Gambar 69 Perbandingan pangsa nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008-2025.
Jika dilihat dari sisi penerimaan petani, skenario 8, 7, 6 dan 5 memiliki tingkat penerimaan petani tertinggi untuk petani yang mengikuti program Gernas
kakao pada akhir periode analisis Gambar 70. Sedangkan untuk petani yang tidak terlibat dalam program Gernas, penerimaan tertinggi diperoleh dari skenario
8 dan 7. Adanya kesamaan penerimaan petani pada skenario-skenario tersebut disebabkan oleh adanya kesamaan kebijakan yang terkait dengan penerimaan
petani. Pada skenario 5, 6, 7, dan 8, kesamaan penerimaan petani yang terlibat dalam program Gernas kakao disebabkan oleh asumsi tingkat keberhasilan
Gernas kakao yang sama yaitu sebesar 60 persen ditambah dengan peningkatan harga di tingkat petani akibat penghapusan bea ekspor kakao. Sedangkan
skenario 7 dan 8 mampu mendorong penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lainnya akibat
adanya kebijakan peningkatan produktivitas perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao.
10 20
30 40
50 60
70 80
Akt ual Skenar io 2
Skenar io 4 Skenar io 5
Skenar io 6 Skenar io 7
Skenar io 8
Gambar 70 Perbandingan penerimaan petani pada kondisi aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008-2025.
Hasil perbandingan antar skenario alternatif kebijakan di atas, secara keseluruhan menunjukkan bahwa skenario 8 mampu mendorong kinerja sistem
agroindustri kakao lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya. Dengan demikian, dalam upaya pengembangan agroindustri kakao, diperlukan kebijakan
yang mampu meningkatkan kinerja industri pengolahan kakao melalui insentif fiskal dan moneter yang tidak memberikan dampak negatif terhadap usahatani
kakao seperti penerapan bea ekspor kakao. Sementara itu, program Gernas kakao memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peningkatan
penerimaan petani di samping peningkatan produktivitas dan mutu kakao. Perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao seharusnya
juga tidak luput dari perhatian pemerintah dengan melakukan upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu.
Hal ini penting karena adanya kecenderungan
penurunan produktivitas
perkebunan rakyat,
sehingga menurunkan penerimaan petani.
- 2,000
4,000 6,000
8,000 10,000
12,000 14,000
16,000 18,000
R p
. ,-
Akt ual Skenario 2: Gernas
Skenario 2: Non- Gernas Skenario 4: Gernas
Skenario 4: Non- Gernas Skenario 5: Gernas
Skenario 5: Non- Gernas Skenario 6: Gernas
Skenario 6: Non- Gernas Skenario 7: Gernas
Skenario 7: Non- Gernas Skenario 8: Gernas
Skenario 8: Non- Gernas
IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan
1. Model dinamika sistem yang dikembangkan dapat menggambarkan perilaku
sistem agroindustri kakao Indonesia.
Perilaku model menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan penurunan kemampuan
industri pengolahan kakao dalam menyerap produksi biji kakao domestik. Pangsa nilai dan volume ekspor kakao olahan serta penerimaan petani
kakao juga memiliki kecenderungan yang menurun. 2. Kebijakan Gernas kakao dan penetapan bea ekspor kakao secara
simultan mampu meningkatkan kemampuan industri pengolahan dalam menyerap produksi biji kakao domestik. Kebijakan tersebut juga mampu
meningkatkan pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan. Namun, kebijakan tersebut hanya mampu mengangkat penerimaan petani yang
mengikuti program Gernas kakao, sedangkan petani yang tidak mengikuti program Gernas memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah
dibandingkan kondisi aktual. Dengan demikian kebijakan Gernas kakao dan bea ekspor lebih cenderung berdampak positif terhadap industri
pengolahan, namun berdampak negatif kepada petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao.
3. Alternatif kebijakan
dengan skenario
8 mampu
mendorong perkembangan sistem agroindustri kakao secara keseluruhan lebih baik
dibandingkan dengan skenario lainnya. Untuk itu, alternatif kebijakan yang sebaiknya diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan
sistem agroindustri kakao adalah: i tetap melaksanakan program Gernas kakao; ii peningkatan produktivitas dan mutu kakao perkebunan
rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao; iii penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal
dan moneter seperti pengurangan pajak dan subsidi suku bunga pinjaman serta perbaikan iklim usaha seperti perbaikan infrastruktur,
kemudahan perizinan dan lain-lain sehingga mampu mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao.
