Biaya Usaha Garam Rakyat

Tabel 18. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Milik Sewa Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 Pengeluaran Usahatani Petani yang Menggunakan Zat Aditif Petani yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Nilai Rp Persentase Nilai Rp Persentase Biaya Tunai 1. Sewa Lahan 1,575,000.00 7.77 1,706,250.00 8.64 2. Bambu 55,250.00 0.27 62,812.50 0.32 3. Ember Timba 77,916.78 0.38 87,916.67 0.45 4. Ember Cuci 25,882.35 0.13 27,916.67 0.14 5. Solar 133,823.53 0.66 142,708.33 0.72 6. Waring 55,068.63 0.27 53,437.50 0.27 7. TKLK 7,956,158.09 39.26 6,977,724.36 35.33 8. Biaya Reparasi Alat 43,981.48 0.22 51,250.00 0.26 Total Biaya Tunai 9,923,080.86 48.96 9,110,016.03 46.12 Biaya Diperhitungkan 1. Pajak Lahan 51,111.11 0.25 51,562.50 0.26 2. Zat Aditif 661,111.11 3.26 0.00 3. TKDK 7,962,867.78 39.29 8,910,776.52 45.12 4. Penyusutan Alat 1,667,777.78 8.23 1,678,611.11 8.50 Total Biaya Diperhitungkan 10,342,867.78 51.04 10,640,950.13 53.88 TOTAL BIAYA 20,265,948.64 100.00 19,750,966.15 100.00 Sumber : data primerdiolah, 2013 a. Petambak Garam yang Menggunakan Zat Aditif Pada Tabel 18 diperlihatkan bahwa biaya tunai terbesar pada usaha garam rakyat di Desa Santing ada pada upah tenaga kerja luar keluarga yaitu mencapai prosentase 39.26 dari total biaya keseluruhan, sedangkan biaya diperhitungkan terbesar ada pada upah tenaga kerja dalam keluarga, yaitu sebesar 39.29 dari total biaya keseluruhan. Zat aditif pada biaya disini termasuk kedalam biaya diperhitungkan, dan nilainya tidak besar yaitu 3.26. Komponen biaya tunai terbesar pada petambak yang menggunakan zat aditif adalah upah tenaga kerja luar keluarga dan nilainya lebih besar dibandingkan dengan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Sebaliknya biaya tunai terbesar pada kedua petambak tersebut adah upah tenaga kerja dalam keluarga, namun petambak yang tidak menggunakan zat aditif lebih besar biaya TKDK dibandingkan dengan petambak yang menggunakan zat aditif. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya produktivitas garam yang dihasilkan, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak, dan alokasi terbanyak yaitu berasal dari keluarga petambak lahan garam tersebut. b. Petambak Garam yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Biaya tunai yang paling besar pada usaha garam rakyat di Desa Santing adalah upah tenaga kerja luar keluarga yaitu mencapai 35.33 dari total biaya keseluruhan, sedangkan biaya diperhitungkan terbesar ada pada upah tenaga kerja dalam keluarga, yaitu sebesar 45.12 dari total biaya keseluruhan. Sama halnya dengan petambak garam yang menggunakan zat aditif, petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif pun memiliki nilai biaya upah yang cukup tinggi dari total biaya usaha garam rakyat dengan status lahan milik sendiri. Hal ini disebabkan oleh sistem penggaraman di Indonesia yang sangat minim teknologi dan hanya mengandalkan tenaga kerja manusia.

