Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)

(1)

STATUS LAHAN DAN PENGGUNAAN ZAT ADITIF

(

Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)

RIZKY AMELIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif: Studi Kasus Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu” adalah karya saya

dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutipdari karya diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkandalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2013

Rizky Amelia H44070112


(4)

RIZKY AMELIA. Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat Berdasarkan Status Lahan dan Penggunaan Zat Aditif (Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu). SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA.

Indonesia merupakan negara maritim dengan berbagai kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah air laut sebagai bahan baku penghasil garam. Meskipun memiliki kekayaan laut yang berlimpah, namun Indonesia masih menjadi importir garam yang cukup besar setiap tahunnya. Terhitung sejak tahun 2006 – 2010, Pemerintah Indonesia melakukan impor rata-rata per tahunnya sebesar 1.731.309,4 ton.

Desa Santing merupakan salah satu penghasil garam terbesar di Kabupaten Indramayu, sementara Kabupaten Indramayu merupakan penghasil garam terbesar di Jawa Barat. Oleh karena itu dengan potensi yang dimiliki daerah tersebut, diharapkan dapat lebih mengoptimalkan produksi garam.

Produksi berbanding lurus dengan pendapatan, sehingga untuk dapat meningkatkan pendapatan maka petani garam harus meningkatkan produksi dengan cara mengoptimalkan input yang digunakan sebagai faktor produksi. Zat aditif yang bernama ramsol digunakan sebagai tambahan input pembuatan garam oleh beberapa petani di Desa Santing dan bermanfaat untuk meningkatkan kualitas serta output garam Dari hasil wawancara dengan 100 responden diperoleh 62 orang responden yang menggunakan zat aditif sebagai tambahan input produksisedangkan sisanya 38 orang responden tidak menggunakan zat aditif..

Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam adalah jumlah kincir, luas lahan, tenaga kerja dan zat aditif. Adapun dalam satu musim tahun 2011 petambak garam yang menggunakan zat aditif mampu menghasilkan garam rata-rata sebesar 85.053,76 kg per ha, sedangkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif adalah sebesar 71.903,51 kg per ha.

Analisis pendapatan usaha garam rakyat dibedakan berdasarkan status lahan dan penggunaan zat aditif. Status lahan terbagi menjadi petambak dengan status lahan milik sendiri, petambak dengan status lahan milik sewa dan petambak dengan status lahan bagi hasil (penyakap). Pendapatan tertinggi diperoleh oleh petambak yang menggunakan zat aditif dan berada pada status lahan milik sendiri. Pendapatan terendah diperoleh oleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif dan berstatus lahan bagi hasil.


(5)

the land and the use of Additives (case study: Village Santing, Indramayu Regency Losarang District). SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA.

Indonesia is a maritime country with a variety of marine and fishery resources of wealth. One that can be utilized is sea water as a raw material for producing salt. Although it has abundant marine wealth, Indonesia still remains a substantial importer of salt annually. Since 2006 – 2010, the Government of Indonesia imports amounted to 1.731.309 tons, 4, on average per year.

Santing village is one of the largest salt manufacturer in Indramayu Regency, while Indramayu Regency is the largest salt producer in West Java. Therefore base on the potential of the area, Indramayu Regency is expected to optimize more the production of salt.

Production propotionally compares to income, so the farmers have to increase the production of salt by optimizing the input that is used as a factor of production in order to improve their income. The additives substance named ramsol is used as additional inputs in producing salt by some farmers in the village of Santing and it is good to improve the quality and output of salt, from the results of interviews with 100 respondent, 62 respondents use additives as additional inputs to their salt production, and the rest, 38 respondents do not use additives.

The factors that affect the production of salt are the number of windmills, land area, labor and additives. But in a season of 2011 salt farmers who use additives caan improve their salt production on average 85.053,76 kg per ha, while the farmers who do not use additives is only 71.903 .51 kg per ha.

The analysis of people’s salt revenues is differed based on the status of the land and the use of additives. Status of land is divided into two categories, first the farmers’s production sharing land (penyakap) and the second is the farmers on the leased land. The highest income will be obtained by the farmers who use additives on their own land. The lowest income will be gained by the farmers whoo do not use additives and they produce on the production sharing land status.


(6)

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS PENDAPATAN

USAHA GARAM RAKYAT BERDASARKAN

STATUS LAHAN DAN PENGGUNAAN ZAT ADITIF

(

Studi Kasus: Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu)

RIZKY AMELIA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(8)

(9)

Nama : Rizky Amelia

NIM : H44070112

Disetujui oleh

Ir .Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr.Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen


(10)

(11)

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Ibu Munawaroh dan Bapak Yusman Karsiwan atas segala doa, kasih

sayang, dan dukungan yang telah diberikan selama ini baik berupa moril maupun materil, serta kepada Mohammad Yudi, kakak Harry, Dwi, dan Diah.

2. Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc selaku dosen pembimbing skripsi

yang senantiasa dengan penuh ketekunan membimbing penulis, memberikan arahan, dan saran hingga skripsi ini selesai.

3. Ir. Nindyantoro, M.SP dosen penguji utama yang telah meluangkan

waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini.

4. Nuva, S.P. M.Sc selaku dosen penguji wakil departemen atas koreksi dan

saran yang membangun demi perbaikan penulisan skripsi ini.

5. Ibu Hastuti,SP,M.Si, Mba Putri dan Mba Aam yang sudah banyak

membantu dalam administrasi dan kelulusan penulis.

6. Bapak Heri Wahyu Hartono selaku Ketua Koperasi Segoromadu

Indramayu dan Bapak Tarman selaku Sekretaris Desa Santing serta seluruh petambak garam rakyat responden yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan informasi, bantuan dan pengarahan selama penulis melakukan kegiatan turun lapang.

7. Bapak/ibu dan kakak/adik yang menjadi responden pada penelitian ini

untuk meluangkan waktu wawancara dan memberikan informasi yang sangat berharga untuk penulisan skripsi ini.

8. Rekan-rekan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, ESL

44 khususnya untuk Syifa Azizah, Erin Roslina, Wahyu Nugraha, Kartika Putri S., Anggun Eka E., Wikaniati, Ario Bismoko S., dan Astrid Yeyen yang telah memberikan nasihat, kesabaran, dan motivasinya selama penulisan skripsi ini.


(12)

M. Fadhli Diana, Dea Amanda, dan Imam Mukti W.

10. Abdul Aziz, Herdiana, Destia, dan Nadia Khairunnisa yang telah

memberikan nasihat, kesabaran, dan motivasinya selama penulisan skripsi ini.

11. Teman-teman kosan Wisma Balio Atas (WBA) yang telah memberikan

support, semangat dan masukan-masukan positif dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam penyusunan skripsi ini.

Bogor, November 2013

Rizky Amelia


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Garam ... 9

2.2 Zat Aditif ... 10

2.2.1 Pengertian Zat Aditif ... 10

2.2.2 Tata Cara Pemakaian Zat Aditif ... 11

2.3 Status Petani Berdasarkan Penguasaan Lahan ... 12

2.4 Fungsi Produksi ... 13

2.5 Fungsi Produksi Cobb-Douglas ... 17

2.6 Skala Usaha (Return to Scale) ... 19

2.7 Elastisitas ... 19

2.8 Biaya Usahatani ... 20

2.9 Analisis Pendapatan Usahatani ... 20

2.10 Analisis Profitabilitas ... 22

2.11 Analisis Faktor-Faktor Produksi Usahatanu ... 22

2.12 Hasil Penelitian Terdahulu ... 25

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ... 31

3.1.1 Analisis Fungsi Produksi ... 31


(14)

3.1.5 Pendapatan Usahatani...38

3.1.6 Imbangan Penerimaan dan Biaya (R/C ratio)...39

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional...39

IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...43

4.2 Jenis dan Sumber Data...43

4.3 Metode Pengambilan Sampel...44

4.4 Metode Analisis Data...45

4.4.1 Analisis Fungsi Produksi...45

4.4.2 Pengujian Hipotesa...47

4.4.3 Analisis Pendapatan Usahatani...51

4.4.4 Analisis Profitabilitas...52

4.4 Batasan Penelitian...53

V. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografi dan Sosial Ekonomi...55

5.2 Keadaan Umum Usaha Garam Rakyat di Desa Santing...56

5.2.1 Pendapat Petambak Garam terhadap Produksi Garam....59

5.2.2 Pendapat Petambak Garam terhadap Kualitas Garam...60

5.3 Karakteristik Responden...61

5.3.1 Jenis Kelamin Responden...61

5.3.2 Usia Responden...61

5.3.3 Tingkat Pendidikan Responden...62

5.3.4 Status Penguasaan Lahan Responden...62

5.3.5 Luas Lahan Garapan Responden...63

5.3.6 Pengalaman Usaha Garam Rakyat Responden...64

5.3.7 Pengguna Zat Aditif Responden...64

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Faktor Produksi Usaha Garam Rakyat di Desa Santing...65 6.1.1 Hasil Estimasi Model Fungsi Produksi


(15)

6.1.2.1 Uji Multikolinearitas...65

6.1.2.2 Uji Heteroskedastisitas...66

6.1.2.3 Uji Normalitas...66

6.1.2.4 Uji Autokorelasi...66

6.1.3 Analisis Uji Statistik...66

6.1.3.1 Uji Adjusted R2...66

6.1.3.2 Uji F-hitung ...67

6.1.3.3 Uji t-hitung ...67

6.1.4 Analisis Ekonomi ...67

6.1.4.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Garam di Desa Santing ...67

6.1.4.2 Elastisitas dan Skala Usaha...69

6.1.4.2.1 Elastisitas Produksi Garam...69

6.1.4.2.2 Skala Usaha...70

6.2 Analisis Pendapatan Usaha Garam Rakyat di Desa Santing...71

6.2.1 Penerimaan Usaha Garam Rakyat...72

6.2.1.1 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri...72

6.2.1.2 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa...73

6.2.1.3 Penerimaan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil...74

6.2.2 Biaya Usaha Garam Rakyat...75

6.2.2.1 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sendiri...76

6.2.2.2 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa...78

6.2.2.3 Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil...80

6.2.2.4 Komponen Biaya Usaha Garam Rakyat di Desa Santing... 82

6.2.3 Pendapatan Usaha Garam Rakyat...86 6.2.3.1 Pendapatan Usaha Garam Rakyat


(16)

