagai tambahan beban bagi perusahaan ketika menghadapi berbagai ancaman
yang muncul dari luar perusahaan Tabel 15. Kelemahan-kelemahan
internal perusahaan
tersebut bila
dihubungkan dengan berbagai bentuk ancaman yang berasal dari luar perusahaan, maka secara tidak langsung mengarahkan Dwi Sapta
Advertising mengambil kebijakan bisnis yang melibatkan pihak lain mitra bisnis yang memiliki potensi kekuatan untuk menutupi berbagai
kelemahan internal perusahaan dalam menghadapi ancaman-ancaman yang ada.
Tabel 15. Perbandingan kelemahan dan ancaman
KELEMAHAN W ANCAMAN T
1. Brand Dwi Sapta cukup kuat
dipersepsi oleh konsumen calon klien sebagai agency ‘hard sells’
2. Mutu output kreatif yang
dihasilkan terlalu kuat kentalmenonjol sisi teknisnya,
dibandingkan kekuatan konsep idenya
3. Sentralisasi proses pengambilan
keputusan bisnis masih dominan di tangan Presdir
4. Orientasi budaya perusahaan
yang menempatkan posisi klien ”powerfull’, sering menjadi
kendala operasional
5. Etos dan cara kerja yang sudah 25
tahun terbentuk sebagai profesional periklanan
berorientasi pada penjualan masih cukup kuat, sehingga menjadi
’barrier’ untuk transisi ke pendekatan ”Advertising That
Sells with Style”
6. Belum adanya standarisasi yang
baku dalam pola pengembangan komunikasi produk dan merek
klien 1.
Dampak krisis finansial global dan labilnya kurs rupiah yang berujung
pada penurunan daya beli konsumen dan budget promosi
klien
2. Perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi yang bersifat interaktif internet based
3. Sikap klien yang makin cerdas,
kritis, selektif terhadap budget promosi dan pemilihan media
4. Perkembangan arah dan kebutuhan
promosi klien yang makin kompleks
5. Gaya hidup masyarakat yang
diikuti oleh perubahan aspirasi, kebutuhan dan keinginan
konsumen sebagai end user.
6. Dampak fenomena ’cheap
revolution’ berimbas pada ’jor- joran’ perang tarif agency fee,
media fee, supervision fee, dan lain-lain
7. Eksodus SDM periklanan yang
kompeten dan memiliki hubungan profesional dan personal yang baik
dengan klien ke pihak pesaing.
8. Regulasi pemerintah yang kurang
kondusif terhadap proses kerja perusahaan
Berdasarkan asumsi tersebut, disusun rancangan strategi pemasaran alternatif berbasis kelemahan-ancaman berikut :
a. Mengembangkan kebijakan sindikasi projek bisnis belanja