6.2.2.3. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil

Pada status lahan bagi hasil, petambak yang khusus menggarap tidak dibebani biaya lahan, karena biaya tersebut sudah ditanggung oleh pemilik lahan. Adapun penggarap nantinya harus membagi hasil panennya untuk pemilik lahan, skenarionya dua pertiga dari total nilai produksi menjadi hak penggarap, sedangkan pemilik lahan mendapatkan hak satu pertiga dari total nilai produksi. Biaya dibayarkan tunai pada status lahan bagi hasil terdiri dari biaya bagi hasil, biaya bambu, biaya ember timba, biaya ember cuci, biaya solar, biaya waring, reparasi alat. dan upah TKLK Tenaga Kerja Luar Keluarga. Biaya diperhitungkan non-tunai pada status lahan milik sendiri terdiri dari biaya pembelian zat aditif, upah TKDK Tenaga Kerja Dalam Keluarga dan penyusutan alat. Pada umumnya, petambak garam dengan status lahan bagi hasil mendapatkan modal keseharian berasal dari pemilik lahan atau tengkulak. Ini terjadi karena petambak yang menggarap memilik modal usaha yang sangat minim. Tabel 19. Biaya Usaha Garam Rakyat pada Status Lahan Bagi Hasil Per-hektar di Desa Santing, Tahun 2011 Pengeluaran Usahatani Petani yang Menggunakan Zat Aditif Petani yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Nilai Rp Persentase Nilai Rp Persentase Biaya Tunai 1. Bagi Hasil 10,112,142.86 38.74 8,827,500.00 31.12 2. Bambu 56,362.24 0.22 59,333.33 0.21 3. Ember Timba 102,244.90 0.39 93,055.56 0.33 4. Ember Cuci 22,091.84 0.08 26,527.78 0.09 5. Solar 122,066.33 0.47 156,250.00 0.55 6. Waring 48,490.65 0.19 44,138.89 0.16 7. TKLK 6,886,106.25 26.38 9,016,666.67 31.78 8. Biaya Reparasi Alat 36,666.67 0.14 36,666.67 0.13 Total Biaya Tunai 17,386,171.73 66.61 18,260,138.89 64.37 Biaya Diperhitungkan 1. Zat Aditif 620,535.71 2.38 0.00 2. TKDK 6,791,017.99 26.02 8,431,818.18 29.72 3. Penyusutan Alat 1,302,178.57 4.99 1,676,486.11 5.91 Total Biaya Diperhitungkan 8,713,732.28 33.39 10,108,304.29 35.63 TOTAL BIAYA 26,099,904.01 100.00 28,368,443.18 100.00 Sumber : data primerdiolah, 2013 a. Petambak Garam yang Menggunakan Zat Aditif Pada Tabel 19 ditunjukkan bahwa biaya bagi hasil dari petambak yang menggunakan zat aditif lebih besar dibandingkan dengan petambak yang tidak menggunakan zat aditif. Hal tersebut disebabkan karena hasil produksi yang diterima petambak yang menggunakan zat aditif lebih besar. Tampak juga pada tabel bahwa TKLK yang digunakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan petani yang tidak menggunakan zat aditif. Alokasi biaya zat aditif pun tidak signifikan pengaruhnya, karena hanya 2.38 dari total biaya keseluruhan. b. Petambak Garam yang Tidak Menggunakan Zat Aditif Berbeda dari sebelumnya, biaya usaha garam rakyat petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan bagi hasil memiliki biaya tunai dan biaya total yang lebih besar. Meskipun biaya bagi hasilnya lebih rendah, namun alokasi penggunaan tenaga kerja baik dalam keluarga maupun luar keluarga lebih tinggi. Hal tersebut diperkirakan karena produktivitas yang rendah, membuat petambak mengoptimalkan tenaga kerja agar mampu menghasilkan output yang optimal dan maksimum.

