Cerpen Aku Sepercik Air

“Jatuhnya usaha suamiku ini tiada memberikan pengaruh apa-apa terhadap diriku. Aku tak mengejek dia karena dia gagal. Tak mempertahankan sikapku bahwa biar bagaimanapun janganlah kita meninggalkan kota kelahiran sebagaimana yang pernah kukatakan dulu. Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih bersatu dengan anak-anak kami. Pengakit lamanya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Agama, menurut pengertiannya mengizinkan dia mempermadu aku. Tapi, Tuhan tentu tidak membiarkan dia menyakiti hatiku. Saudaraku, jika engkau seorang istri adakah siksa dunia yang lebih pedih daripada dimadu? Kalaupun engkau tak percaya akan neraka di akhirat nanti, baiklah. Tapi, di dunia ini? Akan kau rasakan panasnya bara neraka bila satu ketika kau dimadu. Aku bukan tak mengizinkan dia untuk kawin lagi. Aku mengerti. Aku memahami kebutuhannya. Namun, aku minta diceraikan dan supaya dia mengongkosi aku pulang. Ceraikan dan aku mau pulang. Cuma itu. Tidakkah permintaanku itu masuk akal. ” 89 Dalam kutipan tersebut terlihat citra psikis yang dialami tokoh Munah. Ia menggambarkan kepatuhannya terhadap suami, walaupun ia tidak ingin pergi ke Jakarta dulu kala. Namun di tengah kesetiaannya, lelaki yang dianggapnya mempunyai suatu penyakit yang melekat, penyakit yang diperbudak birahi telah menyerang suaminya. Munah merasakan penderitaan yang dianggapnya sebagai neraka di dunia. Munah hanya ingin hubungannya berakhir dengan baik. Walaupun Munah menganggap dirinya sendiri lemah, ia masih mampu berpikir bahwa pengkhianatan suaminya harus dilawan oleh dirinya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Melawan, untuk menghancurkan si pendosa. Aku tahu dia memiliki tenaga yang tak bisa kuduga kekuatannya. Karena itu aku harus menyambung dengan sebilah kapak. Adil bukan? Tetapi, aku tak yakin bahwa aku akan menang dan dia akan menggeletak di ujung kaki istrinya. Barusan saja aku seakan-akan mendapat firasat untuk membatalkan niatku itu. Pergulatan itu hanya akan membawa maut 89 Ibid, h. 11 bagiku. Tapi, sekalipun aku akan mati, kesewenang-wenangan suami itu harus kulawan. Aku tak mau berputih mata. ” 90 Munah merasakan kesewenang-wenangan telah menimpa dirinya. Walaupun ia merasa kekuatannya tidak dapat disandingi dari laki-laki, ia tetap berpikir untuk melakukan perlawanan apapun akibatnya kelak.

