Eliminasi R pada persamaan 4 dan 5 0.787 A + 0.029R
= 17,320 x
-0,090 0,588A - 0,090R
= 9,876 x
0,029 Menjadi
-0,071A - 0,003R = -1,551
0,017A -0,003R = 0,284
0,087A =
-1,835 A =
, ,
= ,
= 21
Eliminasi A pada persamaan 4 dan 5 0.787 A + 0.029R
= 17,320 x
0,588 0,588A - 0,090R
= 9,876 x
0,787 Menjadi
0,463A + 0,017R = 10,185
0,463A - 0,071R = 7,777 –
0,087 R = 2,408
R =
, ,
= ,
= 28
Eliminasi A pada persamaan 1 dan 2 A + R + D
= 72 x
0,453 0,453A+1,212R+1,241D =
72 x 1
Menjadi 0,453A+0,453R+0,453D =
32,625 0,453A+1,212R+1,241D =
72 -
-0,759 R -0,787D = -39,375 ……………………..6
Eliminasi A pada persamaan 1 dan 3 A + R + D
= 72 X 0,549
0,549A+1,227 R+1,137D = 72
X 1 Menjadi
0,549A+0,549R+0,549D = 52,126
0,549A+1,227 R+1,137D = 72
- -0,678R -0,588D
= -32,464 ……………………7
Eliminasi R pada persamaan 6 dan 7 -0,759 R -0,787D
= -39,375 x
-0,678 -0,678R -0,588D
= -32,464 x
-0,759
Menjadi 0,514R + 0,534D
= 26,682 0,514R + 0,446D
= 24,631 – 0,087D = 2,051
D =
, ,
= | ,
| = 23
Lampiran 3 Tabel perkembangan populasi banteng di TN Alas Purwo
Tahun Anak
Remaja Dewasa
Total
2012 12
22 38
72 2013
16 22
38 76
2014 16
23 38
77 2015
16 25
37 78
2016 15
26 37
78 2017
16 28
36 80
2018 16
28 37
81 2019
16 28
37 81
2020 16
28 38
82 2021
17 29
38 84
2022 17
29 39
85 2023
17 29
39 85
2024 17
30 40
87 2025
17 30
41 88
2026 18
30 42
90 2027
18 31
43 92
2028 19
31 44
94 2029
19 32
45 96
2030 19
33 45
97 2031
20 33
46 99
2032 20
34 46
100 2033
20 34
47 101
2034 20
35 47
102 2035
21 35
48 104
2036 21
36 49
106 2037
21 36
49 106
2038 22
37 50
109 2039
22 37
51 110
2040 22
38 52
112 2041
22 38
52 112
2042 23
39 53
115 2043
23 39
54 116
2044 23
40 55
118 2045
24 41
55 120
2046 24
41 56
121 2047
24 42
57 123
2048 25
42 58
125 2049
25 43
58 126
2050 25
43 59
127 2051
26 44
60 130
2052 26
44 61
131 2053
26 45
61 132
2054 27
45 62
134 2055
27 46
63 136
2056 27
46 64
137 2057
28 47
64 139
2058 28
48 65
141 2059
28 48
66 142
2060 29
49 67
145 2061
29 49
67 145
2062 29
50 68
147 2063
29 50
69 148
2064 30
51 69
150 2065
30 51
70 151
Lampiran 3 Lanjutan
Tahun Anak
Remaja Dewasa
Total
2066 30
52 71
153 2067
31 52
72 155
2068 31
53 72
156 2069
31 53
73 157
2070 32
54 74
160 2071
32 54
74 160
2072 32
55 75
162 2073
33 56
76 165
2074 33
56 77
166 2075
33 57
77 167
2076 33
57 78
168 2077
34 58
79 171
2078 34
58 79
171 2079
34 59
80 173
2080 35
59 81
175 2081
35 59
81 175
2082 35
60 82
177 2083
35 60
83 178
2084 36
61 83
180 2085
36 61
84 181
2086 36
62 85
183 2087
37 62
85 184
2088 37
63 86
186 2089
37 63
86 186
2090 37
64 87
188 2091
38 64
88 190
2092 38
65 88
191 2093
38 65
89 192
2094 38
65 89
192 2095
39 66
90 195
2096 39
66 91
196 2097
39 67
91 197
2098 39
67 92
198 2099
40 67
92 199
2100 40
68 93
201 2101
40 68
93 201
2102 40
69 94
203 2103
40 69
94 203
2104 41
69 95
205 2105
41 70
95 206
2106 41
70 96
207 2107
41 70
96 207
2108 42
71 97
210 2109
42 71
97 210
2110 42
72 98
212 2111
42 72
98 212
2112 42
72 99
213 2113
43 73
99 215
2114 43
73 100
216 2115
43 73
100 216
2116 43
74 100
217 2117
43 74
101 218
2118 43
74 101
218 2119
44 74
102 220
2120 44
75 102
221
Lampiran 3. Lanjutan
Tahun Anak
Remaja Dewasa
Total
2121 44
75 103
222 2122
44 75
103 222
2123 44
76 103
223 2124
44 76
104 224
2125 45
76 104
225 2126
45 76
104 225
2127 45
77 105
227 2128
45 77
105 227
2129 45
77 105
227 2130
45 77
106 228
2131 46
78 106
230 2132
46 78
106 230
2133 46
78 107
231 2134
46 78
107 231
2135 46
79 107
232 2136
46 79
108 233
2137 46
79 108
233 2138
46 79
108 233
2139 47
79 109
235 2140
47 80
109 236
2141 47
80 109
236 2142
47 80
109 236
2143 47
80 110
237 2144
47 80
110 237
2145 47
81 110
238 2146
47 81
110 238
2147 48
81 111
240 2148
48 81
111 240
2149 48
81 111
240 2150
48 82
111 241
2151 48
82 112
242 2152
48 82
112 242
2153 48
82 112
242 2154
48 82
112 242
2155 48
82 113
243 2156
48 82
113 243
2157 48
83 113
244 2158
49 83
113 245
2159 49
83 113
245 2160
49 83
114 246
2161 49
83 114
246 2162
49 83
114 246
2163 49
83 114
246 2164
49 84
114 247
2165 49
84 114
247 2166
49 84
115 248
2167 49
84 115
248 2168
49 84
115 248
2169 49
84 115
248 2170
49 84
115 248
2171 49
84 115
248 2172
50 85
115 250
2173 50
85 116
251 2174
50 85
116 251
2175 50
85 116
251
Lampiran 3. Lanjutan
Tahun Anak
Remaja Dewasa
Total
2176 50
85 116
251 2177
50 85
116 251
2178 50
85 116
251 2179
50 85
116 251
2180 50
85 117
252 2181
50 85
117 252
2182 50
85 117
252 2183
50 86
117 253
2184 50
86 117
253 2185
50 86
117 253
2186 50
86 117
253 2187
50 86
117 253
2188 50
86 117
253 2189
50 86
118 254
2190 50
86 118
254 2191
51 86
118 255
2192 51
86 118
255 2193
51 86
118 255
2194 51
86 118
255 2195
51 86
118 255
2196 51
86 118
255 2197
51 87
118 256
2198 51
87 118
256 2199
51 87
118 256
2200 51
87 118
256 2201
51 87
119 257
2202 51
87 119
257 2203
51 87
119 257
2204 51
87 119
257 2205
51 87
119 257
2206 51
87 119
257 2207
51 87
119 257
2208 51
87 119
257 2209
51 87
119 257
2210 51
87 119
257 2211
51 87
119 257
2212 51
87 119
257
Lampiran 5 Hasil analisis sensitivitas peluang hidup dan fekunditas terhadap ukuran populasi minimum lestari
No Skenario Ukuran MVP ekor
Prosentase anak remaja dewasa total
1
Peluang hidup dan fekunditas awal 16
29 48 93
2
Peluang hidup dan fekunditas turun 10 27
38 23 88 -
6 3
Peluang hidup dan fekunditas turun 20 25
40 16 81 -13
4
Peluang hidup dan fekunditas turun 30 24
41 13 78 -17
5
Peluang hidup dan fekunditas turun 40 23
42 10 75 -19
6
Peluang hidup dan fekunditas turun 50 21
44 8 72
-22 7
Peluang hidup dan fekunditas naik 10 29
34 39 103
10 8
Peluang hidup dan fekunditas naik 20 31
33 51 114
23 9
Peluang hidup dan fekunditas naik 30 32
32 67 131
40 10
Peluang hidup dan fekunditas naik 40 33
30 87 151
62 11
Peluang hidup dan fekunditas naik 50 35
29 114 177
90
ABSTRACT
MASUDAH
. Determining Minimum and Optimum Viable Population Size of Banteng Bos javanicus Based on Demographic Parameters at Alas Purwo
National Park, Banyuwangi, East Java. Under direction of YANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUSTARI
One of the main goals of conservation is to maintain sustainability and to increase the population size of living species. In order to conserve an important
wildlife population, Minimum Viable Population MVP and Optimum Viable Population OVP are the main population parameters that must be known.
Banteng Bos javanicus are protected by the conservation law yet on the other hand has a great economic value for human. Research on MVP of banteng has not
yet been performed up until now, and this was the main reason for undertaking a certain study. The aims of this study were to determine MVP and OVP of banteng
as a basic point of wildlife management. To obtain the actual condition of the population population size, sex ratio and age classes an inventory method of
Concentration Count was used, performed in Sadengan grazing field. Based on the assumption that all banteng would gather at this certain location, the counting was
performed within 18 repetition and the largest counted number was then considered as the population size. The Algebra linear equation system from
Leslie’s matrix was used to determine MVP, while the density dependence of Leslie’s matrix was used to determine the OVP. The population size used as base
of calculation was the size of female population, and as for the male population size was predicted using the initial population’s sex ratio. The result showed that
the MVP of banteng in Alas Purwo National Park was 94 with the domination of females in each of age classes, which predicted would occur in a year ahead
2013. As for the OVP was 149, also dominated by females and predicted to be occured in the next 30 years 2024.
Keywords: minimum viable population, optimum viable population, concentration
count, banteng
RINGKASAN
MASUDAH. Penentuan Ukuran Populasi Minimum dan Optimum Lestari Banteng Bos javanicus berdasarkan Parameter Demografi di Taman Nasional
Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI
Sebagai kawasan konservasi di mana kategori wilayah penyebaran banteng berstatus Confirmed Range, TN Alas Purwo merupakan salah satu kawasan
prioritas pada Program Pengelolaan Populasi Banteng di Pulau Jawa. Selain itu, TN Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang telah menerapkan sistem
pengelolaan kawasan berbasis resort sehingga manajemen pengelolaannya sudah berbasis kinerja petugas di level terendah dalam pengelolaan taman nasional.
Salah satu tolok ukur dari kelestarian adalah ukuran populasi minimum lestari atau Minimum Viable Population MVP. Penentuan ukuran populasi
minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam penyusunan rencana pengelolaan spesies. Selain ukuran populasi minimum lestari,
ukuran populasi optimum lestari atau Optimum Viable Population OVP juga penting untuk dikaji. Ukuran populasi optimum lestari merupakan kondisi di
mana pada ukuran populasi tersebut laju pertumbuhan populasi akan maksimal. Dengan laju pertumbuhan maksimal, populasi akan bertambah dengan cepat.
Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan
yaitu pada bulan Maret s.d Agustus 2012. Data demografi banteng yang diperlukan meliputi: ukuran populasi, kelas umur, seks rasio, peluang hidup,
fekunditas, dan usia kawin. Data yang dikumpulkan di lapangan berupa ukuran populasi, kelas umur dan sex rasio. Peluang hidup dan fekunditas didapatkan dari
hasil analisis data lapangan sedangkan usia kawin didapatkan dari hasil studi pustaka. Penghitungan populasi dilakukan dengan metode penghitungan
terkonsentrasi dengan asumsi bahwa pada saat pengamatan, banteng berkumpul di Padang Penggembalaan Sadengan. Pengamatan dilakukan selama 18 kali ulangan.
Ukuran populasi tertinggi merupakan ukuran populasi pada saat pengamatan.
Penentuan ukuran populasi minimum lestari didasari dari pemikiran bahwa kelestarian tercapai jika setidaknya populasi akhir sama dengan atau lebih dari
populasi awal. Pada penelitian ini, populasi awal adalah ukuran populasi pada saat pengamatan. Persamaan populasi awal dan populasi akhir didapatkan dari
penjabaran matriks Leslie yang dimodifikasi. Persamaan-persamaan tersebut dieliminasi untuk mendapatkan ukuran populasi minimum lestari pada setiap
kelas umur. Penentuan ukuran populasi optimum lestari dilakukan dengan memproyeksikan populasi awal pertahun dengan menggunakan matriks Leslie
terpaut kepadatan Density Dependent sehingga dapat dilihat pertumbuhan populasinya. Populasi optimum lestari adalah ukuran populasi pada tahun ke-t di
mana selisih antara Nt dengan Nt+1 merupakan selisih terbesar di antara tahun- tahun lainnya. Waktu yang digunakan pada proyeksi populasi ini adalah 200
tahun. Populasi yang digunakan sebagai populasi awal dalam proyeksi matriks
Leslie ini hanya populasi jenis kelamin betina. Ukuran populasi pada jantan didapatkan dari perbandingan seks rasio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran populasi minimum lestari banteng di TN Alas Purwo adalah 94 ekor dengan jumlah betina anak 21 ekor,
jantan anak 7 ekor, betina remaja 28 ekor, jantan remaja 9 ekor, betina dewasa 23 ekor, dan jantan dewasa 6 ekor dan diprediksi akan tercapai satu tahun
mendatang. Ukuran Populasi optimum lestari banteng di TN Alas Purwo adalah 149 ekor dengan jumlah anak betina 23 ekor, anak jantan 8 ekor, betina remaja 39
ekor, jantan remaja 12 ekor, betina dewasa 53 ekor, dan jantan dewasa 14 ekor dan diprediksi akan tercapai 30 tahun yang akan datang atau pada tahun 2042.
Kata kunci : populasi minimum lestari, populasi optimum lestari, metode terkonsentrasi, banteng
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Banteng sebagai salah satu jenis satwa liar memiliki nilai ekonomi dan budaya yang penting bagi umat manusia sejak dahulu, yaitu sebagai sumber
protein, bahan untuk membuat peralatan baik dari tulang maupun tanduknya, kepercayaan, dan alat penutup tubuh Alikodra 1983. Sejak tahun 1996, banteng
dikategorikan “Endangered” atau “Terancam Kepunahan” dalam Red Data List IUCN International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.
Banteng juga dilindungi oleh Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan
Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Di Indonesia, populasi dan habitat banteng terus menurun. Ancaman utama adalah konversi lahan dan kerusakan habitat, perburuan liar dan predator.
Populasi banteng hanya terkonsentrasi di kawasan hutan, terutama di kawasan konservasi. Beberapa lokasi yang masih bisa dijumpai adanya banteng antara lain
di Taman Nasional TN Ujung Kulon, TN Baluran, TN Meru Betiri, dan TN Alas Purwo, serta di beberapa kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan
kawasan konservasi tersebut. Sebagai kawasan konservasi berstatus Confirmed Range untuk penyebaran
banteng di Indonesia, TN Alas Purwo merupakan salah satu kawasan prioritas pada Program Pengelolaan Populasi Banteng di Pulau Jawa Kemenhut, 2011.
Selain itu, TN Alas Purwo merupakan kawasan konservasi yang telah menerapkan sistem pengelolaan kawasan berbasis resort sehingga manajemen pengelolaannya
sudah berbasis kinerja petugas di level terendah dalam pengelolaan taman nasional yang sudah mengcover pengelolaan banteng sebagai unit tersendiri.
Salah satu tolok ukur dari kelestarian pengelolaan banteng adalah ukuran populasi minimum lestari atau Minimum Viable Population MVP. Penentuan
ukuran populasi minimum lestari sangat penting dalam manajemen populasi terutama dalam penyusunan rencana pengelolaan spesies. Ukuran populasi
minimum lestari merupakan tujuan utama dalam konservasi biologi Shaffer 1981,
Soule 1995; Wielgus 2001. Keberhasilan upaya pelestarian dicirikan oleh ukuran populasi yang mencapai MVP, di mana dipastikan tidak akan terjadi penurunan
ukuran populasi. Ukuran populasi optimum lestari atau Optimum Viable Population OVP menunjukkan keadaan pertumbuhan populasi maksimal, di
mana populasi akan bertambah dengan cepat. Kondisi ini perlu dipertahankan jika pengelolaan satwa bertujuan untuk pemanfaatan. Penelitian tentang MVP dan
OVP banteng sampai saat ini belum dilakukan. Pada umumnya ukuran populasi minimum lestari maupu ukuran optimum
lestari yang diperoleh merupakan ukuran populasi secara keseluruhan dan belum menunjukkan komposisiperbedaan kelas umur, padahal peluang hidup pada
masing-masing kelas umur berbeda. Data dan informasi ini sangat penting dalam rangka pengaturan populasi agar kelestariannya terjamin dalam jangka panjang
Wielgus 2001. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai penentuan ukuran populasi minimum dan optimum lestari banteng berdasarkan parameter
demografi untuk setiap kelas umur dan jenis kelamin.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menentukan ukuran populasi minimum lestari banteng pada setiap kelas
umur dan jenis kelamin; 2. Menentukan ukuran populasi optimum lestari banteng pada setiap kelas umur
dan jenis kelamin.
