Latar suasana atau latar sosial merupakan kehidupan sosial yang terjadi dalam sebuah karya.
a. Suara
Dalam cerpen Suara, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan bangsa Indonesia yang memasuki tahun 2000-an, dimana dapat
dikatakan sebagai era moderen. Hal tersebut terlihat jelas dengan usia Juwita yang sudah cukup tua pada tahun itu. Pada masa itu,
orang lebih mementingkan dirinya sendiri bahkan melupakan sejarah yang pernah ada. Seperti dalam kutipan berikut.
““Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan.
Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu
mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan
…”
53
b. Aku Sepercik Air
Dalam cerpen Aku Sepercik Air, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan perantau di kota besar. Sebagai perantau, tentulah harus
berusaha lebih keras agar dapat bertahan hidup di kota rantauan. Sperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Di tepi jalan raya Gunung Sahari, di atas tebing Ciliwung, suamiku mendirikan tempat berjualan bensin. Sebelum kami
datang kemari, sudah berpuluh-puluh kios yang didirikan orang di sepanjang jalan ini. Mereka semua seperti kami, sama-sama
pendatang. Sebagaimana orang-orang lain yang memberikan nama untuk usahanya, suamiku pun memberikan sebuah nama
yang cocok untuk kios ini, Torsere, yang kira-kira berarti segerelah menjadi emas, atau makmurlah dengan segera.
”
54
c. Malam Kelabu
53
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 40
54
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 100
Dalam cerpen Malam Kelabu, latar sosial yang terjadi adalah kehidupan bangsa Indonesia peristiwa setelah G30S. Setelah
peristiwa G30S, banyak sekali perubahan hidup yang terjadi dalam masyarakat. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia
merasa khawatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi. Aku membantunya
sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari.
Berkumpul dengan keluarganya. Di tengah-tengah Ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah paitnya
kepulangan Dik Partini waktu itu. Disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu.
“
55
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh Martin Aleida dalam cerpen-cerpennya sangat jelas dan menggunakan beberapa majas.
a. Suara
Dalam cerpen Suara terdapat penggunaan majas ironi yang terdapat pada kutipan berikut.
“Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan.
Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu
mudah melupakannya. Apalah aku. Hanya seorang biduan
…”
56
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa peristiwa yang besar dan menyedihkan di Negeri ini pun mampu terlupakan. Lalu,
bagaimana dengan Juwita yang hanya seorang biduan. Tentu ia pun sudah terlupakan oleh banyak orang.
b. Aku Sepercik Air