diakses dengan mudah dan murah oleh nelayan, serta dapat mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan merupakan kelembagaan adaptif dalam
mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL ”.
Lebih lanjut dengan adanya kelembagaan tersebut dapat dijelaskan bahwa aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL
dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman untuk
mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL,
maka dalam
musyawarah dan
mufakatnya harus
mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Termasuk didalamnya perlu diikutsertakan para ahli perikanan atau pembina perikanan terkait dengan
pembuatan dan atau perumusan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang terdapat pada lokasi pedesaan yang bersangkutan. Akses dikatakan mudah
diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya tidak lebih dari Rp.100.000.-
per tahun per nelayan. Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama.
8.3 Ikhtisar
Suatu hal yang dapat dipelajari dari kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” adalah semua relasi antar aktor terkait
dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL bersifat “individualisme”. Optimasi peran kelembagaan sebagai konsekuensi dari relasi
antar aktor tersebut memberikan makna bahwa seluruh relasi antar aktor harus berorientasi ke depan dalam bentuk kerjasama, yang bermuara kepada
keberlanjutan pemanfaatan sumber daya perikanan PULL. Hasil identifikasi dan analisis yang dikemukakan pada keberlanjutan
kelembagaan menggunakan pendekatan 8 delapan prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom diketahui bahwa kelembagaan
pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang ada saat ini tidak efektif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL. Kemudian, tidak efektifnya kelembagaan “lelang lebak lebung”
tersebut juga diikuti dengan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL jika dibandingkan dengan masa
pemerintahan Marga, dan akses yang didapatkan masyarakat nelayan adalah “illegal”.
Tidak efekti fnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang
lebak lebung” terbukti pula memiliki dampak adanya degradasi kondisi sumber daya perikanan dan habitatnya, yang pada akhirnya berdampak pula terhadap
terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan, dengan rata-rata pangsa pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3 . Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat nelayan di wilayah ini masih termasuk kategori miskin karena penghasilan mereka hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari dan
tidak dapat menabung dan menyediakan biaya rekreasi. Di lain pihak, pengemin atau pemenang lelang merupakan orang yang paling banyak mendapatkan manfaat
dari sumber daya perikanan PULL yang dikuasainya. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka tahun 2008 mencapai Rp.215.325.000.- .
Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan yang diusulkan adalah
berupa kelembagaan komunitas nelayan Kelompok Nelayan yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada
masyarakat. Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan
termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Pelaksanaannya di lapangan
cukup diorganisasi oleh kelompok nelayan, namun difasilitasi oleh Kepala Desa, BPD dan Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Pokmaswas. Hal ini dilakukan
untuk satu desa yang mempunyai wilayah sumber daya perikanan. Dengan dasar bahwa pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang
dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama masyarakat, maka partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting dalam kerangka evaluasi efektifitas
kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL; dan untuk pengelolaan sumber daya yang meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar desa
menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL dapat dilakukan menggunakan 8 delapan prinsip
keberlanjutan kelembagaan Ostrom dan teori akses Ribot dan Peluso ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan
bersama ko-manajemen yaitu partisipasi dan koordinasi. Pada tingkat kabupaten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten OKI
sesuai dengan tugas pokoknya adalah sebagai pembina dalam pembuatan dan berfungsinya peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL di kawasan pedesaan tersebut. Pada tingkat pedesaan diusulkan tim fasilitasi tingkat desa yang tersusun atas Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa
BPD, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Pokmaswas yang fungsinya sebagai
penghubung masyarakat
desa Kelompok
Nelayan terhadap
pemerintahan atas desa jika diperlukan. Tim ini juga berfungsi sebagai perwakilan masyarakat desa jika terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar desa atau
pada tingkat kecamatan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL.
Sebagai ujung tombak perwakilan masyarakat nelayan pada tingkat pedesaan adalah Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas yang merupakan seorang
yang memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat nelayan dan dipilih secara langsung oleh masyarakat nelayan. Pada masyarakat nelayan diharapkan
adanya partisipasi masyarakat terkait dengan berlangsungnya pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan pengaturan demikian
diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal ini
dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya sanksi terhadap
pelanggar aturan. Aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan
PULL dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman
untuk mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL, maka dalam musyawarah dan mufakat harus mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Akses dikatakan mudah diatur dengan
hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya. Begitu upaya kelestarian sumber daya
diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1