Analisis CA Identifikasi titik kritis traceability menggunakan metode pendekatan Failure Modes Effects and Criticality Analysis (FMECA) pada industri pengolahan udang breaded di PT Y

4.4.27 Stuffing dan distribusi

Tahap akhir proses produksi adalah stuffing dan distribusi function ID 27 memiliki dua kemungkinan kegagalan. Kemungkinan kegagalan pertama function ID 27.10 adalah pengemasan produk yang kurang baik. Efek lokal yang diakibatkan dari kemungkinan kegagalan ini adalah kemasan tidak dapat melindungi produk dengan baik sehingga nantinya ini akan berpengaruh merugikan konsumen. Selain itu, kemungkinan kegagalan kedua function ID 27.20 adalah perekaman invoice. Invoice sangat diperlukan karena mencakup keseluruhan proses produksi yang dilakukan oeh perusahaan. Invoice ini biasanya juga membuktikkan bahwa perusahaan melakukan setiap tahapan proses dengan baik dan pelaksanaanya diawasi oleh QC pengolahan. Selain itu, perekaman invoice bermanfaat dalam mempermudah perusahaan saat penarikan produk.

4.5. Analisis CA

Setelah dilakukannya tahap pertama, maka dibuat kuesioner oleh peneliti dengan merangkum kemungkinan kegagalan-kegagalan yang dapat terjadi serta kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi di dalam perusahaan. Pengisian kuesioner dilakukan untuk tahapan selanjutnya yaitu analisis kritikal Critical Analysis CA dengan menggunakan dua pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik. Pakar akan menentukan tingkat kepelikan Severity S dan menentukan peluang terjadinya Probability P terhadap kemungkinan-kemungkinan kegagalan yang pernah dan mungkin dapat terjadi selama di perusahaan. Hasil kuesioner dengan menggunakan pakar dapat dilihat pada Lampiran 3. Pakar adalah orang yang ahli dalam masalah dan siapa saja yang setuju dalam menjawab kuesioner Marimin 2004. Pakar misalkan: dari pihak akademik, manajer produksi, keamanan produk dan manajer mutu, merupakan sejumlah orang yang pendapatnya dapat digunakan untuk mengaplikasikan metode FMECA. Pada saat penelitian digunakan dua pakar yaitu pakar dari pihak perusahaan dan pakar dari bidang akademik dosen. Pakar dari pihak perusahaan terdiri dari QC yang berhubungan langsung pada saat proses produksi yaitu staf- staf QC dan staf-staf produksi. Eriyatno dan Fadjar 2007, penentuan pakar dari pihak perusahaan berdasarkan pengalaman pribadi pakar yang bekerja di dalam perusahaan sehingga dianggap mampu memberikan saran yang benar dan membantu memecahkan masalah. Pakar juga dapat ditentukan menurut pengalaman dari staf yang berkaitan dengan traceability di perusahaan Braglia 2000. Evaluasi titik kritis dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu Criticality Number CN dan dengan mengembangkan Risk Priority Number RPN Bertollini et al. 2006. Evaluasi titik kritis yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan RPN. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan acuan RPN pada SAE J1739 yaitu Standard yang digunakan pada industri automobile dan juga biasa digunakan sebagai standard pada industri lainnya. Analisis FMEA dengan menggunakan metode RPN untuk memberi peringkat ranking dan menaksir resiko titik kegagalan yang potensial terjadi pada desain titik kritis traceability. RPN adalah metode yang dikembangkan dengan menganalisis tingkat kepelikan severity level, tingkat peluang terjadinya probabbility of occurence level dan tingkat ditemukannya detection of occurence level pada setiap kemungkinan kegagalan titik kritis traceability. Ketiga faktor tersebut akan dikalikan dan masing-masing faktor memiliki ranking yang berkisar antara 1 hingga 10 dimana pada akhirnya nilai RPN yang dihasilkan akan memiliki rentang dari 1 hingga 1000. Nilai RPN yang lebih tinggi diasumsikan memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai RPN yang lebih rendah Bowles 2004; Carmignani 2009; Kwai-Sang et al. 2009. Kegagalan yang mempunyai nilai RPN lebih tinggi diasumsikan