Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Kebijakan di sektor industri hilir kakao juga sudah mulai menjadi perhatian pemerintah. Melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai salah satu industri prioritas tinggi karena dianggap memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan berdasarkan kemampuannya bersaing di pasar internasional dan faktor – faktor produksinya tersedia di Indonesia. Konsekuensinya adalah industri kakao dapat memperoleh fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan kemudahan lainnya dari pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, sasaran pengembangan industri kakao dalam kurun waktu 2010 – 2014 adalah sebagai berikut: i optimalisasi kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri dari 40 persen menjadi 80 persen; ii peningkatan biji kakao fermentasi dari 20 persen menjadi 80 persen; iii peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri dalam negeri; iv meningkatnya investasi di bidang industri kakao; v pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam negeri; dan vi peningkatan ekspor produk kakao olahan rata – rata 16 persen per tahun. Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari target kebijakan pemerintah. Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga rata – rata internasional yang berpedoman pada harga rata – rata CIF New York Board of Trade NYBOT. Tarif bea keluar biji kakao adalah sebagai berikut: i untuk harga referensi sampai dengan USD 2.000, tarif sebesar nol persen; ii harga referensi USD 2.000 – 2.750, tarif sebesar 5 persen; iii harga referensi USD 2.750 – 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan iv harga referensi lebih dari USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah juga menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk olahan kakao dikenakan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan untuk negara – negara yang termasuk dalam perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEAN- CHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya sudah dihapuskan. Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah berupa insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao kering baik yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang hasil pertanian yang bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Selain kebijakan yang langsung terkait dengan komoditas kakao, berbagai kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun moneter, seperti subsidi pertanian secara umum, pembangunan infrastruktur, kebijakan nilai tukar, inflasi, dan lain – lain, berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan agribisnis kakao. Setiap jenis kebijakan juga akan memberikan dampak yang berbeda – beda bagi setiap pihak yang terkait.

