Hakikat Cerpen LANDASAN TEORI

Panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek short short story, bahkan mungkin pendek sekali: berkisar 500an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan middle short story, serta ada cerpen yang panjang long short story, yang terdiri dari puluhan atau bahkan beberapa puluh ribu kata. Cerpen yang panjang yang terdiri dari puluhan ribu kata tersebut, barangkali, dapat disebut juga sebagai novelette. Sebagai contoh misalnya, Sri Sumarah dan juga Bawuk, serta Kimono Biru buat Istri karya Umar Kayam, walau untuk yang kedua terakhir itu lebih banyak disebut sebagai cerpen panjang. 11 Berdasarkan pengertian cerita pendek, ciri khusus dapat dibedakan sebagai berikut: 12 a. Cerita utama cerita pendek adalah singkat, padu, intensif. b. Unsur-unsur utama cerita pendek adalah adegan, tokoh, dan gerak. c. Bahasa cerita pendek haruslah tajam, sugestif, dan menarik perhatian. d. Cerita pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan baik secara langsung maupun tidak langsung. e. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembacanya bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran. f. Sebuah cerita pendek harus menimbulkan satu efek dalampikiran pembaca. g. Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja danyang bisa menimbulkan pertanyaan- pertanyaan dalam pikiran pembaca. h. Dalam sebuah cerita pendek sebuah insiden yang terutama menguasai jalan cerita. i. Cerita pendek harus mempunyai jalan cerita. j. Cerita pendek harus mepunyai efek dan kesan yang menarik. k. Cerita pendek bergantung pada situasi. l. Cerita pendek memberikan impresi tunggal. m. Cerita pendek memberikan suatu kebulatan efek. n. Cerita pendek menyajikan satu emosi. o. Jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap. 11 Ibid., h. 12 12 Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, h. 52 Dapat dikatakan cerpen haruslah singkat dan jelas. Cerpen juga harus menyajikan suatu emosi cerita sehingga memberikan efek pada pembacanya. Efek yang ditimbulkan pun berupa efek perasaan serta pikiran. Cerpen-cerpen karya Martin Aleida merupakan karya fiksi yang mengandung unsur fakta. Pengarang memasukkan pengalaman dirinya dan orang lain ke dalam cerpen. pengalaman inilah yang akhirnya menarik perhatian pembaca untuk membaca karyanya. Dalam waktu singkat saja, pembaca dapat merasakan pengalaman yang ada dalam karya pengarang. Di dalam sebuah cerpen terdapat unsur-unsur yang menopang sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik ialah unsur pembangun dari dalam sebuah karya sastra. Sedangkan, unsur ekstrinsik ialah unsur pembangun dari luar sebuah karya sastra. Pendekatan intrinsik membuka peluang untuk lebih memahami bagaimana peran tokoh, khususnya tokoh perempuan dalam hubungannya dengan situasi sosial dan lingkungannya. Unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra, termasuk di sini cerpen antara lain: 1. Tokoh atau Penokohan Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Di samping tokoh utama protagonis, ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah tokoh lawan antagonis, yakni tokoh yang diciptakan untuk mengimbangi tokoh utama. Penokohan dapat berupa karikatur atau idealisasi yang abstrak. 13 Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. 14 Tokoh merupakan pelaku dalam sebuah cerita. Dalam sebuah cerpen, ruang untuk tokoh tidak terlalu banyak. Dikarenakan ruang yang sempit dalam cerpen, penokohan tidak akan terlihat terlalu detail. 13 Wellek dan Warren, op.cit., h. 288 14 Nurgiyantoro, op.cit., h. 247 2. Tema Tema dapat didefinisikan sebagai “the central thought in literary work”. Ia adalah gagasan sentral dalam suatu karya sastra. 15 Tema adalah gagasan makna dasar umum yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantik dan bersifat abstrak yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya dilakukan secara implisit. 16 Tema merupakan garis besar permasalahan yang ada dalam suatu karya. Tema yang diangkat dalam suatu cerpen biasanya berhubungan dengan pesan atau amanat yang ingin disampaikan. Tidak jarang tema yang disampaikan sesuai dengan waktu penulisan karya sastra diciptakan. Akan tetapi, adapula karya sastra yang diciptakan sesuai dengan keinginan pengarang dan pengalaman hidupnya. 3. Alur atau Plot Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam sebuah cerita. 17 Alur atau plot merupakan rangkaian perjalanan peristiwa. Rangkaian perjalan peristiwa berkaitan dengan urutan waktu. Urutan waktu yang dibuat oleh pengarang dapat tersirat maupun tersurat. 