Simpulan Saran Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Banteng (Bos javanicus) Based on Demographic Parameters at Alas Purwo National Park, Banyuwangi, East Java

Eliminasi R pada persamaan 4 dan 5 0.787 A + 0.029R = 17,320 x -0,090 0,588A - 0,090R = 9,876 x 0,029 Menjadi -0,071A - 0,003R = -1,551 0,017A -0,003R = 0,284 0,087A = -1,835 A = , , = , = 21 Eliminasi A pada persamaan 4 dan 5 0.787 A + 0.029R = 17,320 x 0,588 0,588A - 0,090R = 9,876 x 0,787 Menjadi 0,463A + 0,017R = 10,185 0,463A - 0,071R = 7,777 – 0,087 R = 2,408 R = , , = , = 28 Eliminasi A pada persamaan 1 dan 2 A + R + D = 72 x 0,453 0,453A+1,212R+1,241D = 72 x 1 Menjadi 0,453A+0,453R+0,453D = 32,625 0,453A+1,212R+1,241D = 72 - -0,759 R -0,787D = -39,375 ……………………..6 Eliminasi A pada persamaan 1 dan 3 A + R + D = 72 X 0,549 0,549A+1,227 R+1,137D = 72 X 1 Menjadi 0,549A+0,549R+0,549D = 52,126 0,549A+1,227 R+1,137D = 72 - -0,678R -0,588D = -32,464 ……………………7 Eliminasi R pada persamaan 6 dan 7 -0,759 R -0,787D = -39,375 x -0,678 -0,678R -0,588D = -32,464 x -0,759 Menjadi 0,514R + 0,534D = 26,682 0,514R + 0,446D = 24,631 – 0,087D = 2,051 D = , , = | , | = 23 Lampiran 3 Tabel perkembangan populasi banteng di TN Alas Purwo Tahun Anak Remaja Dewasa Total 2012 12 22 38 72 2013 16 22 38 76 2014 16 23 38 77 2015 16 25 37 78 2016 15 26 37 78 2017 16 28 36 80 2018 16 28 37 81 2019 16 28 37 81 2020 16 28 38 82 2021 17 29 38 84 2022 17 29 39 85 2023 17 29 39 85 2024 17 30 40 87 2025 17 30 41 88 2026 18 30 42 90 2027 18 31 43 92 2028 19 31 44 94 2029 19 32 45 96 2030 19 33 45 97 2031 20 33 46 99 2032 20 34 46 100 2033 20 34 47 101 2034 20 35 47 102 2035 21 35 48 104 2036 21 36 49 106 2037 21 36 49 106 2038 22 37 50 109 2039 22 37 51 110 2040 22 38 52 112 2041 22 38 52 112 2042 23 39 53 115 2043 23 39 54 116 2044 23 40 55 118 2045 24 41 55 120 2046 24 41 56 121 2047 24 42 57 123 2048 25 42 58 125 2049 25 43 58 126 2050 25 43 59 127 2051 26 44 60 130 2052 26 44 61 131 2053 26 45 61 132 2054 27 45 62 134 2055 27 46 63 136 2056 27 46 64 137 2057 28 47 64 139 2058 28 48 65 141 2059 28 48 66 142 2060 29 49 67 145 2061 29 49 67 145 2062 29 50 68 147 2063 29 50 69 148 2064 30 51 69 150 2065 30 51 70 151 Lampiran 3 Lanjutan Tahun Anak Remaja Dewasa Total 2066 30 52 71 153 2067 31 52 72 155 2068 31 53 72 156 2069 31 53 73 157 2070 32 54 74 160 2071 32 54 74 160 2072 32 55 75 162 2073 33 56 76 165 2074 33 56 77 166 2075 33 57 77 167 2076 33 57 78 168 2077 34 58 79 171 2078 34 58 79 171 2079 34 59 80 173 2080 35 59 81 175 2081 35 59 81 175 2082 35 60 82 177 2083 35 60 83 178 2084 36 61 83 180 2085 36 61 84 181 2086 36 62 85 183 2087 37 62 85 184 2088 37 63 86 186 2089 37 63 86 186 2090 37 64 87 188 2091 38 64 88 190 2092 38 65 88 191 2093 38 65 89 192 2094 38 65 89 192 2095 39 66 90 195 2096 39 66 91 196 2097 39 67 91 197 2098 39 67 92 198 2099 40 67 92 199 2100 40 68 93 201 2101 40 68 93 201 2102 40 69 94 203 2103 40 69 94 203 2104 41 69 95 205 2105 41 70 95 206 2106 41 70 96 207 2107 41 70 96 207 2108 42 71 97 210 2109 42 71 97 210 2110 42 72 98 212 2111 42 72 98 212 2112 42 72 99 213 2113 43 73 99 215 2114 43 73 100 216 2115 43 73 100 216 2116 43 74 100 217 2117 43 74 101 218 2118 43 74 101 218 2119 44 74 102 220 2120 44 75 102 221 Lampiran 3. Lanjutan Tahun Anak Remaja Dewasa Total 2121 44 75 103 222 2122 44 75 103 222 2123 44 76 103 223 2124 44 76 104 224 2125 45 76 104 225 2126 45 76 104 225 2127 45 77 105 227 2128 45 77 105 227 2129 45 77 105 227 2130 45 77 106 228 2131 46 78 106 230 2132 46 78 106 230 2133 46 78 107 231 2134 46 78 107 231 2135 46 79 107 232 2136 46 79 108 233 2137 46 79 108 233 2138 46 79 108 233 2139 47 79 109 235 2140 47 80 109 236 2141 47 80 109 236 2142 47 80 109 236 2143 47 80 110 237 2144 47 80 110 237 2145 47 81 110 238 2146 47 81 110 238 2147 48 81 111 240 2148 48 81 111 240 2149 48 81 111 240 2150 48 82 111 241 2151 48 82 112 242 2152 48 82 112 242 2153 48 82 112 242 2154 48 82 112 242 2155 48 82 113 243 2156 48 82 113 243 2157 48 83 113 244 2158 49 83 113 245 2159 49 83 113 245 2160 49 83 114 246 2161 49 83 114 246 2162 49 83 114 246 2163 49 83 114 246 2164 49 84 114 247 2165 49 84 114 247 2166 49 84 115 248 2167 49 84 115 248 2168 49 84 115 248 2169 49 84 115 248 2170 49 84 115 248 2171 49 84 115 248 2172 50 85 115 250 2173 50 85 116 251 2174 50 85 116 251 2175 50 85 116 251 Lampiran 3. Lanjutan Tahun Anak Remaja Dewasa Total 2176 50 85 116 251 2177 50 85 116 251 2178 50 85 116 251 2179 50 85 116 251 2180 50 85 117 252 2181 50 85 117 252 2182 50 85 117 252 2183 50 86 117 253 2184 50 86 117 253 2185 50 86 117 253 2186 50 86 117 253 2187 50 86 117 253 2188 50 86 117 253 2189 50 86 118 254 2190 50 86 118 254 2191 51 86 118 255 2192 51 86 118 255 2193 51 86 118 255 2194 51 86 118 255 2195 51 86 118 255 2196 51 86 118 255 2197 51 87 118 256 2198 51 87 118 256 2199 51 87 118 256 2200 51 87 118 256 2201 51 87 119 257 2202 51 87 119 257 2203 51 87 119 257 2204 51 87 119 