35 BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Tempat Penelitian
1. Latar Belakang Berdirinya Kamyabi Homeschool.
Kamyabi Homeschool di dirikan oleh H. Abdul Halim Said beserta istri, Zubaidah pada tanggal 31 Oktober 2005. Homeschooling ini berada
di BSD City, sektor I, Tangerang. Homeschooling ini dipimpin oleh Yudhi Pramudya, S.Pd sebagai kepala sekolah.
Kata kamyabi sendiri berasal dari bahasa urdu yang merupakan bahasa umum Pakistan dan juga paling banyak dipakai di India. Kamyabi
jika diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berarti An-Najah dan dalam bahasa Inggris berarti success. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, kamyabi berarti sukses.
1
Latar belakang berdirinya Kamyabi Homeschool berawal dari banyaknya keprihatinan yang dilihat oleh pendiri lembaga ini. Sebagai
contoh, keprihatinan pendiri founder terhadap sikap siswa dalam merayakan kelulusan setelah pengumuman hasil Ujian Akhir Nasional
mereka dengan mencoret pakaian. Hal ini membuat Pendidikan Agama Islam yang mereka pelajari selama 3 tiga tahun hancur oleh sikap
tersebut. Moral siswa yang semakin hari semakin memprihatinkan karena
tidak ada pengawasan dari orang tua atau orang tua merasa lepas tangan setelah menyerahkan anaknya pada suatu sekolah formal yang ada. Hal ini
tidak terlepas dari Pendidikan Agama Islam di sekolah formal yang mulai terpinggirkan oleh bertambahnya alokasi waktu materi pendidikan umum
lainnya atau yang akan di ujikan dalam Ujian Akhir Nasional. Hal ini berdampak pada penilaian yang hanya terfokus pada nilai. Nilai yang
diwakili oleh angka atau huruf dianggap sebagai penentu keberhasilan,
1
Hasil wawancara dengan H. Abdul Halim Said selaku Pendiri Kamyabi Homeschooling pada tanggal 5 Januari 2014
36
bahkan hidup dan matinya siswa. Begitu sakralnya sebuah nilai dalam bentuk angka ataupun huruf sehingga membuat berbagai pihak menjadi
stress, mulai dari guru, orang tua, bahkan anak didik itu sendiri apabila mendapat nilai yang tidak memuaskan dibawah angka 7 atau dengan
huruf C. Melihat hal ini, setiap pihak terutama guru dan orang tua mengkondisikan siswanya untuk berlomba
– lomba mencapai nilai yang tinggi pada setiap bidang studi dengan cara apapun, bahkan tidak peduli
lagi hal tersebut akan membuat anak didiknya kesulitan untuk mencapainya. Hal ini perlahan
– lahan akan membuat anak muak, tertekan dan stres. Faktanya, nilai yang diagung
– agungkan oleh pihak sekolah maupun orang tua kurang berperan banyak dalam menentukan
kesuksesan hidup seseorang. Nilai ini akan melahirkan diskriminasi antar siswa. Betapa bangganya siswa yang mendapat nilai tinggi dan betapa
hinanya siswa yang mendapat nilai rendah, bahkan untuk mempertegas kehinaan ini, masih ada beberapa guru di sekolah yang menggunakan
tinta merah menyala dan mencolok mata. Dipertegas, nilai hanyalah representasi dari kemampuan menghafal pelajaran dan pemberiannya pun
dilakukan secara subjektif oleh guru bidang studi kepada siswanya. Dampak dari terusnya sebuah nilai dijadikan ukuran dalam
keberhasilan suatu pembelajaran pada setiap bidang studi mengakibatkan kontrol afektif meningkat namun kontrol moral menurun secara perlahan
– lahan, terutama setelah belajar Pendidikan Agama Islam. Nilai bidang studi Agama Islam yang tinggi tidaklah menjamin tumbuhnya moral yang
baik pula. Inilah yang dihasilkan oleh pendidikan formal terhadap Pendidikan Agama Islam. Memaksakan teori tanpa adanya praktek dan
refleksi karena alokasi waktu yang terbatas. Belum lagi sistem hukuman yang diterapkan di sekolah formal
yang cenderung menyama-ratakan penerapannya kepada setiap siswa, tanpa memahami alasan yang terjadi pada setiap siswa. Sebuah contoh, si
anak di scors tidak di izinkan masuk selamam beberapa hari karena tidak hadir dalam beberapa kali pertemuan. Hukuman dijatuhkan begitu
37
