Teori Sumber daya Alam Milik Bersama

lembaga lokal yang menangani tugas khusus misalnya perkumpulan pemakai air atau P3A, komite kesehatan desa seperti Posyandu, Dasa Wisma dan lain-lain. Lembaga yang menangani kebutuhan anggota yang memiliki karakteristik atau kepentingan yang sama, dapat saja berupa kelompok arisan, perkumpulan pengajian, persatuan penyewa, dan sebagainya. Di lain pihak, cooperatives adalah semacam organisasi lokal yang menyatukan sumber daya ekonomi anggota-anggotanya untuk memperoleh keuntungan, seperti koperasi pasar dan koperasi kredit. Sementara service organization adalah organisasi lokal yang dibentuk terutama untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang bukan anggota, seperti lembaga-lembaga pelayanan, palang merah, dan sebagainya. Dan, private bussinesses, adalah cabang-cabang atau kelompok pelaksana independen dari perusahaan ekstra-lokal yang bergerak di sektor pabrik, jasa ataupun perdagangan. Masing-masing kategori lembaga atau organisasi lokal yang telah dikemukakan memiliki keunggulan dan kelemahan tersendiri, khususnya dalam mendukung pelaksanaan pembangunan di pedesaan Wibowo, 1993. Keseluruhan organisasi tersebut merupakan kontinum yang merentang dari sektor publik hingga sektor swasta dengan urutan LA, LG, MOs, CO-ops, SOs dan PBs. Kemudian, dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam, lembaga- lembaga lokal yang mana yang efektif dan berkelanjutan bagi pengelolaan sumber daya alam tergantung dari beberapa hal, antara lain; a. Sifat sumber daya yang hendak dikelola, dan b. Komposisi masyarakat pengguna sumber daya tersebut, khususnya mengenai apakah mereka dapat diidentifikasikan identifiable community. Menurut Uphoff 1986, pada tingkat tertentu dimana sumber daya dan penggunanya “dapat dibatasi” dalam arti dapat diidentifikasi dan jelas batasannya, maka tugas-tugas pengelolaan akan lebih mudah dan lebih dapat dipertanggungjawabkan jika dikerjakan oleh lembaga lokal.