257 2205 51 87 119 257 2206 51 87 119 257 2207 51 87 119 257 2208 51 87 119 257 2209 51 87 119 257 2210 51 87 119 257 2211 51 87 119 257 2212 51 87 119 257 Lampiran 5 Hasil analisis sensitivitas peluang hidup dan fekunditas terhadap ukuran populasi minimum lestari No Skenario Ukuran MVP ekor Prosentase anak remaja dewasa total 1 Peluang hidup dan fekunditas awal 16 29 48 93 2 Peluang hidup dan fekunditas turun 10 27 38 23 88 - 6 3 Peluang hidup dan fekunditas turun 20 25 40 16 81 -13 4 Peluang hidup dan fekunditas turun 30 24 41 13 78 -17 5 Peluang hidup dan fekunditas turun 40 23 42 10 75 -19 6 Peluang hidup dan fekunditas turun 50 21 44 8 72 -22 7 Peluang hidup dan fekunditas naik 10 29 34 39 103 10 8 Peluang hidup dan fekunditas naik 20 31 33 51 114 23 9 Peluang hidup dan fekunditas naik 30 32 32 67 131 40 10 Peluang hidup dan fekunditas naik 40 33 30 87 151 62 11 Peluang hidup dan fekunditas naik 50 35 29 114 177 90 ABSTRACT MASUDAH . Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Banteng Bos javanicus Based on Demographic Parameters at Alas Purwo National Park, Banyuwangi, East Java. Under direction of YANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUSTARI One of the main goals of conservation is to maintain sustainability and to increase the population size of living species. In order to conserve an important wildlife population, Minimum Viable Population MVP and Optimum Viable Population OVP are the main population parameters that must be known. Banteng Bos javanicus are protected by the conservation law yet on the other hand has a great economic value for human. Research on MVP of banteng has not yet been performed up until now, and this was the main reason for undertaking a certain study. The aims of this study were to determine MVP and OVP of banteng as a basic point of wildlife management. To obtain the actual condition of the population population size, sex ratio and age classes an inventory method of Concentration Count was used, performed in Sadengan grazing field. Based on the assumption that all banteng would gather at this certain location, the counting was performed within 18 repetition and the largest counted number was then considered as the population size. The Algebra linear equation system from Leslie’s matrix was used to determine MVP, while the density dependence of Leslie’s matrix was used to determine the OVP. The population size used as base of calculation was the size of female population, and as for the male population size was predicted using the initial population’s sex ratio. The result showed that the MVP of banteng in Alas Purwo National Park was 94 with the domination of females in each of age classes, which predicted would occur in a year ahead 2013. As for the OVP was 149, also dominated by females and predicted to be occured in the next 30 years 2024. Keywords: minimum viable population, optimum viable population, concentration count, banteng RINGKASAN MASUDAH. Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Banteng Bos javanicus berdasarkan Parameter Demografi di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI Sebagai kawasan konservasi di mana kategori wilayah penyebaran banteng berstatus Confirmed Range, TN Alas Purwo merupakan salah satu kawasan prioritas pada Program Pengelolaan Populasi Banteng di Pulau Jawa. Selain itu, TN Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang telah menerapkan sistem pengelolaan kawasan berbasis resort sehingga manajemen pengelolaannya sudah berbasis kinerja petugas di level terendah dalam pengelolaan taman nasional. Salah satu tolok ukur dari kelestarian adalah ukuran populasi minimum lestari atau Minimum Viable Population MVP. Penentuan ukuran populasi minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam penyusunan rencana pengelolaan spesies. Selain ukuran populasi minimum lestari, ukuran populasi optimum lestari atau Optimum Viable Population OVP juga penting untuk dikaji. Ukuran populasi optimum lestari merupakan kondisi di mana pada ukuran populasi tersebut laju pertumbuhan populasi akan maksimal. Dengan laju pertumbuhan maksimal, populasi akan bertambah dengan cepat. Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan Maret s.d Agustus 2012. Data demografi banteng yang diperlukan meliputi: ukuran populasi, kelas umur, seks rasio, peluang hidup, fekunditas, dan usia kawin. Data yang dikumpulkan di lapangan berupa ukuran populasi, kelas umur dan sex rasio. Peluang hidup dan fekunditas didapatkan dari hasil analisis data lapangan sedangkan usia kawin didapatkan dari hasil studi pustaka. Penghitungan populasi dilakukan dengan metode penghitungan terkonsentrasi dengan asumsi bahwa pada saat pengamatan, banteng berkumpul di Padang Penggembalaan Sadengan. Pengamatan dilakukan selama 18 kali ulangan. Ukuran populasi tertinggi merupakan ukuran populasi pada saat pengamatan. Penentuan ukuran populasi minimum lestari didasari dari pemikiran