lebih penting dan diberi prioritas lebih tinggi untuk segera diperbaiki Kwai-Sang et al. 2009. Penentuan peringkat pada masing-masing kemungkinan kegagalan traceability menggunakan acuan MIL-STD 1629A secara kualitatif. Data kualitatif tersebut kemudian diberikan ranking pada masing-masing level sehingga dapat dihitung secara kuantitatif dengan menggunakan acuan pada Ford 1988 dalam Bowles dan Pelaez 1995 yang dapat dilihat pada Tabel 8, 9 dan 10. Analisis dari kedua pakar digunakan untuk menentukan tingkat kepelikan dari masing-masing kemungkinan kegagalan traceabbility di perusahaan. Hasil kuisioner dari kedua pakar dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Hasil analisis dari kedua pakar tersebut akan dirata-ratakan untuk mendapatkan rata-rata tingkat kepelikan pada masing-masing kemungkinan kegagalan dan digunakan untuk mengetahui nilai RPN masing-masing kemungkinan kegagalan. Hasil analisis dari kedua pakar dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil dari analisis tersebut juga dapat dilihat pada Gambar 8 dimana dapat dilihat kisaran nilai RPN pada masing- masing titik kegagalan traceability. Tabel 8 Peluang terjadinya kegagalan probability of occurence Ranking Peluang terjadinya kegagalan Level Possible Failure Rates 10 Frequent: peluang terjadinya tinggi A  1 in 2 9 1 in 3 8 Reasonably common: peluang terjadinya moderat sedang B 1 in 8 7 1 in 20 6 Occasional: peluang terjadinya jarang C 1 in 80 5 1 in 400 4 1 in 2.000 3 Rare: sangat tak mungkin terjadi D 1 in 15.000 2 1 in 150.000 1 Extremely rare: peluang terjadinya kegagalan adalah nol. E 1 in 1.500.000 Tabel 9 Tingkat kepelikan Severity classification Ranking Efek kepelikan Level Arti 9,10 Sangat tinggi Catastrophic Tingkat kepelikan dimana menyebabkan kehilangan banyak informasi total lost 7,8 Tinggi Critical Tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan berat dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. 4,5,6 Sedang Marginal Tingkat kepelikan dimana menyebabkan ketidakefisienan ringan dan atau ketidakefektifan saat rekonstruksi informasi. 2,3 Rendah Minor Tingkat kepelikan dimana dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara langsung tanpa perlu dijadwalkan. 1 Sangat rendah Very Minor Tabel 10 Deteksi terjadinya kegagalan detection Ranking Detection Criteria: Likelyhood of Detection by Design Control 10 Benar-benar tidak tentu Design Control Traceability tidak akan danatau tidak dapat mendeteksi kegagala; atau tidak ada design Control 9 Sangat sedikit Sangat sedikit peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 8 Sedikit Sedikit sekali peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 7 Sangat rendah Sangat rendah peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 6 Rendah Rendah peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 5 Sedang Sedang peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 4 Agak tinggi Agak tinggi peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 3 Tinggi Tinggi peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 2 Sangat tinggi Sangat tinggi peluang Design Control Traceability dapat mendeteksi kegagalan titik kritis 1 Hampir pasti Design Control Traceability hampir pasti dapat mendeteksi kegagalan Sumber: Bowles dan Pelaez 1995 Gambar 8 Kisaran RPN pada masing-masing titik kegagalan traceability 100 200 300 400 500 600 700 RP N Failure ID Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan Area kritis Gambar 9 Hasil analisis CA pada matriks kritikal Level kemungkinan terjadinya kegagalan traceabilliy peningkatan level kemungkinan terjadinya kegagalan Area kritis Gambar 10 Hasil analisis CA: perbaikan struktural pada sistem tracaebility A B C D E I II 1.10-1.20 1.30 III 17.10 9.10 19.10-19.20 25.10-25.20 IV 16.10 20.10-20.20 23.10-23.20 26.10 27.10-27.20 2.10-2.20 3.10 4.10-4.20 5.10-6.10 7.10-8.10 9.20 10.10-14.10 15.10-16.10 18.10-19.20 21.10-22.10 22.20-24.10 Unacceptable