1.3 Kegunaan
Hasil penghitungan nilai populasi minimum dan optimum lestari ini diharapkan dapat dijadikan target pengelolaan banteng sehingga kelestariannya
terjaga. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan dasar untuk penentuan kuota tangkap dan acuan waktu pemanenan. Selain itu, data yang diperoleh bermanfaat
sebagai data pendukung dalam rencana aksi pengelolaan banteng secara nasional.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bioekologi Banteng 2.1.1 Taksonomi
Lekagul dan McNeely 1977 mengklasifikasikan banteng ke dalam dunia Animalia, filum Choerdata, kelas Mammalia, orda Artiodactyla, Famili Bovidae,
genus Bos, spesies Bos javanicus dan sub species Bos javanicus javanicus terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di
Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina.
2.1.2 Morfologi dan Anatomi
Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya. Tinggi
pundak banteng mencapai 120-70 cm. Bagian dada banteng terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai
daerah kerongkongan. Maryanto et al. 2008 menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan. Tinggi jantan mencapai
1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg. Banteng asal Kalimantan umumnya mempunyai ukuran lebih
pendek atau kecil. Banteng juga memiliki warna kulit dan sepasang tanduk yang dapat
membedakan jenis kelamin dan umur banteng. Banteng jantan memiliki warna kulit hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya. Banteng betina
tubuhnya berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Anak banteng baik yang jantan
maupun betina berwarna coklat, sehingga sulit untuk dibedakan jenis kelaminnya. Tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung
simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina bentuk tanduknya lebih kecil Lekagul McNeely 1997; Maryanto et al. 2008.
2.1.3 Penyebaran Geografi
Hoogerwerf 1970 mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya, dan Indonesia
Kalimantan dan Jawa dengan memperkirakan bahwa populasi banteng tahun 1940 sekitar 200 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan
di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Peta sebaran banteng dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber : IUCN-SSC Asian Wild Cattle Specialist Group 2010
Gambar 1 Peta sebaran banteng. Saat ini, status sebaran banteng di Indonesia dibagi dalam empat kategori
Kemenhut 2011, yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat banteng confirmed range, kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng possible
range, kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng doubtful range, dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng former range atau extirpated.
Peta status sebaran banteng selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Recana Aksi Konservasi Bateng 2011-2020
Gambar 2 Peta status sebaran banteng di Indonesia.
2.1.4 Habitat
Habitat merupakan suatu rangkaian interkasi antara komponen biotik dengan komponen abiotik yang ditempati oleh suatu komunitas atau populasi
kehidupan. Komponen biotik terdiri dari berbagai organisme yang hidup, sedangkan komponen abiotik terdiri dari berbagai benda mati atau faktor-faktor
lingkungan yang mendukung atau sering berinteraksi dengan komponen biotik, seperti iklim, suhu, kelembaban, tanah dan sebagainya. Keberadaan kedua
komponen tersebut akan mempengaruhi kelengkapan suatu habitat bagi suatu spesies di segala musim ataupun pada musim-musim tertentu. Alikodra 2002
menyatakan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies termasuk sumber makanan,
minum dan perlindungan cover, dan faktor-faktor lainnya yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya
secara berhasil.
2.1.4.1 Pakan
Hoogerwerf 1970 berdasarkan hasil pengamatannya di TN Ujung Kulon menunjukkan bahwa komposisi pakan banteng terdiri atas 20 spesies rumput, dan
70 spesies non rumput yang hampir semuanya adalah jenis-jenis tumbuhan hutan sekunder, dan hanya enam jenis yang merupakan spesies hutan primer. Pairah
2007 berdasarkan hasil penelitian di TN Alas Purwo bahwa makanan banteng terdiri dari 22 jenis rumput dan 55 jenis non rumput.
Banteng jika dilihat dari komposisi pakan di atas, sebagai hewan herbivora lebih dominan memakan rumput-rumputan grazer. Akan tetapi Hoogerwerf
1970 juga menambahkan hasil penelitiannya pada lambung beberapa banteng jantan yang tertembak di Cianjur Selatan ditemukan bahwa pakan banteng hampir
seluruhnya terdiri dari non rumput, yaitu daun-daun Trema orientale, Passiflora foetida, Lygodium sp., dan Musa sp., bahkan ada satu banteng yang pakannya
hanya terdiri dari satu jenis tumbuhan yaitu Passiflora foetida. Penelitian Muntasib dan Masy’ud 2000 juga menguatkan bahwa banteng diperkirakan
telah mengalami perubahan pola makan dari grazer menjadi peragut pemakan daun dan semak, karena dari proporsi jenis non rumput termasuk jenis hijauan
yang relatif memiliki serat kasar tinggi yang dimakan banteng lebih besar dari pada jenis rumput, yaitu mencapai 48,2.
2.1.4.2 Ketersediaan Air
Kebutuhan air yang digunakan banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan juga air laut untuk memenuhi kebutuhan garammineralnya.