bahwa kelestarian tercapai jika setidaknya populasi akhir sama dengan atau lebih dari populasi awal. Pada penelitian ini, populasi awal adalah ukuran populasi pada saat pengamatan. Persamaan populasi awal dan populasi akhir didapatkan dari penjabaran matriks Leslie yang dimodifikasi. Persamaan-persamaan tersebut dieliminasi untuk mendapatkan ukuran populasi minimum lestari pada setiap kelas umur. Penentuan ukuran populasi optimum lestari dilakukan dengan memproyeksikan populasi awal pertahun dengan menggunakan matriks Leslie terpaut kepadatan Density Dependent sehingga dapat dilihat pertumbuhan populasinya. Populasi optimum lestari adalah ukuran populasi pada tahun ke-t di mana selisih antara Nt dengan Nt+1 merupakan selisih terbesar di antara tahun- tahun lainnya. Waktu yang digunakan pada proyeksi populasi ini adalah 200 tahun. Populasi yang digunakan sebagai populasi awal dalam proyeksi matriks Leslie ini hanya populasi jenis kelamin betina. Ukuran populasi pada jantan didapatkan dari perbandingan seks rasio. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran populasi minimum lestari banteng di TN Alas Purwo adalah 94 ekor dengan jumlah betina anak 21 ekor, jantan anak 7 ekor, betina remaja 28 ekor, jantan remaja 9 ekor, betina dewasa 23 ekor, dan jantan dewasa 6 ekor dan diprediksi akan tercapai satu tahun mendatang. Ukuran Populasi optimum lestari banteng di TN Alas Purwo adalah 149 ekor dengan jumlah anak betina 23 ekor, anak jantan 8 ekor, betina remaja 39 ekor, jantan remaja 12 ekor, betina dewasa 53 ekor, dan jantan dewasa 14 ekor dan diprediksi akan tercapai 30 tahun yang akan datang atau pada tahun 2042. Kata kunci : populasi minimum lestari, populasi optimum lestari, metode terkonsentrasi, banteng I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Banteng sebagai salah satu jenis satwa liar memiliki nilai ekonomi dan budaya yang penting bagi umat manusia sejak dahulu, yaitu sebagai sumber protein, bahan untuk membuat peralatan baik dari tulang maupun tanduknya, kepercayaan, dan alat penutup tubuh Alikodra 1983. Sejak tahun 1996, banteng dikategorikan “Endangered” atau “Terancam Kepunahan” dalam Red Data List IUCN International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. Banteng juga dilindungi oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Di Indonesia, populasi dan habitat banteng terus menurun. Ancaman utama adalah konversi lahan dan kerusakan habitat, perburuan liar dan predator. Populasi banteng hanya terkonsentrasi di kawasan hutan, terutama di kawasan konservasi. Beberapa lokasi yang masih bisa dijumpai adanya banteng antara lain di Taman Nasional TN Ujung Kulon, TN Baluran, TN Meru Betiri, dan TN Alas Purwo, serta di beberapa kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan kawasan konservasi tersebut. Sebagai kawasan konservasi berstatus Confirmed Range untuk penyebaran banteng di Indonesia, TN Alas Purwo merupakan salah satu kawasan prioritas pada Program Pengelolaan Populasi Banteng di Pulau Jawa Kemenhut, 2011. Selain itu, TN Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang telah menerapkan sistem pengelolaan kawasan berbasis resort sehingga manajemen pengelolaannya sudah berbasis kinerja petugas di level terendah dalam pengelolaan taman nasional yang sudah mengcover pengelolaan banteng sebagai unit tersendiri. Salah satu tolok ukur dari kelestarian pengelolaan banteng adalah ukuran populasi minimum lestari atau Minimum Viable Population MVP. Penentuan ukuran populasi minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam penyusunan rencana pengelolaan spesies. Ukuran populasi minimum lestari merupakan tujuan utama dalam konservasi biologi Shaffer 1981, Soule 1995; Wielgus 2001. Keberhasilan upaya pelestarian dicirikan oleh ukuran populasi yang mencapai MVP, di mana dipastikan tidak akan terjadi penurunan ukuran populasi. Ukuran populasi optimum lestari atau Optimum Viable Population OVP menunjukkan keadaan pertumbuhan populasi maksimal, di mana populasi akan bertambah dengan cepat. Kondisi ini perlu dipertahankan jika pengelolaan satwa bertujuan untuk pemanfaatan. Penelitian tentang MVP dan OVP banteng sampai saat ini belum dilakukan. Pada umumnya ukuran populasi minimum lestari maupu ukuran optimum lestari yang diperoleh merupakan ukuran populasi secara keseluruhan dan belum menunjukkan komposisiperbedaan kelas umur, padahal peluang hidup pada masing-masing kelas umur berbeda. Data dan informasi ini sangat penting dalam rangka pengaturan populasi agar kelestariannya terjamin dalam jangka panjang Wielgus 2001. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari banteng berdasarkan parameter demografi untuk setiap kelas umur dan jenis kelamin.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan ukuran populasi minimum lestari banteng pada setiap kelas umur dan jenis kelamin; 2. Menentukan ukuran populasi optimum lestari banteng pada setiap kelas umur dan jenis kelamin.