Undesirable Acceptable with Revision Acceptable Without revision A B C D E I II III 9.10 17.10 IV 1.10-1.20 1.30-16.10 19.10-19.20 25.10-25.20 Unacceptable Undesirable Acceptable with Revision Acceptable Without revision Klasifik asi tin g k at k ep elik an p en in g k atan tin g k at k ep elik an p en in g k atan tin g k at k ep elik an Klasif ik asi tin g k at k ep elik an Tabel 11 Analisis FMECA dari kedua pakar Failur e ID Tahapan proses Kemungkinan Kegagalan Penyebab Failure S O D RPN Level in matrix 1 Pengangkutan bahan baku  Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang 1.10 8 D 3 1 24 Acceptable with revision  Tidak ada Nota pembelian Produk 1.20 8 D 3 1 24 Acceptable with revision  Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak tiba diperusahaan 1.30 8 D 3 1 24 Acceptable with revision 2 Penerimaan bahan baku  Tidak diberikannya label pada saat penerimaan 2.10 4.5 D 3 2 27 Acceptable without revision  Tidak dilakukannya pengujian bahan baku yaitu uji mikrobiologi dan uji antibiotik 2.20 4.5 D 3 1 13.5 Acceptable without revision 3 Pencucian 1 Tidak diberikannya label 3.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 4 Potong Kepala Tidak diberikannya label 4.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision Tidak ada penimbangan rendemen udang setelah potong kepala 4.20 3 D 3 3 27 Acceptable without revision 5 Pencucian II Tidak diberikannya label 5.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 6 Sortasi size Tidak diberikannya label 6.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 7 Sortasi final Tidak diberikannya label 7.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 8 Pencucian III Tidak diberikannya label 8.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 9 Kupas peeled  Tidak ada tagging grup karyawan masing- masing karyawan 9.10 6 A 10 10 600 Undesirable  Tidak diberikannya label 9.20 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 10 Pembuangan usus Tidak ada tagging grup karyawan masing- masing karyawan 10.10 4.5 D 3 10 135 Acceptable without revision 11 Pencucian III Tidak diberikannya label 11.10 4.5 D 3 10 135 Acceptable without revision 12 Gores perut Tidak ada tagging grup karyawan masing- masing karyawan 12.10 4.5 D 3 10 135 Acceptable without revision 13 Stretching Tidak ada tagging grup karyawan masing- masing karyawan 13.10 4.5 D 3 10 135 Acceptable without revision 14 Pencucian IV Tidak diberikannya label 14.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 15 Soaking Tidak diberikannya label 15.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 16 Pemberian pre- dust Tidak ada tagging grup karyawan masing- masing karyawan 16.10 4.5 A 10 10 450 Acceptable with revision 17 Pemberian batter dan bread crumb Tidak ada tagging grup karyawan masing- masing karyawan 17.10 4.5 A 10 10 450 Undesirable 18 Penyusunan tray Tidak diberikannya label 18.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 19 Penimbangan Tidak diberikannya label 19.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded 19.20 6 C 6 3 108 Acceptable with revision 20 Pemeriksaan akhir Pemeriksaan kadar mikrobiologi produk 20.1.0 4.5 D 3 1 13.5 Acceptable without revision Tidak diberikannya label 20.20 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 21 Pembekuan  Tidak diberikannya label 21.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision  Human error tidak didokumentasikan nomor rack yang masuk kedalam ruang ABF 21.20 3 D 3 5 45 Acceptable without revision 22 Pemeriksaan filth Tidak diberikannya label 22.10 4.5 D 3 3 40.5 Acceptable without revision 23 Pengemasan primer  Tidak diberikannya label 23.10 4.5 C 6 3 81 Acceptable without revision  Kelalaian karyawan yang berasal dari karyawan rambut, benang dari pakaian atau robekan sarung tangan 23.20 4.5 C 6 3 81 Acceptable without revision 24 Pendeteksian Logam Tidak diberikannya label 24.10 4.5 C 6 3 81 Acceptable without