Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber daya Ikan

harga ikan asin sedang bagus maka mereka akan menyukai untuk menjualnya. Kegiatan ini marak khususnya ketika mulai musim penghujan ketika ikan-ikan yang tertangkap mulai melimpah. Jenis ikan yang banyak di olah adalah ikan gabus dan ikan sepat. Aktivitas masyarakat yang terkait dengan kegiatan di rawa adalah penambangan pasir. Kegiatan ini dilakukan oleh orang dari luar desa. Kegiatan lain adalah mencuci dan mandi, pertanian. Selain itu digunakan untuk air minum. Penggunaan armada perikanan rata-rata menggunakan perahu tanpa motor dengan jumlah 150 buah. Penggunaan perahu dirasakan menjadi sebuah kebutuhan agar mempercepat mobilitas yang dilakukan. Selain untuk menangkap ikan, perahu juga digunakan sebagai alat transportasi masyarakat untuk menuju dari satu tempat ke tempat lainnya. Penangkapan ikan di Desa Berkat, menggunakan berbagai alat tangkap. Alat tangkap yang digunakan berupa bubu, jaring tepi, pancing, rawai, sero, jala dan anco. Bubu digunakan untuk menangkap belut dengan bahan bambu. Jumlahnya sebanyak 30-40 buah. Alat tangkap pancing memiliki 100-150 mata pancing. Alat pengolah ikan yang ada berupa pengasinan dan pengasapan ikan.

