Jimmy Siregar
2
menjelaskan bahwa sejak tanggal 1 Juli 2008, e- paper Tabloid Kontan terbit di internet dan menjadi e-paper pertama di
Indonesia. Dua hari kemudian, harian nasional Kompas yang berada dalam satu grup dengan Tabloid Kontan dalam payung Kompas-Gramedia juga
secara resmi merilis e-paper diikuti Koran Tempo dan Republika. Fenomena ini pada akhirnya juga berdampak pada perubahan pola baca
koran sekelompok masyarakat tertentu yang dapat memuaskan berbagai kebutuhan informasinya melalui berbagai portal berita di internet. Ujung-
ujungnya, bila kelompok pembaca e-paper ini semakin bertambah besar, produk media baru ini bisa berpotensi menjadi alternatif media beriklan
yang tidak saja efektif, namun sekaligus berbiaya lebih murah di banding media-media konvensional yang biasa digunakan selama ini.
4. Perkembangan Pola Belanja Konsumen Indonesia
Sepanjang tahun 2008, pola belanja konsumen di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perkembangan pasar ritel barang konsumsi. Berdasarkan
data AC Nielsen, hingga September 2008 saja, industri ritel Indonesia tumbuh hingga 22,2. Hal ini ditandai dengan makin menjamurnya pasar
modern seperti hypermarket, supermarket, maupun minimarket di berbagai pelosok wilayah Indonesia. Pesatnya pertumbuhan gerai hypermarket
diperkirakan karena konsepnya yang menawarkan besaran ketersediaan produk hingga lebih dari 40.000 item tersebut relatif cukup bisa diterima
oleh konsumen, khususnya masyarakat perkotaan. Dengan berbelanja di hypermarket, konsumen memperoleh berbagai kebutuhannya dengan
nyaman, serta dengan harga yang relatif lebih murah dan pasti dibanding pasar tradisional maupun pasar modern lainnya seperti supermarket
maupun minimarket. Menurut Director Retailer Service PT. AC Nielsen Indonesia
Susilo, 2008, pertumbuhan pasar ritel di Indonesia sepanjang tahun 2008 bukan cuma terjadi di kategori pasar modern. Pasar tradisional juga
mengalami peningkatan penjualan 21 secara nilai pendapatan. Namun, hal ini lebih disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang dan didorong
2
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
oleh persepsi beberapa produk konsumsi sehari-hari tetap yang dianggap lebih murah di pasar tradisional. Selama ini pasar tradisional memiliki
keleluasaan dalam memberikan kesempatan kepada konsumen untuk berbelanja sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen, termasuk
sistem pembelian kredit. Bila dipikirkan lebih mendalam, sebenarnya pasar tradisional
masih sangat terbuka untuk lebih maksimal berkembang, karena memiliki lokasi sangat strategis dan dekat dengan pemukiman tempat tinggal, lebih
fun, personal, murah, harga produk dan tingkat kebutuhan belanja dapat dinegosiasikan.
Implikasi dari adanya perkembangan pasar ritel modern dan tradisional tersebut bagi Dwi Sapta Advertising lebih ke arah kebutuhan
untuk membuat alternatif pilihan pengembangan program ’touch-point’ ke konsumen produk-produk klien, terutama yang berkaitan dengan
pemilihan ’venue’ tempat kegiatan program-program brand activation. Menurut Tanti Dewi Permassanty
3
, Account Director Dwi Sapta Advertising, saat ini kebutuhan pengembangan program-program brand
activation menjadi sangat relevan manakala kekuatan brand awareness dan brand image sebuah produk tidak lagi dianggap cukup mampu untuk
mendorong terjadinya penjualan secara cepat. Konsumen masih membutuhkan pengalaman berinteraksi secara langsung dengan produk-
produk yang akan dibelinya. Pada bagian inilah sebenarnya nilai lebih sebuah program brand activation yang memiliki kekuatan sebagai medium
yang bersifat tiga dimensi audio, visual, dan eksperimental. Pada pilihan ’venue’ pasar modern dan tradisional yang terbaiklah yang memiliki
potensi ’touch point’ tertinggi terhadap konsumen yang akan dijadikan tempat acara brand activation produk-produk klien.
5. Perkembangan Kebijakan Pemerintah Terhadap Bidang Periklanan