saja, padahal si anak memiliki alasan mengapa ia tidak masuk sekolah, misalnya karena orang tua yang telat mengantar ke sekolah sehingga ia
malu datang terlambat, atau si anak mengalami masalah dan memutuskan untuk menyendiri dan enggan keluar rumah setelah mendapati
keluarganya yang berantakan broken home. Hukuman yang diberikan pada si anak tersebut tidak akan membuatnya menjadi lebih baik. Hal ini
akan menambah masalah baru pada si anak nantinya. Pendiri Kamyabi Homeschooling ini mempertegas bahwa setiap
anak memiliki bakat yang diberikan oleh Allah dengan sangat luar biasa. Bakat ini diperkuat dengan adanya minat dari seseorang. Bakat dan minat
serta pola belajar anak tentunya berbeda – beda. Dan hal ini tidaklah bisa
mereka dapatkan dan kembangkan di sekolah formal yang menganggap semua siswa adalah. Banyak kasus yang menghalangi bakat berkembang
di sekolah formal, seperti kasus bullying, bentakan dan kekerasan dari guru bahkan pemasungan kreativitas anak. Upaya penyeragaman
kemampuan dan keterampilan semua anak pada setiap bidang studi turut mematikan bakat dan minat siswa yang berbeda
– beda, karena setiap anak adalah unik. Terlebih lagi, kurikulum yang terlalu padat dan tugas
rumah yang menumpuk menjadi beban tambahan setelah mereka belajar seharian di sekolah. Melihat kondisi ini, maka perlu alternatif untuk
menyelamatkan anak – anak yang kurang cocok dengan sistem
pendidikan formal, salah satunya dengan pendidikan homeschooling. Bertolak dari kondisi inilah H. Abdul Halim Said merasa terpanggil untuk
mendirikan Kamyabi Homeschool sebagai sebuah institusi pendidikan alternatif yang senantiasa memperhatikan hak anak atas pendidikan yang
mereka jalani. Pendirian homeschooling ini juga terinspirasi dari Nabi
Muhammad Shalallahu ’Alaihi Wasallam yang melaksanakan dakwah dan pendidikan tarbiyah dengan sistem yang mirip dengan
homeschooling.
38
Mengingat pendidikan pertama dan yang utama pada seorang anak adalah orang tua atau keluarga, dengan adanya homeschooling ini H.
Abdul Halim Said kembali mengajak orang tua dan keluarga untuk ikut berpartisipasi utuh secara aktif dan langsung dalam pendidikan anak atau
anggota keluarganya. Orang tua lebih memahami bakat dan minat serta cara belajar yang dimiliki anaknya. Disinilah peran orang tua sebagai
pengarah, bukan penentu mutlak karena yang berhak menentukan adalah anak yang menjalani pendidikan. Mereka diberi kebebasan dalam
menenutukan waktu, metode dan didikan seperti apa yang ia inginkan. Apabila hal ini dipahami secara bijak, kelemahan homeschooling yang
dilihat dari segi sosial dimana anak kurang dapat bersosialisasi tidak akan terjadi. Si anak masih bisa bermain, bersosialisasi bahkan berkarya di sela
kegiatan homeschooling. Dalam pelaksanaan selanjutnya, orang tua atau keluarga dapat bertindak sebagai fasilitator, motivator, konselor dan
teman yang baik bagi anaknya saat belajar. Berangkat dari hal itu semua, H. Abdul Halim Said memberanikan
diri untuk membentuk komunitas Kamyabi Homeschool dengan tujuan agar tidak ada lagi anak
– anak Indonesia yang merasa sekolah sebagai sebuah beban dalam kehidupannya. Hal ini akan melahirkan presepsi baru
bahwa sekolah adalah tempat dimana mereka bisa mengekspresikan diri mereka sendiri sesuai dengan bakat, minat dan cara belajar yang
menyenangkan. Lebihnya lembaga ini dengan lembaga yang serupa adalah Pendidikan Agama Islam selalu menjadi prioritas utama dan nilai
– nilai agama selalu dimasukkan dalam setiap bidang studi
2
. Kamyabi Homeschool ini menerima peserta didik yang terdiri atas
Taman Kanak – Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama,
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan kelas untuk Anak Berkebutuhan Khusus.
2
Hasil wawancara dengan H. Abdul Halim Said selaku Pendiri Kamyabi Homeschooling pada tanggal 5 Januari 2014.