yang didapatkan dari pemerintah.Hal ini antara lain diindikasikan dengan adanya orientasi masyarakat nelayan hanya terhadap kepentingan pribadinya yaitu
berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kelestarian sumber daya dan lingkungannya. Dalam hal ini, nelayan beranggapan bahwa
pengemin juga tidak memikirkan masyarakat nelayan dalam menetapkan sewa perairan sebagai lisensi usaha penangkapan ikan bagi nelayan, yang
berkepentingan sebagai sumber mata pencaharian. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi sosial yang
terbentuk pada semua relasi antar aktor bersifat individualism dan lebih mengarah kepada aspek ekonomi, yang berorientasi jangka pendek serta belum
mengindahkan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan pelestarian lingkungan dan pemanfaatan sumber daya yang berkeadilan. Oleh karena itu,
optimasi peran kelembagaan sebagai konsekuensi dari relasi antar aktor tersebut memberikan makna bahwa seluruh relasi antar aktor harus berorientasi ke depan
dalam bentuk kerja sama, yang bermuara kepada keberlanjutan pemanfaatan sumber daya dan pelestarian lingkungan perairan umum.
8.2 Kelembagaan Adaptif Pengelolaan Sumber daya Perikanan
Pada sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung di Kabupaten OKI, Sumatera Selatan, degradasi sumber daya perikanan perairan umum lebak
lebung dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan dapat merupakan akibat interaksi proses pengaturan terkait pengelolaan sumber daya perikanan
PULL yang merupakan intervensi pemerintah dan tindakan nelayan dalam keseharian melaksanakan penangkapan ikan. Kemudian sejalan dengan itu, titik
tolak perbaikan teknologi atau ketersediaan peraturan saja tidak cukup untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi dalam rangka pengelolaan sumber daya
perikanan di perairan umum lebak lebung. Perbaikan teknologi harus diimbangi dengan penyempurnaan komponen penggerak pembangunan lainnya termasuk
sumber daya manusia SDM dan kelembagaan. Perubahan kelembagaan berarti melaksanakan rekayasa sosial. Rekayasa
sosial atau perubahan kelembagaan adalah terjemahan dari “social engineering” dimana secara eksplisit menekankan penerapan ilmu pengetahuan untuk
menghasilkan sesuatu, misalnya memecahkan suatu permasalahan yang dihadapi manusia petaninelayan Pakpahan, 1989. Sudah saatnya rekayasa sosial
kelembagaan dalam rangka pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum dilakukan dan dirasakan semakin dibutuhkan serta memegang peranan yang
cukup penting karena sumber daya alam yang “milik bersama” cenderung akan
punah jika tidak dikelola dengan baik. Pengaturan alokasi hak penangkapan di perairan umum lebak lebung
Sumsel yang ada saat ini lebih bersifat “top down approach” sehingga
masyarakat nelayan harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh panitia pengawas dan pelaksana lelang. Dalam hal ini masyarakat lebih merasa sebagai
objek yang bertujuan meningkatkan pendapatan asli daerah. Hal ini juga tergambar dari susunan panitia pengawas dan panitia pelaksana pelelangan yang
sama sekali tidak melibatkan unsur kelompok nelayan. Akibat lebih lanjut adalah kecilnya rasa memiliki sense of belonging bagi nelayan terhadap sumber daya
dan lingkungan hidup perikanan yang ada. Dengan demikian, pada gilirannya upaya yang bertujuan kepada kelestarian sumber daya dan lingkungan hidup
perikanan tidak akan tercapai. Salah satu aspek sosial budaya yang dapat diperkirakan akan kuat
mempengaruhi struktur dan perilaku organisasi formal adalah struktur masyarakat sendiri, dan nilai-nilai serta sikap yang cenderung ditimbulkan oleh struktur itu
Paramita, 1985 seperti yang terjadi pada alokasi sumber daya perikanan di perairan umum lebak lebung ini. Oleh karena itu, salah satu usaha yang
memungkinkan untuk dapat merubah rasa memiliki nelayan terhadap sumber daya dan lingkungan hidup perikanan tersebut adalah dengan merekayasa kelembagaan.
