berupa biji kakao yang besarannya antara 0 sampai 15 persen, tergantung harga komoditas di pasar internasional Kemenkeu, 2010. Upaya untuk memperlancar
pasokan biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri dilakukan dengan penghapusan pajak pertambahan nilai PPN sebesar 10 persen untuk
perdagangan biji kakao dalam negeri sejak tahun 2007 Media Industri, 2010. Berbagai kebijakan tersebut diklaim berdampak positif terhadap industri
kakao dalam negeri. Ditjenbun 2011 menyebutkan bahwa sebelum diterapkannya bea keluar kakao, dari 16 unit industri kakao dalam negeri, yang
beroperasi hanya 5 unit. Namun, setelah peraturan bea keluar diterapkan, jumlah industri yang beroperasi bertambah 6 unit dan 3 unit yang ada
meningkatkan kapasitas terpasang. Berbagai kebijakan tersebut juga diklaim meningkatkan nilai tambah kakao dalam negeri sebesar 26 persen dan
menurunkan volume ekspor biji kakao sekitar 20 persen Ditjenbun, 2011. Keberhasilan tersebut diharapkan sejalan dengan upaya peningkatan ekspor
kakao olahan yang ditargetkan sebesar 8 persen per tahun Ditjen Agrokim, 2009.
Keberhasilan penerapan kebijakan bea keluar dalam merangsang industri hilir kakao dikhawatirkan tidak sejalan dengan upaya meningkatkan taraf hidup
petani. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa kakao yang dihasilkan petani sebagian besar tidak sesuai dengan kebutuhan industri sehingga bahan baku
industri dipenuhi dari impor menjadi kontraproduktif. KPPU 2009 menyebutkan bahwa industri pengolahan kakao dan petani belum terintegrasi dan terdistorsi
oleh sistem perdagangan yang berujung pada inefisiensi. Ketika industri pengolahan dan kegiatan usahatani tidak terintegrasi dengan baik, maka
penerapan bea keluar ekspor biji kakao hanya akan menyebabkan turunnya harga di tingkat petani, sehingga bea keluar tersebut menjadi tanggungan petani
kakao. Arsyad 2007 menyebutkan bahwa kebijakan bea ekspor akan menekan harga domestik sehingga menurunkan pendapatan petani. Selain itu, penetapan
bea ekspor juga menyebabkan dampak negatif terhadap volume ekspor dan produksi. Skenario larangan ekspor gelondong jambu mete yang diteliti oleh
Indrawanto 2008 menunjukkan bahwa kebijakan larangan ekspor mampu menjamin pasokan bahan baku untuk agroindustri, namun di sisi lain biaya
keterjaminan pasokan tersebut akan ditanggung oleh petani berupa penurunan harga akibat semakin sempitnya alternatif pasar. Penerapan bea ekspor juga
tetap memunculkan peluang terjadinya policy resistance seperti yang terjadi pada
penerapan kebijakan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao. Sejak penerapan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao
domestik pada tahun 2007, industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan kapasitas dan realisasi produksi Tabel 1. Opini tersebut didukung
oleh hasil penelitian Permani, et al., 2011 yang menyebutkan bahwa penerapan pajak ekspor kakao berpengaruh menyebabkan kerugian yang sangat signifikan
kepada petani, dan hanya sedikit mampu mendorong perkembangan industri pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain menyebabkan penurunan
pendapatan petani secara langsung, kebijakan penerapan bea ekspor kakao juga berpeluang tidak mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao.
Pengembangan agroindustri juga dapat berdampak negatif kepada petani secara langsung. Hanson and Cranfield 2009 mengingatkan bahwa jika proses
agroindustrialisasi tidak diikuti dengan kebijakan yang tepat dapat memberikan efek negatif dalam jangka pendek melalui tersingkirnya petani kecil dan usaha
informal. Sedangkan dalam jangka panjang dapat memunculkan konsentrasi vertikal dan horizontal dari rantai pasok produk agroindustri serta terjadinya
eksternalitas lingkungan. Pengembangan agroindustri kakao selayaknya dapat berkontribusi positif kepada seluruh komponen yang terkait terutama petani kecil,
walaupun setiap komponenstakeholders yang terlibat memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda - beda sesuai dengan pendapat Sa’id 2010. UNEP
2009 menyebutkan bahwa salah satu tahap penting dalam integrasi kebijakan adalah harmonisasi kebijakan untuk kepentingan yang berbeda dari setiap
stakeholders yang terkait. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengembangan industri hilir kakao
melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan dan permasalahan yang berbeda – beda sehingga menimbulkan interaksi yang rumit. Pertumbuhan produksi biji
kakao yang sangat cepat tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan industri pengolahan. Kebijakan yang diterapkan pemerintah seperti bea ekspor juga
diduga tidak mampu memberikan dampak positif terhadap seluruh pihak yang terlibat akibat adanya dampak negatif yang ditimbulkan berupa penurunan
pendapatan petani. Untuk itu, sesuai dengan pendapat Syam, et al.,2006, strategi pengembangan agroindustri berbasis kakao di Indonesia seharusnya
dilakukan melalui pendekatan sistem sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar komponen yang terkait. Adanya dinamika yang
terjadi pada setiap komponen yang terkait dengan industri hilir kakao
menyebabkan perubahan perilaku dari waktu ke waktu. Untuk itu, perlu dibangun model agroindustri kakao yang mencakup seluruh komponen yang terlibat
sebagai sistem serta dinamika perubahan perilakunya. Selain itu, perlu dianalisis bagaimana
dampak kebijakan pengembangan
agroindustri kakao yang
diterapkan pemerintah Gernas dan bea ekspor kakao terhadap dinamika industri hilir kakao nasional dan penerimaan petani, serta alternatif kebijakan
yang dapat diterapkan pemerintah yang mampu mengakomodasi kepentingan dari elemen-elemen yang terkait dalam sistem agroindustri kakao.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Membangun model dinamika sistem agroindustri kakao
2. Menganalisis dampak
pencapaian kebijakan
Gernas kakao dan
penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir kakao dan penerimaan petani.