6.2.3.3 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil... 89

6.2.4 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat ... 90

6.2.4.1 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri .... 90

6.2.4.2 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Milik Sewa ... 91

6.2.4.3 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil ... 93

6.2.5 Analisis Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat di Desa Santing Tahun 2011...94

6.2.5.1 Status Penguasaan Lahan...94

6.2.5.2 Penggunaan Zat Aditif...96

VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan...99

7.2 Saran...100

DAFTAR PUSTAKA...103

LAMPIRAN...105


(17)

1 Pasokan Garam Nasional 2006-2010 (Ton) ... 2

2 Harga Dasar Garam Rakyat Per Kg di Tingkat PeGaram

Rakyat Rakyat di Indonesia Tahun 2005 – 2011

(Rupiah/Kg) ... 5 3 Jenis Data yang Digunakan pada Penelitian ... 44 4 Metode Prosedur Analisis Data ... 45

5 Luas Wilayah di Desa Santing Menurut Penggunaan,

Tahun 2010 ... 55

6 Usia Responden Petambak di Desa Santing, Tahun

2011... 62

7 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

di Desa Santing, Tahun 2011... 62 8 Karakteristik Responden Berdasarkan Status Penguasaan

Lahan di Desa Santing, Tahun 2011 ... 63

9 Karakteristik Responden Berdasarkan Luas Lahan

Garapan di Desa Santing, Tahun 2011 ... 63 10 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengalaman

Bertani Garam di Desa Santing, Tahun 2011 ... 64 11 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengguna Zat

Aditif Usaha Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011

... 64 12 Hasil Estimasi Fungsi Produksi Cobb-Douglas Usaha

Garam Rakyat di Desa Santing, Tahun 2011... 65 13 Nilai Elastisitas Model Cobb-Douglas... 70 14 Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan

Milik Sendiri Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011

... 72 15 Penerimaan Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan

Milik Sewa Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 ... 74


(18)

Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011 ... 77 18 Biaya Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status

Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 ... 79

19 Biaya Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status

Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ... 81 20 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011 .. 88

21 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 ... 89

22 Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 ... 90

23 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011.. 91

24 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing, Tahun 2011 .... 92

25 Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan

Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011 .... 94

26 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat

Perhektar di Desa Santing, Tahun 2011... 97

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka

Pendek ... ... 15 2 Kerangka Pemikiran Operasional ... 42

3 Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan

Produksi Garam ... 60

4 Pendapat Petambak Garam Terhadap Peningkatan


(19)

1 Potensi Lahan garam di Indonesia Tahun 2011 ... 105

2 Lokasi Potensi Pengembangan Usaha Garam Rakyat di

Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 ... 106

3 Denah Kabupaten Indramayu, Provinsi jawa Barat ... 107

4 Denah Lokasi Penelitian di Desa Santing, Kecamatan

Losarang, Kabupaten Indramayu, Tahun 2011 ... 108

5 Karakteristik Responden Petambak Garam Rakyat di Desa

Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu,

Provinsi Jawa Barat, Tahun 2011 ... 109

6 Input Fungsi Produksi yang Dianalisis pada Penelitian Ini

di Desa Santing, Tahun 2011 ... 114 7

8

Hasil Pendugaan Uji Regresi Model 1 dengan Menggunakan Software Minitab 14.0 ...

Hasil Uji Asumsi Klasik Ordinary Least Square (OLS)

Model 1 dengan Menggunakan Software Eviews 6 dan

Minitab 14 ...

117

118

9 Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per

Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing

Tahun 2011 ... 119 10 Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per

Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing

Tahun 2011 ... 120 11 Nilai Produksi (Penerimaan) Usaha Garam Rakyat Per

Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing

Tahun 2011 ... 121 12 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per

Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing

Tahun 2011 ... 123 13 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per

Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing

Tahun 2011 ... 125 14 Pendapatan dan Profitabilitas Usaha Garam Rakyat Per


(20)

15 Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 129

16 Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 130 17 Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Garam

Rakyat Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 131 18 Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat

Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 132 19 Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat

Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 133 20 Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Garam Rakyat

Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing Tahun 2011 dengan Menggunakan SPSS

16... 134 21 Dokumentasi ... 135


(21)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan pesisir dan laut mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk dikembangkan. Pada pembangunan di masa mendatang, pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan harus dijadikan prioritas. Potensi sumber daya kelautan dan perikanan dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan penghasil devisa negara, khususnya bagi masyarakat daerah setempat. Salah satu potensi laut yang dapat dikembangkan adalah air laut, dimana air laut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan garam.

Garam merupakan pelengkap pangan yang sangat penting bagi tubuh manusia. Peranan penting garam bagi tubuh manusia, diantaranya menyeimbangkan elektrolit dalam cairan san sel-sel tubuh, dan membantu

transmisi impuls saraf ke otak1. Oleh karena itu kebutuhan masyarakat akan

fungsi garam harus dapat dipenuhi.

Berdasarkan fungsinya, garam dibedakan menjadi dua macam, yakni garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi digunakan untuk konsumsi rumah tangga dan industri makanan. Garam industri digunakan untuk industri perminyakan, pembuatan soda dan chlor, penyamakan kulit, dan obat-obatan. Seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan garam semakin meningkat dari tahun ke tahun, dimana kebutuhan tersebut terbagi untuk kebutuhan industri dan kebutuhan konsumsi (rumah tangga).

Pada Tabel 1 dijelaskan bahwa permintaan (kebutuhan) garam setiap tahunnya mengalami peningkatan, dimana terjadi peningkatan sebesar 609.160 ton garam dari tahun 2006 hingga tahun 2010, sedangkan persediaan garam yang berasal dari produksi domestik hanya meningkat sebesar 67.000 ton dan turun drastis pada tahun 2010 mencapai 30.600 ton. Pada tahun 2010 terjadi anomali

cuaca tidak dapat diperkirakan. Sehingga terjadi over demand yang melanda

Indonesia saat itu. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan, maka pemerintah melakukan impor garam dalam skala besar.

1


(22)

Tabel 1. Pasokan Garam Nasional 2006-2010 (Ton)

Tahun Permintaan Produksi

Garam Rakyat Impor

Garam Konsumsi Garam Industri

2006 650.000 1.519.000 1.304.000 1.552.750

2007 671.000 1.935.375 977.000 1.661.488

2008 680.000 2.071.910 1.033.000 1.657.548

2009 686.800 2.092.629 1.371.000 1.701.418

2010 686.000 2.092.160 30.600 2.083.343

Sumber : Kementrian Perdagangan RI (2011)

Produksi garam nasional hingga saat ini lebih banyak dipasok untuk memenuhi keperluan rumah tangga atau biasa disebut dengan garam konsumsi, sedangkan industri selama ini dipenuhi oleh pasokan dari produksi impor. Hal tersebut disebabkan oleh tidak cukupnya produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan industri.

Produksi garam nasional ditaksir tidak mampu memenuhi kebutuhan garam masyarakat Indonesia. Hal tersebut membuat pemerintah RI harus melakukan impor garam agar mampu menanggulangi masalah ketersediaan garam. Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahun 2010 pemerintah memasukkan garam impor ke dalam negeri sebesar 2.083.343 ton. Pemberlakuan impor ini dinilai lebih berpihak kepada konsumen, sedangkan produsen khususnya para petambak garam terabaikan. Kondisi tersebut menyebabkan petambak merugi, karena beberapa sudah meminjam modal kepada tengkulak dan koperasi untuk mempersiapkan lahan produksi. Produksi tidak dapat dilakukan karena ketidakpastian cuaca dan kurangnya sinar matahari yang berfungsi dalam hal pengkristalan air laut.

Guna menanggulangi beberapa permasalahan yang melanda industri garam dalam negeri, maka diperlukan inovasi dan teknologi yang dapat membantu para petambak garam untuk mengoptimalkan produksi garam setiap musimnya tiba. Saat ini telah ditemukan sebuah inovasi yang berguna dalam mengoptimalkan produksi garam serta meningkatkan kualitasnya. Inovasi tersebut adalah penambahan input produksi bubuk zat aditif ke dalam meja garam yang berisi air laut. Selanjutnya air laut akan diubah menjadi garam dengan bantuan sinar matahari, sehingga dengan penambahan zat aditif ke dalam proses produksi dapat menghasilkan produksi garam yang lebih banyak dan lebih berkualitas.


(23)

1.2Perumusan Masalah

Indonesia merupakan negara maritim dengan berbagai kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu yang dapat dimanfaatkan adalah air laut sebagai bahan baku penghasil garam. Fungsi garam terbagi menjadi dua macam yaitu garam konsumsi dan garam industri. Setiap tahunnya kebutuhan garam baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan garam. Permintaan garam meningkat sebesar 609.160 ton garam dari tahun 2006 hingga tahun 2010, sedangkan persediaan garam dari produksi domestik hanya meningkat 67.000 ton dan tahun 2010 mencapai 30.600 ton (Kementrian Perdagangan RI, 2011). Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan, maka pemerintah melakukan impor garam dalam skala besar. Terhitung sejak tahun 2006-2010, Pemerintah Indonesia melakukan impor rata-rata per tahunnya sebesar 1.731.309,4 ton. Peningkatan permintaan garam seharusnya diiringi dengan peningkatan produksi garam domestik.

Faktor produksi garam rakyat dapat diwujudkan dengan cara penambahan areal penambakan garam, dan penggunaan inovasi/teknologi, sedangkan yang terjadi pada usaha garam rakyat bahwa luas lahan garapan petani garam kurang dari satu hektar dan minimnya penggunaan teknologi. Selain itu, kondisi usaha garam rakyat di Indonesia saat ini terlalu mengandalkan cuaca, angin, sinar matahari dan tenaga kerja atau metode tradisional, sehingga yang terjadi banyak faktor ketidakpastian yang terjadi pada usaha garam rakyat di Indonesia. Oleh karena itu harus ada perubahan yang dilakukan, baik terhadap input pertanian maupun metode-metode yang digunakan.