revision 25 Pengemasan sekunder  Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC 25.10 8 C 6 5 240 Acceptable with revision  Misslabelling 25.20 8 C 6 1 48 Acceptable with revision 26 Penyimpanan dalam cold storage Pencatatan serta manajemen terhadap master cartoon produk udang yang masuk dan keluar First In First Out 26.10 4.5 C 6 3 81 Acceptable without revision 27 Stuffing dan Distribusi Pengemasan produk kurang baik 27.10 3 C 6 1 18 Acceptable without revision Perekaman invoice 27.20 6.5 C 6 1 39 Acceptable without revision Setelah diketahui nilai RPN masing-masing titik, maka dilakukan analisis secara kualitatif dengan menggunakan matriks kritikal Criticality matrix terhadap tingkat kepelikan severity classification dan peluang terjadinya probability of occurence level oleh pakar. Masing-masing titik kegagalan akan dianalisis dengan menggunakan matriks analsis kritikal untuk menentukan area kritis masing-masing titik kegagalan. Area kritis yang paling parah dan paling dihindari adalah “unacceptable” Veer dan Olav 2003. Hasil analisis dengan menggunakan matriks kritikal dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil kuisioner yang didapatkan dari pakar akan dianalisis dengan menggunkaan matriks kritikal untuk melihat tingkat kepelikan masing-masing titik kritis. Tindakan selanjutnya yang akan dilakukan adalah mengajukan proposal kepada perusahaan mengenai perbaikan serta tindakan koreksi yang perlu dilakukan perusahaan. Proposal yang diajukan bertujuan mengurangi level area kritis dari masing-masing titik kritis tracability misalnya dari “undesirable” menjadi “acceptable with revision” Bertollini et al. 2006. Berdasarkan hasil pengisian kuesioner oleh pakar, maka didapatkan bahwa pada kode 2.10, 2.20, 3.10, 4.10, 4.20, 5.10, 6.10, 7.10, 8.10, 9.20, 10.10, 11.10, 12.10, 13.10, 14.10, 15.10, 23.10, 23.20, 24.10, 26.10, 27.10 dan 27.20 adalah acceptable without revision . Artinya pada tahapan tersebut sudah dilakukan penerapan traceability secara baik tanpa perlu adanya perbaikan pada tahapan tersebut. Pada kode 1.10, 1.20, 1.30, 19.10 adalah acceptable with revision artinya masih diperlukannya sedikit revisi pada tahapan tersebut. Pada ID 1.10 jika terjadi kegalan traceability tersebut maka efek lokal yang ditimbulkan adalah tidak diketahuinya nomor tambak yang dipanen. Revisi yang dapat dilakukan adalah dengan selalu memperhatikan sebelum udang dikirim ke perusahaan untuk memastikan bahwa pemasok mencatat tambak yang dipanen pada hari tersebut. Pada ID 1.20 juga diperlukannya revisi berupa lebih diperhatikan kembali menangani saat pencatatan Nota pembelian produk dan Nota timbang produk sehingga dokumentasi perusahaan dapat terjamin 100 keberhasilannya. Revisi yang perlu dilakukan pada ID 19.20 adalah perlunya penimbangan berat akhir udang sebelum dimasukkan kedalam kemasan. Akan tetapi, pada kenyataanya di perusahaan sudah melakukannya dengan baik. Pada beberapa ID lainnya yaitu 9.10, 17.10, 18.10, 19.10, 20.10, 20.20, 21.10, 22.10, serta 25.10 masih belum dapat diidentifikasi di perusahaan dikarenakan masih belum diterapkannya secara langsung pada tahapan tersebut. Penerapan dokumentasi secara menyeluruh pada setiap tahapan proses produksi memang masih belum dapat dilakukan, tetapi ketika terjadi penarikan produk maka perusahaan sudah dapat menelusuri kembali asal bahan baku udang. Tidak adanya keterangan atau kode pada ID 9.10, 16.10 dan 17.10 yang menjelaskan tentang pekerja nomor grup pekerja merupakan tahapan yang perlu direvisi kembali oleh perusahaan. Saran yang dapat diberikan pada perusahaan adalah perlunya dilakukan pelabelan yang mencakup nomor pekerja nomor grup pekerja yang melakukan tahapan tersebut.Tidak adanya pelabelan yang mencakup nomor pekerja nomor grup pekerja dapat mengakibatkan kemungkinan kegagalan pada proses traceback saat dilakukannya penarikan produk dan mengakibatkan efek lokal yaitu sulitnya melakukan