1.3 Kegunaan

Hasil penghitungan nilai populasi minimum dan optimum lestari ini diharapkan dapat dijadikan target pengelolaan banteng sehingga kelestariannya terjaga. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk penentuan kuota tangkap dan acuan waktu pemanenan. Selain itu, data yang diperoleh bermanfaat sebagai data pendukung dalam rencana aksi pengelolaan banteng secara nasional. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Banteng 2.1.1 Taksonomi Lekagul dan McNeely 1977 mengklasifikasikan banteng ke dalam dunia Animalia, filum Choerdata, kelas Mammalia, orda Artiodactyla, Famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos javanicus dan sub species Bos javanicus javanicus terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina.

2.1.2 Morfologi dan Anatomi

Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya. Tinggi pundak banteng mencapai 120-70 cm. Bagian dada banteng terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Maryanto et al. 2008 menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg. Banteng asal Kalimantan umumnya mempunyai ukuran lebih pendek atau kecil. Banteng juga memiliki warna kulit dan sepasang tanduk yang dapat membedakan jenis kelamin dan umur banteng. Banteng jantan memiliki warna kulit hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya. Banteng betina tubuhnya berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Anak banteng baik yang jantan maupun betina berwarna coklat, sehingga sulit untuk dibedakan jenis kelaminnya. Tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil Lekagul McNeely 1997; Maryanto et al. 2008.

2.1.3 Penyebaran Geografi

Hoogerwerf 1970 mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya, dan Indonesia Kalimantan dan Jawa dengan memperkirakan bahwa populasi banteng tahun 1940 sekitar 200 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Peta sebaran banteng dapat dilihat pada Gambar 1. Sumber : IUCN-SSC Asian Wild Cattle Specialist Group 2010 Gambar 1 Peta sebaran banteng. Saat ini, status sebaran banteng di Indonesia dibagi dalam empat kategori Kemenhut 2011, yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat banteng confirmed range, kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng possible range, kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng doubtful range, dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng former range atau extirpated. Peta status sebaran banteng selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Recana Aksi Konservasi Bateng 2011-2020 Gambar 2 Peta status sebaran banteng di Indonesia.

2.1.4 Habitat

Habitat merupakan suatu rangkaian interkasi antara komponen biotik dengan komponen abiotik yang ditempati oleh suatu komunitas atau populasi kehidupan. Komponen biotik terdiri dari berbagai organisme yang hidup, sedangkan komponen abiotik terdiri dari berbagai benda mati atau faktor-faktor lingkungan yang mendukung atau sering berinteraksi dengan komponen biotik, seperti iklim, suhu, kelembaban, tanah dan sebagainya. Keberadaan kedua komponen tersebut akan mempengaruhi kelengkapan suatu habitat bagi suatu spesies di segala musim ataupun pada musim-musim tertentu. Alikodra 2002 menyatakan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies termasuk sumber makanan, minum dan perlindungan cover, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil.

2.1.4.1 Pakan

Hoogerwerf 1970 berdasarkan hasil pengamatannya di TN Ujung Kulon menunjukkan bahwa komposisi pakan banteng terdiri atas 20 spesies rumput, dan 70 spesies non rumput yang hampir semuanya adalah jenis-jenis tumbuhan hutan sekunder, dan hanya enam jenis yang merupakan spesies hutan primer. Pairah 2007 berdasarkan hasil penelitian di TN Alas Purwo bahwa makanan banteng terdiri dari 22 jenis rumput dan 55 jenis non rumput. Banteng jika dilihat dari komposisi pakan di atas, sebagai hewan herbivora lebih dominan memakan rumput-rumputan grazer. Akan tetapi Hoogerwerf 1970 juga menambahkan hasil penelitiannya pada lambung beberapa banteng jantan yang tertembak di Cianjur Selatan ditemukan bahwa pakan banteng hampir seluruhnya terdiri dari non rumput, yaitu daun-daun Trema orientale, Passiflora foetida, Lygodium sp., dan Musa sp., bahkan ada satu banteng yang pakannya hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan yaitu Passiflora foetida. Penelitian Muntasib dan Masy’ud 2000 juga menguatkan bahwa banteng diperkirakan telah mengalami perubahan pola makan dari grazer menjadi peragut pemakan daun dan semak, karena dari proporsi jenis non rumput termasuk jenis hijauan yang relatif memiliki serat kasar tinggi yang dimakan banteng lebih besar dari pada jenis rumput, yaitu mencapai 48,2.

2.1.4.2 Ketersediaan Air

Kebutuhan air yang digunakan banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan juga air laut untuk memenuhi kebutuhan garammineralnya. Kebutuhan banteng akan air tawar biasanya dapat dipenuhi dari sumber-sumber air alami, seperti sungai, kawasan karst, genangan-genangan air pada musim hujan dan sebagainya. Sumber air lainnya, yaitu dari sumber air buatan yang biasanya ditampung dalam bak penampungan. Santosa dan Delfiandi 2007 berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa banteng di TN Alas Purwo memenuhi kebutuhan airnya berasal dari 2 sumber, yaitu sumber alami dari aliran sungai gua-gua yang mengalir sepanjang tahun dan sumber air buatan yang ditampung dalam bak penampungan air dan sprinkle. Banteng di TN Ujung Kulon untuk memenuhi kebutuhan airnya hanya bersumber dari Sungai Cidaun dan Sungai Cijungkulon Alikodra 1983. Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra 1983 menyatakan bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang, akan sangat mempengaruhui kelangsungan kehidupan satwa liar. Dengan demikian, kebutuhan banteng akan air pun sangat penting untuk pertumbuhannya.

2.1.4.3 Cover

Habitat utama banteng adalah di hutan tropis atau sub tropis kering dan savana. Banteng tinggal pada dataran terbuka dan kering di daerah hutan sekunder akibat penebangan maupun kebakaran, dan jarang ditemukan pada dataran tinggi, sehingga banteng ini termasuk satwa dataran rendah. Alikodra 1983 menyatakan bahwa tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air. Banteng merupakan satwaliar yang menyukai tipe habitat yang lebih terbuka Hoogerwerf 1970. Akan tetapi Lekagul McNeely 1977 menjelaskan bahwa sebelum perang dunia II banteng selalu merumput di tempat terbuka selama pagi hari dan sore hari, dan beristirahat di bawah hutan pada saat matahari bersinar sangat terik. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa hutan yang tertutup tidak cocok sebagai habitat banteng, areal terbuka di dalam atau di pinggiran hutan lebih cocok sebagai habitat banteng. Sebagai contoh di Jawa, Banteng tidak termasuk ke dalam jenis yang hidup di dalam hutan, namun hidup pada areal terbuka berumput atau ditumbuhi rumput yang mirip tanaman grasslike plants, dan memiliki hutan yang tertutup di salah satu bagian kawasan seperti di TN Ujung Kulon.

2.1.5 Perilaku

Alikodra 2002 menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra 1983 menyatakan bahwa banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput grazer dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak browzer. Banteng merupakan satwa herbivora yang lebih sebagai pemakan rumput grazer daripada sebagai pemakan semak browzer sehingga lebih menyukai habitat yang terbuka untuk mencari makan. Menurut Priyatmono 1996, banteng kurang menyukai hutan primer yang tidak terdapat semak-semak atau tumbuhan bawah yang merupakan makanannya, sedangkan menurut Alikodra dan Sastradipradja 1983, hutan dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat berlindung dari kondisi cuaca yag tidak menentu.

2.2 Status Perlindungan Banteng

Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan terhadap banteng sejak tahun 1931 melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 yang tertulis dengan nama Bos sondaicus. Penurunan populasi banteng yang terus terjadi menyebabkan pemerintah mengambil salah satu langkah untuk melestarikan banteng dengan menetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang SK Menteri pertanian No.327KptsUm71972 yang dilakukan di sejumlah kawasan konservasi di Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah kembali menguatkan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang dilindungi melalui Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Status konservasi banteng berdasarkan IUCN Red Data List telah mengalami perubahan dari rentanvulnerable pada tahun 1986-1994 menjadi terancamendangered berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80 dalam tiga generasi terakhir dan p enurunan secara keseluruhan minimal 50 berdasarkan pengamatan langsung, penurunan tingkat kejadian, perdagangan ilegal tingkat tinggi bagian Banteng terutama tanduk, dan karena adanya perdagangan daging secara tak terkendali di Asia Tenggara dan dari berburu untuk perdagangan tanduk, serta hilangnya habitat dan degradasi di Jawa IUCN 2004. Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN 2004 adalah : 1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk; 2. Spesies asing invasive yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor; 3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan oleh manusia; 4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakitpathogen. 2.3 Parameter Demografi 2.3.1 Natalitas Populasi meningkat karena natalitas. Tingkat natalitas setara dengan angka kelahiran, natalitas hanya menjadi kata yang lebih luas yang mencakup produksi individu baru dengan kelahiran, penetasan, perkecambahan, atau fisi. Tingkat natalitas dapat dinyatakan sebagai jumlah organisme lahir per wanita per satuan waktu. Pengukuran tingkat natalitas atau kelahiran sangat tergantung pada jenis organisme yang dipelajari Krebs 1978. Natalitas merupakan jumlah individu baru anak yang lahir dalam suatu populasi yang dapat diyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu Odum 1971. Natalitas dapat dinyatakan dalam laju kelahiran kasar crude birth rate, yaitu perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada satu periode waktu; dan laju kelahiran pada umur spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk dalam kelas umur tertentu Alikodra 2002. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju induk melahirkan anak adalah Deshmukh 1992 : 1 Jumlah anak yang dihasilkan dalam setiap kelahiran; 2 Waktu antara satu kejadian reproduksi dengan kejadian berikutnya; dan 3 Umur reproduksi yang pertama.