6.2.2.4. Komponen Biaya Usaha Garam Rakyat di Desa Santing

a. Biaya Lahan Biaya lahan adalah jenis biaya yang dikeluarkan atas penggunaan suatu lahan. Nilai dari lahan tersebut beragam, tergantung dari status lahan masing- masing petambak garam responden. Biaya lahan disini terdiri dari biaya PBB atas lahan yang dimiliki dan biaya sewa lahan yang harus dibayarkan atas izin pemilik tanah. Petambak yang memiliki biaya lahan PBB paling tinggi adalah petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri, dimana ia harus mengeluarkan 0,29 dari total biaya yang ia keluarkan selama satu tahun 1 tahun = 1 musim garam. Petambak yang memiliki biaya lahan PBB paling rendah adalah petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri, dimana ia hanya mengeluarkan 0,23 dari total biaya yang ia keluarkan selama satu tahun. Petambak yang mengeluarkan biaya tunai untuk sewa lahan terbesar adalah petambak yang tidak menggunakan zat aditif, yaitu sebesar 8,64. Sedangkan untuk petambak dengan status lahan bagi hasil, biaya lahan sudah dimasukkan pemilik tanah kedalam komponen biaya bagi hasil atas produksi garam yang dihasilkan, sehingga pada komponen biaya petambak dengan status lahan bagi hasil tidak terkandung unsur biaya lahan. Pada kesimpulannnya, dari data yang telah diolah mengartikan bahwa biaya lahan tidak ditentukan oleh apakah petambak menggunakan zat aditif ataupun tidak menggunakan zat aditif, namun lebih kepada status lahan tersebut serta jarak lahan garapan dengan akses jalan raya. b. Biaya Bambu Bambu pada umumnya digunakan untuk pembuatan jembatan atau tempat peristirahatan bagi petambak di lahan penggarapan, selain itu juga bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan geribig tatakan. Bambu biasanya dibeli pada setiap musim tanam, sehingga hanya tergolong kedalam biaya tunai. Nilainya tidak begitu besar dari total pengeluaran. Biaya bambu terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sewa, yaitu sebesar 0,32 dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,20 dari total biaya yang dikeluaarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan biaya tersebut tidak ditentukan berdasarkan penggunaan zat aditif, namun lebih kepada keinginan petambak dalam membuat fasilitas dengan berbahankan bambu. c. Biaya Ember Timba Ember timba digunakan petambak untuk mengangkut garam yang telah dikerik ke tempat pencucian untuk dibersihkan. Petambak mampu mengangkut dua ember sekaligus dalam satu kali perjalanan menuju tempat pencucian. Pada umumnya, ember timba hanya dipergunakan dalam satu kali musim tanam saja karena telah mengalami kerusakan. Oleh karena itu, ember timba dimasukkan kedalam komponen biaya tunai. Biaya ember timba terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sendiri, yaitu sebesar 0,49 dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,32 dari total biaya yang dikeluarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan biaya tersebut lebih disebabkan oleh keinginan petambak dalam memiliki banyaknya ember yang akan digunakan, selain itu luasan hektar juga mempengaruhi petambak dalam penggunaan ember timba. Pada petambak dengan pengeluaran biaya ember timba terbesar memiliki rata-rata luas lahan garapan sebesar 0,92 hektar, sedangkan petambak dengan pengeluaran biaya ember timba terkecil memiliki rata-rata luas lahan garapan sebesar 0,71 hektar. d. Biaya Ember Cuci Ember cuci digunakan petambak untuk menumpahkan air ke garam yang baru selesai dikerik untuk dicuci. Pada umumnya petambak hanya menggunakan satu ember dan habis dipakai dalam satu kali musim tanam, sehingga biaya ember cuci termasuk komponen biaya tunai. Biaya ember cuci terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sewa, yaitu sebesar 0,14 dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 0,08 dari total biaya yang dikeluarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan tersebut cenderung disebabkan oleh keinginan petambak dalam menggunakan alat, selain itu juga disebabkan oleh kualitas bahan dari ember dan juga penyimpanan ember tersebut. e. Biaya Solar Solar digunakan petambak garam untuk bahan bakar diesel. Kondisi tersebut terjadi ketika air laut pada penampungan kering, sehingga kincir tidak mengaliri air ke meja penggaraman karena tidak tersedianya air atau juga bisa disebabkan oleh angin yang sedikit sehingga kincir tidak berfungsi secara optimal. Pada kondisi tersebut petambak mengambil langkah dengan menggunakan diesel, baik itu milik sendiri, ataupun meminjam. Penggunaan biaya solar terkecil terjadi pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,47 dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali musim tanam. Sedangkan biaya solar terbesar terjadi petambak yang tidak menggunakan zat dengan status