pengecekan terhadap karyawan yang menyebabkan produk menjadi terkontaminasi serta efek global yang ditimbulkan adalah pada saat dilakukannya penarikan produk maka tidak dapat diketahui pekerja grup pekerja yang melakukan tahapan pengupasan dan pembuangan usus. Selain itu, jika terjadi kasus penarikan produk maka perusahaan akan menderita rugi besar dikarenakan pelacakan hanya dapat dilakukan dari sumber bahan baku sehingga keseluruhan bahan baku yang datang pada hari tersebut akan ditarik dan dimusnahkan. Sedangkan ID 18.10, 19.20, 20.20, 22.10 tidak dilakukan proses tagging secara langsung pada udang pada saat proses produksi menyebabkan saat dilakukan traceback secara langsung lewat label menjadi terputus. Akan tetapi, hal tersebut memang dapat ditelusuri lewat dokumen dan rekaman yang berkaitan dengan tahapan proses produksi tersebut. Maka saran yang diberikan untuk perusahaan adalah agar diberikannya juga label pada setiap tahapan proses produksi. Pada ID 25.10 terjadi kegagalan berupa penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC. Kegagalan tersebut dapat menyebabkan kegagalan berupa efek global berupa rekaman pencatatan menjadi tidak akurat serta efek global mengakibatkan terjadinya bias dan sulitnya melakukan pelacakan produk. Hal ini dilakukan oleh perusahaan dikarenakan permintaan dari pembeli. Seharusnya hal tersebut tidak boleh dilakukan dikarenakan akan sangat menyulitkan bagi perusahaan nantinya saat dilakukannya penarikan produk. Pada tahap pengemasan sekunder dengan ID 25.20 yaitu terjadinya kemungkinan kegagalan misslabelling masih perlu dilakuknnya revisi. Terjadinya kegagalan pada tahapan ini harus lebih diperhatikan kembali oleh perusahaan, terutama karena pelabelan pada pengemasan sekunder di perusahaan masih menggunakan cara manual dengan alat bantu stempel, maka masih bisa dimungkinkan terjadinya kesalahan berupa human error. Setelah dilakukannya revisi, maka diperkirakan perusahaan dapat melakukan traceability lebih efektif dan efisien. Berdasarkan pembahasan diatas maka ditetapkan bahwa titik kritis traceability pada perusahaan adalah ID 11.0, 1.20 dan 1.30 yaitu pada tahapan penerimaan bahan baku serta ID 25.10 yaitu pada tahapan pengemasan sekunder. Setelah dilakukan revisi pada proses produksi diharapkan proses produksi menjadi lebih baik dan saat dilakukan analisis maka didapatkan penerapan traceability di perusahaan menjadi lebih efektif dan efisien Bertolini et al. 2006. Maka proposal yang diajukan untuk perusahaan dapat dilihat pada Tabel 12 serta masing-masing area kritis dapat diturunkan menjadi selevel lebih rendah dari sebelumnya seperti pada Gambar 10. Sistem traceability tidak berfungsi meningkatkan mutu produk tapi secara tidak langsung memperlihatkan mutu suatu perusahaan. Sistem traceability tidak berfungsi mengurangi kemungkinan terjadinya krisis mutu pangan tapi mengurangi konsukensi tingkat keparahannya Dupuy et al. 2005. Keefektifan sistem misalnya, kemampuan dalam mengumpulkan informasi penting dan keefisienan sistem misalnya seberapa cepat kemampuan perusahaan untuk melakukan perbaikan recover dan penggunaan kembali informasi yang dihasilkan tersebut memberikan keuntungan kompetitif bagi perusahaan sehingga dapat bersaing dengan kompetitor lainnya dalam memberi jaminan keamanan produk, transparansi dan perlindungan terhadap kesehatan konsumen Bertolini et al. 2006; Schroder 2008. Selain itu, pengembangan sistem internal traceability digunakan perusahaan untuk meningkatkan efisiensi pengumpulan data, kontrol sistem plant control dan jaminan mutu produk. Kalibrasi peralatan ukur berdasarkan standart yang dapat ditelusuri oleh standart nasional internasional penting diterapkan oleh seluruh produsen pangan. Kalibrasi peralatan ukur berdasarkan standart digunakan auditor sebagai dasar yang berlaku secara umum selama penilaian mutu produk serta penilaian terhadap hasil yang berkaitan dengan spesifikasi produk Moe 1998. Sistem traceabilty tidak berfungsi untuk meningkatkan mutu produk tetapi secara tidak langsung memperlihatkan mutu dari suatu perusahaan. Sistem traceability tidak berfungsi untuk mengurangi kemungkinan terjadinya krisis pangan tapi mengurangi konsukuensinya Dupuy et al . 