2.3.2. Mortalitas

Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas dapat dihitung lajunya sebagai angka kematian, jumlah hewan yang mati selama unit waktu biasanya satu tahun dibagi dengan jumlah hidup pada awal satuan waktu Deshmukh 1992; Sinclair et al. 2006. Pola kematian karena umur lanjut digambarkan melalui kurva kelangsungan hiduppeluang hidup survivorship curve. Peluang hidup adalah kemampuan individu kelas umur tertentu untuk hidup pada kelas umur di atasnya. Setiap makhluk hidup memiliki tipe kurva peluang hidup yang berbeda-beda. Secara umum tipe survivorship dibedakan menjadi tiga tipe seperti pada Gambar 3. Sumber : Pearl 1928 dalam Krebs 1978 dan Hasibuan 1988 Gambar 3. Kurva survivorship. Tipe 3 Tipe 2 Tipe 1 Peluang Hidup Umur Kurva tipe 1 merupakan gambaran populasi yang setelah kelahiran tidak mengalami penurunan, akan tetapi menjelang periode umur tertentu mengalami penurunan yang drastis. Beberapa populasi mamalia besar dan manusia termasuk kedalam kurva tipe 1. Kurva tipe 2 menggambarkan angka kematian yang relatif tetap untuk setiap kelas umur dari suatu populasi, kurva tersebut membentuk garis diagonal. Kurva tipe ini merupakan ciri dari kurva survivorship pada binatang pengerat, beberapa jenis burung dan populasi invertebrata. Kurva tipe 3 menyatakan suatu keadaan laju kematian sangat tinggi pada awal hidupnya, seperti yang terjadi pada ikan, kemudian berangsur-angsur menurun sampai tahap akhir dari satu periode hidup Krebs 1978; Hasibuan 1988; Deshmukh 1992. Beberapa faktor yang mempengaruhi kematian antara lain karena adanya predator, penyakit, dan bahaya lain yang mengancam jauh sebelum organisme mencapai usia tua Krebs 1978.

2.3.3 Perkembangbiakan dan Reproduksi

Kemampuan berkembang biak menentukan kelestarian suatu populasi. Banteng melakukan perkawinan dalam suatu periode waktu tertentu yang tergantung dari lokasinya. Menurut Lekagul dan McNeely 1977, musim kawin banteng di Thailand adalah dalam bulan Mei dan Juni. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa musim kawin banteng di Suaka Alam Ujung Kulon adalah dalam bulan Juli, September, dan Oktober, kadang-kadang juga dalam bulan Nopember dan Desember. Perkawinan tersebut biasanya dilakukan pada waktu malam hari. Lamanya bayi dalam kandungan adalah 9,5-10 bulan, jumlah anak setiap induk berkisar antara 1-2 ekor, namun kebanyakan 1 ekor setiap induk. Anaknya dilahrkan dalam satu menit, 40 menit kemudian anaknya sudah dapat berdiri, 60 menit kemudian menyusu induknya. Selanjutnya anaknya akan disapih dalam umur 10 bulan. Banteng liar menurut Hoogerwarf 1970 termasuk monoestrus, artinya mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Umur termuda banteng betina untuk mulai berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan untuk jantan lebih dari 3 tahun. Banteng dapat mencapai umur 21-25 tahun, sehingga seekor banteng betina sepanjang umurnya dapat menurunkan anak sebanyak 21 kali.

2.3.4 Struktur Umur dan Seks Rasio

Penyebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas. Biasanya populasi yang sedang berlangsung cepat akan mengandung bagian besar individu-individu muda, populasi yang stasioner memiliki pembagian kelas umur yang lebih merata, dan populasi yang menurun akan mengandung bagian besar individu-individu yang berusia tua Odum 1993. Individu-individu dalam populasi mencakup berbagai tingkatan umur. Struktur umur adalah proporsi individu dalam setiap kelas umur dari suatu populasi Deshmukh 1992. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk menilai prospek kelestarian satwa liar Alikodra 2002. Tarumingkeng 1994 menggolongkan struktur umur pada populasi dalam tiga pola, yaitu : 1. Struktur umur menurun yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi kecil pada kelas-kelas umur yang sangat muda dan muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu; 2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus; dan 3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar. Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa seks rasio banteng adalah 1:3 sampai 1:4; sedangkan Alikodra 1983 menyatakan seks rasio banteng di padang penggembalaan Cijungkulon adalah 1:6.