2.2 Kebijakan Pengembangan Agroindustri

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai produsen komoditas pertanian, terutama dari subsektor perkebunan yang selama ini dijadikan sebagai komoditas andalan ekspor dalam perdagangan internasional. Dalam upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing di pasar internasional, kegiatan agroindustri memegang peranan yang sangat penting, termasuk dalam upaya pengembangan sektor agribisnis secara keseluruhan dan peningkatan pendapatan petani. Peran agroindustri memiliki nilai yang sangat strategis dalam menjembatani antar sektor pertanian mulai dari hulu hingga ke hilir, sehingga pengembangan agroindustri yang tepat diharapkan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja, pendapatan petani, volume ekspor dan devisa, daya saing, nilai tukar produk hasil pertanian serta penyediaan bahan baku industri. Secara makro, Susilowati 2007 menyebutkan bahwa agroindustri mempunyai peran lebih besar terhadap peningkatan output, PDB dan penyerapan tenaga kerja. Untuk itu, kebijakan mengenai pengembangan agroindustri menjadi sangat penting. Permasalahan umum yang dihadapi dalam upaya pengembangan agroindustri di Indonesia adalah i masih rendahnya produktivitas dan daya saing; ii keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya; iii lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan sektor lain; iv kebijakan makro dan mikro ekonomi yang kurang berpihak kepada agroindustri Djamhari, 2004. Lebih lanjut, Supriyati dan Suryani 2006 menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri mengalami berbagai kendala seperti i tidak terjaminnya kontinuitas dan kualitas pasokan produk pertanian sebagai sumber bahan baku industri, ii keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia; iii teknologi yang digunakan sebagian besar masih sederhana sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; dan iv kemitraan antara agroindustri skala kecil dengan skala besarsedang belum berkembang. Implikasi dari berbagai permasalahan tersebut adalah perlunya kebijakan dari pemerintah yang mampu menjembatani permasalahan tersebut menjadi potensi dan peluang untuk pengembangan agroindustri. Dalam upaya pengembangan agroindustri suatu komoditas, Hanson and Cranfield 2009 menyebutkan ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh oleh pemerintah. Langkah tersebut adalah: i kerja sama agroindustri pada setiap tingkatan sektorsubsektor dalam menyusun kegiatannya untuk meningkatkan daya saing di pasar domestik dan internasional; ii agroindustri berskala besar harus membantu usaha kecil dan produsen; iii menghilangkan hambatan kelembagaan; iv memastikan persaingan yang efektif antar pelaku agroindustri untuk memberikan pilihan bagi produsen bahan baku petani dan konsumen serta harga yang adil; v meningkatkan infrastruktur; vi menetapkan kerangka regulasi yang memfasilitasi investasi dan mendorong persaingan antar perusahaan agroindustri serta melindungi petani dan konsumen; vii melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan; dan viii bernegosiasi dengan mitra dagang internasional untuk akses pasar dan bantuan teknis. Untuk mendorong daya saing agroindustri, kebijakan pemerintah memegang peranan kunci. Christy, et al., 2009 membagi 3 jenis kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing agroindustri di negara berkembang. Pertama, Essential Enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan perdagangan, infrastruktur serta kepemilikan lahan dan property rights. Kedua, Important enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan finansial, penelitian dan pengembangan, standar dan regulasi. Ketiga, Useful enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan dan kemudahan dalam melakukan bisnis. Banyaknya peranan pemerintah dalam menciptakan lingkungan bisnis agroindustri yang berdaya saing menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menjadi faktor kunci pengembangan agroindustri nasional. Pentingnya kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan agroindustri spesifik komoditas juga banyak ditunjukkan melalui berbagai hasil penelitian. Suprihatini, et al., 2004 menyebutkan bahwa upaya percepatan pengembangan agroindustri komoditas perkebunan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu i penerapan kebijakan pajak pertambahan nilai PPN; ii insentif investasi; iii penerapan kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir dan bahan bakunya; iv konsistensi dukungan pemerintah; v efisiensi biaya produksi; vi jaminan keamanan investasi; vii penelitian dasar; viii kualitas bahan baku dan bahan penolong; ix respon sosial; dan x supply chain management dan infrastruktur. Namun, dari 10 faktor tersebut hanya terdapat 4 faktor kunci yaitu PPN, insentif investasi, konsistensi dukungan pemerintah dan harmonisasi tarif. Empat faktor kunci yang diidentifikasi peneliti tersebut dapat dilihat bahwa semuanya terkait langsung dengan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini konsisten dengan hasil penelitian Sinaga dan Susilowati 2007 dan Suprihatni 2004 yang menyebutkan bahwa kebijakan ekspor, investasipermodalan dan insentif pajak perlu difokuskan kepada sektor agroindustri. Sementara itu, Susila 2005 menyebutkan bahwa kebijakan yang terkait dengan harga output lebih efektif dalam pengembangan industri gula. Indrawanto 2008 menyebutkan bahwa kebijakan larangan ekspor gelondong jambu mete akan menjamin supply bahan baku untuk agroindustri jambu mete dalam negeri. Namun, jaminan bahan baku dan tingkat keuntungan yang tinggi hanya diperoleh industri besar. Di sisi lain, biaya keterjaminan pasokan bahan baku tersebut akan ditanggung oleh petani sebagai akibat semakin sempitnya pasar gelondong yang menyebabkan harga gelondong menjadi rendah. Penghapusan larangan ekspor dan insentif moneter seperti penurunan suku bunga bank juga menjadi instrumen penting yang dijadikan oleh Sukmananto 2007 untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu. Sementara itu, Munandar, et al., 2008 mengarahkan kebijakan difokuskan kepada penetapan standar mutu, pengendalian nilai tukar, penetapan tingkat suku bunga, liberalisasi perdagangan dan pengembangan teknologi. Sementara itu, terkait dengan agribisnis kakao, kebijakan subsidi pupuk memberikan dampak positif terhadap produksi dan ekspor kakao. Sedangkan kebijakan bea ekspor akan menurunkan harga ekspor buat eksportir sehingga menekan harga kakao dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan harga yang terbentuk tidak menarik bagi petani sehingga produksi dan ekspor kakao menjadi turun Arsyad, 2007. Hasil penelitian Arsyad and Yusuf 2008 juga menunjukkan bahwa kebijakan penurunan tingkat suku bunga mampu mendorong ekspor dan produksi kakao Indonesia. Secara umum, Rossi 2004 menyebutkan bahwa langkah penting yang harus dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan sistem agroindustri adalah mengintegrasikan berbagai sektor dan pelaku yang terlibat dalam sistem agroindustri sehingga dapat dihadirkan koordinasi dan tindakan kolektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dalam sistem agroindustri tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh Sa’id 2010 yang menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan pengembangan sistem agroindustri kakao, pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak yang terlibat terutama masyarakat petani kecil.

2.3 Dampak Pengembangan Agroindustri terhadap Pendapatan Petani

Pengembangan agroindustri dilakukan dalam rangka peningkatan nilai tambah suatu komoditas sehingga mampu mendorong peningkatan output, PDB, kesempatan kerja dan lain – lain serta memberikan multiplier effect dalam kaitannya dengan sektor lainnya mulai dari hulu hingga ke hilir. Pengembangan agroindustri secara langsung berdampak pada kegiatan pertanian primer mengingat subsistem usahatani merupakan pemasok bahan baku utama bagi sektor agroindustri. Peningkatan nilai tambah yang terjadi akibat adanya kegiatan agroindustri seharusnya juga terdistribusi kepada subsistem usahatani sehingga petani juga dapat menikmati peningkatan nilai tambah yang terjadi melalui peningkatan harga komoditas yang berujung pada peningkatan pendapatan petani. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan agroindustri mampu meningkatkan pendapatan petani. Namun, ada beberapa penelitian yang menunjukkan hal sebaliknya. Oladipo 2008 menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri kelapa sawit berdampak positif terhadap kesejahteraan petani secara langsung maupun tidak langsung melalui perbaikan infrastruktur. Selanjutnya penelitian Gandhi, et al., 2001 menunjukkan bahwa keberadaan sektor agroindustri berkontribusi sangat signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani kecil dan tenaga kerja pedesaan sehingga sangat berperan dalam mengentaskan kemiskinan. Sementara itu, Fatah 2007 menyebutkan bahwa kegiatan agroindustri dapat membantu petani kecil untuk tetap survive dan meningkatkan kesejahteraannya. Dampak positif pengembangan agroindustri terhadap pendapatan petani juga ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan Susilowati, et al., 2007; Sundari 2000; Winarti, et al., 2005.