lahan milik sewa sebesar 0,72 dari total biaya yang dikeluarkan dalam satu kali musim tanam. Pada umumnya pemakaian diesel di tempat penelitian disebabkan karena angin bergerak sangat lambat, sehingga kincir tidak mampu menggerakkan air ke arah meja garam. Oleh karena itu, dibutuhkan bantuan diesel untuk dapat tetap mengaliri meja garam dengan air, sehingga petambak harus mengeluarkan biaya solar sebagai bahan bakar diesel. f. Biaya Waring Waring digunakan sebagai penyaring atau alas mencuci garam. Pada umumnya petambak hanya mengganti minimal satu kali dalam satu musim tanam. Waring yang digunakan umumnya berukuran 1,5 x 1,5 m2 dengan bentuknya yang berjaring sehingga memudahkan pencucian. Waring termasuk kedalam komponen biaya tunai karena selalu dibeli setiap musimnya. Biaya waring terbesar dikeluarkan oleh petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada lahan milik sendiri, yaitu sebesar 0,29 dari total biaya per hektar dalam satu musim, sedangkan yang paling rendah adalah pada petambak yang tidak menggunakan zat aditif dengan status lahan bagi hasil sebesar 0,15 dari total biaya yang dikeluarkan per hektar dalam satu musim. Perbedaan tersebut cenderung disebabkan oleh kualitas bahan waring yang tidak tahan lama, sehingga mudah rapuh ataupun sobek. g. Biaya Tenaga Kerja Komponen biaya tunai terbesar yang ada pada biaya tenaga kerja adalah pada proses pengerikan. Petambak yang menggunakan zat aditif pada status lahan milik sewa merupakan yang terbesar yaitu 19,2 dari total biaya keseluruhan. Hal itu disebabkan karena pada proses tersebut memakan waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 5 jam dalam sehari, selain itu ada beberapa petambak yang mempekerjakan orang lain di luar keluarganya ikut mengerik dan jumlahnya ada yang lebih dari satu. Sedangkan proses yang memiliki biaya tunai terkecil adalah penebaran zat aditif, yaitu pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 0,83 dari total biaya keseluruhan. Hal itu disebabkan karena proses tidak begitu memakan waktu yang lama, yaitu hanya satu kali tebar dalam sehari dan cukup 10 - 30 menit. Selain menggunakan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga, ternyata Usaha garam rakyat di Desa Santing juga melibatkan tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga petambak. Jika dibandingkan dengan biaya untuk TKLK, umumnya biaya TKDK lebih besar nilainya. Masih sama seperti TKDK, bahwa proses yang paling besar memakan biaya adalah pada pengerikan dan yang paling kecil nilainya adalah pada penebaran zat aditif. h. Biaya Reparasi Alat Biaya reparasi alat adalah biaya yang secara langsung dikeluarkan oleh petambak untuk memperbaiki alat yang rusak per hektar dalam satu musim. Misalnya kincir yang sering terlepas bautnya atau patah bagian sayapnya akibat angin yang terlalu kencang, biaya perbaikan diesel yang rusak, biaya penggantian tangkai pengerik atau penggiling yang rusak. Nilainya bervariasi untuk masing- masing biaya reparasi alat. Dari data yang telah diolah, rata-rata biaya reparasi alat terbesar ada pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 0,53 dari biaya keseluruhan dalam satu musimnya. i. Biaya Zat Aditif Biaya zat aditif adalah biaya yang dikeluarkan secara tidak langsung oleh petambak untuk pembelian zat aditif. Pada penelitian ini, zat aditif termasuk kedalam biaya non tunai karena merupakan hibah yang diberikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Hibah termasuk kedalam program Bantuan Langsung Masyarakat BLM untuk mendukung program PUGAR. j. Biaya Penyusutan Penyusutan peralatan petambak terbesar ada pada petambak yang menggunakan zat aditif dengan status lahan milik sendiri sebesar 13,82 dari total biaya keselurahan. Hal ini disebabkan lebih banyaknya alat yang dimiliki petambak tersebut dibandingkan dengan petambak lain. k. Biaya Bagi Hasil Sistem pembagian hasil antara petambak penggarap dengan pemilik lahan memiliki porsi 23 : 13 dari garam yang dihasilkan petambak dalam satu musim. Pada lokasi penelitian, umumnya karena minim modal maka petambak penggarap dipinjamkan modal terlebih dahulu untuk seluruh biaya produksi, dan diakhirnya akan dikembalikan lagi. Dan bagi hasil terbesar ada pada petambak yang menggunakan zat aditif, yaitu sebesar Rp 10.112.142,86 atau 38,77 dari total biaya keseluruhan. Sedangkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif, yaitu sebesar Rp 8.827.500,00 atau 30,34 dari total biaya keseluruhan. Hal tersebut disebabkan oleh nilai produksi garam yang dihasilkan oleh petambak yang menggunakan zat aditif lebih besar dibandingkan petambak yang tidak menggunakan zat aditif, sehingga dapat dikatakan zat aditif selain dapat menguntungkan petambak penggarap, juga dapat menguntungkan pemilik lahan.