2.2 Teori Sumber daya Alam Milik Bersama

Menurut Hardin 1968, sumber daya alam milik bersama yang aksesnya bebas dan tidak diatur akan berakhir dengan terjadinya tragedi bagi semua warga tragedy of the commons. Hal ini terjadi, karena semua pemanfaat mengeksploitasi sumber daya alam tersebut hingga semaksimal mungkin, sehingga akhirnya terjadi kerusakan yang mengakibatkan terjadinya tragedi tersebut. Hardin mencontohkan pemanfaatan suatu padang penggembalaan ternak yang luasannya terbatas dimanfaatkan secara terbuka untuk siapa saja. Dalam hal ini, setiap penggembala akan berusaha untuk memaksimumkan pemanfaatan padang penggembalaan tersebut bagi ternak yang dimilikinya. Dengan kondisi demikian, selama pemanfaatan yang dilaksanakan masih berada dibawah ambang batas daya dukung padang penggembalaan, maka tidak terdapat permasalahan pakan bagi semua ternak yang ada. Namun, ketika jumlah ternak yang digembalakan di padang rumput tersebut meningkat dan melampaui ambang batas daya dukung padang penggembalaan, maka mulai ada permasalahan perebutan sumber pakan yang berakhir pada tragedi ketidakseimbangan antara pakan dan jumlah ternak yang ada, hingga akhirnya terjadi yang dimaksudkan dengan “tragedy of the common”. Dalam hal ini, prinsipnya, bagi Hardin, sumber daya bersama yang aksesnya bebas tanpa aturan hanya dapat dibenarkan dalam kondisi kepadatan penduduk yang rendah. Dalam perkembangannya, jika terjadi pertambahan penduduk, maka kebebasan dalam mengakses dan menggunakan sumber daya bersama tidak dapat digunakan sebagai prinsip pemanfaatan sumber daya milik bersama tersebut. Dikemukakan pula selanjutnya oleh Hardin 1968 bahwa untuk mencegah sumber daya berkembang menjadi sumber daya bersama dalam artian bebas akses tanpa aturan, dibutuhkan pengaturan sosial yang bersifat memaksa, yang dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab. Pengertian memaksa coercion yang dimaksudkan adalah „mutual coercion‟ yaitu pengaturan yang disepakati bersama oleh sebagian besar penduduk yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Solusi kebijakan untuk mencegah terjadinya “tragedy of the commons” yang ditawarkan G.Hardin adalah dengan mengalihkan status „bebas akses‟ dari sumber daya bersama menjadi „private property.‟ Dalam hal ini, privatisasi akan menginternalisasi biaya yang timbul dari akibat perilaku pemanfaatan sumber daya tersebut, mengurangi ketidakpastian, dan dengan demikian meningkatkan tanggung jawab individual atas sumber daya yang digunakannya. Alternatif lainnya yang ditawarkan dengan cara tetap mempertahankan sumber daya bersama sebagai „public property‟, tetapi diikuti dengan pengaturan alokasi hak untuk mengaksesnya. Pengaturan pengalokasian hak untuk mengakses tersebut dapat saja didasarkan atas sistem lelang, penghargaan atas prestasi, sistem undian, atau dengan menggunakan prinsip siapa yang datang terlebih dulu, maka merekalah yang memiliki hak akses. Menurut Ostrom 1990 , tesis “the tragedy of the commons” Hardin kurang memperhitungkan kemampuan orang untuk bekerjasama dalam berbagai situasi sumber daya bersama. Kemudian, solusi pencegahannya dibatasi pada argumen bagi peran yang lebih besarkuat dari pemerintah dalam menangani masalah-masalah kependudukan, kemasyarakatan dan lingkungan. Argumen tersebut juga mengabaikan keberadaan dan potensi pengaturan dan pengelolaan sumber daya bersama oleh kelompok atau komunitas setempat pengguna sumber daya tersebut. Juga mengabaikan bukti-bukti empirik tentang keberadaan dan peranan kelembagaaninstitusi sosial yang ditumbuh-kembangkan oleh komunitas atau kelompok masyarakat dalam rangka mengatur dan mengawasi penggunaan sumber daya bersama, termasuk hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan penggunaan sumber daya tersebut. Solusi kebijakan dilema sumber daya bersama berupa intervensi pemerintah atau privatisasi, dapat melemahkan, bahkan menghancurkan keberadaan dan peranan kelembagaaninstitusi sosial komunitas pengguna sumber daya yang bersangkutan yang telah terbukti efektif dalam mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana dan berkelanjutan dalam periode waktu yang relatif lama. Oleh karena itu, konsepsi sumber daya bersama sebagai sumber daya bebas akses tanpa aturan maupun sumber daya yang diatur komunitas masih relevan untuk memahami berbagai gejala penggunaan dan penyalahgunaan sumber daya alam, sepanjang penerapan masing-masing konsepsi tersebut memperhitungkan konteks sosial ekonomi politik dan ekologi dari gejala yang bersangkutan. Secara khusus, terkait dengan sumber daya alam milik bersama common- pool resources, Ostrom 1990 dalam Ostrom 1999 mengemukakan bahwa dalam kelembagaan sumber daya milik bersama terdapat beberapa prinsip yang harus dirancang agar kelembagaan tersebut dapat berlangsung secara berkesinambungan. Prinsip-prinsip tersebut adalah Ostrom, 2008; 1 Prinsip batas yang dapat ditentukan dengan jelas untuk dapat menentukan kepemilikan seseorang atau rumah tangga terhadap sumber daya tersebut; dalam hal ini, termasuk pengaturan bagaimana mengakses sumber daya, aturan penangkapan panen, pengelolaan, dampak, kerjasama, serta partisipasi, sehingga tidak mengalami kelebihan tangkap. Termasuk didalamnya batas-batas sumber daya secara fisik agar tidak ada menjadi “free rider”. 2 Distribusi manfaat dari aturan yang tepat guna proporsional dengan pembiayaannya; kemudian aturan yang tepat guna juga terkait dengan pengaturan yang terkait waktu penangkapan, tempat penangkapan, teknologi penangkapan, dan kuantitas unit sumber daya yang ditangkap terkait dengan kondisi lokal. Dengan demikian akan terjadi pemanfaatan sumber daya yang adil dan berkelanjutan. 3 Pengaturan pilihan-kolektif, yaitu hampir semua individu dipengaruhi oleh aturan operasional dalam kaitannya dengan rezim pemanfaatan sumber daya yang dapat merubah partisipasinya dalam pelaksanaan pengaturan secara konsisten; 4 Adanya kegiatan yang bersifat memonitor kondisi sumber daya dan perilaku penggunanya yang akuntabel. Dengan demikian diharapkan pelanggaran terhadap pengaturan-pengaturan akan selalu menurun, sehingga kondisi sumber daya tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. 5 Pemberian sanksi kepada pengguna yang melanggar aturan yang diterapkan sesuai dengan tingkatan kesalahan dan konsteks kejadian pengguna tersebut dari petugas yang akuntabel atau dari pengguna lainnya atau keduanya. Hal ini terutama dilakukan terhadap masyarakat yang melakukan penangkapan ikan secara illegal. 6 Ada mekanisme penyelesaian konflik diantara pengguna dan antara pengguna dan petugas yang dapat diakses secara cepat, biaya rendah dan tersedia secara lokal. Dalam hal ini, pengaturan dapat dimengerti dan dipahami secara sama untuk setiap anggota masyarakat sehingga konflik yang terjadi dapat diminimalkan atau dapat diturunkan. 7 Ada pengorganisasian hak kepemilikan yang diakui oleh para pengguna dan kelembagaannya tidak dapat dikuasai atau dicampurtangani oleh pemerintah. Dalam hal ini akan mempengaruhi biaya transaksi yang meningkat jika adanya pengorganisasian yang diatur oleh selain pemerintah lokal. 8 Jaringan usaha yang secara prinsip merupakan kegiatan pemerintah yang dikelola pada berbagai tingkatan usaha. Dalam hal ini beberapa unit usaha yang kecil agar tetap dapat dipertahankan menggunakan kelembagaan yang ada, meskipun tetap dapat berhubungan dengan suatu kelembagaan yang lebih luas cakupannya.

2.3 Teori Akses