2005. Selain itu, saran tambahan bagi perusahaan adalah ditambahkannya keterangan pada label produk termasuk mengenai: jenis produk breaded yang dihasilkan serta perbandingan komposisi udang dan breading. Ketebalan dari lapisan coating pada produk breaded dapat mencapai 40-60 dari berat produk. Tiga jenis produk udang breaded mentah berdasarkan persentase daging udang yaitu lightly breaded dimana prduk tersebut hanya boleh memiliki 35 atau kurang dari 35 breading dan 65 atau lebih 65 udang dalam produk, breaded shrimp bahwa minimum 50 produk tersebut adalah udang, dan produk imitasi produk tersebut dapat memiliki kurang dari 50 udang dalam produk tersebut Kanduri dan Eckhardt 2002; Venogupal 2006 . Tabel 12 Proposal pengajuan perbaikan struktural bagi perusahaan Failure Kemungkinan Kegagalan Penyebab Posisi dalam matriks sebelum perubahan struktural Area kritis sebelum perubahan struktural Perubahan struktural Posisi dalam matriks setelah perubahan struktural Area kritis setelah perubahan struktural 1.10 Tidak ada pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang II-D Acceptable with revision Pelaksanaan pencatatan Surat Perjanjian Jual Beli Udang IV-C Acceptable without revision 1.20 Tidak ada Nota pembelian Produk II-D Acceptable with revision Perekaman Nota pembelian Produk IV-C Acceptable without revision 1.30 Tidak ada pencatatan Nota Timbang Produk saat di tambak tiba diperusahaan II-D Acceptable with revision Perekaman Nota pembelian Produk IV-C Acceptable without revision 9.10 Tidak ada tagging grup karyawan masing-masing karyawan III-B Undesirable Pelaksanaan tagging grup karyawan masing- masing karyawan III-C Acceptable with revision 16.10 Tidak ada tagging grup karyawan masing-masing karyawan IV-A Acceptable with revision Pelaksanaan tagging grup karyawan masing- masing karyawan IV-C Acceptable without revision 17.10 Tidak ada tagging grup karyawan masing-masing karyawan III-A Undesirable Pelaksanaan tagging grup karyawan masing- masing karyawan III-C Acceptable with revision 19.10 Tidak diberikannya label III-C Acceptable with revision Pemberian label IV-C Acceptable without revision 19.20 Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded III-C Acceptable with revision Penimbangan berat akhir udang setelah proses breaded IV-C Acceptable without revision 25.10 Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC III-C Acceptable with revision Pencatatan label sesuai hari IV-C Acceptable without revision 25.20 Misslabelling III-C Acceptable with revision Pelabelan denan benar IV-C Acceptable without revision 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil FMECA yang dilakukan pada manajemen sistem traceability diperusahaan maka diperoleh bahwa PT Y memiliki 10 kemungkinan titik kegagalan yaitu pada failure ID 1.10; 1.20; 1.30; 9.10; 16.10; 17.10; 19.10; 19.20; 25.10; 25.20. Penyebab kemungkinan kegagalan adalah tidak ada pencatatan Surat perjanjian jual beli udang 1.10; tidak ada Nota pembelian produk 1.20; Tidak ada pencatatan Nota timbang produk saat di tambak tiba diperusahaan 1.30; Tidak ada tagging grup karyawan masing-masing karyawan9.10; 16.10; 17.10; Tidak diberikannya label 19.10; Tidak diketahui berat akhir udang setelah proses breaded 19.20; Penomoran produk tersisa yang jumlahnya sedikit menjadi label dengan jumlah produk yang terbanyak dalam 1 MC 25.10; dan Misslabelling 25.20. Peneliti mengajukan proposal perbaikan struktural manajemen taceability dalam perusahaan yang bertujuan menurunkan level area kritis dari masing-masing failure ID sehingga tercapai keefektifan dan keefisienan sistem manajemen traceability di dalam perusahaan.