Pada Tabel 1 menggambarkan produksi garam nasional tidak seimbang memenuhi tingkat permintaan garam nasional baik kebutuhan konsumsi rumah tangga maupun konsumsi industri. Permintaan garam yang melebih pasokan produksi garam dari domestik, maka diperlukan langkah strategis berupa inovasi dan teknologi. Adanya sentuhan inovasi dan teknologi serta dukungan dari pemerintah diharapkan mampu mengoptimalkan produksi garam nasional.

Usaha produksi garam rakyat dilakukan secara tradisional dan mengandalkan keramahan iklim. Terjadinya perubahan iklim menjadi kendala


(24)

utama untuk memproduksi garam, karena masyarakat pesisir masih memerlukan pemanasan dengan bantuan matahari sebagai sumber panas. Selain prosesnya tradisional, kualitas garamnya juga masih rendah disebabkan masih tingginya

kandungan pengotor terutama logam Magnesium dan Calcium dalam senyawa

MgSO4, CaSO4, CaCO3, KBr yang disebabkan oleh proses produksi yang masih sangat sederhana. (Priyono, 2011).

Kabupaten Indramayu merupakan sentra penghasil garam di Jawa Barat (Lampiran. 1). Lokasinya yang berdekatan langsung dengan Laut Jawa, membuat Kabupaten Indramayu mampu menghasilkan garam lebih besar dibandingkan dengan daerah lain di Jawa Barat (Lampiran 3). Musim kemarau banyak dimanfaatkan oleh sebagian besar masyarakatnya yang berprofesi sebagai petambak garam. Sistem usaha garam rakyat di sana masih sangat tradisional. Garam yang dihasilkan bergantung kepada cuaca, sehingga apabila tiba-tiba terjadi hujan, maka petambak memanen garam lebih cepat atau bahkan tidak bisa sama sekali untuk memanen garam. Pada tahun 2010, petambak garam khususnya di Indramayu mengalami kerugian yang besar, ketika itu mereka sudah menyiapkan segala kebutuhan untuk memulai produksi garam, namun sulit mendapatkan cahaya matahari dan angin yang baik untuk bisa menghasilkan garam. Hal tersebut terjadi akibat kondisi cuaca yang tidak menentu.

Agar pembangunan pertanian dapat berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang senantiasa bertambah maka harus selalu terjadi perubahan. Ketika perubahan itu berhenti, maka berhenti pula pembangunan pertanian (Hanafie, 2010). Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan berupa inovasi dan teknologi, sehingga dapat menanggulangi permasalahan yang sifatnya bergantung dengan sesuatu yang sulit dipastikan. Dibutuhkan teknologi khusus untuk bisa mengoptimalkan produksi garam baik di musim hujan maupun musim kemarau. Zat aditif ramsol dianggap mampu mengoptimalkan produksi yang dihasilkan petambak garam.

Ramsol adalah bahan/formula zat aditif yang berfungsi sebagai pembersih dan pemutih garam (NaCl) dalam proses produksi garam. Ramsol ditemukan


(25)

pertama kali oleh Hasan Achmad Sujono2, istilah Ramsol sendiri merupakan singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku Ramsol terdiri dari rumput laut, kulit kerang dan zeolit. Menurut Bapak Hasan, zat tersebut mampu meningkatkan produksi garam dalam sekali panen. Selain itu zat aditif ramsol mampu mengikat NaCl lebih kuat dalam pembentukan yodium, sehingga menghasilkan garam yang

berkualitas3. Garam berkualitas akan mempengaruhi harga jual yang akan

diterima oleh petambak garam, sehingga dengan penggunaan zat aditif ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petambak. Penetapan harga dasar penjualan garam rakyat per kg di tingkat petambak dari tahun 2005-2011 tersaji dalam Tabel 2.

Tabel 2. Harga Dasar Garam Rakyat Per Kg di Tingkat Petambak Garam Rakyat di Indonesia Tahun 2005-2011 (Rupiah/kg)

No Kualitas 2005 2008 2011 Keterangan

1. KP 1 200 325 750 - Kadar NaCl ≤ 94,7%

- Warna Putih Bening - Bersih

- Ukuran Butiran 4 mm

2. KP 2 150 250 550 - Kadar NaCl 85%-94,7%

- Warna Putih

- Ukuran Butiran 3 mm Sumber: Kementerian Perdagangan, (2011)

Tabel 2 menginformasikan harga garam di tingkat petambak yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk wilayah pergaraman di Indonesia. Harga garam rakyat disesuaikan dengan jenis kualitas produksinya (KP). Tahun 2005 harga penjualan garam rakyat hanya Rp 200 per kg untuk KP-1 dan Rp 150 per kg untuk KP-2. Tahun 2008 harga dasar garam rakyat dinaikkan menjadi Rp 325 per kg untuk garam KP-1 dan Rp 250 per kg untuk garam KP-2, lalu pada tahun 2011 harga dasar dinaikkan oleh pemerintah menjadi Rp 750 per kg untuk garam KP-1 dan Rp 550 per kg untuk garam KP-2 .

Pada umumnya harga rata-rata garam rakyat tahun 2011 di sejumlah daerah pergaraman tidak sesuai dengan harga dasar yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga garam rakyat saat awal bulan Juli tahun 2011 hanya berkisar

2

http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/5603/training-of-trainer-garam-bagi-pelatih/?category_id=91. [diakses Januari 2013]

3


(26)

Rp 400 per kg untuk KP-1 dan 320 per kg untuk KP-2.4 Pada saat panen raya, harga dasar garam KP-1 berkisar Rp 350 per kg dan Rp 300 per kg untuk KP-2. Rendahnya harga garam rakyat dapat menyebabkan pendapatan petambak menjadi rendah.

Pada usaha garam rakyat, lahan merupakan faktor produksi penting terhadap keberlanjutan usaha garam rakyat tersebut. Lahan merupakan modal dalam usaha garam rakyat guna menjamin kehidupannya serta keluarganya. Pada faktor produksi, lahan erat kaitannya dengan status penguasaan lahan. Status penguasaan lahan pada pokoknya dibagi menjadi tiga, yaitu pemilik penggarap (owner operator), penyewa (cash tenant) dan penyakap atau bagi hasil (share tenant).

Ada beberapa anggapan yang menilai bahwa sistem bagi hasil kurang efisien karena petambak dengan status penguasaan lahan tersebut berada pada ketidakpastian dalam menggarap lahan tersebut. Kemampuan petambak untuk tetap bisa menggarap lahan bergantung dari wewenang pemilik lahan, bahkan pemilik lahan dapat sewaktu-waktu meminta orang lain untuk menggantikan petambak tersebut agar menggarap lahan yang sebelum dikelola. Meskipun penyakap dibebaskan dari biaya atas lahan, namun ia harus membagi hasil tani nya kepada pemilik lahan. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali bagaimana pengaruh pemberian zat aditif dalam mengatasi beberapa permasalahan usaha garam rakyat khususnya dalam hal produksi dan penerimaan yang nantinya akan mempengaruhi pendapatan petambak garam. Selain itu akan dibahas juga pengaruh status penguasaan lahan terhadap pendapatan petambak garam. Peningkatan produksi garam, dilakukan dengan cara mengoptimalkan faktor produksi garam. Pada umumnya, produksi berbanding lurus dengan pendapatan. Semakin meningkat output produksi yang dihasilkan, maka semaki meningkat pendapatan petani/petambak tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi garam di Desa

Santing?

4

[APKI] Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia. 2011. Harga garam: jelang panen harga garam rakyat anjlok. http://apki.net/?p=2030. Diakses tanggal 03 Maret 2012.


(27)

2. Bagaimana pengaruh penggunaan zat aditif dan status penguasaan lahan terhadap pendapatan usaha garam rakyat di Desa Santing?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi garam di Desa

Santing.

2. Menganalisis pengaruh pemberian zat aditif dan status penguasaan lahan

terhadap pendapatan petambak garam di Desa Santing.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Petambak, sebagai informasi bahwa belanja daerah di sektor pertanian dapat menjadi insentif dan memberikan berkontribusi dalam pembangunan daerah.

2. Pemerintah, sebagai salah satu bahan masukan bagi para pembuat kebijakan

dan para pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan mengenai perbaikan produksi gatam dan peningkatan kesejahteraan petambak garam, khususnya dalam mewujudkan Program Swasembada Garam Nasional. 3. Masyarakat, sebagai informasi bahwa proporsi belanja daerah di sektor

4. Akademisi, khususnya untuk penelitian mengenai analisis pendapatan dan

profitabilitas usaha garam rakyat menurut status penguasaan lahan dan penggunaan zat aditif agar dapat dievaluasi guna perumusan kebijakan selanjutnya di masa mendatang dan sebagai bahan pustaka yang berkaitan dengan usaha garam rakyat yang berkelanjutan.


(28)

1.5Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan kebijakan harga dasar garam rakyat yang ditetapkan pada tahun 2011. Lokasi pengambilan data primer dilakukan di Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Data produksi garam rakyat yang digunakan adalah data produksi tahun 2011. Produksi garam hanya dilakukan mulai bulan Juli hingga bulan November. Penelitian ini akan menilai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi garam serta dampak apa saja yang diakibatkan dari penggunaan zat aditif terhadap pendapatan petambak di Desa Santing.


(29)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Garam

Garam natrium klorida (NaCl) adalah elektrolit ekstra seluler dasar yan penting bagi keberlangsungan dan perkembangbiakan makhluk hidup (Korovessis dan Lekkas 2000). Garam merupakan salah satu mineral terbaik di dunia dan substansi kimia yang berhubungan erat dengan sejarah peradaban manusia. Garam diproduksi menggunakan evaporasi tenaga surya sejak awal mula peradaban manusia. Kehidupan dimulai dari laut dimana organisme monoseluler mulai diciptakan.

Garam rakyat Indonesia sebagian besar masih diolah dengan cara tradisional, yaitu dengan menimba, mengaliri dan memasukkan air laut ke dalam lahan-lahan yang sudah disiapkan diatas tanah. Garam rakyat atau garam krosok merupakan sebutan bagi garam yang diproduksi oleh masyarakat diatas lahan milik pribadi atau milik orang lain. Garam rakyat nantinya akan menjadi bahan baku pembuatan garam konsumsi ataupun garam industri. Masa produksi garam hanya dapat dilakukan pada saat musim kemarau yaitu sekitar 4-6 bulan dari bulan Juni hingga bulan November.