Kebutuhan banteng akan air tawar biasanya dapat dipenuhi dari sumber-sumber air alami, seperti sungai, kawasan karst, genangan-genangan air pada musim
hujan dan sebagainya. Sumber air lainnya, yaitu dari sumber air buatan yang biasanya ditampung dalam bak penampungan. Santosa dan Delfiandi 2007
berdasarkan penelitiannya menyatakan bahwa banteng di TN Alas Purwo memenuhi kebutuhan airnya berasal dari 2 sumber, yaitu sumber alami dari aliran
sungai gua-gua yang mengalir sepanjang tahun dan sumber air buatan yang ditampung dalam bak penampungan air dan sprinkle. Banteng di TN Ujung Kulon
untuk memenuhi kebutuhan airnya hanya bersumber dari Sungai Cidaun dan Sungai Cijungkulon Alikodra 1983.
Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat
baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra 1983 menyatakan
bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang, akan sangat
mempengaruhui kelangsungan kehidupan satwa liar. Dengan demikian, kebutuhan banteng akan air pun sangat penting untuk pertumbuhannya.
2.1.4.3 Cover
Habitat utama banteng adalah di hutan tropis atau sub tropis kering dan savana. Banteng tinggal pada dataran terbuka dan kering di daerah hutan sekunder
akibat penebangan maupun kebakaran, dan jarang ditemukan pada dataran tinggi, sehingga banteng ini termasuk satwa dataran rendah. Alikodra 1983 menyatakan
bahwa tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan ekosistem yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air.
Banteng merupakan satwaliar yang menyukai tipe habitat yang lebih terbuka Hoogerwerf 1970. Akan tetapi Lekagul McNeely 1977 menjelaskan
bahwa sebelum perang dunia II banteng selalu merumput di tempat terbuka selama pagi hari dan sore hari, dan beristirahat di bawah hutan pada saat matahari
bersinar sangat terik. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa hutan yang tertutup tidak cocok
sebagai habitat banteng, areal terbuka di dalam atau di pinggiran hutan lebih cocok sebagai habitat banteng. Sebagai contoh di Jawa, Banteng tidak termasuk
ke dalam jenis yang hidup di dalam hutan, namun hidup pada areal terbuka berumput atau ditumbuhi rumput yang mirip tanaman grasslike plants, dan
memiliki hutan yang tertutup di salah satu bagian kawasan seperti di TN Ujung Kulon.
2.1.5 Perilaku
Alikodra 2002 menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat
diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra 1983 menyatakan bahwa
banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput grazer
dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak browzer. Banteng merupakan satwa herbivora yang lebih sebagai pemakan rumput
grazer daripada sebagai pemakan semak browzer sehingga lebih menyukai habitat yang terbuka untuk mencari makan. Menurut Priyatmono 1996, banteng
kurang menyukai hutan primer yang tidak terdapat semak-semak atau tumbuhan bawah yang merupakan makanannya, sedangkan menurut Alikodra dan
Sastradipradja 1983, hutan dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat
berlindung dari kondisi cuaca yag tidak menentu.
2.2 Status Perlindungan Banteng
Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan terhadap banteng sejak tahun 1931 melalui Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 yang tertulis
dengan nama Bos sondaicus. Penurunan populasi banteng yang terus terjadi menyebabkan pemerintah mengambil salah satu langkah untuk melestarikan
banteng dengan menetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang SK Menteri pertanian No.327KptsUm71972 yang dilakukan di sejumlah
kawasan konservasi di Indonesia. Pada tahun 1999, pemerintah kembali menguatkan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang dilindungi melalui
Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Status konservasi banteng berdasarkan IUCN Red Data List telah mengalami perubahan dari rentanvulnerable pada tahun 1986-1994 menjadi
terancamendangered berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80 dalam tiga generasi terakhir dan p
enurunan secara keseluruhan
minimal 50 berdasarkan pengamatan langsung, penurunan tingkat kejadian, perdagangan ilegal tingkat tinggi bagian Banteng terutama tanduk, dan karena
adanya perdagangan daging secara tak terkendali di Asia Tenggara dan dari berburu untuk perdagangan tanduk, serta hilangnya habitat dan degradasi di Jawa
IUCN 2004. Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN 2004 adalah :
1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan
perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk; 2.
Spesies asing invasive yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor;
3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan
oleh manusia; 4.
Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakitpathogen.
2.3 Parameter Demografi 2.3.1 Natalitas
Populasi meningkat karena natalitas. Tingkat natalitas setara dengan angka kelahiran, natalitas hanya menjadi kata yang lebih luas yang mencakup produksi
individu baru dengan kelahiran, penetasan, perkecambahan, atau fisi. Tingkat natalitas dapat dinyatakan sebagai jumlah organisme lahir per wanita per satuan
waktu. Pengukuran tingkat natalitas atau kelahiran sangat tergantung pada jenis organisme yang dipelajari Krebs 1978.
Natalitas merupakan jumlah individu baru anak yang lahir dalam suatu populasi yang dapat diyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru
dalam suatu populasi, laju kelahiran per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu Odum 1971. Natalitas dapat dinyatakan dalam laju
kelahiran kasar crude birth rate, yaitu perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada satu periode waktu; dan
laju kelahiran pada umur spesifik yang merupakan perbandingan antara jumlah individu yang dilahirkan dengan jumlah induk yang melahirkan yang termasuk
dalam kelas umur tertentu Alikodra 2002.
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju induk melahirkan anak adalah Deshmukh 1992 : 1 Jumlah anak yang dihasilkan dalam setiap kelahiran; 2
Waktu antara satu kejadian reproduksi dengan kejadian berikutnya; dan 3 Umur reproduksi yang pertama.
