oleh persepsi beberapa produk konsumsi sehari-hari tetap yang dianggap lebih murah di pasar tradisional. Selama ini pasar tradisional memiliki
keleluasaan dalam memberikan kesempatan kepada konsumen untuk berbelanja sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen, termasuk
sistem pembelian kredit. Bila dipikirkan lebih mendalam, sebenarnya pasar tradisional
masih sangat terbuka untuk lebih maksimal berkembang, karena memiliki lokasi sangat strategis dan dekat dengan pemukiman tempat tinggal, lebih
fun, personal, murah, harga produk dan tingkat kebutuhan belanja dapat dinegosiasikan.
Implikasi dari adanya perkembangan pasar ritel modern dan tradisional tersebut bagi Dwi Sapta Advertising lebih ke arah kebutuhan
untuk membuat alternatif pilihan pengembangan program ’touch-point’ ke konsumen produk-produk klien, terutama yang berkaitan dengan
pemilihan ’venue’ tempat kegiatan program-program brand activation. Menurut Tanti Dewi Permassanty
3
, Account Director Dwi Sapta Advertising, saat ini kebutuhan pengembangan program-program brand
activation menjadi sangat relevan manakala kekuatan brand awareness dan brand image sebuah produk tidak lagi dianggap cukup mampu untuk
mendorong terjadinya penjualan secara cepat. Konsumen masih membutuhkan pengalaman berinteraksi secara langsung dengan produk-
produk yang akan dibelinya. Pada bagian inilah sebenarnya nilai lebih sebuah program brand activation yang memiliki kekuatan sebagai medium
yang bersifat tiga dimensi audio, visual, dan eksperimental. Pada pilihan ’venue’ pasar modern dan tradisional yang terbaiklah yang memiliki
potensi ’touch point’ tertinggi terhadap konsumen yang akan dijadikan tempat acara brand activation produk-produk klien.
5. Perkembangan Kebijakan Pemerintah Terhadap Bidang Periklanan
Pasang surut industri periklanan di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kebijakan pemerintah, terutama bentuk kebijakan
yang secara langsung berkaitan erat dengan proses kerja periklanan,
3
Hasil wawancara tanggal 23 Oktober 2008
misalnya kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Badan POM. Implikasi dari kebijakan pemerintah
yang dijalankan oleh Badan POM ini mengharuskan semua materi iklan produk makanan dan obat-obatan harus melalui persetujuan lembaga ini.
Padahal, kategori kedua produk tersebut sangat banyak jumlahnya, sehingga proses perijinannya relatif cukup memakan waktu antara dua
minggu hingga satu bulan. Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan iklan produk rokok. Dalam hal ini, pemerintah
melarang penayangan iklan rokok di televisi pada jam tayang di bawah pukul 21.00.
Menurut M.Kh.Rachman
4
, Senior Business Development Manager Dwi Sapta Advertising, khusus di tahun 2008, ada satu bentuk kebijakan
pemerintah yang cukup kontroversial yang berkaitan dengan proses kerja periklanan. Kebijakan ini sebenarnya telah dikeluarkan pada pertengahan
tahun 2007, yaitu Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Kominfo Nomor 25 Tahun 2007. Dengan mekanisme Peraturan Menteri Permen
tersebut, Pemerintah sejak 1 Mei 2007 secara resmi melarang pemasangan iklan yang berasal dari pengusaha asing, memakai bintang iklan asing dan
bermuatan asing. Pemerintah kemudian memberikan jangka waktu masa peralihan selama enam bulan hingga satu tahun untuk memberikan
kesempatan melakukan transisi adaptasi film iklan asing dengan materi lokal.
M.Kh.Rachman R.
4
menjelaskan bahwa peraturan ini sebenarnya khusus diberlakukan untuk iklan televisi, sementara untuk iklan cetak
masih diberikan ijin menggunakan materi dan muatan asing. Implikasi dari kebijakan pemerintah ini menekankan bahwa materi iklan yang
ditayangkan di televisi siaran Indonesia harus dikerjakan oleh orang Indonesia, berlokasi di Indonesia, menggunakan bintang iklan orang
Indonesia, serta dikerjakan oleh sutradara orang Indonesia. Inilah yang menjadi pilihan dilematis yang harus dihadapi oleh kalangan praktisi
periklanan Indonesia di tahun 2008. Di satu sisi, memang ada keinginan
4
Hasil wawancara tanggal 4 September 2008
untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada sumber daya manusia SDM orang Indonesia, namun di sisi lain hal tersebut harus
dibayar dengan kondisi yang masih ’jomplang’ dari sisi kompetensi dan profesionalitas cara kerjanya di banding SDM kalangan ekspatriat tenaga
asing. Beberapa pihak ada yang menyatakan keraguan terhadap efektivitas masa transisi yang diberikan oleh Pemerintah, terutama pada
kemampuan untuk membangun kembali kapasitas nasional di bidang produksi film iklan. Hal ini, lebih didasarkan pada kenyataan bahwa dalam
kurun waktu beberapa tahun belakangan ini, banyak rumah produksi yang sudah terlanjur ’tertidur’ karena tidak ada order pembuatan iklan.
Dengan adanya peraturan seperti ini, bagi Dwi Sapta Advertising sendiri masih bisa beradaptasi secara bisnis, karena secara kebetulan tidak
banyak klien yang biasa menggunakan para ekspatriat di dalam proses produksi iklan untuk produknya. Namun, tetap saja peraturan ini cukup
merepotkan di lapangan, terutama ketika menghadapi klien-klien yang sudah terbiasa memiliki proses kerja yang biasa ditangani oleh beberapa
ekspatriat tenaga asing. Bentuk kesulitan yang paling konkret dihadapi adalah kesulitan mencari sumber daya manusia orang iklan yang memiliki
tingkat kompetensi yang memadai dan sejajar dengan yang dimiliki oleh ekspatriat.
6. Perkembangan Gaya Hidup dan Kondisi Sosial Budaya