Antara lain dengan cara mengikutsertakan perwakilan dari kelompok nelayan dalam rangka pengelolaan alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL. Artinya pengambil keputusan dalam pengalokasian hak penangkapan ikan dan penggunaan sumber daya perikanan tersebut perlu
memperhatikan arus bawah bottom up approach, meskipun menurut Henry and Heinke 1989 pengawasan-pengawasan legislatif dan pengaruh-pengaruh politik
para pengambil keputusan birokrat tidak dapat dihilangkan sama sekali.
Efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” dan diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan 8 delapan unsur penyusun
kelembagaan menurut Ostrom 1999; 2008; dan dikelompokkan berdasarkan dua periode pemerintahan yang diberlakukan dalam wilayah Sumatera Selatan,
termasuk di Kabupaten OKI. Masa pemerintahan yang pertama adalah masa pemerintahan Marga yaitu masa pemerintahan sebelum dibentuknya desa-desa di
Sumatera Selatan dengan adanya pemberlakuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yaitu sejak adanya pemerintahan Marga sekitar
tahun 1830 hingga tahun 1982. Kemudian, masa pemerintahan kabupaten, yaitu masa pengelolaan sumber daya perikanan lelang lebak lebung tersebut diserahkan
oleh pemerintahan propinsi kepada pemerintah kabupaten sejak tahun 1983 hingga tahun 2008.
K elembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung”
pada masa pemerintahan Marga masih berada pada kondisi yang efektif jika dibandingkan dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang
lebak lebung” pada masa pemerintahan kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa
kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada
masa pemerintahan Marga berfungsi sebagai wadah pengaturan terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Meskipun demikian,
pada tahun penangkapan ikan 2009 dan 2010 kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan pada PULL dibagi dua kategori yaitu ada yang dilelang dan ada
perairan yang tidak dilelang. Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari segi isi, ternyata peraturan desa yang dirancang di salah satu desa yang
memiliki areal PULL sama efektifnya dengan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” yang berlaku pada periode pemerintahan
Marga. Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis yang dikemukakan pada
keberlanjutan kelembagaan menggunakan pendekatan 8 delapan prinsip keberlanjutan kelembagaan diketahui bahwa “lelang lebak lebung” yang ada saat
ini tidak efektif dalam kaitannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Tidak efektifnya kelembagaan “lelang lebak lebung”
diikuti dengan semakin sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber
daya perikanan PULL jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Marga. Hal ini berdampak terhadap perolehan keuntungan bagi masyarakat nelayan pada
masa pemerintahan kabupaten menjadi semakin kecil dan sulit untuk didapatkan, dan akses yang didapatkan masyarakat nelayan adalah “illegal”.
Dengan teori akses ini dapat diketahui bahwa ada kekuasaan-kekuasaan yang tidak formal berpengaruh terhadap proses pelelangan hak usaha
penangkapan ikan. Untuk itu, pedagang yang ingin memenangkan pelelangan harus memberikan semacam “uang tutup mulut” kepada para calon pengemin
lainnya yang ikut dalam pelelangan. Uang yang diberikan kepada calon pengemin ini berkisar Rp.2.000.000.- hingga Rp.20.000.000.- dengan total nilai untuk lelang
perairan di Desa Berkat ini mencapai sekitar Rp.80.000.000.- hingga Rp.100.000.000.- pada usaha penangkapan ikan tahun 2008.
Terlihat bahwa pemilik modal mengeluarkan biaya tambahan yang cukup besar untuk mendapatkan hak usaha penangkapan. Tetapi proses pelelangan yang
biasanya meningkatkan harga objek lelang tidak terjadi, karena penawar lelang hanya satu orang. Pada saat ini terjadi privatisasi hak usaha penangkapan ikan,
yang dengan segala daya upaya pengemin berusaha mengembalikan modalnya. Untuk itu, dipastikan terjadi pengurasan sumber daya perikanan PULL pada
perairan yang di lelang tersebut. Pengemin berusaha mengembalikan modalnya dengan upaya menjalankan penangkapan ikan dengan berbagai cara dan alat
tangkap. Pada saat ini nelayan kecil hanya dapat menyewa kepada pengemin dengan membayar hak usaha penangkapan kepada pengemin, dengan harga yang
tinggi mencapai jutaan rupiah untuk jenis alat tangkap tertentu dan wilayah penangkapan tertentu.
