Citra Perempuan LANDASAN TEORI

yang ada. Konsep yang akhirnya menempatkan perempuan dalam suatu posisi yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan muncul sebagai gambaran dari efek pikiran tentang perempuan. Konsep stereotip menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotip terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif. „Pen-stereotip-an mereduksi, mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri “perbedaan”. 30 Stereotip merupakan pelabelan negatif terhdap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia. 31 Pada hakikatnya, stereotip yang ada akan menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pun akan terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan, akan terjadi pemberian posisi yang lebih kuat. Pada akhirnya, perempuan akan menempati posisi yang berbeda dari laki-laki. Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki pemerintahan ayah, yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial. Dengan demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturisasi ke dalam inferioritas. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. 32 Menurut Beauvoir, budaya patriarkat cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua dalam tatanan masyarakatnya. Dengan kata lain, perempuan cenderung untuk dinomorduakan dalam masyarakat patriarkat. Dalam masyarakat tersebut tubuh dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai suatu yang bebas. Budaya 30 Chris Barker penerjemah Nurhadi, Cultural Studies, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013, h. 263 31 Umi Sumbullah, Spektrum Gender, Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008, h. 14 32 Adib Sofia, Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo, Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009, h.12 patriarkat telah menjadikan tubuh perempuan sebagai penghalang untuk mengaktualisasi, mencipta, dan mentransedensi diri. Dengan begitu rupa, secara konkret budaya patriarkat membuat perempuan menghidupi tubuhnya bukan sebagai suatu kekuatan persepsi yang integratif, melainkan sebagai kekuatan asing yang melawan dirinya, bertentangan dengan dirinya sendiri. 33 Konsepsi mengenai gambaran perempuan dibangun oleh budaya yang lahir sejak dulu. Perempuan cenderung menempati posisi kedua dalam masyarakat. Posisi di mana dianggap bahwa perempuan inferior sedangkan laki-laki superior. Hal tersebut tidak hanya didukung oleh sikap superioritas laki-laki. Akan tetapi, perempuan menjadikan dan menghidupi dirinya sendiri sehingga sesuai dengan konsep stereotip yang dibangun oleh budaya. Perspektif terhadap perempuan tersebut akhirnya mengakar dalam masyarakat. Hal inilah yang menjadi konsep stereotip yang berlebihan, yaitu menganggap perempuan lemah. Citra perempuan dalam kehidupan sosial erat kaitannya dengan gender. Citra perempuan berkaitan dengan gambaran mengenai perempuan dalam kehidupan. Bagaimana ditampakkan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat berhubungan dengan peran gender yang diemban oleh perempuan. Gender merupakan atribut, sehingga citra perempuan dapat terlihat oleh atribut tersebut. Gender masih identik dengan perempuan. Oleh karena itu, persoalan gender juga adalah persoalan perempuan. Padahal sebenarnya, persoalan gender adalah problem bersama laki-laki dan perempuan, karena menyangkut peran, fungsi, dan relasi antara kedua jenis kelamin tersebut, baik kehidupan ranah domestik maupun publik. 34 Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang 33 Arriyanti, Citra Perempuan dalam Novel Putri Karya Putu Wijaya Kritik Sastra Feminis, Padang: Balai Bahasa Padang, 2007, h.13 34 Sumbulah, op. cit., h.4 berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis. 35 Gender ialah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki- laki atau perempuan. 36 Gender mengacu kepada asumsi dan praktik kultural yang mengatur kontruksi sosial laki-laki, perempuan dan relasi sosial mereka. Gender adalah konstruk kultural, maka ia tidak digambarkan sebagaimana gambaran biologi. 