6.2.3. Pendapatan Usaha Garam Rakyat

Pendapatan usaha tambak merupakan selisih antara penerimaan usaha tambak dan biaya usaha tambak. Dengan demikian, petambak akan memperoleh pendapatan usaha tambak jika penerimaan usaha tambak lebih besar daripada biaya usaha tambak. Dalam penelitian ini pendapatan dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total usaha tambak. Pendapatan atas biaya tunai merupakan selisih antara penerimaan usaha tambak dengan biaya yang dibayarkan usaha tambak. Sementara pendapatan atas biaya total adalah hasil pengurangan biaya total usaha tambak dari penerimaan usaha tambak. Adapun perbedaan pendapatan tunai dan pendapatan total berada pada tujuan dari setiap kebutuhan usahatani usaha tambak garam rakyat tersebut. Pendapatan tunai digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan secara langsung yang didapatkan oleh seorang petanipetambak garam rakyat dengan orientasi perhitungan bisnis, sedangkan pendapatan total digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan secara keseluruhan secara ekonomi yang didapatkan seseorang apabila melakukan usaha tambak garam dengan orientasi perhitungan agregat.

6.2.3.1. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Milik Sendiri

Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada status lahan milik sendiri lebih besar daripada pendapatan petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan yang sama. Pendapatan tunai petambak garam pada lahan milik sendiri yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 20.252.312,50 per hektar dalam satu musim tanam, dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 14.148.879,10 Tabel 20. Sementara pendapatan atas biaya total usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 5.852.264,76 per hektar dalam satu musim tanam dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 3.530.596,96 per hektar dalam satu musim tanam. Atau dengan kata lain, jika semua sumberdaya yang digunakan dalam usaha garam rakyat diperhitungkan, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif memperoleh untung sebesar Rp 5.852.264,76 per hektar dalam satu musim tanam dan Rp 3.530.596,96 per hektar dalam satu musim tanam diperoleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif di Tahun 2011. Jadi usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif yang dilaksanakan di Desa Santing, Kabupaten Indramayu lebih menguntungkan daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. Secara statistik, rata-rata pendapatan total dari petambak pada lahan milik sendiri tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 Lampiran 15. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif tidak mempengaruhi pendapatan dari petambak garam, karena sifatnya tidak konsisten dan terbukti tidak berbeda nyata secara statistik pada selang kepercayaan 95. Tabel 20. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Per-hektar dengan Status Lahan Milik Sendiri di Desa Santing, Tahun 2011. Uraian Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Aditif Tidak Menggunakan Zat Aditif Pendapatan Atas Biaya Tunai RpHa 20.252.312,50 14.148.879,10 Pendapatan Atas Biaya Total RpHa 5.852.264,76 3.530.596,96 Sumber : Data Primer diolah, 2013

6.2.3.2. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Milik Sewa

Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada status lahan milik sewa lebih besar daripada pendapatan petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan yang sama. Pendapatan tunai petambak garam yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 17.414.882,11 per hektar dalam satu musim tanam, dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 12.237.900,64 Tabel 21. Sementara pendapatan atas biaya total usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 7.072.014,33 per hektar dalam satu musim tanam dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 1.596.950,51 per hektar dalam satu musim tanam. Atau dengan kata lain, jika semua sumberdaya yang digunakan dalam usaha garam rakyat diperhitungkan, maka petambak garam yang menggunakan zat aditif memperoleh untung sebesar Rp 7.072.014,33 per hektar dalam satu musim tanam dan Rp 1.596.950,51 per hektar dalam satu musim tanam diperoleh petambak garam yang tidak menggunakan zat aditif di Tahun 2011. Jadi usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif yang dilaksanakan di Desa Santing, Kabupaten Indramayu lebih menguntungkan daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. Secara statistik, rata-rata pendapatan total dari petambak pada lahan milik sewa tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 Lampiran 16. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif tidak mempengaruhi pendapatan dari petambak garam, karena sifatnya pengguna zat aditif tidak konsisten memiliki pendapatan lebih tinggi dari pada yang tidak menggunakan zat aditif. Tabel 21. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Perhektar dengan Status Lahan Milik Sewa di Desa Santing Tahun 2011. Uraian Usaha Garam Rakyat Menggunakan Zat Aditif Tidak Menggunakan Zat Aditif Pendapatan Atas Biaya Tunai RpHa 17.414.882,11 12.237.900,64 Pendapatan Atas Biaya Total RpHa 7.072.014,33 1.596.950,51 Sumber : Data Primer diolah, 2013

6.2.3.3. Pendapatan Usaha Garam Rakyat Bagi Hasil

Usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif pada status lahan bagi hasil lebih besar daripada pendapatan petambak yang tidak menggunakan zat aditif pada status lahan yang sama. Pendapatan tunai petambak garam yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 13.256.685,41 per hektar dalam satu musim tanam, dan yang tidak menggunakan zat aditif sebesar Rp 8.489.861,11 Tabel 22. Sementara pendapatan atas biaya total usaha garam rakyat yang menggunakan zat aditif sebesar Rp 4.542.953,13 per hektar dalam satu musim tanam, sedangkan petambak bagi hasil yang tidak menggunakan zat aditif tidak memperoleh keuntungan karena merugi Rp 1.618.443,18 per hektar dalam satu musim tanam. Jadi usaha garam rakyat pada status lahan bagi hasil yang menggunakan zat aditif lebih menguntungkan daripada usaha garam rakyat yang tidak menggunakan zat aditif. Secara statistik, rata-rata pendapatan total dari petambak pada lahan bagi hasil berbeda nyata pada selang kepercayaan 95 Lampiran 17. Informasi tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan zat aditif mempengaruhi pendapatan dari petambak garam pada status lahan bagi hasil, karena sifatnya pengguna zat aditif konsisten memiliki pendapatan lebih tinggi daripada yang tidak menggunakan zat aditif. Tabel 22. Pendapatan Usaha Garam Rakyat perhektar dengan Status Lahan Bagi Hasil di Desa Santing, Tahun 2011.