Lebih jauh terlihat pula bahwa tidak efektifnya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” terbukti pula memiliki dampak
adanya degradasi kondisi sumber daya perikanan dan habitatnya, yang pada akhirnya berdampak pula terhadap terjadinya kemiskinan pada masyarakat
nelayan. Dampak tersebut sebagai akibat semakin mahalnya nilai objek lelang dan pembayarannya harus dilakukan secara tunai. Dengan tingginya harga perairan
yang harus dibayar oleh masyarakat, maka biaya sewa untuk mendapatkan lisensi
hak usaha penangkapan ikan di perairan umum lebak lebung sampai pada tingkat masyarakat nelayan akan semakin mahal.
Dengan semakin mahalnya sewa perairan, maka nelayan akan berusaha menangkap ikan dengan segala daya upaya, menggunakan semua teknik
penangkapan ikan yang mereka kuasai untuk memperoleh hasil sebesar-besarnya. Namun demikian, kemiskinan masyarakat nelayan terlihat dengan besarnya
pangsa pengeluaran konsumsi pangan yang mereka keluarkan dibandingkan dengan konsumsi non pangan, yang memperlihatkan bahwa rata-rata pangsa
pangan masyarakat nelayan adalah sebesar 62,3 . Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di wilayah ini masih termasuk kategori miskin. Penghasilan
nelayan hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari menyebabkan masyarakat nelayan tidak dapat menyisihkan penghasilan untuk tabungan dan
anggaran untuk kegiatan rekreasi bersama tidak dapat dilakukan dalam waktu 1 kali dalam 6 bulan. Di lain pihak, pengemin atau pemenang lelang merupakan
orang yang paling banyak mendapatkan manfaat dari sumber daya perikanan PULL yang dikuasainya. Hal ini terlihat dari pendapatan mereka yang mencapai
Rp.215.325.000.- pada tahun 2008. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kelembagaan pengelolaan
sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” tidak efektif dalam mengatur
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan, sehingga mengakibatkan sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL,
terjadinya degradasi kondisi sumber daya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Meskipun demikian, diketahui bahwa kelembagaan
pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” pada masa pemerintahan Marga terlihat efektif kaitannya dalam mengatur pemanfaatan dan
pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Oleh karena itu, alternatif kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang efektif dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumber daya perikanan PULL adalah kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang isinya mempedomani Peraturan
Desa Perdes memenuhi kriteria efektif dalam mengalokasikan hak usaha penangkapan ikan kepada masyarakat sesuai dengan 8 delapan kriteria
keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom 1990; 2008 dan
selanjutnya telah pula memenuhi kriteria teori akses yang dikemukakan oleh Ribot dan Peluso 2003.
Adapun bentuk kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan termasuk dalam mengalokasi dan mengatur pengelolaan yang diusulkan adalah
berupa kelembagaan komunitas nelayan Kelompok Nelayan yang tujuan utamanya mengurangi intervensi pemerintah atau yang berazaskan kepada
masyarakat community based management. Upaya ini sebenarnya untuk skala lokal telah dipraktekkan di beberapa tempat di Indonesia, misalnya pengelolaan
Sumber daya perikanan sistem SASI di Maluku dalam; Bailey et al, 1993. Kemudian berdasarkan atas hukum positif yang berlaku saat ini di Indonesia,
penerapan pengelolaan bersama dalam bidang perikanan berupa pengelolaan sumber daya perikanan memiliki dasar hukum Nikijuluw, 1998.
Pengambilan keputusan pada Kelompok Nelayan dilakukan dengan cara “musyawarah dan mufakat” dalam rangka penyusunan konsepsi pengelolaan
termasuk pencadangan areal perlindungan perikanan dan pengalokasian hak penangkapan ikan pada sumber daya perikanan. Dalam hal ini, nelayan juga
berfungsi sebagai subjek dalam pembangunan dengan adanya wakil dari kelompok nelayan. Pemimpin informal yang tergabung dalam Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat LPM dan atau Badan Perwakilan Desa BPD turut merupakan wakil masyarakat secara menyeluruh yang merupakan fasilitator
dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di wilayah pedesaan. Dengan demikian, pelaksanaannya di lapangan cukup diorganisasi oleh kelompok
nelayan yang ada, namun difasilitasi oleh Kepala Desa, BPD dan Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas Pokmaswas setempat. Hal ini dilakukan untuk
satu desa yang mempunyai wilayah sumber daya perikanan. Di sisi lain, berdasarkan hasil analisis terhadap data empiris yang ditemui
dilapangan, maka dapat dikemukakan bahwa penggunaan teori Ostrom 1990 tentang prinsip keberlanjutan kelembagaan untuk menganalisis efektifitas
kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan ”lelang lebak lebung” tidak cukup mampu menjelaskan fakta yang ada di lapangan. Dalam hal ini, harus
ditambah dengan penggunaan teori akses dari Ribbot dan Peluso 2003 terkait dengan adanya kekuasaan yang dalam hal ini mengatur alokasi sumber daya
perikanan PULL tersebut terhadap masyarakat. Dengan perpaduan dua teori tersebut untuk membedah kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan
”lelang lebak lebung” akan tertangkap bagaimana hubungan kekuasaan yang dimainkan oleh pedagang dalam pelaksanaan ”lelang lebak lebung”.
Lebih lanjut, dapat dijelaskan pula pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dilakukan oleh Pemerintah Desa bersama masyarakat, maka
partisipasi masyarakat nelayan merupakan unsur penting dalam kerangka evaluasi efektifitas kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Sedangkan
untuk pengelolaan sumber daya yang meliputi dua desa atau lebih maka koordinasi antar menjadi penting pula. Dengan demikian efektifitas kelembagaan
pengelolaan sumber daya perikanan PULL dapat dilakukan menggunakan 8 delapan prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom
1990; 2008 dan teori akses Ribot dan Peluso 2003 ditambah dengan dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama ko-
manajemen yaitu partisipasi dan koordinasi. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan pengaturan terkait pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan yang diamanatkan dalam Peraturan Desa tersebut memerlukan pengorganisasian dan kejelasan fungsi dan peran para pemangku kepentingan
aktor yang terkait. Pengorganisasian yang dimaksud diusulkan sebagaimana dikemukakan pada Gambar 3.
Masyarakat Nelayan Sebagai Penangkap Ikan Kelompok Nelayan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. OKI mewakili BUPATI berfungsi sebagai
Pembina Tingkat Kabupaten
Kades BPD Ketua Pokmaswas berfungsi sbg Koordinator Lapangan
Fasilitator Tingkat Desa
Operasional Pokmaswas Untuk Pemanfaatan, Pengelolaan dan
Konservasi Sumberdaya Perikanan
Gambar 3. Struktur Pengorganisasian Pengelolaan Sumber daya Perikanan Perairan Umum Lebak Lebung.
Pada Gambar 3 terlihat bahwa sudah saatnya perairan umum lebak lebung yang berada pada lokasi di sekitar pemukiman, sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam Perda Kab. OKI 9 Tahun 2008 tidak dilelangkan agar tetap dipertahankan tidak dilelangkan. Begitu juga untuk perairan umum lebak lebung yang jauh dari
pemukiman penduduk yang biasanya dilelangkan sebagai sarana pengumpulan pembiayaan pembangunan, seyogyanya tidak dilelangkan semuanya, terutama
kaitannya dengan upaya peningkatan kehidupan masyarakat nelayan PKN yang dicanangkan oleh pemerintah Program Kluster IV. Bahkan jika dilihat nilai
pendapatan asli daerah yang berasal dari sumber daya perikanan tidak lebih besar dari 5 milyar merupakan jumlah yang kecil bagi APBD Kabupaten OKI, sehingga
jika tidak adapun dapat diusahakan dari sumber yang lain. Hal ini terlihat juga di wilayah lainnya di Kabupaten OKI yang tidak melelangkan seluruh perairan
lebaknya. Pada tingkat kabupaten, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten OKI
sesuai dengan tugas pokoknya adalah sebagai pembina dalam pembuatan dan berfungsinya peraturan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL di kawasan pedesaan tersebut. Fungsi pembinaan ini juga jika terdapat suatu ekosistem perairan umum lebak lebung pada dua desa atau lebih di
dalam satu kecamatan atau dua kecamatan, sehingga memerlukan koordinasi antara dua atau tiga desa di dalam satu kecamatan atau dua kecamatan yang
berkaitan dalam satu kerangka pengelolaan sumber daya perikanan PULL secara terpadu.