4.7 Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber daya Ikan

Kebijakan adalah arahan masa depan Nugroho, 2006. Kebijakan policy merupakan sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik. Kebijakan pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik, yakni rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Dengan kata lain, kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara Brigman dan Davis 2004. Kebijakan pengelolaan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum pada level nasional antara lain dapat dikaji berdasarkan atas keberadaan makna yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan pada level nasional. Peraturan tersebut terutama didasarkan kepada UU RI No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan [LN RI Tahun 2009 No.154, TLN No.5073]. Berdasarkan peraturan tersebut di lihat pasal-pasal mana yang terkait dengan bahasan tujuan kebijakan, kewenangan stakeholder kebijakan dari sisi pemerintah, masyarakat dan pihak lainnya misalnya swasta, dan sanksi atas pelanggaran kewenangan. Hasil identifikasi menggunakan pokok bahasan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan dapat dikemukakan keterkaitannya terhadap UU RI No.45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Terlihat bahwa terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya dan pengendalian lingkungan perairan umum serta partisipasi masyarakat. Pada Pasal I angka 2 undang-undang tersebut dinyatakan azas-azas dalam pengelolaan sumber daya perikanan yaitu harus didasarkan azas manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian, dan pembangunan yang berkelanjutan. Berdasarkan azas yang dikemukakan, maka sudah seharusnya dalam pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum dapat memberikan manfaat bagi pemanfaatnya, terutama masyarakat nelayan. Kemudian, berdasarkan azas kemitraan, maka seyogyanya dalam mengelola sumber daya perikanan perairan umum dapat menguntungkan pihak yang terkait, sehingga ada unsur kebersamaan yang dapat diperjuangkan dan dipertahankan secara bersama. Dengan demikian, diharapkan ada keterbukaan, keterpaduan dan efisiensi dalam pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum tersebut. Para pihak pemanfaat diharapkan memperoleh manfaat sumber daya perikanan perairan umum secara merata dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya perikanan tersebut, sehingga dapat menjadi sumber penghidupan secara berkelanjutan. Kemudian, terkait dengan pengendalian lingkungan perairan umum dikemukakan pada Pasal I angka 3 yang menyatakan tentang perubahan ketentuan pasal 7 yang memperlihatkan bagaimana pengendalian lingkungan perairan umum, termasuk sumber daya yang ada didalamnya seharusnya dilakukan. Dalam hal ini misalnya terkait rencana pengelolaan perikanan, baik yang terkait dengan pengaturan yang berhubungan alat tangkap, habitat dan lingkungan, potensi dan alokasi, daerah dan jalur penangkapan, musim penangkapan, jenis ikan, kawasan konservasi, dan ketentuan yang harus diikuti seseorang atau yang melakukan usaha dan atau pengelolaan perikanan. Berdasarkan ketentuan pasal I angka 3 tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum harus ada pengaturan yang terkait dengan penggunaan alat tangkap yang diperbolehkan bagi masyarakat pemanfaat. Juga harus ada pengaturan tentang perlindungan habitat ikan dan lingkungannya, yang dapat saja berupa kawasan suaka perikanan. Dapat dikemukakan pula bahwa perlunya identifikasi potensi sumber daya perikanan sebagai dasar pengelolaannya atau alokasi hak penangkapan ikan. Begitu pula hal yang terkait dengan jalur penangkapan ikan, musim penangkapan ikan, jenis ikan yang dilarang untuk ditangkap serta ketentuan lainnya yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum. Pasal I angka 28 menyatakan bahwa diantara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 tiga pasal yakni Pasal 66 A, Pasal 66 B, dan Pasal 66 C. Pasal 66 A menyatakan orang yang dimaksudkan sebagai pengawas perikanan adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang di angkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Kemudian, dijelaskan hal-hal yang terkait dengan jabatan pengawas perikanan. Terkait dengan pengawas perikanan, dapat dikemukakan bahwa pada Dinas Kelautan dan Perikanan setempat seyogyanya tersedia tenaga pengawas perikanan yang membidangi pengawasan sumber daya perikanan perairan umum. Tenaga pengawas perikanan, dalam hal ini dapat saja diangkat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 66 B dikemukakan pula wilayah yang menjadi areal pelaksanaan tugas pengawas perikanan tersebut, beserta sarana dan prasarana yang terkait dengan kegiatan pengawasan tersebut, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan konservasi perairan. Pasal 66 C, dinyatakan kewenangan pengawas perikanan yang dimaksudkan untuk memasuki kegiatan tempat usaha, memeriksa, mendokumentasikan, mengambil contoh, dan lain-lain yang terkait. Dalam hal ini, terutama terkait penghentian, memeriksa, membawa, menahan dan menangkap kapal dan atau orang yang melakukan tindak pidana perikanan di wilayah negara RI. Oleh karena itu, keberadaan Pengawas Perikanan sebagai aparat pengawas dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan berdasarkan pada undang-undang ini menjadi unsur yang penting sebagai salah satu alat pengendali dari unsur aparat pemerintah. Pasal 100 B dan Pasal 100 C dinyatakan bentuk ancaman pidana apabila terjadi pelanggaran dari peraturan-peraturan yang diantaranya mengenai pengelolaan dan pengendalian lingkungan dan sumber daya perikanan. Bentuk ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat 4, Pasal 16 ayat 1, Pasal 20 ayat 3, Pasal 21, Pasal 23 ayat 1, Pasal 26 ayat 1, Pasal 27 ayat 1, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 1, Pasal 28 ayat 3, Pasal 35 ayat 1, Pasal 36 ayat 1, Pasal 38, Pasal 42 ayat 3, atau Pasal 55 ayat 1 yang dilakukan oleh nelayan kecil danatau pembudidaya ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun atau denda paling banyak Rp.250.000.000,00 dua ratus lima puluh juta rupiah. Kemudian, Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 2 dilakukan oleh nelayan kecil danatau pembudidaya ikan kecil di pidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 seratus juta rupiah. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum dan lingkungannya dikemukakan dalam Pasal I angka 4 yang juga menyatakan beberapa perubahan; yang terkait dengan larangan merusak sumber daya perikanan dan ketentuan lainnya. Ketentuan tersebut misalnya mengenai pengaturan alat tangkap dan atau alat bantu penangkapan. Kemudian, juga terkait dengan peranan pemerintah dalam mengatur dan membina tata pemanfaatan lahan dan air untuk pembudidayaan ikan, termasuk penyediaan sabuk hijau green-belt. Dengan demikian, masyarakat diwajibkan untuk berpartisipasi dalam melaksanakan ketentuan dalam pasal ini. Berdasarkan uraian di atas, secara umum dapat dikemukakan bahwa dari tujuan yang dikemukakan dalam peraturan yang dibahas terlihat bahwa sumber daya perikanan dan lingkungan perairan umum harus dimanfaatkan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Meskipun demikian, berbagai kebijakan masih menunjukkan penggunaan pendekatan kebi jakan “command and control”. Pendekatan ini efektif apabila mekanisme penegakan sanksi dilengkapi dengan organisasi yang kuat yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Efektifitas penegakan sanksi juga akan tercapai apabila masyarakat turut serta mendukung kebijakan tersebut.

4.8 Ikhtisar