5.2 Saran

Dokumen yang terkait

Usulan tindakan perawatan mesin pengolahan air minum dengan metode failure mode effect and criticality analysis (FMECA) di PT.Muawanah Al Masoem Bandung

0 11 43

Usulan tindakan perawatan mesin pengolahan air minum dengan metode failure mode effect and criticality analysis (FMECA) di PT.Muawanah Al Masoem Bandung

0 6 43

Optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispersion

12 87 122

Evaluasi Sistem Traceability pada Produksi Chewy Candy di PT Sweet Candy Indonesia Menggunakan FMECA (Failure Mode Effects and Criticality Analysis)

1 12 69

Studi Pemeliharaan Ketel Uap dengan Metode Reability Centered Maintenance (RCM) Menggunakan Pendekatan Failure Modes And Effects Analysis Fmea pada PTPN V Unit PKS Kebun Lubuk Dalam

10 48 89

Development Of An Integrated Failure Mode Effect And Criticality Analysis (FMECA) And Analytical Hierachy Process (AHP) For Automotive Stamping Part.

0 2 24

IDENTIFIKASI FAILURE MODES

0 0 1

View of PENERAPAN METODE FAILURE MODE, EFFECT AND CRITICALITY ANALYSIS (FMECA) PADA DRIVE STATION ALAT ANGKUT KONVEYOR REL

1 4 6

Analisa Keandalan Sistem Distribusi 20kV di PT. PLN (Persero) Area Tanjung Karang Menggunakan Metode FMEA (Failure Modes and Effects Analysis) - ITS Repository

0 1 99

TUGAS AKHIR - Analisa Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Proyek Reservoir Krembangan Surabaya Menggunakan Metode FMECA (Failure Mode And Effect Criticality Analysis) - ITS Repository

0 0 99