Pada tingkat pedesaan diusulkan tim fasilitasi tingkat desa yang tersusun atas Kepala Desa, Badan Perwakilan Desa BPD, Ketua Kelompok Masyarakat
Pengawas Pokmaswas yang fungsinya sebagai penghubung masyarakat desa Kelompok Nelayan terhadap pemerintahan atas desa jika diperlukan. Tim ini
juga berfungsi sebagai perwakilan masyarakat desa jika terdapat hal-hal yang perlu dikoordinasikan antar desa atau pada tingkat kecamatan terkait dengan
pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Sebagai ujung tombak perwakilan masyarakat nelayan pada tingkat
pedesaan adalah Ketua Kelompok Masyarakat Pengawas yang merupakan seorang yang memiliki kemampuan untuk memimpin masyarakat nelayan dan dipilih
secara langsung oleh masyarakat nelayan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa orang yang menjadi ketua POKMASWAS memang benar-benar
“legitimate” sebagaimana yang terjadi pada masa pemerintahan Marga. Pada masyarakat
nelayan diharapkan adanya partisipasi masyarakat terkait dengan berlangsungnya pengaturan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan pengaturan
demikian diharapkan rasa memiliki masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL akan muncul dan diterapkan dalam kondisi yang kondusif. Hal
ini dibarengi dengan saling mengawasi diantara masyarakat nelayan atas pelanggaran peraturan yang telah ditetapkan dapat membantu ditegakkannya
sanksi terhadap pelanggar aturan. Oleh karena itu, peranan kelompok masyarakat pengawas menjadi penting dalam pengelolaan sumber daya perikanan PULL ini.
Jiwa kewirausahaan sosial social entrepreneurship tim yang tergabung dalam kelompok masyarakat pengawas akan sangat menentukan berhasil tidaknya
pengelolaan sumber daya perikanan PULL di kawasan tersebut. Hal ini sangat memungkinkan untuk berhasil dengan catatan bahwa seluruh masyarakat
pedesaan merasakan bahwa sumber daya perikanan PULL yang ada di desa mereka merupakan milik mereka bersama. Keberhasilan tim POKMASWAS ini
telah terjadi di beberapa perairan umum waduk di Jawa, antara lain di perairan umum waduk Malahayu yang terdapat di wilayah Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah Nasution dan Purnomo, 2010. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa kelembagaan adaptif untuk
pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum lebak lebung tidak cukup hanya memenuhi prinsip keberlanjutan kelembagaan Ostrom dan teori akses
menurut Ribot dan Peluso, tetapi harus pula diterapkan menggunakan pendekatan ko-manejemen yang terpadu antara pemerintah desa dan masyarakat nelayan.
Untuk itu, dua unsur yang digali dari kelembagaan lokal dan prinsip pengelolaan bersama ko-manajemen yaitu partisipasi dan koordinasi merupakan syarat
adaptifnya suatu kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL. Dengan demikian, kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang
diusulkan Kelompok Nelayan dan Kelompok Masyarakat Pengawas dapat dikatakan merupakan suatu ”kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan
PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi pemerintah desa, dapat
diakses dengan mudah dan murah oleh nelayan, serta dapat mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan merupakan kelembagaan adaptif dalam
mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL ”.
Lebih lanjut dengan adanya kelembagaan tersebut dapat dijelaskan bahwa aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL
dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi dari pemerintah desa yang pro rakyat. Dalam hal ini isi yang terkandung dalam Perdes dapat menjadi pedoman untuk
mengembangkan aturan main tersebut. Dengan dasar masyarakat yang membentuk aturan main dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya
perikanan PULL,
maka dalam
musyawarah dan
mufakatnya harus
mengikutsertakan seluruh unsur yang dalam masyarakat. Termasuk didalamnya perlu diikutsertakan para ahli perikanan atau pembina perikanan terkait dengan
pembuatan dan atau perumusan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang terdapat pada lokasi pedesaan yang bersangkutan. Akses dikatakan mudah
diatur dengan hanya mendaftarkan diri kepada Kelompok Masyarakat Pengawas dengan membayar uang administrasi sekedarnya tidak lebih dari Rp.100.000.-
per tahun per nelayan. Begitu upaya kelestarian sumber daya diupayakan dan dijaga oleh Pokmaswas dan dibantu oleh masyarakat nelayan secara bersama.
8.3 Ikhtisar