Ketidaksetaraan Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan

atau pelarangan sama sekali terhadap alat tangkap ikan yang bersifat destruktif. Dalam hal ini misalnya penggunaan bahan-bahan beracun pada bagian sungai utama yang bertujuan mengusir ikan dapat berakibat lebih luas pada ikan-ikan yang sensitif.

2.5 Ketidaksetaraan Sosial dan Kemiskinan Masyarakat Nelayan

Dalam konteks kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung ” dapat disoroti keterkaitan antara pemerintah daerah dan masyarakat nelayan perairan umum lebak lebung. Untuk itu, dalam setiap masyarakat di luar yang paling primitif dapat dibedakan dua kategori masyarakat, yakni kelas yang berkuasa dan satu atau lebih kelas yang dikuasai. Kemudian, ada konflik terus- menerus antara kelas yang berkuasa dan atau kelas-kelas yang dikuasai, dimana sifat dan jalannya konflik dipengaruhi oleh perkembangan kekuatan-kekuatan produksi, misalnya oleh perubahan-perubahan teknologi dan modal. Garis pemisah dapat ditarik secara tegas pada masyarakat kapitalis modern, karena dalam masyarakat tersebut pemindahan kepentingan-kepentingan ekonomi terlihat paling nyata. Legitimasi suatu struktur kepemimpinan melalui nilai dan norma bersama sering sangat penting dalam memudahkan suatu kelompok untuk menuju tujuan- tujuan jangka panjang. Kemajuan dalam bergerak menuju tujuan-tujuan jangka panjang sering menuntut penundaan kepuasan sekarang ini. Seorang pemimpin yang usaha-usaha pengaruhnya diperkuat oleh nilai-nilai dan norma kelompok akan mampu meyakinkan anggota-anggota untuk mengeluarkan biaya cost dalam mencapai tujuan jangka panjang tanpa reward yang berlangsung apapun, kecuali kepuasan internal dan kepercayaan sosial yang merupakan hasil dari konformitas normatif Johnson, 1986. Berkaitan dengan proses perubahan sosial dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat, sistem kapitalis memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Sanderson 2003 mengemukakan bahwa masyarakat pra-kapitalis diorganisir melalui berbagai aktivitas dimana produksi barang untuk nilai guna adalah perhatian satu-satunya produsen. Pertumbuhan masyarakat industri dapat dilukiskan sebagai suatu pergeseran dari sistem kelas kepada suatu sistem kelompok-kelompok elite, dan hierarki sosial yang didasarkan atas pewarisan hak milik kepada hierarki yang didasarkan atas prestasi dan kemampuan. Pengertian masyarakat industri modern sebagai masyarakat yang sepenuhnya mendasarkan diri pada nilai-nilai ekonomi, seperti rasionalisasi, universalitas, dan nilai-nilai berprestasi. Tanpa nilai-nilai budaya ekonomi ini, suatu masyarakat tidak akan mungkin berubah dari nilai-nilai tradisional ke nilai- nilai dinamis rasional. Terkait dengan hal ini, agama merupakan sesuatu yang memiliki fungsi sosial untuk merumuskan seperangkat nilai luhur yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk membangun tatanan moral masyarakat Suwarsono dan Alvin, 2000. Perubahan sosial dan modernisasi dalam kehidupan masyarakat juga tidak terlepas dengan adanya gejala ketidaksetaraan inequality. Menurut Runciman, dalam Beteille 1977, ketidaksetaraan, dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yakni ekonomi ketidaksetaraan dalam hal kelas, sosial ketidaksetaraan status dan politik ketidaksetaraan kekuasan. Ketidaksetaraan kelas berkaitan dengan aspek ekonomi yakni kepemilikan atas peralatan produksi dan dalam konteks yang lebih luas menyangkut kepemilikan barang yang dianggap berharga kekayaan. Ketidaksetaraan dalam status berkaitan dengan atribut dan gaya hidup yang meliputi gengsi prestise tinggi dan rendah. Dalam hal ini bukan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, misalnya menyangkut pendidikan, gaya berpakaian dan lainnya. Ketidaksetaraan dalam aspek kekuasaan biasanya berhubungan dengan status dan kelas dalam masyarakat. Dalam konteks ini ada sekelompok orang yang menguasai dan sebagian besar lainnya berada dibawah kekuasaan pihak pertama tersebut. Dalam kaitannya dengan pendapatan usaha penangkapan pada masyarakat nelayan, maka tidak terlepas dari berfungsinya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung”. Dengan berfungsinya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung” seharusnya diharapkan dapat tersedianya sumber pendapatan usaha bagi masyarakat nelayan melalui alokasi hak penangkapan ikan yang didapatkannya dari proses pelelangan. Dalam proses pelelangan inipun, pemerintah kabupaten memperoleh Pendapatan Asli Daerah PAD yang berasal dari sumber daya perikanan PULL. Besaran pendapatan usaha yang didapatkan oleh masyarakat nelayan akan tergantung dari struktur pembiayaan usaha yang terjadi sesuai berfungsinya kelembagaan ”lelang lebak lebung”. Dalam hal ini dapat saja dipengaruhi secara langsung oleh adanya standar harga yang tinggi dari objek lelang yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten ataupun tingginya harga objek lelang sebagai hasil dari proses pelelangan yang terjadi. Beban pembayaran yang bersifat tunai juga menjadi permasalahan tersendiri bagi masyarakat nelayan, yang umumnya tidak memiliki uang tunai dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, pendapatan rumah tangga dalam masyarakat nelayan terutama dipengaruhi oleh besaran dan struktur pengeluaran konsumsi. Konsumsi dalam hal ini memiliki pengertian yang luas tidak hanya makanan dan minuman yaitu barang dan jasa akhir yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia Sugiarto, 2008. Barang dan jasa akhir adalah barang dan jasa yang sudah siap dikonsumsi oleh konsumen Nopirin, 1997. Barang konsumsi ini terdiri dari barang konsumsi sekali habis dan barang konsumsi yang dapat dipergunakan lebih dari satu kali. Namun demikian, Badan Pusat Statistik 2006 mengemukakan bahwa pengeluaran rumah tangga dapat dibedakan atas pengeluaran konsumsi makanan dan pengeluaran konsumsi non makanan. Struktur pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kemiskinan rumah tangga. Dalam hal ini rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi lebih dari 50 tergolong rumah tangga miskin dibanding yang lainnya. Meskipun demikian, setiap rumah tangga memiliki pola tertentu dalam pengeluaran atau membelanjakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagai contoh, pengeluaran konsumsi tidak hanya ditentukan oleh tingkat pendapatan, tetapi banyak lagi faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi yaitu jumlah anggota keluarga, tingkat usia mereka dan faktor-faktor lainnya seperti harga-harga barang konsumsi Sicat, 1991. Perubahan karakteristik keluarga mempunyai dampak sangat penting pada perubahan pola kebutuhan atau konsumsi keluarga misalnya makanan, perlengkapan alat-alat rumah tangga, pelayanan kesehatan, perumahan dan pendidikan Akmal, 2003. Faktor-faktor yang ikut menentukan pola konsumsi keluarga antara lain tingkat pendapatan keluarga, ukuran keluarga, pendidikan kepala keluarga dan status kerja wanita. Untuk mendukung pernyataan tersebut, telah banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendapatan dan pola konsumsi keluarga. Teori Engel‟s yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan Sumarwan, 1993. Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih miskin bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih besar dari persentase pengeluaran untuk bukan makanan.

2.6 Teori Pengelolaan Kolaboratif Sumber daya Alam