perlahan-lahan namanya lenyap bersama menuanya generasi yang menjadi pemujanya.
”
94
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa Juwita harus menyerah pada takdirnya sebagai perempuan yang diperistri oleh laki-laki. Ambisi Juwita
yang dulu sangat tinggi harus berakhir dalam tali pernikahan. Hal ini memperlihatkan bahwa perempuan masih berada dalam budaya patriarki
yang memiliki ideologi gender. Masih terdapat superioritas laki-laki. Superioritas tersebut terlihat dari kekuasaan laki-laki atas perempuan
dalam hubungan sosial suami istri. Selain citra sosial dalam keluarga, terdapat juga citra sosial dalam
bermasyarakat yang berhubungan dengan citra psikis Juwita. Seperti terlihat dalam kutipan berikut.
“Tak sampai sebulan dia menjadi pengunjung tetap kafe seniman itu, Marwah menumpahkan perasaannya kepadaku. Katanya, betapa
mujurnya nasibku memilih menulis puisi dan bisa berkarya terus sampai kini, ketika usiaku sudah 70 tahun. Sementara dia, katanya,
dengan giginya yang sudah tumbang semuanya mana mungkin bisa menyanyi lagi. Dan dengan mata berkaca-kaca dia menyesali bahwa di
antara para seniman yang sering nongkrong di kafe itu tak ada yang mengenalnya sebagai penyanyi tenar pada akhir tahun 1950-an.
Kalaupun ada, Cuma satu-dua seniman tua yang kadang-kadang saja mampir ke situ. Mereka menyebutkan namanya dengan rasa kagum.
Tetapi, para seniman muda tak ada yang menghiraukannya. Di depan anak-anak muda itu, dia merasa lebih rendah dari seorang pelayan.
”
95
Dalam kehidupannya di masa tua, Juwita yang sudah memutuskan untuk berpisah dengan suaminya karena ia ingin bebas, sudah berbeda
dengan masa mudanya. Juwita tak lagi banyak dikenal orang banyak. Ia seringkali menunjukkan bahwa ia pernah menjadi penyanyi tenar akhir
tahun 1950-an dengan berbagai arsip yang masih dimilikinya. Namun, usahanya sia-sia, Juwita tak lagi dikenal seniman muda.
94
Martin Aleida, Dendam Perempuan, h. 32
95
Ibid, h. 35-36
b. Cerpen Aku Sepercik Air
Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat citra sosial Munah, yaitu citra perempuan yang mempunyai peran dalam masyarakat. Munah merasa
mempunyai peran dan tanggung jawab untuk memperbaiki lingkungannya. Walaupun Munah mempunyai padangan sendiri akan kota besar
seperti Jakarta. Munah tetap mempertahankan stereotip yang sudah tertanam dalam masyarakat. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut.
“Aku hanya seorang perempuan, seorang istri, dan sudah menjadi adat kebiasaan di daerah kami bahwa istri haruslah mengalahkan pikiran-
pikirannya dan tunduk pada suami. Semua kita ingin menjadi manusia yang baik, semua perempuan ingin jadi istri yang setia. Demikianlah
akhirnya, aku ikuti suamiku, meninggalkan kota kami dan berlayar kemari, ke Jakarta, ke kota sejuta harapan dalam cerita-cerita yang
merayu tadi
”
96
Kutipan tersebut memperlihatkan citra sosial Munah dalam perannya sebagai istri. Munah masih mempertahankan stereotip yang ada, bahwa
seorang istri harus mengalahkan pikiran-pikirannya sendiri dan harus tunduk kepada aturan suami. Munah sebagi istri hanya ingin menjadi istri
yang setia menemani suaminya kemanapun pergi. Munah mengalahkan pandangannya akan kota Jakarta yang hanya menyuguhkan sejuta rayuan,
karena harus mengikuti suaminya yang tergoda akan rayuan tersebut. Selain itu, dalam cerpen Aku Sepercik Air ditampilkan citra sosial
perempuan sebagai individu yang perlu dinafkahi oleh laki-laki. Laki-laki harus bertanggung jawab atas perempuan. Seperti terlihat dalam kutipan
berikut. “Sekarang anak laki-laki inilah yang menghidupi kami. Aku bangga
juga punya anak laki-laki yang sudah sanggup mengambil alih kewajiban orang tuanya yang tak bertanggung jawab. Pada mulanyan
96
Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 99
tidak tega aku melihat dia mengorbankan badanya untuk memberi makan mulutku dan adiknya. Tapi apalah yang bisa kulakukan.
”
97
Dalam kutipan tersebut dicitrakan bahwa seorang istri memerlukan tanggung jawab dari seorang suami. Ketika suami tidak mampu lagi
bertanggung jawab, digambarkan bahwa anak laki-laki Munah yang menafkahi dirinya dan anak perempuannya. Secara sosial, dapat dikatakan
bahwa perempuan berada di bawah tanggung jawab laki-laki sepenuhnya. Walaupun suami tidak lagi menafkahi istrinya. Dalam kutipan, tetap saja
digambarkan anak laki-laki yang bertanggung jawab atas ibunya. Dapat ditarik kemungkinan bahwa sepenuhnya perempuan adalah tanggung
jawab laki-laki. Terdapat gambaran pula bahwa, walaupun Munah mengalahkan
seluruh pikiran-pikirannya akan kota besar, mengikuti serta tunduk pada suaminya. Munah tetap memiliki angan-angan terhadap kota kelahirannya.
Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Ibu. Semua kita mencintai ibu. Dan kota kelahiran bagiku adalah ibu
yang kedua. Dalam angan-anganku, biarlah aku mati tenggelam bersama kotaku itu, kalau suatu ketika nanti Sungai asahan sudah
menghendakinya. Atau kalau aku ingin hidup terus bukankah aku bisa menyingkir ke pinggir dan bercocok tanam di sana untuk mendukung
hidupku? Aku mengerti gosong yang menggila itu takkan bisa kutaklukan dengan tenagaku yang lemah ini.
”
98
Munah tetap memiliki angan-angan akan kota kelahirannya. Kecintaan akan kota kelahirannya membuat Munah ingin menghabiskan sisa
hidupnya di kota itu. Walaupun Munah harus mengikuti suaminya ke Jakarta, tetapi angan-angan Munah untuk kembali selalu ada.
c. Cerpen Malam Kelabu
Dalam cerpen Malam Kelabu digambarkan juga bagaimana posisi perempuan ketika memasuki kehidupan rumah tangga. Hal ini terkait citra
97
Ibid, h. 103
98
Ibid, h. 99