2.3.5 Penentuan Kelas Umur Banteng

Identifikasi umur satwa liar di lapangan mengalami banyak kesulitan, oleh karena itu penentuan kelas umur dapat ditentukan hanya berdasarkan morfologi dan perilaku satwa di lapangan. Kelas umur hanya dibagi dalam tiga kelas yaitu anak, remaja, dan dewasa. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa perkembangan tanduk dapat dipergunakan untuk mengetahui kelas umur dari banteng sampai mencapai umur kurang lebih 30 bulan. Tabel hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak dan panjang tanduk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak, dan panjang tanduk Kelamin Umur Tinggi sampai pundak cm Panjang tanduk cm Jantan 4.0 Hari 75 Tidak ada tanda-tanda Jantan 23.0 Hari 84 Benjolan kecil Jantan 36.0 Hari 92 Tanduk muncul di permukaan kulit Jantan 63.0 Hari 85 2 Jantan 70.0 Hari - 3 Jantan 6.5 Bulan 110 8 Jantan 9.5 Bulan 120 15 Jantan 12.0 Bulan 125 23 Jantan 20.5 Bulan 125 35 Jantan 2.5 Bulan 90 2 Betina 17.0 Bulan 118 9 Sumber : Hoogerwerf 1970 2.4 Populasi Minimum Lestari 2.4.1 Pengertian Menurut Soule 1995, MVP dapat diartikan sebagai seperangkat penduga yang merupakan hasil dari suatu proses sistematik untuk menduga spesies, lokasi dan kriteria kelestarian populasi. Proses tersebut mengacu pada analisis populasi atau Population Viability Analysis PVA. PVA merupakan tahap lanjut dari analisis demografi yang bertujuan untuk mempelajari apakah suatu spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup di suatu lingkungan Bessinger McCullough 2002, Morris Doak 2002. Sebagai alat bantu yang penting bagi PVA diterapkan berbagai metode matematika dan statistika. Lebih lanjut PVA bermanfaat memantau fluktuasi ukuran populasi dari suatu spesies Indrawan et al. 2007. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih spesies dalam analisis populasi Soule 1995 adalah : 1. Spesies yang aktivitasnya dapat menimbulkan gangguan habitat pada beberapa spesies lainnya; 2. Spesies mutualistik yang perilakunya dapat meningkatkan fitness misalnya reproduksi, penyebaran bagi spesies lainnya; 3. Spesies predator atau parasit yang mengganggu spesies lain dan keberadaanya akan menyebabkan penurunaan keragaman spesies lain; 4. Spesies yang memiliki nilai spiritual, estetika, rekresional atau memiliki nilai ekonomi bagi manusia; 5. Spesies yang langka dan terancam punah. Ukuran populasi minimum lestari menyatakan ambang batas ukuran populasi suatu spesies dalam satuan individu yang memastikan bahwa populasi tersebut akan terus bertahan hidup sampai jangka waktu tertentu Rai 2003. Shaffer 1981 mendevinisikan MVP untuk berbagai jenis spesies yang terdapat di setiap habitat sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai kemungkinan 99 untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam. Sedangkan menurut Reed 2000 MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99 untuk tetap ada selama 40 generasi. MVP merupakan istilah yang umum digunakan dalam konservasi biologi Soule 1995. Lemkhul 1984 menyatakan definisi MVP sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang memiliki peluang 95,1 untuk dapat bertahan selama 100 tahun meskipun diketahui ada pengaruh dari demografi, lingkungan, genetic dan katastrop. Lebih lanjut Shaffer 1981 menyatakan bahwa istilah MVP merupakan kemungkinan peluang hidup suatu spesies dikatakan tinggi jika jumlah spesies tersebut dapat dipertahankan di atas ukuran tertentu. Sama halnya dengan penggunaan istilah ‘optimum’, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan suatu rekomendasi kepada pembuat kebijakan dan pengelola dalam manajemen populasi. Hal yang harus digarisbawahi adalah MVP mengandung definisi kelimpahan spesies Soule 1995.