Proses produksi garam sangat bergantung pada faktor cuaca. Garam diproduksi dengan cara menguapkan air laut yang dipompa di lahan pegaraman. Kondisi cuaca menjadi salah satu penentu keberhasilan target produksi garam (Mahdi, 2009). Evaporasi air garam dapat tercapai jika didukung oleh radiasi surya serta bantuan rekayasa iklim mikro pada areal pegaraman, khususnya angin, curah hujan, suhu dan kelembaban, serta durasi penyinaran matahari. Proses produksi garam memerlukan cuaca yang kering dengan laju evaporasi tinggi. Curah hujan menjadi faktor pengurang evaporasi yang memberikan efek negatif

pada proses pembuatan garam (Zhiling et al, 2009). Indonesia hanya dapat

memproduksi garam pada musim kemarau, yakni ketika curah hujan di Indonesia relatif sedikit, sedangkan di negara-negara subtropis dapat memproduksi garam sepanjang tahun karena iklim yang relatif kering sepanjang tahun.


(30)

2.2 Zat Aditif

2.2.1 Pengertian Zat Aditif

Produksi garam rakyat di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan

garam dengan kualitas tiga (K3) dengan mutu rendah dari kadar NaCl rendah

pula. Dengan demikian diperlukan penambahan zat aditif selama proses pembuatan garam untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam. Saat ini telah ditemukan beberapa zat aditif sebagai filter untuk menjadikan garam dari kualitas tiga (K3) mnejadi kualitas satu (K1). Salah satu dari zat aditif adalah Garam Solusi (ramsol).

Ramsol adalah bahan/formula zat aditif yang berfungsi sebagai pembersih

dan pemutih garam (NaCl) dalam proses produksi garam. Ramsol ditemukan

pertama kali oleh Hasan Achmad Sujono, istilah ramsol sendiri merupakan singkatan dari Garam Solusi. Bahan baku ramsol terdiri dari rumput laut, kulit kerang dan zeolit. Pada tanggal 10 Maret 2009 Ramsol telah memperoleh sertifikat Perlindungan Hak Merek dengan Nomor IDM000161720 dari Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ramsol tersebut juga memperoleh Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT-SNI) sebagai garam konsumsi beryodium dengan SNI No. 01-3556-2000. Pada tanggal 7 Juni 2010 Ramsol memperoleh sertifikat dai Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Jawa Barat dengan sertifikat halal No. 01061030100608. Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) telah mengeluarkan persetujuan pendaftaran produk pangan No. BPOM RI MD 245728001223 tanggal 31 Agustus 2010 (Aris, 2011).

Produksi Ramsol skala industri Hasan Achmad Sujono melakukan kerjasama dengan Ir. Cholidi selaku Direktur Utama PT. Sumber Alam Niagamas (PT. SUN). Perusahaan tersebut bergerak di bidang usaha Industri Pengolahan Mineral Garam (Garam Iodium). Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian telah melakukan uji laboratorium terhadap Ramsol dan menyatakan bahwa produk tersebut memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk garam konsumsi beryodium. Beberapa uji laboratorium yang dilakukan adalah sebagai berikut (Aris, 2011) :


(31)

1. Sampel garam krosok dengan Ramsol yang diuji oleh Balai Besar Industri Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (8 Januari 2007)

2. Sampel garam halus dengan Ramsol yang diuji oleh Balai Besar Industri

Agro, Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (19 Februari 2007)

3. Sampel garam halus beryodium diuji oleh Balai Besar Industri Agro,

Badan Litbang Industri, Kementrian Perindustrian (24 Mei 2010). Sampel dinyatakan memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk garam konsumsi beryodium.

Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia telah memberikan penghargaan kepada Hasan Achmad Sujono atas inovasi Ramsol sebagai bahan aditif dalam memproduksi garam yang juga dapat meningkatkan kesehatan dan kecerdasan manusia. Analisis kelayakan usaha terhadap pemberian Ramsol dalam proses produksi garam yang dilakukan secara tradisional, semi

intensif, dan back yard menunjukkan bahwa Ramsol dapat meningkatkan

produksi dan kualitas garam yang dihasilkan, sehingga menguntungkan dari segi ekonomis. Dengan demikian Ramsol memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil produksi penggaraman nasional serta meningkatkan pendapatan petambak garam.

2.2.2 Tata Cara Pemakaian Zat Aditif

Menurut Prasetyanto (2011) dalam modul pelatihan garam tingkat dasar menyebutkan tata cara pemakaian ramsol pada masing-masing teknik pembuatan garam baik tradisional, semi intensif, dan back yard adalah sebagai berikut :

1. Siapkan ramsol sebanyak 700 gr yang diaduk dengan air 10 liter hingga

merata sampai terlihat keruh keabu-abuan.

2. Taburkan ke meja-meja garam sampai habis yang dimulai dari tiap-tiap


(32)

2.3 Status Petani Berdasarkan Penguasaan Lahan

Soeharjo dan Patong (1973) membedakan status petani dalam usahatani menjadi tiga, yaitu:

1. Petani Pemilik

Petani pemilik adalah golongan petambak yang memiliki tanah dan ia pulalah yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor-faktor produksi baik yang berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang digunakan adalah milik petani sendiri. Dengan demikian, ia bebas dalam menentukan kebijaksanaan usahataninya tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain. Golongan petani yang agak berbeda statusnya adalah yang mengusahakan tanamannya sendiri dan juga mengusahakan lahan orang lain

2. Petani Penyewa

Petani penyewa adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang lain dengan jalan menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum penggarapan dimulai. Lama kontrak sewa ini tergantung pada perjanjian antara pemilik tanah dengan penyewa. Jangka waktu dapat terjadi satu musim, satu tahun, dua tahun atau jangka waktu yang lebih lama. Dalam sistem sewa, resiko usahatani hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah menerima sewa tanahnya tanpa dipengaruhi oleh resiko usahatani yang mungkin terjadi.

3. Penyakap

Penyakap adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang lain dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, resiko usahatani ditanggung bersama oleh pemilik tanah dan penyakap. Besarnya bagi hasil tidak sama untuk setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah masing-masing, kelas tanah, kesuburan tanah, banyaknya pemintaan dan penawaran dan peraturan negara yang berlaku. Menurut peraturan pemerintah, besarnya bagi hasil ialah 50 persen untuk pemilik lahan dan 50 persen untuk penyakap setelah dikurangi dengan biaya - biaya produksi yang berbentuk sarana. Disamping kewajiban terhadap usahataninya, dibeberapa daerah terdapat pula tambahan bagi


(33)

penyakap, misalnya kewajiban membantu pekerjaan dirumah pemilik tanah dan kewajiban - kewajiban lain berupa materi.

2.4 Fungsi Produksi

Produksi adalah kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu barang atau menciptakan barang baru sehingga mempunyai manfaat dalam memenuhi kebutuhan, khususnya untuk manusia. Analisis fungsi produksi sering dilakukan oleh para peneliti, karena mereka menginginkan informasi mengenai cara agar sumberdaya yang terbatas seperti tanah, tenaga kerja, dan modal dapat dikelola dengan baik agar produksi maksimum dapat diperoleh. Dalam praktek, penggunaan masukan produksi masih dipengaruhi oleh faktor lain di luar kontrol manusia, misalnya serangan hama – penyakit dan iklim. Oleh karena itu, dalam fungsi produksi dikenal istilah faktor ketidakpastian (uncertainty) dan risiko (risk). Besarnya tingkat faktor ketidakpastian akan menentukan besarnya risiko yang dihadapi.

Dalam memberi arti terhadap besarnya fungsi produksi, hendaknya perlu berhati-hati, karena tidak semua variabel independen dimasukkan dalam model. Hal ini dikarenakan terbatasnya data, sehingga perlu berhati-hati terhadap bias yang terjadi dalam model pendugaan tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah (Soekartawai, 1993):

a) Model pendugaan yang dipakai adalah diketahui, dalam artian bahwa

model tersebut diduga tidak bias terlalu banyak,

b) Variabel yang dipakai dalam keadaan ketidakpastian dan tidak berisiko,

c) Pendugaan dalam fungsi produksi menunjukkan gambaran rata-rata suatu

pengamatan, kalau data yang dipakai adalah data “cross-section”,

d) Data yang dinyatakan dengan uang, mungkin bias dengan keadaan

sebenarnya, karena adanya biaya yang dluangkan (opportinity cost). Hal ini mungkin terjadi karena adanya pasar yang bekerja tidak sempurna, dan

e) Setiap pengusaha atau petani mempunyai usaha yang khusus, sehingga


(34)

Menurut Nicholson (2002), fungsi produksi suatu barang memperlihatkan jumlah output maksimum yang bisa diperoleh dengan menggunakan berbagai alternatif kombinasi input. Hubungan antara input dan output bisa diformulasikan oleh suatu fungsi produksi secara matematis, yaitu (persamaan 1) :

Y = f(X1, X2, X3, ...., Xn)

dimana:

Y = total output yang dihasilkan dalam satu periode tertentu,

Xn = input yang digunakan dalam memproduksi pupuk urea,

f = bentuk hubungan yang mentransformasikan input-input ke dalam output.

Jumlah barang yang diproduksi dapat ditambah dengan menaikkan jumlah input atau dengan menambah jumlah salah satu inputnya dan mempertahankan jumlah input yang lainnya. Pelaku ekonomi menghadapi berbagai macam teknik produksi dan akan memilih hasil yang optimal dalam batas modal yang dimiliki. Fungsi produksi memberikan output maksimum dalam pengertian fisik dari tiap-tiap tingkat input (Beattie dan Taylor, 1994).

Fungsi produksi dapat pula dinyatakan dalam bentuk grafik, dengan asumsi bahwa hanya ada satu faktor produksi saja yang berubah sedangkan faktor produksi lainnya dianggap tetap atau cateris paribus. Grafik fungsi produksi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini :


(35)

Gambar 1. Elastisitas Produksi dan Daerah Produksi pada Jangka Pendek

Sumber : Nicholson (1994)

Produk Total (PT) adalah kurva yang menggambarkan hubungan antara input dengan output. Ketika salah satu faktor produksi meningkat dan faktor produksi lainnya dianggap konstan, maka jumlah output akan meningkat sampai pada batas maksimum. Jika sudah melebihi batas maksimum, maka output yang dihasilkan akan semakin menurun. Kurva produk total dapat diturunkan menjadi kurva produk marjinal (PM) dan kurva produk rata-rata (PR). Produk rata-rata adalah hasil pembagian antara output total dengan input total produksi yang digunakan. Produk Marjinal (PM) adalah keluaran tambahan yang dapat diproduksi dengan menggunakan satu unit tambahan dari masukan tersebut sambil mempertahankan semua masukan lain tetap konstan (Nicholson, 1994).

Fungsi produksi dibagi kedalam tiga daerah produksi yang dibedakan berdasarkan elastisitas produksinya, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol sampai satu (daerah II), dan daerah produksi dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol (daerah III).


(36)

Daerah produksi I terletak antara titik nol sampai X**. Elastisitas produksi pada daerah satu bernilai lebih besar dari satu, artinya penambahan faktor produksi sebanyak satu persen akan menambah produksi lebih besar dari satu persen. Pada daerah ini produksi marjinal (PM) mencapai titik maksimum lalu mengalami penurunan, tetapi masih lebih besar dari produk rata-rata (PR). Keuntungan maksimum belum tercapai pada daerah ini karena produksi masih bisa ditingkatkan dengan penambahan faktor produksi, sehingga daerah ini disebut daerah irrational.

Daerah yang terletak antara X** dan X*** merupakan daerah produksi II. Pada daerah ini elastisitas produksinya antara nol sampai satu, artinya setiap penambahan faktor produksi satu persen akan menambah produksi sebesar nol sampai satu persen. Pada daerah ini produksi marjinal dan produksi rata-rata mengalami penurunan, sedangkan pada produksi total daerah ini merupakan daerah decreasing diminishing return karena setiap penambahan faktor produksi akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, sehingga disebut daerah rational.

Daerah tiga mempunyai elastisitas lebih kecil dari nol, yang dimulai dari titik X*** sampai seterusnya. Pada daerah ini produksi marjinal mengalami penurunan bahkan bernilai negatif, sehingga produksi totalnya mengalami penurunan. Setiap penambahan faktor produksi pada daerah ini akan menyebabkan penurunan output yang dihasilkan. Oleh karena itu, daerah II ini disebut daerah irrational.

Bentuk fungsi produksi dipengaruhi oleh hukum ekonomi produksi yaitu

hukum kenaikan hasil yang semakin berkurang (The Law of Deminishing

Returns). Hukum tersebut mempunyai arti bahwa jika faktor produksi ditambah secara terus menerus dalam suatu proses produksi, sedangkan faktor lainnya konstan, maka tambahan jumlah produksi pada akhirnya akan mengalami penurunan. Hukum ini juga bisa menggambarkan adanya kenaikan hasil yang berkurang dalam kurva fungsi produksi.


(37)

2.5 Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Fungsi produksi Cobb-Douglas menjadi terkenal setelah diperkenalkan oleh Cobb, C.W. dan Douglas, P.H. pada tahun1928 melalui artikelnya yang berjudul “A Theory of Production“. Artikel ini dimuat pertama kalinya di majalah ilmiah American Economic Review 1 halaman 139 – 165. Sejak saat itu fungsi Cobb-Douglas dikembangkan oleh para peneliti, sehingga bukan saja diperuntukkan untuk fungsi produksi, melainkan juga digunakan untuk fungsi biaya dan fungsi keuntungan. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa fungsi Cobb-Douglas memang dianggap penting dalam peristiwa ekonomi (Souekartawi, 1993).

Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan ang melibatkan dua atau lebih variabel, variabel yang satu disebut dengan variabel dependent

(yang dijelaskan atau Y), dan yang lainnya adalah variabel independent (yang menjelaskan atau X). Penyelesaian hubungan antara Y dan X biasanya dengan cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti persamaan 2 :

Y = aX1b1 X2b2... Xnbn eu (2)

Bila fungsi Cobb-Douglas tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka dapat dituliskan seperti persamaan 3:

Y = f(X1,X2,....Xn) (3)

Dimana :

Y = output (variabel yang dijelaskan)

a = intersep

bn = koefisien regresi penduga variabel ke-n

xi = jenis faktor produksi ke-n (variabel yang menjelaskan)

u = residual

e = 2,1782 (logaritma natural)

Penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linear, maka ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum seseorang menggunakan fungsi Cobb-Douglas.


(38)

Persyaratan ini diantaranya adalah (Soekartawi, 1993) :

a) Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol. Sebab logaritma dari

bilangan nol adalah suatu bilangan yang besarnya tidak diketahui;

b) Dalam fungsi produksi, perlu asumsi bahwa tidak ada perbedaan teknologi

pada setiap pengamatan. Ini artinya, kalau fungsi Cobb Douglas yang dipakai sebagai model dalam suatu pengamatan dan bila diperlukan analisa yang merupakan lebih dari satu model, maka perbedaan model tersebut terletak pada intercept dan bukan pada kemiringan garis (slope) model tersebut.

c) Tiap variabel X adalah perfect competition

d) Perbedaan lokasi (pada fungsi produksi) seperti iklim adalah sudah

tercakup pada faktor kesalahan, u.

Fungsi produksi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuk fungsinya menjadi linier, dan harus sesuai dengan persyaratan yang telah diuraikan sebelumnya. Output yang dihasilkan dalam suatu proses produksi tergantung pada input yang digunakan, secara sistematis menjelaskan suatu fungsi produksi yang merupakan hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (total produksi pupuk urea) dengan variabel yang menjelaskan (faktor-faktor produksi). Berikut ini beberapa alasan fungsi Cobb-Douglas banyak diminati oleh para peneliti, yaitu (Soekartawi, 1993):

a) Penyelesaian fingsi Cobb-Douglas relaltif lebih mudah dibandingkan

dengan fungsi yang lain, misalnya fungsi kuadratik suatu model dapat dengan mudah ditransfer ke bentuk linear.

b) Hasil pendugaan garis melalui fungsi Cobb-Douglas akan menghasilkan

koefisien regresi yang sekaligus juga menunjukkan besaran elastisitas. Jadi besaran koefisien regresi pada model adalah elastisitas dari variabel masukan produksi yang bersangkutan.

c) Besaran elastisitas tersebut sekaligus menunjukkan tingkat besaran return to scale.


(39)

2.6 Skala Usaha (Return to Scale)

Konsep return to scale menjelaskan keadaan suatu kenaikan proporsional dari semua input terhadap hasil produksi total. Hasil berbanding skala atau dapat disebut juga dengan skala usaha digunakan untuk menganalisis seberapa besar pengaruh dari sejumlah input yang digandakan terhadap output yang dihasilkan (Nicholson, 1994).

Menurut Soekartawi (2003), return to scale perlu diketahui agar dapat melihat apakah kegiatan usaha yang diteliti tersebut mengikuti kaidah increasing,

constant atau decreasing return to scale. Jumlah dari setiap koefisien dari suatu model, memberikan informasi mengenai pengaruh skala terhadap hasil (return to scale), yaitu tanggapan output terhadap perubahan proporsional dalam input. Jika b= 1, maka terdapat pengaruh skala terhadap hasil yang konstan (constant return to scale), yaitu jika terjadi kenaikan input sebesar dua kali lipat, maka output akan meningkat sebesar dua kali lipat pula. Jika jumlahnya lebih kecil daripada satu, maka ada pengaruh skala yang menurun terhadap tingkat hasil (decreasing return to scale), yaitu adanya kenaikan input sebesar dua kali lipat akan menyebabkan penurunan output yang kurang dari dua kali lipat. Jika jumlahnya lebih besar daripada satu, maka ada pengaruh skala yang meningkat terhadap tingkat hasil, artinya adanya kenaikan input sebesar dua kali lipat akan meningkatkan output sebesar lebih dari dua kali lipat (Gujarati, 1995)

2.7 Elastisitas

Pada proses produksi, jumlah faktor produksi urea yang digunakan cenderung berubah-ubah. Perubahan tersebut disebabkan adanya elastisitas produksi dari faktor produksi urea yang digunakan. Elastisitas produksi adalah

(Ep) adalah perubahan produk yang dihasilkan sebagai akibat dari perubahan

faktor produksi yang dipakai. Elastisitas produksi merupakan persentase perubahan dari output sebagai akibat dari persentase perubahan dari input.


(40)

Perubahan jumlah output yang disebabkan oleh faktor input yang digunakan dapat dinyatakan dalam elastisitas produksi.

Menurut Nicholson (1994), hubungan lain juga membuktikan bahwa koefisien pangkat dari fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan nilai elastisitasnya dengan menggunakan rumus dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Nilai koefisien dari masing-masing input yaitu modal,bahan baku, tenaga kerja, dan stream days mencerminkan elastisitas hasil terhadap modal, bahan baku, tenaga kerja, dan stream days

2.8 Biaya Usahatani

Biaya adalah korbanan yang dicurahkan dalam proses produksi semula fisik, kemudian diberi nilai rupiah (Hernanto, 1989). Sedangkan menurut Soekartawi, et.al. (1986) menyebutkan bahwa biaya atau pengeluaran usahatani adalah semua nilai masuk yang habis dipakai atau dikeluarkan di dalam proses produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petambak.

Menurut Daniel (2004), dalam usahatani dikenal dua macam biaya, yaitu iaya tunai atau biaya yang dibayarkan dan biaya tidak tunai atau biaya yang tidak dibayarkan/diperhitungkan. Biaya tunai atau biaya yang dibayarkan adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, obat-obatan dan bawon panen juga termasuk biaya iuran pemakaian air dan irigasi, pembayaran zakat dan lain- lain.

Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petambak jika modal dan nilai kerja keluarga diperhitungkan. Selain itu, biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung nilai penyusutan dari penggunaan suatu peralatan.

2.9 Analisis Pendapatan Usahatani

Usahatani sebagai satu kegiatan produksi pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara keduanya merupakan pendapatan usahatani. Soeharjo dan Patong (1973),


(41)

mengartikan pendapatan usahatani sebagai balas jasa dari kerjasama antara faktor-faktor produksi dengan petani sebagai penanam modal dan sekaligus pengelola usahatani.

Tingkat pendapatan didapatkan dengan analisis pendapatan usahatani. Analisis pendapatan usahatani dapat dijadikan tolak ukur sederhana tentang tingkat keberhasilan suatu usahatani. Soeharjo dan Patong (1973), menjelaskan terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu kegiatan usaha.

Analisis pendapatan memerlukan dua komponen utama, yaitu keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu dalam usahatani dan keadaan penerimaan pasca produksi dan pemasaran usahatani (Soeharjo dan Patong,

1973). Menurut Soekarwati et al. (1986), penerimaan adalah besaran output

usaha, baik produk utama maupun produk sampingan yang dihasilkan. Sedangkan pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumber daya yang terukur dalam satuan nominal uang (rupiah) yang dikeluarkan dalam mencapai tujuan usahatani.

Komponen pengeluaran dalam usahatani berupa pengeluaran tunai (cash

cost) dan pengeluaran diperhitungkan (inputted cost). Beban biaya dalam

pengeluaran tunai meliputi: pembayaran tunai sarana produksi pertanian seperti pembelian benih, pupuk, obat-obatan (pestisida), beban biaya sewa dibayar dimuka seperti sewa lahan garapan, sewa alat mesin pertanian (bila ada), dan biaya tenaga kerja. Beban biaya yang termasuk dalam pengeluaran diperhitungkan (inputted cost) adalah pendapatan bunga modal, pendapatan yang dipergunakan untuk usahatani berikutnya seperti benih hasil panen dan nilai tenaga kerja keluarga diperhitungkan.

Komponen penerimaan usahatani dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Pendapatan tunai bersumber dari

penjualan tunai hasil produksi panen (output) usahatani yang dilakukan,

sedangkan penerimaan non tunai bersumber dari (1) produk hasil panen (output)


(42)

benda-benda investasi yang dimiliki rumah tangga petambak berdasarkan selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun.

2.10 Analisis Profitabilitas

Keberhasilan dari suatu usahatani selain diukur dengan nilai mutlak (analisis pendapatan), juga diukur dari analisis efisiensinya (Soeharjo dan Patong, 1977). Salah satu ukuran efisiensinya adalah penerimaan untuk tiap rupiah yang dikeluarkan (revenue cost ratio). Dalam analisis R/C akan diuji seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usahatani yang bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Semakin tinggi nilai R/C ratio, menunjukkan semakin besar keuntungan yang diperoleh dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan, sehingga dengan perolehan nilai R/C ratio yang semakin tinggi maka tingkat efisiensi pendapatan pun semakin baik.

2.11 Analisis Faktor-faktor Produksi Usahatani

Usahatani merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya (Suratiyah, 2006). Menurut Soekartawi (1986), usahatani adalah organisasi yang pelaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial baik yang terkait biologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Usahatani dilakukan untuk mengkoordinasikan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin untuk mendapatkan pendapatan semaksimal mungkin.

Menurut Suratiyah (2006), terdapat empat unsur pokok dalam usahatani yaitu :

1. Lahan

Lahan usahatani dapat berupa sawah ataupun lahan pekarangan yang bisa diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil


(43)

(menyakap), pemberian negara, warisan atau wakaf. Lahan mewakili unsur dalam dan merupakan modal yang sangat penting dalam melakukan usahatani.

2. Tenaga Kerja

Tenaga kerja dalam usahatani merupakan faktor penting selain tanah, modal dan pengelolanya. Ada tiga jenis tenaga kerja yang dikenal dalam usahatani yaitu manusia, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas, tenaga kerja pria, wanita dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk mengolah tanah dan pengangkutan. Tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak. Kekurangan tenaga kerja dapat diantisispasi dengan mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa upah.

3. Modal

Modal adalah barang atau uang yang digunakan bersama faktor produksi yang lainnya untuk menghasilkan barang-barang baru yaitu produk pertanian. Modal mempunyai pengaruh yang besar terhadap usahatani, terutama modal operasional. Modal operasional terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan usahatani dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi, tenaga kerja bahkan untuk membiayai pengelola. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi modal tetap dan modal bergerak. Modal tetap seperti tanah dan bangunan, sedangkan modal bergerak seperti alat-alat, bahan, uang tunai, piutang di bank, tanaman dan ternak.

4. Pengelola

Pengelola usahatani adalah kemampuan dalam menentukan, mengorganisasikan dan mengkoordinasikan faktor produksi sebaik mungkin sesuai dengan apa yang diharapkan. Ukuran keberhasilan pengelola adalah peningkatan produksi setiap faktor maupun dari setiap usahanya. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal dapat dikendalikan oleh petambak, meliputi petambak pengelola, tenaga usaha, tenaga kerja, modal, tingkat teknologi, kemampuan petambak mengalokasikan penerimaan keluarga dan jumlah keluarga. Faktor eksternal adalah faktor-faktor diluar usahatani yang mempengaruhi keberhasilan


(44)

usahatani meliputi sarana transportasi dan komunikasi, pemasaran dan fasilitas kredit.

Hubungan sumberdaya lahan, modal, dan tenaga kerja saling terkait dalam pertanian. Aspek sumberdaya pertanian menurut Soekartawi (2006) adalah aspek alam (tanah), modal dan tenaga kerja. Selain aspek tersebut juga terdapat aspek manajemen dalam pengelolaan sumberdaya produksi. Mahdi (2009) memaparkan bahwa pegaraman hendaknya memenuhi beberapa faktor yang menjadi variabel produksi pada proses produksi garam antara lain:

1. Peningkatan kecepatan penguapan air laut

2. Penurunan peresapan tanah

3. Pengaturan konsentrasi pengkristalan garam

4. Perbaikan cara pengolahan tanah

5. Penggunaan teknologi baru.

Proses produksi garam yang disarankan adalah dengan metode kristalisasi bertingkat, yakni model pembaruan dari metode konvensional. Proses ini sudah dilakukan oleh PT Garam (Persero). Tahap pembuatan garam untuk memproduksi garam berkualitas sebagai berikut (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2003):

1. Persiapan

Persiapan dilakukan paling lambat 2 minggu sebelum musim kemarau dengan cara melakukan perbaikan kembali semua saluran, tanggul-tanggul kolam pegaraman, dan lain-lain.

2. Pengaliran air laut ke kolam pengumpul/pengendapan

Air laut dialirkan ke kolam pengumpul jika musim kemarau tiba. Pada saat pengisian air laut dilakukan pembukaan pintu air ke kolam pengumpul, sedangkan pada saat air laut pasang pintu air ditutup rapat dan diupayakan tidak ada kebocoran. Air laut didiamkan kurang lebih 14-15 hari sampai konsentrasi air garam mencapai 10oBe.

3. Aliran larutan garam pada kolam-kolam pegaraman

Larutan air garam (brine) dialirkan ke kolam-kolam setelah beberapa hari diendapkan dan mengalami peningkatan konsentrasi, dengan demikian dibuat empat seri kolam penguapan dengan target konsentrasi berbeda-beda. Ketika konsentrasi air garam mencapai konsentrasi 24.5oBe larutan garam dipindahkan


(45)

ke kolam pemekatan, sehingga mencapai konsentrasi 29.5oBe namun tidak boleh lebih dari 30.5oBe, sebab kualitas garam akan menurun pada konsentrasi tersebut. Pemindahan brine dari satu kolam ke kolam lain melewati pintu-pintu air. Pengukuran konsentrasi brine harus dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut baumeter. Proses penguapan air garam di lahan peminihan umumnya berlangsung selama 70 hari.

4. Kolam kristalisasi dan pengambilan kristal garam

Kolam kristalisasi telah dipersiapkan sebelum garam pekat dari kolam pemekatan dipindahkan ke kolam kristalisasi.

5. Pencucian garam

Pencucian garam adalah suatu cara menghilangkan/mengurangi komponen- komponen yang tidak diinginkan dengan melalui pengkontakkan antara benda padat dengan cairan.

6. Pengeringan garam

Pengeringan garam adalah tahap terakhir sebelum pengarungan, dimana garam yang sudah dicuci diletakkan diatas geribik, lalu dijemur dibawah sinar matahari.

7. Pergudangan

Pergudangan didesain untuk menjaga garam agar tidak mengalami penurunan kualitas. Karena sifat garam yang higroskopis sehingga mudah menyerap air, maka kelembaban gudang harus dikontrol

2.12 Hasil Penelitian Terdahulu

Usaha garam rakyat merupakan suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh petambak atau petani garam dengan menggabungkan sumberdaya (lahan, tenaga kerja, modal, dan lain-lain) untuk mencapai tujuan utama yaitu mendapatkan keuntungan. Usaha garam rakyat di Indonesia dikenal masih sangat tradisional, karena melalui proses evaporasi hanya dengan bantuan sinar matahari dan angin, tanpa adanya sentuhan teknologi. Oleh karena itu, untuk mencapai keuntungan atau produksi yang maksimal, maka penggunaan faktor-faktor produksi (sumberdaya) sebagai korbanan harus diketahui dan efisien.


(46)

Tingkat pendapatan merupakan indikator dari keberhasilan yang diperoleh dari setiap usaha garam rakyat. Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya (Soekartawi, 2006). Untuk menganalisis, apakah usaha garam rakyat

yang dilakukan menguntungkan (profitable) atau tidak, maka dilakukan

perbandingan antara jumlah penerimaan dan biaya (R/C). Usaha yang menguntungkan (profitable) mempunyai nilai R/C > 1. Nilai R/C dapat pula menunjukan ukuran efisiensi suatu usaha. Semakin besar nilai R/C maka semakin efisien usaha yang dilakukan.