3. Menyusun alternatif kebijakan untuk pengembangan industri hilir kakao dan upaya peningkatan penerimaan petani.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan mengevaluasi kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao yang telah diterapkan
pemerintah dalam upaya pengembangan industri hilir kakao dan peningkatan penerimaan petani. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
alternatif kebijakan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengembangan industri hilir kakao sekaligus mampu meningkatkan penerimaan petani. Penelitian
ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas kakao dan penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam
menganalisis kebijakan di bidang pertanian.
1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
1. Sistem agroindustri kakao dalam penelitian ini melingkupi subsistem penyediaan bahan baku usahatani kakao, subsistem pengolahan kakao,
subsistem perdagangan kakao dan subsistem konsumsi produk kakao olahan.
2. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan agroindustri kakao yang dianalisis adalah kebijakan gerakan peningkatan produktivitas dan mutu
kakao Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao. Kebijakan Gernas kakao juga tidak dirinci menjadi instrumen-instrumen yang lebih
detil seperti subsidi input pupuk dan benih, pembinaan kelembagaan dan lain-lain. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan lain yang terkait
dengan sistem agribisnis kakao baik langsung maupun tidak langsung tidak dilibatkan dalam model.
3. Dalam submodel pengolahan kakao, bahan baku yang dilibatkan dalam memproduksi kakao olahan hanya biji kakao, baik fermentasi dan non
fermentasi, sehingga bahan baku lain yang digunakan tidak dianalisis. 4. Produk industri hilir yang digunakan dalam model dinamika sistem adalah
produk kakao olahan secara keseluruhan dan tidak menganalisis secara detil bentuk-bentuk kakao olahan seperti kakao butter, kakao pasta,
kakao powder, dan produk makanan dari coklatkakao. Dengan demikian, data yang digunakan juga merupakan data agregat produk kakao olahan
secara nasional.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia
Kebijakan agribisnis kakao yang diterapkan oleh pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan perkebunan seperti yang tertuang dalam Undang –
Undang No. 18 tahun 2004. Dengan demikian, tujuan pengembangan agribisnis kakao tidak bisa dilepaskan dari tujuan penyelenggaraan perkebunan seperti
yang tertuang dalam undang – undang tersebut, yaitu: i meningkatkan pendapatan
masyarakat; ii
meningkatkan penerimaan
negara; iii
meningkatkan penerimaan devisa negara; iv menyediakan lapangan kerja; v meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing; vi memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan vi mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut yang terkait dengan agribisnis kakao, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Kementerian Pertanian
melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun 2009 melaksanakan program “Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Nasional” Gernas
kakao yang merupakan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan dan sumberdaya yang ada secara optimal. Gernas kakao tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 – 2011 di 9 provinsi dan
40 kabupaten dengan sasaran sebagai berikut: i perbaikan tanaman kakao rakyat seluas 450.000 ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70.000 ha,
rehabilitasi 235.000 ha dan intensifikasi seluas 145.000 ha; ii pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450.000 petani; iii
pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450.000 ha; dan iv perbaikan mutu kakao sesuai dengan standar nasional Indonesia SNI. Beberapa target
yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan ini adalah: i peningkatan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660 kghatahun menjadi 1.500
kghatahun pada tahun 2013; ii peningkatan produksi kakao di lokasi gerakan dari 297.000 tontahun menjadi 675.000 tontahun; iii meningkatnya
pendapatan petani dari Rp. 13.200.000hatahun 2009 menjadi Rp. 30.000.000hatahun 2013; iv meningkatnya devisa negara dari US 494 juta
2009 menjadi US 1.485 juta 2013; dan v meningkatnya mutu kakao sesuai SNI sebanyak 675.000 tontahun 2013.
Kebijakan di sektor industri hilir kakao juga sudah mulai menjadi perhatian pemerintah. Melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang kebijakan
industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai salah satu industri prioritas tinggi karena dianggap memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan berdasarkan
kemampuannya bersaing di pasar internasional dan faktor – faktor produksinya tersedia di Indonesia. Konsekuensinya adalah industri kakao dapat memperoleh
fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan kemudahan lainnya dari pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh Direktorat Jenderal Industri Agro
dan Kimia, Kementerian Perindustrian, sasaran pengembangan industri kakao dalam kurun waktu 2010 – 2014 adalah sebagai berikut: i optimalisasi
kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri dari 40 persen menjadi 80 persen; ii peningkatan biji kakao fermentasi dari 20 persen menjadi 80
persen; iii peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri dalam negeri; iv meningkatnya investasi di bidang industri kakao; v
pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam negeri; dan vi peningkatan ekspor produk kakao olahan rata – rata 16 persen
per tahun. Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari target kebijakan pemerintah.
Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk
ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga
rata – rata internasional yang berpedoman pada harga rata – rata CIF New York Board of Trade NYBOT. Tarif bea keluar biji kakao adalah sebagai berikut: i
untuk harga referensi sampai dengan USD 2.000, tarif sebesar nol persen; ii harga referensi USD 2.000 – 2.750, tarif sebesar 5 persen; iii harga referensi
USD 2.750 – 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan iv harga referensi lebih dari USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah juga
menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk
olahan kakao dikenakan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan untuk negara – negara yang termasuk dalam perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEAN-
CHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya sudah dihapuskan. Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah
berupa insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao