Cerpen Suara Citra Wanita dalam Aspek Psikis

tangan “Pinora, aku ingat betul kata-kata orang bijak yang sering kau ulang-ulang, tentang betapa mudahnya bangsa ini melupakan. Ratusan, ribuan, mungkin jutaan orang mati dengan kekerasan dalam banyak peristiwa berdarah. Dan orang dengan begitu mudah melupakannya. Apakah aku. Hanya seorang bidua n…” 85 Juwita yang merasa sedih akan perjuangannya yang terlupakan, menyesalkan seniman-seniman muda yang tak kenal dirinya. Pinora, teman Juwita sering mengatakan bahwa bangsa ini sering melupakan sejarah. Namun, Juwita tidak mampu lagi hidup sebagai biduan yang terlupakan. Dalam hal ini terlihat bahwa citra psikis Juwita sebagai perempuan yang mempunyai pikiran dan perasaan. Perempuan cenderung menggunakan perasaannya dalam bertindak. Juwita akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya karena perasaan sedih menjadi biduan yang terlupakan.

b. Cerpen Aku Sepercik Air

Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat aspek psikis yang tercitrakan pada tokoh Munah. Ketidakpastian wajah alam mini pun melamur-warnai perasaan orang dengan kecemasan, karena satu hari dari usia mereka akan tenggelam ditelan remang senja ini. Remang senja yang kurasakan bagai tangan ajaib, meraba dan meremas-remas hatiku. ” 86 Dalam kutipan tersebut, terlihat citra psikis Munah. Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa Munah menyamakan pemandangan yang dilihat dengan apa yang dirasakannya. Perasaan yang membuat hatinya merasa di belenggu. Munah merasakan senja itu terjadi pula pada dirinya. Dirinya yang memasuki usia tidak muda lagi. Munah juga merasakan kecemasan yang melanda tidak dapat dikalahkan oleh dirinya sendiri. Kecemasan yang hanya membelenggu dan 85 Ibid, h. 39-40 86 Martin Aleida, Leontin Dewangga, h. 96 tidak dapat terlepas darinya. Gambaran tentang kecemasaannya itu pun terlihat dalam kutipan berikut. “Jika engaku seorang yang berbahagia di atas bumi ini, seorang yang memiliki kekayaan yang menimbulkan iri hati orang-orang yang sengsara, kau juga tak trkecuali diburu kecemasan di senja begini. Hanya saja kau bisa memerangi kecemasan dengan pergi ke tempat pesiar, ke tempat-tempat yang bagus, bioskop-bioskop yang mewah, pantai-pantai hiburan yang merangsang. Di sana tentu dengan gampang kecemasan itu bisa kau kalahkan. Tapi, orang-orang seperti aku ini hanya bisa termenung dan jadi bodoh dalam lamunan mengenangkan kegagalan-kegagalan yang telah kami lakukan siang tadi. Gaduh dengan ratusan pikiran dan rencana yang bakal kami laksanakan esok. Andainya sepanjang siang tadi, ya seandainya seluruh senja yang celaka ini takkan terlalu menyesakkan pikiranku. Lebih dari empat puluh aku sekarang. Anakku cuma dua. Yang tertua laki-laki, jadi duda sekarang. Yang satu lagi gadis yang sedang ranum remaja. ” 87 Dalam kutipan tersebut terlihat bagaimana kecemasan yang membuat sengsara diri Munah. Kesengsaraan yang mungkin akan dapat dikalahkan oleh orang lain, namun tidak pada Munah. Nasib Munah yang tidak memiliki kekayaan, membuatnya merasa tidak sanggup mengalahkan kecemasan itu. Munah merasa menyesal akan kehidupan di masa muda, yang akhirnya menyebabkan kehidupaannya sekarang tidak tenang. Kecemasan juga tidak hanya tentang dirinya sendiri. Dalam kutipan tersebut tersirat bahwa Munah mencemaskan kedua anakknya. Mencemaskan anak laki-lakinya yang menjadi duda dan mencemaskan anak gadis yang sedang ranum remaja. Dapat diketahui bahwa ada kecemasan orang tua ketika mempunyai anak remaja, apalagi anak perempuan. Orang tua harus selalu memberikan pengawasan dan pengertian kepada anak remajanya. Karena pada saat remaja, anak-anak mulai ingin mencoba segala hal dengan kondisi yang belum matang dalam pemikiran. Terlihat citra Munah sebagai seorang ibu yang mencemaskan anak-anaknya. 