Ihsannudin (2013) melakukan penelitian yang berjudul Pemberdayaan

Petani Penggarap Garam Melalui Kebijakan Berbasis Pertanahan. Lokasi penelitian bertempat di Pulau Madura tepatnya di Kabupaten Sampang. Lokasi tersebut dipilih karena merupakan sentra penggaraman rakyat paling luas di Madura. Latar belakangnya penelitian ini adalah tentang tidak sejahteranya petani penggarap garam atau tidak memiliki status kekuasaan lahan. Widodo (2010) dalam Ihsannudin (2013) mengatakan masyarakat pesisir pada umumnya menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar dan bergantung musim. Kondisi iklim dan cuaca yang seringkali tidak bersahabat, mekanisme harga dan pasar garam yang cenderung tidak berpihak kepada petani garam menjadikan usaha garam ini dilingkupi risiko (Ihsannudin, 2012). Demikian pula mengenai tingkat pendidikan penduduk yang rendah dan keterampilan yang terbatas. Kondisi tersebut semakin terpuruk apabila petani tersebut tidak memiliki kuasa lahan atau biasa disebut penyakap (petani penggarap), sehingga selain memiliki keterbatasan modal, penyakap juga tidak mempunyai hak dalam pengambilan keputusan dalam usaha garam rakyat. Oleh karena itu, penelitian ini berujuan mengetahui pendapatan petani penggarap garam dari usaha produksi garam serta alternatif kebijakan pertanahan yang dapat ditetapkan untuk dapat memberdayakannya.

Analisis data yang dilakukan adalah analisis pendapatan, sedangkan alat analisis yang digunakan untuk mengestimasi keberhasilan usaha adalah sebagai berikut :

NI = Total Penerimaan (TR) – Total Biaya (TC)


(47)

Dimana :

NI : Nett Income (Pendapatan Bersih)

Q : Total produksi

Pq : Harga per satuan produk

TFC : Total biaya tetap TVC : Total biaya variabel

Sementara upaya pemberdayaan petani penggarap garam dengan kebijakan pertanahan dilakukan dengan melakukan analisis kualitatif. Analisis kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan antara reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Pada isi pembahasan dijelaskan bahwa 40,34% biaya yang dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja pada saat penggarapan persiapan sebelum panen dan pemeliharaan selama masa panen. Garam selanjutnya dipungut setiap 10 hari sekali. Biaya terbesar selanjutnya adalah biaya pengangkutan (22,6%). Biaya yang dikeluarkan petani garam akan menjadi unsur pengurang dari penerimaan yang diperoleh. Berdasarkan data yang diperoleh, usaha garam pada musim 2011 diperoleh rata-rata produksi per hektar per musim sebesar 52,93 ton, dengan harga yang diterima adalah Rp484.000 per ton, sehingga penerimaan petani tersebut adalah Rp25.640.907. Selanjutnya setelah dikurangi total biaya sebesar Rp16.394.966 maka diperoleh pendapatan petani garam sebesar Rp9.245.941 per hektar per musim. Perjanjian yang telah dibuat oleh penggarap dengan pemilik lahan adalah bahwa pembagian hasil sebesar 30% untuk penggarap dan 70% untuk pemilik lahan, dengan asumsi jika seluruh alat-alat produksi berasal dari pemilik lahan. Oleh karena itu, pendapatan bersih yang diperoleh petani penggarap garam adalah Rp2.773.782,3 per hektar per musim.

Alternatif kebijakan pemberdayaan petani penggarap dimaksudkan agar petani penggarap ini tidak berada dalam lingkaran kemiskinan. Sebagaimana dibahas di depan bahwa lahan atau tanah adalah variabel yang penting, maka diharapkan upaya kebijakan ini bisa membantu menyejahterakan petani penggarap garam. Alternatif kebijakan tersebut terdiri dari empat pendekatan, yaitu (1) peningkatan produktivitas; (2) efisiensi biaya; (3) memanfaatkan hak pakai atau mengelola tanah yang dikuasai langsung oleh negara maupun milik orang lain


(48)

sesuai UUPA tahun 1960 atau dengan kata lain dengan melakukan sewa atau lelang; (4) upaya redistribusi tanah, dengan harapan dapat meningkatkan kemandirian petani garam dalam memproduksi garam.

Penelitian Wahyuni (2007) berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Output Industri Garam Beryodimu di Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengatasi permasalahan adalah model fungsi produksi Cobb-Douglas. Penelitian ini telah memenuhi asumsi fungsi produksi Cobb-Douglas, dimana variabel dependennya adalah output riil yang dihasilkan industri (dalam ribuan rupiah), sedangkan variabel independennya terdiri dari bakan baku riil (ribuan rupiah), modal riil (ribuan rupiah), bahan bakar riil (ribuan rupiah), jumlah tenaga kerja (ribu orang/jiwa).

Data yang digunakan dalam penelitian harus bisa menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Data yang diperoleh memiliki satuan rupiah dalam nilai nominal dan untuk tenaga kerja mempunyai keterbatasan data, sehingga data yang digunakan dalam satuan orang. Data yang riil diperoleh dengan cara membagi data nominal dari variabel-variabel yang akan diamati dengan Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) sub sektor garam beryodium di Indonesia, lalu hasilnya dikalikan dengan 1000.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakan baku, modal , dan bahan bakar memberikan pengaruh positif dan nyata terhadap output industri garam beryodium di Indonesia pada taraf nyata lima persen, sedangkan tenaga kerja memberikan pengaruh negatif dan nyata terhadap peningkatan nilai output pada industri tersebut pada taraf nyata lima persen. Pada penelitan ini industri garam beryodium di Indonesia berada pada kondisi decreasing return to scale yang artinya laju pertumbuhan output lebih kecil dari laju pertumbuhan input.

Rifqie (2008) menelti tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatani kubis di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung. Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas. Hasil menunjukkan bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas positif adalah pupuk kandang (selang kepercayaan 90 persen), benih, pupuk kimia, dan pestisida padat (selang kepercayaan 85 persen). Faktor-faktor produksi yang


(49)

berpengaruh secara signifikan dengan elastisitas negatif adalah tenaga kerja (selang kepercayaan 85 persen) dan pestisida cair (selang kepercayaan 80 persen).

Purba (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Pendapatan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi produksi Cabang Usahatani Padi Ladang di Kabupaten Karawang menyarankan agar input tenaga kerja dalam fungsi produksi dioptimalkan lagi agar dapat menghasilkan outpun yang efisien. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa (1) dengan analisis imbangan penerimaan dan biaya (analisis R/C ratio), diperoleh nilai ratio R/C atas biaya total sebesar 0,76 (lebih kecil dari satu), sehingga dapat disimpulkan bahwa cabang usahatani padi ladang di Desa Wanajaya tidak menguntungkan bagi petani, (2) faktor- faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi padi ladang adalah tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja dalam keluarga, yang signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen. Sedangkan faktor pupuk, benih, dan pestisida tidak berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan yang ditetapkan, (3) penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien secara ekonomis dicapai pada saat penggunaan faktor pupuk sebesar 282,51, faktor tenaga kerja luar keluarga sebesar 146,33HOK, penggunaan benih yang semula sebesar 60 kilogram harus ditingkatkan menjadi 69,69 kilogram, penggunaan tenaga kerja dalam keluarga harus dikurangi dari yang semula sebesar 237,37 HOK menjadi sebesar 59,94 HOK, faktor produksi pestisida harus ditingkatkan dari sebesar 1,7 liter dalam penggunaan aktualnya menjadi sebesar 2,47 liter.

Berdasarkan referensi penelitian terdahulu yang sudah diulas dapat disimpulkan bahwa faktor tenaga kerja adalah faktor penting dalam suatu kegiatan produksi. Produksi garam di Indonesia termasuk unik dan berbeda jika dibandingkan dengan usahatani lainnya. Hal tersebut dikarenakan faktor ketidakpastiannya yang lebih tinggi, karena input yang digunakan banyak mengandalkan cuaca, angin dan kelembaban yang sifatnya sulit untuk diprediksi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Purba (2005) juga dapat disimpulkan bahwa dalam menganalisis kelayakan suatu usahatani dengan analisis pendapatan, maka perlu dilakukan identifikasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi komoditi usahatani tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila petani ingin meningkatkan pendapatan dari usahatani, maka petani


(50)

tersebut perlu mengetahui ukuran input produksi yang efisien agar menghasilkan output produksi yang optimal.


(51)

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Analisis Fungsi Produksi

Fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dengan variabel yang menjelaskan (X). Variabel yang dijelaskan berupa output dan variabel yang menjelaskan berupa input. Melalui fungsi produksi, hubungan antara faktor produksi dengan tingkat produksi dan hubungan antara faktor-faktor produksi itu sendiri dapat diketahui. Berbagai macam fungsi produksi yang digunakan pada berbagai penelitiaan antara lain :

1. Faktor produksi linear

2. Faktor produksi kuadratika atau fungsi polinominal kuadratika

3. Faktor produksi eksponesial atau fungsi Cobb–Douglas

4. Selain itu,terdapat pula fungsi produksi CES (Constant Elastiscity of

Substitution), Transcendental, dan Translog.

Fungsi produksi yang umum dibahas dan digunakan oleh para peneliti adalah fungsi produksi Cobb-Douglas (Soekartawi, 1993). Fungsi produksi Cobb -Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel, dimana variabel yang satu disebut sebagai variabel dependen (Y) dan yang lain disebut variabel independen (X). Penyelesaian hubungan biasanya dilakukan dengan cara regresi. Secara matematik, persamaan dari fungsi Cobb– Douglas dapat dituliskan sebagai berikut :

Y = b0. X1b1 X2 b2 . . . Xn bn eu

Keterangan :

Y = hasil produksi

Xn = nilai faktor produksi ke n

b0 = intersep

bn = dugaan slope yang berhubungan dengan variabel Xn

e = bilangan natural (e = 2,782)


(52)

Logaritma dari persamaan sebelumnya adalah :

log Y = log a + b1 log X1 +b2 log X2 + ... + bn log Xn + v

Penyelesaian fungsi produksi Cobb–Douglas selalu dilogaritmakan dan

diubah bentuk fungsinya menjadi fungsi linier. Oleh karena itu, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain:

1. Tidak ada nilai pengamatan yang bernilai nol

2. Tidak ada perbedaan teknologi pada setiap pengamatan

3. Tiap variabel X adalah perfect competition

4. Perbedaan lokasi pada fungsi produksi, seperti iklim sudah tercakup pada

faktor kesalahan (u).

Menurut Doll dan Frank (1984), model fungsi produksi Cobb Douglas

mempunyai beberapa kelebihan, antara lain (1) perhitungan sederhana karena dapat dibuat dalam bentuk linier, (2) hasil penjumlahan koefisien elastisitas masing-masing faktor produksi pada fungsi ini juga dapat menunjukkan fase pergerakan skala usaha (return to scale) atas perubahan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi yang berlangsung, (3) pada model ini koefisien pangkatnya sekaligus menunjukkan besarnya elatisitas produksi, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tingkat produksi yang optimum dari pemakaian faktor-faktor produksi, (4) fungsi Cobb-Douglas merupakan fungsi produksi yang paling banyak dipakai dalam penelitian sehingga dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan alat analisis yang sama.

Pedoman yang digunakan untuk memilih fungsi produksi yang baik diantaranya (Soekartawi et al, 1986) :

1. Memiliki dasar yang logik secara fisik maupun ekonomi 2. Mudah dianalisis


(53)

3.1.2. Skala Usaha

Elastisitas produksi (Ep) adalah respon perubahan output sebagai akibat dari perubahan input. Elastisitas ini dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

Ep= ∆Y/∆X . X/Y = PM/PR

∆Y/∆X adalah rumus PM (Produk Marjinal) sehingga besarnya Ep

tergantung dari besar kecilnya PM dari suatu input, misalnya input X. Terdapat tiga bentuk sakala usaha (return to scale) dalam suatu proses produksi, yaitu

decreasing return to scale, constant return to scale, dan increasing return to scale. Suatu proses produksi berada pada fase decreasing return to scale apabila proporsi penambahan faktor produksi melebihi proporsi penambahan produksi. Hal ini ditunjukkan dengan elastisitas produksi yang kurang dari satu. Fase

constant return to scale ditunjukkan dengan elastisitas sama dengan satu sehingga proporsi penambahan faktor produksi akan proporsional dengan penambahan produksi yang diperoleh. Sementara, fase increasing return to scale menjelaskan bahwa proporsi penambahan faktor produksi akan menghasilkan tambahan produksi yang proporsinya lebih besar. Pada fase ini elastisitas produksi lebih besar dari satu.

Fungsi produksi terbagi ke dalam tiga daerah produksi yang dibedakan berdasarkan elastisitas dari masing-masing faktor-faktor produksi, yaitu daerah produksi dengan elastisitas produksi yang lebih besar dari satu (daerah I), daerah produksi dengan elastisitas antara nol dan satu (daerah II), dan daerah produksi dengan elastisitas produksi kurang dari nol (daerah III). Ketiga daerah produksi tersebut dapat terlihat pada Gambar 1.

Daerah produksi I terletak antara titik asal dan X2. Pada daerah ini, PM mencapai titik maksimum, kemudian mengalami penurunan, tetapi PM masih lebih besar dari Produk Rata-rata (PR). PM akan bernilai sama dengan PR saat PR maksimum. Elastisitas produksi pada daerah I bernilai lebih dari satu, artinya penambahan faktor produksi secara bersama-sama sebanyak satu persen akan menyebabkan penambahan produksi lebih besar dari satu persen. Keuntungan maksimum pada daerah ini belum tercapai karena produksi masih dapat


(54)

diperbesar dengan penambahan faktor produksi yang lebih banyak. Dengan demikian, daerah ini merupakan daerah irrasional (irrational region).

Daerah produksi II terletak antara X** dan X*** dengan elastisitas produksi antara nol dan satu, artinya setiap penambahan faktor produksi sebesar satu persen akan menyebabkan penambahan produksi sebesar antara nol dan satu persen. Daerah ini dikatakan daerah decreasing/diminishing returns karena setiap penambahan faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan jumlah produksi yang peningkatannya semakin lama semakin berkurang. Pada suatu tingkat tertentu, penggunaan input akan mencapai produksi total yang maksimum yaitu pada saat PM sama dengan nol. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor produksi di daerah ini sudah optimal, maka dikatakan daerah II merupakan daerah rasional (rational region).

Daerah III adalah daerah dengan elastisitas produksi lebih kecil dari nol. Pada daerah ini, produksi total mengalami penurunan yang ditunjukkan oleh PM yang bernilai negatif. Dengan demikian, setiap penambahan faktor produksi akan menyebabkan penurunan jumlah produksi yang dihasilkan sehingga daerah III ini disebut daerah irrassional (irrational region).

3.1.3. Konsep Usahatani

Beberapa definisi mengenai ilmu usahatani sudah banyak dikemukakan oleh mereka yang melakukan analisis usahatani diantaranya yang dikemukakan oleh Soekartawi (2006), yakni ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan efektif apabila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai) sebaik-baiknya; dan dikatakan efisien apabila pemanfaatan sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi pemasukan (input).

Soekartawi et al. (1986) menambahkan bahwa tujuan usahatani adalah memaksimalkan keuntungan atau meminimumkan biaya. Konsep memaksimumkan keuntungan adalah bagaimana mengalokasikan sumberdaya dengan jumlah tertentu seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan


(55)

maksimum. Sedangkan konsep meminimumkan biaya, yaitu bagaimana menekan biaya sekecil mungkin untuk mencapai tingkat produksi tertentu.

Soeharjo dan Patong (1973), menyatakan bahwa usahatani adalah kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Definisi tersebut menunjukkan bahwa komponen dalam usahatani tersebut terdiri dari alam, tenaga kerja, modal dan manajemen atau pengelolaan (organisasi). Alam, tenaga kerja dan modal merupakan unsur usahatani yang mempunyai bentuk, sedangkan pengelolaan tidak, tetapi keberadaannya dalam proses produksi dapat dirasakan.

Tingkat produksi dan produksi usahatani dipengaruhi oleh teknik budidaya, yang meliputi varietas yang digunakan, pola tanam, pemeliharaan, dan penyiangan, pemupukan serta penanganan pasca panen. Hernanto (1996) berpendapat bahwa keadaan usahatani yang satu dengan yang lain berbeda dari segi luas, kesuburan, tanaman yang ditanam serta hasilnya. Setiap bagian lahan berbeda kemampuan dan variasinya. Hal ini membuat usahatani yang ada di atasnya juga bervariasi. Oleh karena itu, manusia yang beragam menyebabkan beragam juga putusan yang ditetapkan untuk usahataninya. Secara umum beragamnya usahatani dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik yang ada di lingkungan usahataninya.

Faktor- faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga kerja dan modal. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Dan yang termasuk dalam faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburannya. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. (Suratiyah, 2006).

Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung dengan musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produksi, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut :


(1)

Lampiran 17. Uji Beda Secara Statistik Pendapatan Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil

di Desa Santing Tahun 2011

Group Statistics

ZA N Mean Std. Deviation Std. Error Mean bagi_hasil Menggunakan teknologi 28 7.64E6 4105154.951 775801.364

tidak menggunakanteknologi 12 2.63E6 3983642.803 1149978.622

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig.

(2-tailed) Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference

Lower Upper bagi_hasil Equal variances

assumed .057 .813 3.568 38 .001 5010519.345 1404405.365 2167449.322 7853589.369 Equal variances not

assumed 3.612 21.478 .002 5010519.345 1387198.107 2129591.095 7891447.595


(2)

Lampiran 18. Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sendiri

di Desa Santing Tahun 2011

Group Statistics

ZA N Mean Std. Deviation Std. Error Mean milik_sendiri Menggunakan teknologi 16 1.8692 .51415 .12854

tidak menggunakanteknologi 10 1.5508 .25538 .08076

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the

Difference Lower Upper milik_sendiri Equal variances

assumed 2.070 .163 1.813 24 .082 .31836 .17556 -.04398 .68071 Equal variances not


(3)

Lampiran 19. Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Milik Sewa

di Desa Santing Tahun 2011

Group Statistics

ZA N Mean Std. Deviation Std. Error Mean milik_sewa Menggunakan teknologi 18 1.8335 .39952 .09417

tidak menggunakanteknologi 16 1.5590 .46145 .11536

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper milik_sewa Equal variances

assumed .038 .847 1.859 32 .072 .27444 .14763 -.02627 .57515 Equal variances not

assumed 1.843 29.926 .075 .27444 .14892 -.02972 .57860


(4)

Lampiran 20. Uji Beda Secara Statistik R/C Total Usaha Tambak Garam Per Hektar Pada Status Lahan Bagi Hasil

di Desa Santing Tahun 2011

Group Statistics

ZA N Mean Std. Deviation Std. Error Mean bagi_hasil Menggunakan teknologi 28 1.3460 .18735 .03541

tidak menggunakanteknologi 12 1.1325 .18555 .05356

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error Difference

95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper bagi_hasil Equal variances

assumed .023 .880 3.311 38 .002 .21344 .06446 .08294 .34394 Equal variances not


(5)

Lampiran 21. Dokumentasi

Petambak memegang contoh garam yang tidak kincir lahan siap untuk dipanen sebungkus ramsol menggunakan ramsol

Proses pemadatan lahan

karung berisi garam siap diangkut peneliti sedang mewawancarai responden


(6)

merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Yusman Karsiwan dan

Munawaroh.

Penulis memulai pendidikan di TK Islam Ar-rahman Bekasi pada tahun

1995, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Jatiasih 3, Bekasi. Pada

tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama

Negeri 9 Kota Bekasi. Pendidikan selanjutnya yang ditempuh penulis adalah di

Sekolah Menengah Atas Negeri 48 Kota Jakarta pada tahun 2004. Penulis

diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa

Baru (SPMB) yang selanjutnya diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya

dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan

yaitu sebagai Ketua Divisi Produksi UKM Kewirausahaan CENTURY IPB,

Bendahara Divisi

Study Research and Development

(SRD) Himpunan Profesi

REESA, Bendahara Departemen Pengabdian Masyarakat BEM FEM IPB, san

terakhir sebagai Bendahara Badan Pengawas Himpunan Profesi

Resource

Environmental Economics Student Assosiation

( BP Himpro REESA). Penulis

juga aktif di kegiatan pengabdian masyarakat, salah satunya dalam kegiatan

Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat di Desa Galuga,

Bogor.