4. Latar Latar, yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskripsi perasaan. Latar adalah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora, atau ekspresi tokohnya. h. 75 15 Furqonal Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, 16 Nurgiyantoro, op.cit., h. 115 17 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 159 Latar juga dapat berfungsi sebagai penentu pokok: lingkungan dianggap sebagai penyebab fisik dan sosial, suatu kekuatan yang tidak dapat dikontrol oleh individu. 18 5. Gaya bahasa Gaya bahasa setiap pengarang mempunyai kekhasan tersendiri. Gaya bahasa merupakan cara pengarang dalam berbahasa untuk menyampaikan gagasan dalam sebuah karya sastra. Bahasa adalah bahan mentah sastrawan. Dapat dikatakan bahwa setiap karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, sepert halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis sedikit bagian-bagiannya. 19 Gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena selain dekat dengan watak dan jiwa penyair, juga membuat bahasa yang digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan pembawaan pribadi. Dengan gayanya ia hendak memberi bentuk terhadap apa yang ingin dipaparkannya. Dengan gaya tertentu pula seorang pengarang dapatmenekalkan pengalaman rohaninya dan penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik hati pembacanya. 20 6. Sudut pandang Sudut pandang, point of view, menunjuk pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. 21 Sudut pandang dapat dikatakan dengan “si pencerita”. Sudut pandang 18 Wellek dan Warren, op.cit., h. 291 19 Ibid, h. 217 20 Semi, op. cit., h. 49 21 Nurgiyantoro, op.cit., h. 338 merupakan tempat yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh dalam karyanya. 7. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar. 22 Melalui amanat, pengarang dapat menyampaikan pandangan hidupnya kepada pembaca. Pembaca dapat mendapatkan pesan yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata.

B. Citra Perempuan

Citra perempuan dalam karya sastra acapkali menciptakan citra perempuan di kehidupan nyata. Akan tetapi, dapat terjadi citra perempuan dalam karya sastra merupakan bayangan dari citra perempuan di kehidupan nyata. Dalam cerpen Suara, Aku Sepercik Air, dan Malam Kelabu karya Martin Aleida, terdapat gambaran perempuan yang menarik, karena perempuan digambarkan dengan kehidupan yang begitu pelik sekaligus dianugerahi kekuatan. Menurut Altenbernd, citraan adalah gambar-gambar angan atau pikiran, sedangkan setiap gambar pikiraan disebut citra atau imaji. Gambaran pikiran ini adalah sebuah efek dalam pikiran yang menyerupai, atau gambaran yang dihasilkan oleh pengungkapan objek. 23 Citraan adalah gambaran-gambaran angan atau pikiran. Setiap gambar pikiran disebut citra. Citra artinya rupa, gambaran; dapat berupa gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, atau kesan mental bayangan visual yang ditimbulkan oleh sebuah kata, frase, atau kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi. Citra wanita ialah diambil dari gambaran- gambaran citraan, yang ditimbulkan oleh pikiran, pendengaran, penglihatan, perabaan, atau pengecapan tentang wanita, karena diantara macam-macam citraan 22 Siswanto, op.cit., h. 162 23 Sugihastuti, Wanita Di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toeti Heraty, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000, h. 43 itu citra pemikiran tentang wanita yang dominan, citra wanita dapat disebut juga sebagai pemikiran tentang wanita. Citra wanita ini erat dengan pengertian citra diri; citra diri merupakan pengertian yang dapat dihubungkan dengan dua konsep lain yaitu, self concept dan self image. 24 Dapat dikatakan bahwa citra merupakan sebuah gambaran. Citra dapat berupa kesan mental yang timbul mengenai suatu objek. Berkaitan dengan citra perempuan dalam sebuah karya sastra, citra perempuan dalam sebuah karya sepenuhnya menjadi hak pengarang dalam pembentukannya. Citra perempuan merupakan bentuk gambaran tentang pemikiran perempuan. Banyak sekali karya sastra tercipta oleh pengarang laki-laki, jadi dapat dikatakan bahwa citra perempuan juga dibentuk oleh laki-laki dan perempuan menjadikan dirinya hanya sebagai pembaca tanpa menuntut emosi-emosi perempuan itu sendiri. Citra perempuan dalam karya sastra dapat menjadi citra umum perempuan sebenarnya. Oleh karena itu, karya sastra erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Wanita dicitrakan sebagai makhluk individu, yang beraspek fisis dan psikis, dan sebagai makhluk sosial, yang beraspek keluarga dan masyarakat. 