Kebijakan Publik System Dynamics Model for Cocoa Agroindustry in Indonesia

1. Efisiensi, yaitu membuat pasar menjadi lebih efisien seperti kebijakan subsidi untuk barang – barang publik, pembatasan eksternalitas dan regulasi yang membatasi kekuatan pasar. 2. Stabilisasi, yaitu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menstabilkan ekonomi, seperti kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai tukar. 3. Distribusi, yaitu kebijakan pemerintah untuk meredistribusi pendapatan di antara kelompok masyarakat. Van Tongeren 2008 menyebutkan bahwa kebijakan harus ditargetkan untuk hasil yang spesifik dan terpisah, Untuk itu, perlu dilakukan pembatasan mengenai variabel – variabel yang ditargetkan sehingga harus memenuhi beberapa dimensi sebagai berikut: i terukurnya definisi tujuan kebijakan yang akan ditargetkan dan unit-unit di mana target diukur; ii definisi spasialgeografis daerah, karena kegagalan pasar yang membenarkan intervensi kebijakan sering terjadi secara lokal atau regional terbatas; dan iii definisi karakteristik kelayakan, terkait dengan siapa yang berhak menerima dan tidak, karena kebijakan pertanian paling sering berlaku untuk petani secara individual. Setelah memenuhi kriteria tersebut, baru instrumen kebijakan dapat dipilih. Instrumen kebijakan pertanian biasanya disamakan dengan transfer uang, tetapi kebanyakan instrumen yang dibuat oleh pengambil kebijakan adalah berupa pajak transfer negatif, regulasi dan fasilitas. Negara berkembang memiliki variasi yang sangat tinggi dalam hal sumberdaya alam, tipe sistem pertanian, ukuran usahatani, tingkat pembangunan sumberdaya manusia, infrastruktur dan lain – lain. Kondisi ini membuat pemerintah dihadapkan pada berbagai tujuan dan kendala, sehingga harus memilih instrumen kebijakan yang paling sesuai. Brooks 2010 menyebutkan bahwa dengan kondisi tersebut, pilihan kebijakan pertanian adalah sebagai berikut: 1. Intervensi pasar output dan input, seperti: kebijakan harga dan perdagangan, kebijakan pemasaran, subsidi input benih, pupuk dan kredit modal kerja 2. Penyediaan barang publik seperti infrastruktur pedesaan 3. Transfer pendapatan 4. Perubahan kelembagaan seperti, dewan pemasaran, reformasi lahan, reformasi sektor keuangan, hukum, dan lain – lain.

3.3.2 Kebijakan Bea Ekspor

Penerapan kebijakan pajak ekspor biji kakao seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 67PMK.0112010 dapat digambarkan seperti pada Gambar 7. Jika diasumsikan bahwa supply ekspor kakao adalah kurva S E , permintaan ekspor kurva ED, permintaan domestik kurva D D dan supply domestik adalah S D , maka harga perdagangan bebas kakao adalah P F . Pajak optimal diperoleh ketika S E berpotongan dengan pendapatan marjinal MR ED . Melalui penerapan pajak ekspor ini, pemerintah akan memperoleh pendapatan pajak sebesar abcd, sedangkan petani kakao akan kehilangan fcdP f . Gambar 7 Kebijakan bea ekspor kakao. Sumber: Schmitz, et al., 2002 Dampak penerapan kebijakan bea ekspor terhadap pengembangan industri hilir kakao dapat digambarkan seperti yang disajikan pada Gambar 8. Dd merupakan permintaan biji kakao domestik, Sd adalah penawaran biji kakao domestik, De adalah permintaan ekspor biji kakao, Se adalah penawaran ekspor biji kakao, Se’ adalah penawaran biji kakao setelah penerapan kebijakan bea ekspor, TPQ adalah fungsi produksi industri pengolahan kakao domestik. Jika tidak terjadi perdagangan internasional, kondisi keseimbangan terjadi pada Q0 dengan tingkat harga P0. Dengan adanya perdagangan internasional, dimana terjadi permintaan ekspor yang ditunjukkan oleh garis De dan penawaran ekspor yang ditunjukkan oleh garis Se, maka tingkat harga biji kakao yang terbentuk adalah meningkat menjadi P1. Pada tingkat harga tersebut, jumlah biji kakao P q D q E D D S D MR ED ED S E f P f a b c d yang diminta di dalam negeri adalah sebesar Q1 dan jumlah yang ditawarkan sebesar Q2. Selisih antara Q1 dengan Q2 merupakan jumlah biji kakao yang diekspor. Jika diasumsikan bahwa permintaan biji kakao domestik hanya dilakukan oleh industri pengolahan kakao, maka Q1 merupakan jumlah input yang digunakan oleh industri, sehingga industri pengolahan berproduksi pada tingkat TP0. . Gambar 8 Dampak kebijakan bea ekspor kakao terhadap industri hilir. Penerapan kebijakan bea ekspor biji kakao menyebabkan kurva penawaran ekspor biji kakao bergeser dari Se menjadi Se’. Hal tersebut menyebabkan harga ekspor biji kakao meningkat menjadi P2, sedangkan harga domestik turun menjadi P3. Penurunan harga domestik tersebut menyebabkan jumlah biji kakao yang diminta oleh industri pengolahan meningkat dari Q1 menjadi Q3. Sedangkan jumlah biji kakao yang ditawarkan turun dari Q2 menjadi Q4 sehingga jumlah biji kakao yang diekspor juga turun menjadi Q4-Q3.