37 Menurut Karl Marx, yang juga mendapat dukungan Friedrich Engels, relasi jender yang terjadi di dalam masyarakat sepenuhnya merupakan rekayasa masyarakat social construction. 38 Konsep gender, yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah-lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laiki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. 39 Gender membangun sifat biologis; dari yang tadinya bersifat alami, kemudian melebih-lebihkannya, dan pada akhirnya menempatkannya pada posisi yang sama sekali tidak relevan. Contohnya, sama sekali tidak ada alasan biologis yang dapat menjelaskan mengapa para laki-laki harus membusung atau, mengapa perempuan harus memakai kutek di kakinya, sedangkan laki-laki tidak. 40 Kate Millet dan Shulamit Firestone menyodorkan pemikiran gender kontemporer yang lebih radikal. Dalam Dialectic of Sex Firestone menyatakan 35 Stevi Jacson dan Jackie Jones, Pengantar Teori-teori Feminis Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, h.225 36 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007, h.177 37 Barker penerjemah Nurhadi, op.cit., h. 249 38 Nasarudin Umar, dkk, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender, Yogyakarta: Gama Media, 2002, h. 7-8 39 Mansour Fakih, Analisis Gender Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 8-9 40 Sugihastuti, Gender dan Inferioritas Perempuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 5 bahwa gender membedakan struktur setiap aspek kehidupan kita dengan kerangka yang tak terbantah. Pembedaan tersebut adalah bagaimana masyarakat memandang laki-laki dan perempuan. Dia menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan sistem yang kompleks yang mempertegas dominasi laki-laki. 41 Gayle Rubin menyatakan bahwa gender adalah produk relasi sosial berkaitan dengan seksualitas karena sistem hubungan persaudaraan berdasarkan perkawinan. Setiap sistem gender menunjukkan suatu ideologi atau sistem kognitif yang mendasarkan pada penindasan untuk menampilkan kategori gender sebagai hal yang sudah mapan. 42 Dapat dikatakan bahwa gender merupakan hasil dari konstruksi sosial. Gender terbentuk karena adanya pengaruh budaya dan masyarakat dan bukan sesuatu yang kodrati. Gender merupakan atribut yang dibangun oleh masyarakat untuk laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun, terjadi ketimpangan antara peran laki- laki dan perempuan. Perempuan dianggap sebagai makhluk kedua. Pada akhirnya gender menghadirkan konsep yang hidup dalam masyarakat. Konsep yang menganggap laki-laki kuat, sedangkan perempuan lemah. Hal yang sudah terbangun sejak dahulu itulah, yang menyebabkan peran wanita lebih lemah dalam masyarakat menjadi hal yang normal. Walaupun pada kenyataannya, sewaktu- waktu konsep tersebut dapat berubah dan dipertukarkan. Gender bukanlah sesuatu yang kita dapatkan semenjak lahir dan bukan juga sesuatu yang kita miliki, melainkan sesuatu yang kita lakukan, sesuatu yang kita tampilkan. 43 Jadi, dapat dikatakan bahwa gender terbangun karena diajarkan, dilakukan, dan kemudian dihidupkan selalu. The hormone puzzle tokoh-tokoh hormonal adalah salah satu istilah yang sering disebutkan oleh para pakar jender di dalam menjelaskan hubungan antara anatomi biologi dan perilaku manusia. Hal ini mengisyaratkan bahwa perbedaan laki-laki dengan perempuan masih menyimpan beberapa masalah mendasar, baik 41 Humm, op.cit., h.178 42 Humm, op.cit., h. 179 43 Sugihastuti, op. cit., h. 4 dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi, efek yang timbul sebagai akibat dari perbedaan itu memunculkan perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis seks melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender. 44 Perbedaan biologis yang terjadi antara laki-laki dan perempuan menimbulkan berbagai efek. Efek inilah yang akhirnya menjadi berbagai konsep yang dianggap lazim. Konsep budaya terhadap laki-laki dan perempuan menjadi konsep yang sudah sangat hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang alamiah yang diberikan oleh Tuhan. Gender merupakan sesuatu yang ditampilkan dalam masyarakat. Namun, kemudian gender dianggap menjadi sesuatu yang alamiah. Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat genderless. Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Begitu atribut jenis kelamin kelihatan, pada saat itu juga konstruksi budaya mulai terbentuk. Melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki atau perempuan. Atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran, dan status dalam masyarakat. 45 Walaupun secara biologis alat kelamin menjadi bagian yang alamiah yang dimiliki manusia sejak lahir. Namun, perbedaan jenis kelamin akan memciptakan perbedaan atribut antara laki-aki dan perempuan. Perbedaan tersebut akan menentukan peran, status, dan kewajiban dalam masyarakat. Perempuan yang menyandang peran istri dan ibu secara tidak langsung akan mempunyai kewajiban wilayah domestik, seperti mengurusi anak, membersihkan rumah, serta kewajiban 44 Umar, op. cit.,, h. 3 45 Ibid., h. 5 domestik lainnya. Sebaliknya, laki-laki akan mempunyai kewajiban di luar rumah, sepperti mencari nafkah. Tentang seberapa besar peranan perbedaan jenis kelamin seks menentukan perbedaan jender, tidak cukup lagi diterangkan dalam teori nature dan nurture, tetapi sudah menuntut adanya teori-teori yang lebih canggih sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat, seperti teori psikoanalisi, teori fungsioalis struktural, teori konflik, berbagai teori feminis, dan teori sosiobiologis. Teori nature merupakan sebuah teori umum yang beranggapan bahwa perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh perbedaan alamiah, seperti yang tercermin dalam perbedaan anatomi biologi kedua jenis kelamin tersebut. Menurut teori nurture, perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan disebabkan oleh faktor budaya dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini banyak digunakan ketika isu jender belum dirasakan sebagai suatu fenomena universal cross culture. 46 Berbagai macam teori tentang gender pun dikemukakan. Pembagian peran perempuan yang terjadi saat ini bukan dikarenakan faktor biologis semata. pembagian ini terbentuk turun-temurun dari dahulu karena konstruksi budaya. Gender telah melahirkan perbedaan peran, status, dan tanggung jawab antara laki- laki dan perempuan. Hal ini sudah dianggap alamiah dalam masyarakat sebagaimana perbedaan biologis yang tercipta antara laki-laki dan perempuan. Gender juga jarang dibicarakan sebab merupakan isu yang secara sosial dan politik sensitif. Corak gender yang berlaku sekarang seolah tak mungkin diubah dianggap merupakan kodratalamiah. Menurut Zeindenstein dan Moore, pengaruh nilai kemasyarakatan yang amat mendalam mengenai seksualitas individual berasal dari peran gender. Peran gender ditentukan oleh norma dan 46 Ibid., h. 6 nilai yang mendasari tanggung jawab dan kekuasaan serta perilaku laki-laki dan perempuan. 47 Pengaruh mendalam yang ada pada budaya dan masyarakat menjadikan peran laki-laki dan perempuan sudah melekat seakan-akan menjadi suatu yang alamiah. Peran itupun akhirnya terkotak-kotak. Banyak faktor yang menyebabkan peran perempuan terkonsep sampai saat ini. Tidak hanya budaya dan masyarakat, agama pun secara tidak langsung bersinggungan dengan peran gender. Ketika pemikiran agama terlanjur memberikan legitimasi terhadap sistem kekerabatan patriarki dan pola pembagian kerja secara seksual, dengan sendirinya wacana jender akan bersentuhan dengan masalah keagamaan. Selama ini agama dijadikan sebagai dalil untuk menolak konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan. Bahkan, agama dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan langgengnya status quo perempuan sebagai the second sex. 48 Berdasarkan paparan teori tersebut, maka peneliti menggunakan citra perempuan yang diklasifikasikan oleh Sugihastuti. Citra perempuan terbagi menjadi citra fisis, citra psikis, dan citra sosial. Selain itu, peneliti juga menggunakan konsep gender yang terdapat dalam teks.

C. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukakan tidak akan terlepas dari unsur-unsur lainnya. Sebuah penelitian membutuhkan referensi sebagai acuan untuk menopang berjalannya penelitian. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian yang akan dilakukan. Edy Sambodo, Universitas Indonesia, Program Studi Indonesia, “Citra Perempuan dalam Novel Jendela-Jendela Karya Fira Basuki ”, tahun 2007. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah 47 Irwan Martua Hidayana, dkk, Seksualitas: Teori dan Realita,. Jakarta: Program Gender dan Seksualitas FISIP UI bekerja sama dengan The Ford Foundation, 2004, h. 55-56 48 Umar, op. cit., h. 3 berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah tokoh utama perempuan adalah perempuan yang berani untuk bebas dalam menentukan pilihannya. Tokoh itu berani untuk mencari tujuan hidupnya yang sebenarnya merombak stereotip perempuan yang ada. Tokoh ini tidak menampilkan orientasi untuk menyetarakan gender. namun dari keberaniannya dalam lepas dari stereotip yang dibentuk oleh kekuasaan patriarkis telah menunjukkan ia adalah sosok perempuan yang dapat dijadikan contoh bagi perempuan modern. Silvia arma Indah, Universitas Negeri Medan, Jurusan Bahasa dan sastra Indonesia dengan judul skripsi Citra Tokoh Perempuan dalam Novel Tanah Tabu Karya Anindita Thayf: Kajian Sastra Feminis, tahun 2013. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian adalah berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah citra perempuan Papuan dalam Novel tanah Tabu diwakili oleh delapan tokoh perempuan Papua. Dari kedelapan tokoh perempuan Papuan inilah analisis citra fisik, citra psikis, dan citra sosial perempuan Papua terpaparkan. Tinjauan dari segi feminism terhadap citra perempuan direpresentasikan dalam novel Tanah Tabu ini jelas bahwa di setiap segi kehidupan, perempuan masih menduduki kelas bawah dan bersifat inferior, serta pencitraan terhadap diri perempuan masih disampaikan secara negatif. Dewi hermawati, Universitas Gajah Mada, Jurusan Sastra Indonesia dengan judul skripsi “Citra Perempuan Suku Dani dalam Novel Etnografi Sali Kisah Seorang Wanita Suku Dani Karya Linggasari, tahun 2014. Penelitian ini berhubungan dengan yang peneliti lakukan, yaitu penelitian mengenai citra perempuan. Akan tetapi, pengarang dan objek penelitian berbeda dengan yang peneliti lakukan. Hasil penelitian adalah novel etnografi SKSWD mengangkat problematika hidup perempuan di tengah system patriarki. Tokoh perempuan dalam novel telah bergerak melakukan tindakan yang memprotes ketidakadilan gender yang diterimanya, tidak hanya sebatas idea tau wacana feminism. Perempuan Dani memiliki citra di sektor domestik dan di sektor publik. Peneliti sendiri melakukan penelitian yang berjudul “Citra Perempuan dalam tiga Cerpen Martin Aleida dan Implikasinya terhadap Pembelajaran sastra ”. penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran perempuan dalam karya sastra. Peneliti akan melakukan penelitian terhadap citra perempuan dalam aspek fisik, psikis, dan sosial.

D. Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra di sekolah sudah diajarkan dari tingkat yang paling dasar, namun masih terdapat kurangnya pemahaman akan pembelajaran sastra. Pengajaran sastra dengan tepat, sangat membantu dalam bidang pendidikan di Negara ini. Dalam pembelajaran sastra di sekolah, cerpen dapat diterapkan pada tingkat SMA kelas XI semester dua pada pertemuan yang akan membahas pemahaman pembacaan cerpen. Namun, masalah yang dihadapi sekarang adalah menentukan bagaimana pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang maksimal untuk pendidikan secara utuh. Maka, agar tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai, diharapkan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: 49 1. Membantu Keterampilan Berbahasa Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berari akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, menyimak, bicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. 2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya Sastra, tidak seperti ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan „sesuatu‟ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. 49 B. rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, Yogyakarta: Kanisius. 1992, Cet 2, h. 16-24 Pengajaran sastra, jika dilakukan dengan bijaksana, dapat mengantar para siswa berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir- pemikir besar di dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman. 3. Mengembangkan Cipta dan Rasa Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra; yang bersifat penalaran; yang bersifat afektif; dan yang bersifat sosial; serta yang bersifat religius. Karya sastra sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan semacam itu. Oleh karenanya, dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang dilakukan dengan benar akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya. 4. Menunjang Pembentukan Watak Dalam pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Disbanding pelajaran- pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan. Dalam penelitian ini, pembelajaran sastra berfokus pada analisis unsur intrinsik sastra. dalam menganalisis dan mengapresiasi suatu karya sastra, diperlukan aspek-aspek dalam keterampilan berbahasa. Adapun empat aspek keterampilan berbahasa ialah membaca, menulis, menyimak, dan berbicara. Siswa