25 Citra perempuan dalam sebuah karya sastra dapat terlihat sebagai makhluk individu yang mempunyai gambaran fisis tertentu. Dalam aspek psikis, perempuan juga merupakan makhluk yang mempunyai perasaan, pemikiran, serta aspirasinya sendiri. Sedangkan sebagai makhluk sosial, perempuan mempunyai citra dalam aspek keluarga dan masyarakat. Dalam keluarga, seorang perempuan menjadi istri dan ibu yang nantinya akan mengemban peran dan pekerjaan tertentu. Citra perempuan yang terbagi ke dalam fisis, psikis, dan sosial akan sangat berkaitan satu dengan yang lainnya. Aspek fisis perempuan akan mempunyai pengaruh terhadap perilaku serta psikologinya. Sedangkan pemikiran perempuan tentunya akan berpengaruh terhadap kehidupan sosialnya, baik dalam aspek keluarga maupun masyarakat. 24 Ibid, h. 45 25 Ibid., h. 46 Citra wanita dalam aspek fisis dan psikis dikonkretkan dalam kerangka sistem komunikasi sastra, yaitu menempatkannya dalam tegangan antara penyair, teks, pembaca, dan semestaan. 26 Citra fisis wanita sebagai tanda dapat dilihat dari dua arah, dari penyair sebagai pengirim atau dari pembaca sebagai penerima. Kedua- duanya tidak menimbulkan perbedaan karena ada kesamaan kode dengan realitas yang dihadapi bahwa fisik wanita itu tercitrakan melalui tanda-tanda tertentu yang sudah mapan dalam realitas. 27 Dapat dikatakan bahwa meskipun citra fisis perempuan dalam suatu karya sastra sepenuhnya adalah hasil kreatif dari pengarang, namun pembaca mempunyai kesamaan interpretasi dalam melihat fisik perempuan. Citra wanita dalam aspek sosial disederhanakan ke dalam dua peran, yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah bagian yang dimainkan seseorang pada setiap keadaan, dan cara bertingkah laku untuk menyelaraskan diri dengan keadaan. Peran dapat berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita. 28 Di samping citra wanita dalam keluarga yang tercakup pada citra wanita dalam aspek sosial, citra wanita dalam masyarakat juga muncul. Sikap sosial adalah konsistensi individu dalam memberikan respons terhadap objek-objek sosial, termasuk terhadap pria sebagai pasangan jenis kelaminnya. 29 Dapat dikatakan bahwa citra perempuan merupakan gambaran, pikiran, dan kesan yang ditampakkan oleh perempuan. Gambaran itu meliputi aspek fisis, psikis, dan sosial. Bagaimana gambaran perempuan dalam suatu masyarakat dan baik tidaknya gambaran perempuan ketika berperilaku dalam masyarakat juga terbentuk dari budaya dan masyarakat. Hal inilah yang nantinya akan menghasilkan stereotip dalam citra perempuan di kehidupan bermasyarakat. Citra perempuan yang disebarluaskan oleh sastra dapat terbentuk dari konsep stereotip 26 Ibid, h. 83 27 Ibid, h. 90-91 28 Ibid, 121 29 Ibid, h.131 yang ada. Konsep yang akhirnya menempatkan perempuan dalam suatu posisi yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan muncul sebagai gambaran dari efek pikiran tentang perempuan. Konsep stereotip menempati posisi penting dalam citra perspektif perempuan. Suatu stereotip terdiri dari reduksi person menjadi serangkaian ciri-ciri karakter yang dilebih-lebihkan, dan biasanya negatif. „Pen-stereotip-an mereduksi, mengesensialkan, mengalamiahkan, dan mematri “perbedaan”. 30 Stereotip merupakan pelabelan negatif terhdap perempuan, kendati lebih bernuansa mitos daripada realitas, ternyata muncul dalam berbagai aspek kehidupan dan berbagai media budaya Indonesia. 31 Pada hakikatnya, stereotip yang ada akan menimbulkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pun akan terjadi dalam semua aspek kehidupan manusia. Dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan, akan terjadi pemberian posisi yang lebih kuat. Pada akhirnya, perempuan akan menempati posisi yang berbeda dari laki-laki. Pemberian posisi perempuan pada tempat yang lebih rendah tersebut ada karena patriarki pemerintahan ayah, yaitu sebuah sistem yang memungkinkan laki-laki dapat mendominasi perempuan pada semua hubungan sosial. Dengan demikian, perempuan bukan inferior karena nature, melainkan karena diinferiorisasi oleh culture, yaitu mereka diakulturisasi ke dalam inferioritas. Patriarki meletakkan perempuan sebagai laki-laki yang inferior dan pemahaman itu digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. 32 Menurut Beauvoir, budaya patriarkat cenderung menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kedua dalam tatanan masyarakatnya. Dengan kata lain, perempuan cenderung untuk dinomorduakan dalam masyarakat patriarkat. Dalam masyarakat tersebut tubuh dan identitas perempuan tidak dianggap sebagai suatu yang bebas. Budaya 30 Chris Barker penerjemah Nurhadi, Cultural Studies, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2013, h. 263 31 Umi Sumbullah, Spektrum Gender, Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008, h. 14 32 Adib Sofia, Perempuan dalam Karya-Karya Kuntowijoyo, Yogyakarta: Citra Pustaka, 2009, h.12