2.3.2. Mortalitas
Kepadatan populasi dapat berkurang oleh faktor mortalitas. Mortalitas dapat dihitung lajunya sebagai angka kematian, jumlah hewan yang mati selama
unit waktu biasanya satu tahun dibagi dengan jumlah hidup pada awal satuan waktu Deshmukh 1992; Sinclair et al. 2006.
Pola kematian karena umur lanjut digambarkan melalui kurva kelangsungan hiduppeluang hidup survivorship curve. Peluang hidup adalah
kemampuan individu kelas umur tertentu untuk hidup pada kelas umur di atasnya. Setiap makhluk hidup memiliki tipe kurva peluang hidup yang berbeda-beda.
Secara umum tipe survivorship dibedakan menjadi tiga tipe seperti pada Gambar 3.
Sumber : Pearl 1928 dalam Krebs 1978 dan Hasibuan 1988
Gambar 3. Kurva survivorship.
Tipe 3
Tipe 2
Tipe 1
Peluang Hidup
Umur
Kurva tipe 1 merupakan gambaran populasi yang setelah kelahiran tidak mengalami penurunan, akan tetapi menjelang periode umur tertentu mengalami
penurunan yang drastis. Beberapa populasi mamalia besar dan manusia termasuk kedalam kurva tipe 1. Kurva tipe 2 menggambarkan angka kematian yang relatif
tetap untuk setiap kelas umur dari suatu populasi, kurva tersebut membentuk garis diagonal. Kurva tipe ini merupakan ciri dari kurva survivorship pada binatang
pengerat, beberapa jenis burung dan populasi invertebrata. Kurva tipe 3 menyatakan suatu keadaan laju kematian sangat tinggi pada awal hidupnya,
seperti yang terjadi pada ikan, kemudian berangsur-angsur menurun sampai tahap akhir dari satu periode hidup Krebs 1978; Hasibuan 1988; Deshmukh 1992.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kematian antara lain karena adanya predator, penyakit, dan bahaya lain yang mengancam jauh sebelum organisme mencapai
usia tua Krebs 1978.
2.3.3 Perkembangbiakan dan Reproduksi
Kemampuan berkembang biak menentukan kelestarian suatu populasi. Banteng melakukan perkawinan dalam suatu periode waktu tertentu yang
tergantung dari lokasinya. Menurut Lekagul dan McNeely 1977, musim kawin banteng di Thailand adalah dalam bulan Mei dan Juni. Hoogerwerf 1970
menyatakan bahwa musim kawin banteng di Suaka Alam Ujung Kulon adalah dalam bulan Juli, September, dan Oktober, kadang-kadang juga dalam bulan
Nopember dan Desember. Perkawinan tersebut biasanya dilakukan pada waktu malam hari.
Lamanya bayi dalam kandungan adalah 9,5-10 bulan, jumlah anak setiap induk berkisar antara 1-2 ekor, namun kebanyakan 1 ekor setiap induk. Anaknya
dilahrkan dalam satu menit, 40 menit kemudian anaknya sudah dapat berdiri, 60 menit kemudian menyusu induknya. Selanjutnya anaknya akan disapih dalam
umur 10 bulan. Banteng liar menurut Hoogerwarf 1970 termasuk monoestrus, artinya mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Umur termuda banteng
betina untuk mulai berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan untuk jantan lebih dari 3 tahun. Banteng dapat mencapai umur 21-25 tahun, sehingga seekor banteng
betina sepanjang umurnya dapat menurunkan anak sebanyak 21 kali.
2.3.4 Struktur Umur dan Seks Rasio
Penyebaran umur merupakan ciri atau sifat penting populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas. Biasanya populasi yang sedang
berlangsung cepat akan mengandung bagian besar individu-individu muda, populasi yang stasioner memiliki pembagian kelas umur yang lebih merata, dan
populasi yang menurun akan mengandung bagian besar individu-individu yang berusia tua Odum 1993.
Individu-individu dalam populasi mencakup berbagai tingkatan umur. Struktur umur adalah proporsi individu dalam setiap kelas umur dari suatu
populasi Deshmukh 1992. Struktur umur dapat digunakan untuk menilai keberhasilan perkembangan satwa liar, sehingga dapat dipergunakan pula untuk
menilai prospek kelestarian satwa liar Alikodra 2002. Tarumingkeng 1994 menggolongkan struktur umur pada populasi dalam
tiga pola, yaitu : 1. Struktur umur menurun yaitu struktur umur yang memiliki kerapatan populasi
kecil pada kelas-kelas umur yang sangat muda dan muda, paling besar pada kelas umur sedang dan kecil pada kelas umur tua. Perkembangan populasi
tersebut terus menurun dan jika keadaan lingkungan tidak berubah, populasi akan punah setelah beberapa waktu;
2. Struktur umur stabil, bentuk piramida sama sisi, dengan sisi-sisi yang kemiringannya mengikuti garis lurus; dan
3. Struktur umur meningkat dengan populasi yang terus meningkat, merupakan piramida dengan sisi-sisi yang cekung dengan dasar yang lebar.
Seks ratio adalah perbandingan jumlah jantan dengan betina dalam satu populasi. Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa seks rasio banteng adalah 1:3
sampai 1:4; sedangkan Alikodra 1983 menyatakan seks rasio banteng di padang penggembalaan Cijungkulon adalah 1:6.
2.3.5 Penentuan Kelas Umur Banteng
Identifikasi umur satwa liar di lapangan mengalami banyak kesulitan, oleh karena itu penentuan kelas umur dapat ditentukan hanya berdasarkan morfologi
dan perilaku satwa di lapangan. Kelas umur hanya dibagi dalam tiga kelas yaitu anak, remaja, dan dewasa.
