Hipotesa Ikhtisar TINJAUAN TEORITIS DAN HIPOTESA

harga sewa perairan. Disamping itu, karena objek lelang perairan sebagian besar dibeli oleh bukan nelayan secara langsung maka terjadi sistem penjualan areal penangkapan ikan secara terpisah-pisah oleh pemenang lelang.

2.8 Hipotesa

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan serta berdasarkan tinjauan teoritis yang telah dikemukakan, maka diduga kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan “lelang lebak lebung” tidak efektif dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan, sehingga mengakibatkan sempitnya akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL, terjadinya degradasi kondisi sumber daya perikanan PULL dan kemiskinan masyarakat nelayan PULL. Oleh karena itu, hipotesa yang diajukan adalah; “Kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dibangun oleh masyarakat dengan fasilitasi Pemerintah Desa yang pro rakyat, dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah serta mampu mempertahankan kelestarian sumber daya perikanan PULL merupakan kelembagaan yang adaptif dalam mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL”.

2.9 Ikhtisar

Perubahan kelembagaan merupakan suatu proses yang dapat berlangsung secara terus menerus dan dikenal dengan istilah never ending process. Namun demikian, suatu hal yang perlu dibedakan terkait dengan perubahan kelembagaan adalah, jika kelembagaan adalah aturan permainan, maka lembaga atau organisasi adalah pemainnya. Pada penelitian ini, kelembagaan dalam arti organisasi dan aturan main diperlukan dalam pengelolaan sumber daya perikanan PULL sebagai sumber daya yang tergolong sumber daya milik bersama common property resources. Terkait dengan hal ini, dalam batas-batas wilayah sumber daya yang jelas dan dalam suatu wilayah yang terbatas, biasanya kelembagaan lokal akan lebih efektif untuk berfungsi sebagai kelembagaan pengelola sumber daya. Namun demikian, 8 delapan prinsip keberlanjutan kelembagaan yang dikemukakan oleh Ostrom dapat digunakan untuk melihat apakah kelembagaan pengelolaan sumber daya tersebut dapat berlangsung secara berkelanjutan. Disamping menganalisis keberlanjutan kelembagaan, juga penting dianalisis bagaimana akses masyarakat nelayan terhadap sumber daya perikanan PULL tersebut. Dalam hal ini, keberlanjutan kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL tidak ada artinya jika masyarakat nelayan yang akan memanfaatkan sumber daya perikanan tersebut tidak dapat mengakses hak penguasahaan sumber daya PULL tersebut. Dengan demikian diharapkan sumber daya perikanan dapat dikelola secara berkelanjutan dalam menyediakan sumber penghidupan bagi masyarakat nelayan setempat. Oleh karena itu, proses analisis akses yang meliputi identifikasi dan pemetaan alur keuntungan dari kepentingan masing-masing aktor juga menjadi penting. Kemudian mencakup pula identifikasi mekanisme masing-masing aktor yang meliputi perolehan, pengendalian, dan pemeliharaan alur dan distribusi keuntungan; dan analisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan institusi-institusi dimana keuntungan diperoleh. Di lain pihak, pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan harus serasi dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumber daya perikanan, yang setidaknya mencakup 4 empat dimensi, yaitu: 1 ekonomi, 2 sosial, 3 ekologi, dan 4 pengaturan governance. Dalam hal ini pembangunan perikanan berkelanjutan dapat diartikan sebagai suatu proses yang disengaja untuk mengarahkan sub-sektor perikanan agar lebih maju jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya dengan mempertimbangkan daya pulihnya. Di dalamnya juga terkandung makna berdasarkan pada terpadunya konsep equity” lingkungan dan ekonomi dan sosial budaya dalam pengambilan keputusan; guna memenuhi kebutuhan generasi sekarang, tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Ketidaksetaraan, dapat dilihat dari 3 tiga sudut pandang, yakni ekonomi ketidaksetaraan dalam hal kelas, sosial ketidaksetaraan status dan politik ketidaksetaraan kekuasan. Ketidaksetaraan kelas berkaitan dengan aspek ekonomi yakni kepemilikan atas peralatan produksi dan dalam konteks yang lebih luas menyangkut kepemilikan barang yang dianggap berharga kekayaan. Ketidaksetaraan dalam status berkaitan dengan atribut dan gaya hidup yang meliputi prestise tinggi dan rendah. Dalam hal ini bukan yang berkaitan dengan aspek ekonomi, misalnya menyangkut pendidikan, gaya berpakaian dan lainnya. Ketidaksetaraan dalam aspek kekuasaan biasanya berhubungan dengan status dan kelas dalam masyarakat. Dalam konteks ini ada sekelompok orang yang menguasai dan sebagian besar lainnya berada dalam kekuasaan pihak pertama tersebut. Dalam hal ini, pendapatan usaha penangkapan pada masyarakat nelayan, tidak terlepas dari berfungsinya kelembagaan pengelolaan sumber daya perikanan PULL yang dikenal dengan istilah ”lelang lebak lebung”. Di sisi lain, pendapatan rumah tangga pada masyarakat nelayan PULL utamanya dipengaruhi oleh besaran dan struktur pengeluaran konsumsi. Struktur pengeluaran konsumsi tersebut mencakup pengeluaran konsumsi pangan dan pengeluaran konsumsi non pangan. Struktur pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator tingkat kemiskinan rumah tangga. Dalam hal ini, rumah tangga dengan pangsa pengeluaran pangan tinggi lebih dari 50 tergolong rumah tangga miskin dibanding yang lainnya. Untuk itu, diharapkan alternatif kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya perikanan PULL, juga dapat menjaga kelestarian sumber daya perikanan PULL, disamping dapat diakses masyarakat nelayan dengan mudah dan murah.

III. METODOLOGI PENELITIAN