87 Ibid, h. 97 Citra sebagai perempuan yang peka pada Munah pula, akan membentuk citra psikis. Seperti dalam kutipan berikut. “Kemudian menjalar cerita ke tengah-tengah penduduk. Sebenarnya lebih tepat kalau kunamakan rayuan yang muluk-muluk tentang Medan, Singapura dan Jakarta. Tentang Jakarta, demikianlah cerita itu mendongeng; seorang pendatang yang hanya membawa sepasang pakaianyang melekat di tubuhnya bisa menjadi kaya-raya. Pemungut puntung rokok bisa membangunn pabrik rokok kretek. Pendeknya, Jakarta kota sejuta kemungkinan. Orang-orang jadi tergoda oleh rayuan kota-kota harapan ini. Suamiku pun turut gila karena godaan itu. Orang, jangankan diajak berbuat baik buat sesamanya, berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri pun tak mau. Cobalah bayangkan barang sejenak. Andainya penduduk kota yang berbilang ribuan itu saban pagi menjemput segenggam pasir gosong dan menimbunkannya ke tepian, kupikir mata pencahariaan mereka yang sama sekali tergantung pada sungai itu tentulah akan tertolong. Asahan tertolong. ” 88 Dalam kutipan terlihat bahwa kepekaan Munah akan lingkungaannya membentuk pandangan Munah akan kota-kota besar yang menjadi tempat hijrah warga kotanya. Kota besar yang dianggapnya sebagai kota sejuta kemungkinan. Apapun dapat terjadi di kota seperti Jakarta. Munah pun menganggap suaminya sudah gila karena tergoda dengan rayuan-rayuan yang ditawarkan kota besar. Kepekaan yang menimbulkan kepedulian Munah pun terlihat dalam kutipan tersebut. Munah menganggap bahwa sekarang rasa peduli orang- orang pun sudah hilang. Tidak hanya peduli untuk kepentingan bersama, peduli untuk kepentingan diri sendiri pun banyak yang sudah hilang dari orang-orang zaman sekarang. Hal tersebut menggambarkan citra Munah dalam aspek psikis, yaitu pemikiran dan perasaan yang dirasakaannya akan lingkungan di hidupnya. Dalam cerpen Aku Sepercik Air terlihat pula citra psikis yang terlihat pada tokoh Munah. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. 88 Ibid, h. 98 “Jatuhnya usaha suamiku ini tiada memberikan pengaruh apa-apa terhadap diriku. Aku tak mengejek dia karena dia gagal. Tak mempertahankan sikapku bahwa biar bagaimanapun janganlah kita meninggalkan kota kelahiran sebagaimana yang pernah kukatakan dulu. Tetapi, dalam kejatuhannya itu suamiku bukannya lebih bersatu dengan anak-anak kami. Pengakit lamanya kambuh kembali, penyakit laki-laki yang diperbudak birahi. Dia melakukan hubungan dengan perempuan lain. Agama, menurut pengertiannya mengizinkan dia mempermadu aku. Tapi, Tuhan tentu tidak membiarkan dia menyakiti hatiku. Saudaraku, jika engkau seorang istri adakah siksa dunia yang lebih pedih daripada dimadu? Kalaupun engkau tak percaya akan neraka di akhirat nanti, baiklah. Tapi, di dunia ini? Akan kau rasakan panasnya bara neraka bila satu ketika kau dimadu. Aku bukan tak mengizinkan dia untuk kawin lagi. Aku mengerti. Aku memahami kebutuhannya. Namun, aku minta diceraikan dan supaya dia mengongkosi aku pulang. Ceraikan dan aku mau pulang. Cuma itu. Tidakkah permintaanku itu masuk akal. ” 89 Dalam kutipan tersebut terlihat citra psikis yang dialami tokoh Munah. Ia menggambarkan kepatuhannya terhadap suami, walaupun ia tidak ingin pergi ke Jakarta dulu kala. Namun di tengah kesetiaannya, lelaki yang dianggapnya mempunyai suatu penyakit yang melekat, penyakit yang diperbudak birahi telah menyerang suaminya. Munah merasakan penderitaan yang dianggapnya sebagai neraka di dunia. Munah hanya ingin hubungannya berakhir dengan baik. Walaupun Munah menganggap dirinya sendiri lemah, ia masih mampu berpikir bahwa pengkhianatan suaminya harus dilawan oleh dirinya. Seperti terlihat dalam kutipan berikut. “Aku merasa diriku diperlakukan sewenang-wenang. Aku harus melawan. Melawan, untuk menghancurkan si pendosa. Aku tahu dia memiliki tenaga yang tak bisa kuduga kekuatannya. Karena itu aku harus menyambung dengan sebilah kapak. Adil bukan? Tetapi, aku tak yakin bahwa aku akan menang dan dia akan menggeletak di ujung kaki istrinya. Barusan saja aku seakan-akan mendapat firasat untuk membatalkan niatku itu. Pergulatan itu hanya akan membawa maut 89 Ibid, h. 11