Hoogerwerf 1970 menyatakan bahwa perkembangan tanduk dapat dipergunakan untuk mengetahui kelas umur dari banteng sampai mencapai umur
kurang lebih 30 bulan. Tabel hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak dan panjang tanduk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hubungan antara umur banteng, tinggi sampai pundak, dan panjang tanduk
Kelamin Umur
Tinggi sampai pundak cm Panjang tanduk cm
Jantan 4.0 Hari
75 Tidak ada tanda-tanda
Jantan 23.0 Hari
84 Benjolan
kecil Jantan
36.0 Hari 92
Tanduk muncul di permukaan kulit
Jantan 63.0 Hari
85 2
Jantan 70.0 Hari
- 3
Jantan 6.5 Bulan
110 8
Jantan 9.5 Bulan
120 15
Jantan 12.0 Bulan
125 23
Jantan 20.5 Bulan
125 35
Jantan 2.5 Bulan
90 2
Betina 17.0 Bulan
118 9
Sumber : Hoogerwerf 1970
2.4 Populasi Minimum Lestari 2.4.1 Pengertian
Menurut Soule 1995, MVP dapat diartikan sebagai seperangkat penduga yang merupakan hasil dari suatu proses sistematik untuk menduga spesies, lokasi
dan kriteria kelestarian populasi. Proses tersebut mengacu pada analisis populasi atau Population Viability Analysis PVA.
PVA merupakan tahap lanjut dari analisis demografi yang bertujuan untuk mempelajari apakah suatu spesies mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup
di suatu lingkungan Bessinger McCullough 2002, Morris Doak 2002. Sebagai alat bantu yang penting bagi PVA diterapkan berbagai metode
matematika dan statistika. Lebih lanjut PVA bermanfaat memantau fluktuasi ukuran populasi dari suatu spesies Indrawan et al. 2007.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih spesies dalam analisis populasi Soule 1995 adalah :
1. Spesies yang aktivitasnya dapat menimbulkan gangguan habitat pada beberapa spesies lainnya;
2. Spesies mutualistik yang perilakunya dapat meningkatkan fitness misalnya reproduksi, penyebaran bagi spesies lainnya;
3. Spesies predator atau parasit yang mengganggu spesies lain dan keberadaanya akan menyebabkan penurunaan keragaman spesies lain;
4. Spesies yang memiliki nilai spiritual, estetika, rekresional atau memiliki nilai ekonomi bagi manusia;
5. Spesies yang langka dan terancam punah. Ukuran populasi minimum lestari menyatakan ambang batas ukuran
populasi suatu spesies dalam satuan individu yang memastikan bahwa populasi tersebut akan terus bertahan hidup sampai jangka waktu tertentu Rai 2003.
Shaffer 1981 mendevinisikan MVP untuk berbagai jenis spesies yang terdapat di setiap habitat sebagai populasi terkecil yang terisolasi yang mempunyai
kemungkinan 99 untuk bertahan hidup atau lestari selama 1000 tahun setelah mendapatkan pengaruh demografi, lingkungan, genetik, dan juga bencana alam.
Sedangkan menurut Reed 2000 MVP adalah populasi terkecil dari suatu spesies yang mempunyai kemungkinan 99 untuk tetap ada selama 40 generasi.
MVP merupakan istilah yang umum digunakan dalam konservasi biologi Soule 1995. Lemkhul 1984 menyatakan definisi MVP sebagai populasi
terkecil yang terisolasi yang memiliki peluang 95,1 untuk dapat bertahan selama 100 tahun meskipun diketahui ada pengaruh dari demografi, lingkungan,
genetic dan katastrop. Lebih lanjut Shaffer 1981 menyatakan bahwa istilah MVP merupakan kemungkinan peluang hidup suatu spesies dikatakan tinggi jika jumlah
spesies tersebut dapat dipertahankan di atas ukuran tertentu. Sama halnya dengan penggunaan istilah ‘optimum’, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu
memberikan suatu rekomendasi kepada pembuat kebijakan dan pengelola dalam manajemen populasi. Hal yang harus digarisbawahi adalah MVP mengandung
definisi kelimpahan spesies Soule 1995.