2.4.2 Pendekatan untuk Menentukan MVP

Ewens et al. 1995 dan Boyce 1992 menyatakan secara umum terdapat dua konsep penentuan MVP. Konsep yang pertama adalah penentuan MVP berdasarkan genetik yang menekankan pada laju kehilangan genetik dari suatu populasi termasuk di dalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep yang kedua adalah penentuan MVP berdasarkan demografi yang menekankan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Nilai MVP akan dipengaruhi oleh ciri yang umum dari model misalnya struktur geografi, ukuran populasi maksimum, laju kematian dan laju kelahiran absolut atau terpaut kepadatan dan lainnya. Selain itu, nilai MVP juga tergantung pada ciri-ciri yang lebih detail seperti nilai numerik dari parameter-parameter dalam kerangka yang lebih luas Boyce 1992. Kedua konsep di atas, penentuan nilai MVP tergantung pada dua asumsi, yang pertama kriteria yang dipilih untuk mendefinisikan istilah MVP. Sebagai contoh dengan menggunakan konsep demografi maka ukuran populasi yang dapat menjamin peluang kelestarian sampai 95 peluang hidup untuk y tahun tergantung pada nilai yang dipilih untuk y. Asumsi yang kedua menekankan pada model yang digunakan untuk menggambarkan perilaku dari suatu populasi. Sebagai hasilnya adalah akan diperoleh nilai MVP dengan selang yang luas yang dapat digunakan untuk semua situasi dan sebuah standard nila numerik yang dapat digunakan sebagai ‘rule’ untuk MVP. Untuk mendapatkan nilai MVP berdasarkan demografi, simulasi komputer akan sangat membantu. Lemkhul 1984 merupakan orang pertama yang menyatakan argumen penggunaan genetik sebagai dasar dalam penentuan MVP. Selanjutnya Franklin 1980 menyatakan bahwa setidaknya diperlukan 50-500 individu untuk mempertahankan keragaman genetik. Angka tersebut diperoleh dari pengalaman praktis Franklin dalam membiakkan hewan budidaya domestikasi dan dalam meriset laju mutasi pada lalat buah. Jumlah minimun tersebut diperkirakan cukup efektif untuk menghindari tekanan silang dalam jangka pendek serta cukup efektif untuk mempertahankan variasi genetik dalam populasi. Selanjutnya Lande 1995 menyatakan setidaknya dibutuhkan 5.000 individu untuk mempertahankan variasi genetik yang dibutuhkan proses evolusi dan untuk menjamin keberadaan populasi tersebut. Aturan 50500 sulit diterapkan karena asumsi tidak selalu didukung oleh kenyataan. Dalam aturan 50500 diasumsikan bahwa suatu populasi terdiri dari N individu di mana setiap individu memiliki kemungkinan yang sama untuk kawin serta menghasilkan keturunan. Pada kenyatannya, berbagai faktor termasuk umur, kesehatan, sterilisasi, kekurangan makanan, ukuran tubuh yang kecil, dan struktur sosial bekerja mencegah perkawinan sehingga banyak individu yang bersifat steril, tidak memproduksi keturunan. Banyak di antara faktor tersebut dipengaruhi degradasi dan fragmentasi habitat Lemkhul 1984. Beberapa penelitian untuk menentukan MVP berdasarkan parameter demografi dan genetik diantaranya Wielgus 2001 menentukan minimum viable population grizzly bears di British Columbia, Brito 2002 dengan penelitian penentuan MVP dan status konservasi dari spiny rat di Atlantic Forest. Selain itu Reed et al. 2003 melakukan pendugaan MVP untuk berbagai vertebrata, Leech et al. 2008 yang melakukan pendugaan MVP untuk kaka Nestor meridionalis yang merupakan flagship dan indicator spesies di New Zealand, Goldingay 1995 melakukan penelitian mengenai penentuan luas kawasan bagi kelestarian Australian Gilding marsupial dengan dasar parameter demografi seperti kematian, sex ratio dan kelas umur, dan Howels Jones 1996 melakukan penelitian penentuan luasan hutan yang tersisa untuk mendukung MVP wild boar di Scotlandia.

2.5 Populasi Optimum Lestari

Populasi optimum lestari adalah populasi yang menunjukkan keadaan riap maksimum atau nilai dNdt tertinggi. Populasi optimum lestari tercapai pada saat laju pertumbuhan intrinsik r maksimal dan bernilai positif r 0. Hasibuan 1988; Alikodra 2002; Tarumingkeng 1994. Pada sistim pengelolaan yang bertujuan untuk keperluan pemungutan satwa liar, pemungutan dilakukan pada kondisi ini. Pada kondisi ini sering disebut dengan tingkat kepadatan pemanenan maksimal maximum harvest density. Tingkat kepadatan panenan maksimum adalah jumlah satwa liar yang mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini bisa tercapai dengan cara mengatur faktor-faktor kesejahteraanya, seperti kualitas pakan maupun kuantitas pelindungnya secara intensif. Jika tidak didukung oleh kecukupan faktor-faktor kesejahteraannya, keadaan prodiktivitas populasinya akan menjadi terbatas Bolen 2003. Pada kondisi ini kualitas dan performance populasi sangat bagus, karena populasi satwa dipertahankan di bawah daya dukung lingkungan. Kesulitan dalam menetapkan angka maksimal hasil pemanenan sering dijumpai. Untuk mengatasinya sering kali dipergunakan pendekatan-pendekatan tertentu, misalnya dengan cara memantau kecenderungan kondisi habitat dan populasi satwa liar, khususnya keadaan reproduksi. Hasil panenan maksimum yang tepat didapatkan dari berbagai fakta, misalnya model populasi dengan tabel- tabel kehidupan yang menggunakan simulasi komputer Adam 1971 dalam Alikodra 2010.

2.6 Produktivitas Rumput dan Daya Dukung

Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor McIlroy 1976 yaitu : 1. Persistensi daya tahan, yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif; 2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies-spesies lain yang tumbuh bersama; 3. Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat; 4. Sifat tahan kering atau tahan dingin; 5. Penyebaran produksi musiman; 6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah; 7. Kesuburan tanah terutama kandungan nitrogen; 8. Iklim. Beberapa pengertian dari daya dukung antara lain : 91 Jumlah satwa liar yang dapat ditampung oleh suatu habitat; 2 Batas limit atas pertumbuhan suatu populasi yang di atasnya jumlah populasi tidak dapat berkembang lagi; dan 3 Jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung kesehatan dan