c. Cerpen Malam Kelabu

Sebagai tokoh perempuan, secara psikis Partini digambarkan sebagai tokoh yang suka berterus terang. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Dari Partini. Dari tunanganku. Dari anaknya sendiri,” jawab Armada tenang-tenang. “Dia gadis dari daerah ini. Tapi, dia juga berterus- terang. Dia ceritakan seluruh keadaan keluarganya. Terutama dia ceritakan tentang ayahnya. Ayahnya yanga adalah seorang komunis. Dia ceritakan bukan sebagai tanda kagum, tapi sebagai kenyataan buat kupertimbangkan. Dia berterus-terang. Inilah satu sifatnya yang kusenangi. Itu pulalah yang menambah besar cintaku padanya. ” 91 Partini menjelaskan kepada Armada bagaimana keadaan keluarganya, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Partini pun sudah mengetahui bahwa ayahnya ialah seorang komunis. Pada saat itu, orang-orang tidak ingin terlibat dengan hal yang berbau komunis. Maka, Partini sudah menjelaskan dari awal kepada tunangannya agar menjadi suatu pertimbangan untuk menjalani hubungan ke jenjang selanjutnya. Pada aspek psikis, Partini juga digambarkan sebagai perempuan yang sangat menyayangi keluarganya. Karena Partini sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang komunis, maka ia yang hidup jauh dari desanya pun khawatir akan keadaan keluarganya saat itu. Kecemasannya itu membuat dirinya harus kembali kepada keluarganya di desa. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Tiga bulan setelah G-30S, karena dua alasan, dia terpaksa meninggalkan bangku sekolah dan pulang kemari. Pertama, dia merasa 90 Ibid, h. 102 91 Martin Aleida, Mati Baik-Baik, Kawan, h. 29 kuatir akan keadaan keluarganya. Kedua, karena kiriman dari orangtuanya tiada datang lagi. Aku membantunya sedikit-sedikit. Tapi, sampai kemanalah kemampuan seorang pedagang kaki lima seperti aku ini. Dia kembali kemari. Berkumpul dengan keluarganya. Di tengah-tengah Ibu dan adik-adiknya yang sudah tak berayah. Alangkah paitnya kepulangan Dik Partini waktu itu. Disambut ibu yang sudah jadi janda, diterima adik-adiknya yang sudah jadi piatu. “ 92 Kekuatiran Partini yang membuatnya harus kembali ke desa harus disambut dengan kepedihan. Ayah Partini yang seorang PKI akhirnya harus tewas dan membuat Partini dan adik-adiknya menjadi piatu. Selain itu, aspek psikis yang tergambar dari Partini ialah seorang perempuan yang jujur. Partini tidak pernah berbicara dengan kepura- puraan apalagi mengada-ada. Ia juga digambarkan sangat manis dan mulia. Hal tersebutlah yang membuat Armada jatuh cinta pada Partini. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Aku yang bagaikan debu terpelanting di jalan mendapat tempat di hatinya. Dia yang mulia, manis, dan suka berterus terang. Tiada pernah aku bertemu dengan wanita tanpa kepalsuan, tanpa kepura-puraan, kecuali dia. “Maaf, aku bukan menggurui Bapak. Kepalsuan dan kepura-puraan wanita terbaca dari cara mereka berdandan. Apalagi kalau mereka berbicara, sifat itu kedengaran jelas. ” 93 Dari uraian tersebut, dapat diketahui aspek psikis yang digambarkan dalam tiga cerpen Martin Aleida. Dalam aspek psikis, wanita digambarkan sebagai perempuan yang mampu beraspirasi dan mempunyai perasaan, seperti Juwita yang melakukan segala cara agar mempunyai suara indah. Ia berani mengemukakan apa yang dirasakannya. Juwita juga digambarkan sebagai individu dengan aktivitasnya ke luar untuk menarik pihak lain seperti berhias. Aspek psikis yang tercitrakan pada tokoh Munah, yaitu wanita yang mempunyai sisi feminim. Terlihat bahwa Munah lebih peka dan peduli 92 Ibid, h. 30 93 ibid, h. 31 terhadap lingkungan. Munah juga digambarkan dengan perasaan kecemasannya. Citra fisis yang menganggap dirinya sebagai wanita lebih lemah, mampu dilawan oleh pikirannya sendiri. Sedangkan pada Partini tercitrakan wanita yang mampu beraspirasi dengan segala keterusterangannya. Namun, walaupun wanita mampu beraspirasi, wanita secara psikis menggunakan perasaan pula untuk membuat keputusan. Dalam aspek psikis, ketiga tokoh juga menggambarkan kejiwaan wanita dewasa yang bertanggung jawab, Juwita dan Munah sebagai ibu dan Partini sebagai anak yang mempunyai orang tua. Ketiga tokoh ini mempunyai tanggung jawab masing-masing. Hal lain yang dirasakan oleh kejiwaan wanita ialah sistem patriarki dalam kehidupan mereka. Citra psikis yang tergambar sebagai wanita yang tersudut akibat ideologi gender terlihat pada Juwita dan Munah yang harus menutupi perasaan dan pikirannya, dengan patuh terhadap ketentuan-ketentuan suami.

3. Citra Wanita dalam Aspek Keluarga dan Masyarakat a. Cerpen

Suara Dalam cerpen Suara terlihat biduan yang mempunyai ambisi yang sangat kuat. Namun, pada akhirnya ambisi Juwita terhenti karena menjadi seorang istri. Hal ini menggambarkan citra sosial Juwita dalam berkeluarga. Juwita harus menahan egonya dan tunduk pada suami. Seperti terlihat pada kutipan berikut. “Sampai datanglah seorang pria, seorang dokter, yang sangat dia kasihi, yang, namun, sayangnya telah membuat pernikahan mereka menjadi anak tangga terakhir bagi karirnya. Kabar yang tersiar menyebutkan sang suami memingitnya, melarangnya menyanyi dan mengurangi kesempatannya untuk bertemu dengan para penggemar dan teman-temannya. Sang suami bertekad untuk menyembuhan sang istri dari penyakit berkepanjangan. Buat dia, istri adalah segala- galanya. Yang lain harus menyingkir, termasuk ketenaran. Untuk meredam suara-suara yang berdentam-dentam dan memburu-buru dirinya, sang suami memutuskan untuk membawanya ke seorang psikiater. Sejak itu hidupnya menjadi bergantung pada obat. Dan, perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya. ” 94 Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Juwita harus menyerah pada takdirnya sebagai perempuan yang diperistri oleh laki-laki. Ambisi Juwita yang dulu sangat tinggi harus berakhir dalam tali pernikahan. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan masih berada dalam budaya patriarki yang memiliki ideologi gender. Masih terdapat superioritas laki-laki. Superioritas tersebut terlihat dari kekuasaan laki-laki atas perempuan dalam hubungan sosial suami istri. Selain citra sosial dalam keluarga, terdapat juga citra sosial dalam bermasyarakat yang berhubungan dengan citra psikis Juwita. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Katanya, betapa mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya, dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin bisa menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an. Kalaupun ada, Cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum. Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan. ” 95 Dalam kehidupannya di masa tua, Juwita yang sudah memutuskan untuk berpisah dengan suaminya karena ia ingin bebas, sudah berbeda dengan masa mudanya. Juwita tak lagi banyak dikenal orang banyak. Ia seringkali menunjukkan bahwa ia pernah menjadi penyanyi tenar akhir tahun 1950-an dengan berbagai arsip yang masih dimilikinya. Namun, usahanya sia-sia, Juwita tak lagi dikenal seniman muda. 94 Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 32 95 Ibid, h. 35-36