2.4.2 Pendekatan untuk Menentukan MVP
Ewens et al. 1995 dan Boyce 1992 menyatakan secara umum terdapat dua konsep penentuan MVP. Konsep yang pertama adalah penentuan MVP
berdasarkan genetik yang menekankan pada laju kehilangan genetik dari suatu populasi termasuk di dalamnya penurunan fitness dan genetic drift. Konsep yang
kedua adalah penentuan MVP berdasarkan demografi yang menekankan pada kemungkinan terjadinya kepunahan populasi akibat dari tekanan demografi. Nilai
MVP akan dipengaruhi oleh ciri yang umum dari model misalnya struktur geografi, ukuran populasi maksimum, laju kematian dan laju kelahiran absolut
atau terpaut kepadatan dan lainnya. Selain itu, nilai MVP juga tergantung pada ciri-ciri yang lebih detail seperti nilai numerik dari parameter-parameter dalam
kerangka yang lebih luas Boyce 1992. Kedua konsep di atas, penentuan nilai MVP tergantung pada dua asumsi, yang pertama kriteria yang dipilih untuk
mendefinisikan istilah MVP. Sebagai contoh dengan menggunakan konsep demografi maka ukuran populasi yang dapat menjamin peluang kelestarian
sampai 95 peluang hidup untuk y tahun tergantung pada nilai yang dipilih untuk y. Asumsi yang kedua menekankan pada model yang digunakan untuk
menggambarkan perilaku dari suatu populasi. Sebagai hasilnya adalah akan diperoleh nilai MVP dengan selang yang luas yang dapat digunakan untuk semua
situasi dan sebuah standard nila numerik yang dapat digunakan sebagai ‘rule’ untuk MVP. Untuk mendapatkan nilai MVP berdasarkan demografi, simulasi
komputer akan sangat membantu. Lemkhul 1984 merupakan orang pertama yang menyatakan argumen
penggunaan genetik sebagai dasar dalam penentuan MVP. Selanjutnya Franklin 1980 menyatakan bahwa setidaknya diperlukan 50-500 individu untuk
mempertahankan keragaman genetik. Angka tersebut diperoleh dari pengalaman praktis Franklin dalam membiakkan hewan budidaya domestikasi dan dalam
meriset laju mutasi pada lalat buah. Jumlah minimun tersebut diperkirakan cukup efektif untuk menghindari tekanan silang dalam jangka pendek serta cukup efektif
untuk mempertahankan variasi genetik dalam populasi. Selanjutnya Lande 1995 menyatakan setidaknya dibutuhkan 5.000 individu untuk mempertahankan variasi
genetik yang dibutuhkan proses evolusi dan untuk menjamin keberadaan populasi
tersebut. Aturan 50500 sulit diterapkan karena asumsi tidak selalu didukung oleh kenyataan. Dalam aturan 50500 diasumsikan bahwa suatu populasi terdiri dari N
individu di mana setiap individu memiliki kemungkinan yang sama untuk kawin serta menghasilkan keturunan. Pada kenyatannya, berbagai faktor termasuk umur,
kesehatan, sterilisasi, kekurangan makanan, ukuran tubuh yang kecil, dan struktur sosial bekerja mencegah perkawinan sehingga banyak individu yang bersifat
steril, tidak memproduksi keturunan. Banyak di antara faktor tersebut dipengaruhi degradasi dan fragmentasi habitat Lemkhul 1984.
Beberapa penelitian untuk menentukan MVP berdasarkan parameter demografi dan genetik diantaranya Wielgus 2001 menentukan minimum viable
population grizzly bears di British Columbia, Brito 2002 dengan penelitian penentuan MVP dan status konservasi dari spiny rat di Atlantic Forest. Selain itu
Reed et al. 2003 melakukan pendugaan MVP untuk berbagai vertebrata, Leech et al. 2008 yang melakukan pendugaan MVP untuk kaka Nestor meridionalis
yang merupakan flagship dan indicator spesies di New Zealand, Goldingay 1995 melakukan penelitian mengenai penentuan luas kawasan bagi kelestarian
Australian Gilding marsupial dengan dasar parameter demografi seperti kematian, sex ratio dan kelas umur, dan Howels Jones 1996 melakukan penelitian
penentuan luasan hutan yang tersisa untuk mendukung MVP wild boar di Scotlandia.
2.5 Populasi Optimum Lestari
Populasi optimum lestari adalah populasi yang menunjukkan keadaan riap maksimum atau nilai dNdt tertinggi. Populasi optimum lestari tercapai pada saat
laju pertumbuhan intrinsik r maksimal dan bernilai positif r 0. Hasibuan 1988; Alikodra 2002; Tarumingkeng 1994. Pada sistim pengelolaan yang
bertujuan untuk keperluan pemungutan satwa liar, pemungutan dilakukan pada kondisi ini. Pada kondisi ini sering disebut dengan tingkat kepadatan pemanenan
maksimal maximum harvest density. Tingkat kepadatan panenan maksimum adalah jumlah satwa liar yang
mampu ditampung oleh suatu habitat pada kondisi hasil pemanenan yang maksimum. Kondisi ini bisa tercapai dengan cara mengatur faktor-faktor
kesejahteraanya, seperti kualitas pakan maupun kuantitas pelindungnya secara intensif. Jika tidak didukung oleh kecukupan faktor-faktor kesejahteraannya,
keadaan prodiktivitas populasinya akan menjadi terbatas Bolen 2003. Pada kondisi ini kualitas dan performance populasi sangat bagus, karena populasi satwa
dipertahankan di bawah daya dukung lingkungan. Kesulitan dalam menetapkan angka maksimal hasil pemanenan sering
dijumpai. Untuk mengatasinya sering kali dipergunakan pendekatan-pendekatan tertentu, misalnya dengan cara memantau kecenderungan kondisi habitat dan
populasi satwa liar, khususnya keadaan reproduksi. Hasil panenan maksimum yang tepat didapatkan dari berbagai fakta, misalnya model populasi dengan tabel-
tabel kehidupan yang menggunakan simulasi komputer Adam 1971 dalam Alikodra 2010.
2.6 Produktivitas Rumput dan Daya Dukung
Produktivitas rumput tergantung pada beberapa faktor McIlroy 1976 yaitu :
1. Persistensi daya tahan, yaitu kemampuan bertahan untuk hidup dan berkembang biak secara vegetatif;
2. Daya saing, yaitu kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies-spesies lain yang tumbuh bersama;
3. Kemampuan tumbuh kembali setelah injakan dan penggembalaan berat; 4. Sifat tahan kering atau tahan dingin;
5. Penyebaran produksi musiman; 6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau
dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan murah; 7. Kesuburan tanah terutama kandungan nitrogen;
8. Iklim. Beberapa pengertian dari daya dukung antara lain : 91 Jumlah satwa liar
yang dapat ditampung oleh suatu habitat; 2 Batas limit atas pertumbuhan suatu populasi yang di atasnya jumlah populasi tidak dapat berkembang lagi; dan 3
Jumlah satwa liar pada suatu habitat yang dapat mendukung kesehatan dan