Teori Pengelolaan Kolaboratif Sumber daya Alam

semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan Sumarwan, 1993. Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih miskin bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih besar dari persentase pengeluaran untuk bukan makanan.

2.6 Teori Pengelolaan Kolaboratif Sumber daya Alam

Sistem pengelolaan sumber daya perikanan dapat dibedakan menjadi 2 dua tipe yang ekstrim, yaitu: 1 Pengelolaan sumber daya ikan oleh pemerintah atau dikenal dengan istilah pengelolaan sentralistis Government Centralized Management = GCM. Pengelolaan sentralistis adalah rezim pengelolaan sumber daya alam dengan pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan dan wewenang dalam memanfaatkan sumber daya alam, sehingga pemerintah mempunyai hak akses, hak memanfaatkan, hak mengatur, hak eksklusif dan hak mengalihkan sumber daya alam. Kebijakan ini bersifat top-down, yang menempatkan masyarakat nelayan sebagai obyek sasaran kebijakan. 2 Pengelolaan sumber daya ikan berbasis masyarakat Community Based Management = CBM dalam Arsyad, 2007. Model pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat adat terdapat di beberapa daerah di Indonesia dengan aturan- aturan lokalnya atau tradisi adat-istiadat masyarakat yang diwarisi secara turun temurun. Pengaturan ini telah dipandang efektif sebagai pengendalian pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, dan menjaga pelestarian sumber daya dari aktivitas yang merusak. Arsyad 2007 mengemukakan bahwa aturan-aturan lokal dalam sistem pengelolaan perikanan artisanal diantaranya adalah Sasi di Maluku, Panglima Laot di Nanggroe Aceh Darussalam. Sistem pengelolaan sumber daya berbasis masyarakat merupakan suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya ikannya sendiri dengan memperhatikan kebutuhan, keinginan, tujuan dan aspirasinya Nikijuluw, 2002. Dengan model community base management CBM ini, masyarakat akan bertanggung jawab dalam menjalankan kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan, karena masyarakat ikut terlibat dalam membuat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi pengelolaan sumber daya perikanan. Partisipasi masyarakat merupakan wujud kepentingannya terhadap kelangsungan sumber daya perikanan sebagai mata pencaharian hidup sehari-hari Satria et al., 2002. Model CBM lebih efektif dan efisien karena proses pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat lokal, sehingga dapat mengakomodir setiap aspirasi masyarakat serta pembuat kebijakan lebih memahami kondisi daerahnya Satria et al., 2002. Selain itu, kelestarian sumber daya ikan dapat terjaga dengan adanya proses pengawasan oleh masyarakat yang dilakukan setiap saat. Namun demikian, model CBM ini memiliki beberapa kelemahan, antara lain adalah tidak mampu mengatasi masalah-masalah inter-komunitas, sehingga hanya berlaku pada daerah tertentu atau bersifat spesifik lokal, dan rentan terhadap perubahan- perubahan eksternal. Kedua bentuk model atau rezim pengelolaan perikanan tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain itu, kedua rezim masih sangat sulit mengatasi masalah-masalah yang dihadapi dalam perkembangan pengelolaan sumber daya perikanan Arsyad, 2007. Pengintegrasian kedua rezim ini dikenal dengan nama manajemen kolaborasi, kooperasi manajemen, atau ko-manajemen co-management. Ko-manajemen perikanan merupakan rezim derivatif yang berasal dari rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan Berbasis Masyarakat CBM dan rezim Pengelolaan Sumber daya Perikanan oleh Pemerintah. Ko-manajemen perikanan dapat diartikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumber daya perikanan. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa dalam ko-manajemen terjadi pembagian tanggung-jawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam Pomeroy and Williams, 1994. Tujuan utarna ko-manajemen adalah pengelolaan perikanan yang lebih tepat, lebih efisien, serta lebih adil dan merata Nikijuluw, 2002. Namun demikian, prinsip kelembagaan dalam ko-manajemen yang menyatakan bahwa setiap aturan permainan dapat saja diubah asalkan telah merupakan suatu kesepakatan bagi pengguna dan pembuat aturan itu sendiri Pomeroy, 1991. Oleh karena itu, ada 3 tiga hal yang sangat menentukan variasi bentuk ko-manajemen serta hierarkhinya, yaitu: 1. Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. 2. Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan diantara kedua pihak, 3. Tahap proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan akan diwujudkan perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi. Nikijuluw 2002 memaparkan beberapa contoh ko-manajemen perikanan artisanal yang diambil dari kasus-kasus yang terjadi di negara yang mempunyai budaya dan ekosistem yang berbeda. Dikemukakan lebih lanjut bahwa contoh ko- manajemen perikanan artisanal ada 5 lima tipe, yaitu ko-manajemen instruktif, ko-manajemen konsultatif, ko-manajemen kooperatif, ko-manajemen pendampingan, dan ko-manajemen informatif. Pada ko-manajemen instruktif, pertukaran informasi terjadi timbal balik masih sangat kurang antara pemerintah dan masyarakat pesisir, karena peran pemerintah sangat mendominasi setiap informasi. Namun hal ini berbeda dengan model sentralistis yang sama sekali tidak ada dialog antara pemerintah dengan masyarakat nelayan. Artinya, dalam bentuk ini pemerintah yang membuat rencana kebijakan dan menginformasikannya kepada masyarakat nelayan untuk dilaksanakan. Pada ko-manajemen konsultatif, menempatkan masyarakat nelayan hampir sama dengan pemerintah, dimana terjadinya proses konsultasi pemerintah ke masyarakat. Namun keputusan mengenai kebijakan yang akan ditetapkan sepenuhnya ada di tangan pemerintah, artinya masyarakat hanya sebatas memberikan masukan saja. Sementara pada ko-manajemen kooperatif menempatkan masyarakat nelayan dan pemerintah pada tingkat yang sama atau sederajat. Dengan demikian, pada semua tahapan pembuatan dari perencanaan hingga pengambilan keputusan kedua belah pihak mempunyai kekuatan yang sama. Artinya, pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang mempunyai kedudukan yang sama. Pada ko-manajemen pendampingan atau advokasi, peran masyarakat lebih besar daripada pemerintah, masyarakat memberikan masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, dalam bentuk ini masyarakat dapat mengajukan rancangan yang akan dilegalisasi atau disahkan oleh pemerintah. Artinya, peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan advokasi tentang sesuatu yang sedang dikerjakan. Kemudian, pada ko-manajemen informatif merupakan manajemen dimana peran masyarakat lebih besar dari pemerintah dibanding keempat bentuk sebelumnya. Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa seharusnya dikerjakan masyarakat. Artinya, setiap pembuatan kebijakan, mulai dari perumusan hingga pengambilan keputusan dilakukan oleh masyarakat.

2.7 Hasil Penelitian Terdahulu