9.2 Saran
1. Pemerintah perlu mengevaluasi kembali pelaksanaan kebijakan bea ekspor kakao dengan tujuan untuk mengembangkan industri pengolahan
karena berdampak negatif kepada penerimaan petani akibat terjadinya penurunan harga di tingkat petani yang merupakan komponen terbesar
yang terlibat dalam sistem agribisnis kakao. Kebijakan alternatif untuk pengembangan industri hilir kakao yang disarankan adalah pemberian
insentif fiskal dan moneter kepada pelaku industri seperti pengurangan pajak dan subsidi suku bunga pinjaman serta perbaikan iklim usaha
seperti perbaikan infrastruktur, kemudahan perizinan dan lain-lain. Sedangkan untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri,
penulis menyarankan kebijakan pembatasan ekspor biji kakao, namun tetap memberikan harga yang kompetitif bagu petani.
2. Pemerintah perlu meningkatkan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao agar
usahatani kakao tetap menarik untuk diusahakan dan memberikan keuntungan yang layak bagi petani. Jika kebijakan ini tidak dilakukan,
dikhawatirkan petani akan beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan
sehingga pada
akhirnya dapat
menyebabkan ketersediaan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan menjadi
berkurang dan harapan Indonesia untuk menjadi produsen kakao terbesar dunia tidak tercapai.
3. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan melakukan pengembangan model khususnya untuk submodel industri pengolahan kakao dengan
menganalisis secara lebih detil bentuk-bentuk kakao olahan seperti kakao butter, kakao pasta, kakao powder, dan produk makanan dari
coklatkakao. Terkait dengan tidak berkembangnya industri pengolahan kakao, penulis juga menyarankan penelitian mengenai tingkat efisiensi
industri pengolahan kakao di Indonesia secara lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Ardana, I.K. 2009. Model Pengelolaan Energi Berwawasan Lingkungan di Pulau – Pulau Kecil: Kasus Pengembangan Tanaman Jarak Pagar Mendukung
Sistem Listrik Berbasis Energi Terbarukan di Nusa Penida, Bali. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Arsyad, M. 2007. The impact of fertilizer subsidy and export tax policies on Indonesia cocoa exports and production. Ryukoku Journal of Economic
Studies, 47 3: 1 – 21. Arsyad, M., and S. Yusuf. 2008. Assessing impact of oil prices and interest rate
policies: The case of Indonesian cocoa. Ryukoku Journal of Economic Studies, 48 1: 65 – 92.
Athanasoglou, P., C. Backinezos and E.A. Georgiou. 2010. Export performance, competitiveness and commodity composition. MPRA Paper No. 31997.
http:mpra.ub.uni-muenchen. de31997 Austin, J.E. 1981. Agroindustrial Project Analysis. EDI Series in Economic
Development, Washington D.C. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi [Bappebti]. 2011a. Analisis
perkembangan harga:
Harga kakao
dunia kembali
naik. http:www.bappebti.go.idadministrator
pdfHarga 20
Kakao20 Dunia20Kembali20Naik.pdf.
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi [Bappebti]. 2011b. Analisis perkembangan harga: Harga kakao berjangka terus alami penurunan.
http:www.bappebti.go.idadministratorpdfHarga20Kakao20Berjangk a20Terus20Alami20Penurunan.pdf
Badan Pusat Statistik [BPS]. 2011. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Edisi 13, Juni 2011. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Brooks, J. 2010. Agricultural Policy Choices in Developing Countries: A Synthesis. OECD Headquarters, Paris.
Chaidir, I. 2007. Rancang Bangun Model Dinamis Pengelolaan Agroindustri Kerapu. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor. Chen, J.H. and T.S. Jan. 2005. A system dynamics model of the semiconductor
industry development in Taiwan. Journal of the Operational Research Society, 56: 1141 – 1150.
Christy, R., E. Mabaya, N. Wilson, E. Mutambatsere and N. Mhlanga. 2009. Enabling environments for competitive agro-industries. In: Agro-Industries
for Development. Editor: C.A. da Silva, D. Baker, A.W. Shepherd, C. Jenane and A.M. da-Cruz. Published by CAB International and Food and
Agriculture Organization, Rome.
Coyle, R.G. 1995. System Dynamics Modeling: Practical Approach. Chapman Hall, London.
Departemen Perindustrian [Depperin]. 2008. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional.
Departemen Perindustrian Republik Indonesia, Jakarta. Dhillon, S.S. and N. Singh. 2006. Contract farming in Punjab: An analysis of
problem, challenge and opportunities. Pakistan Economic and Social Riview. Vol. XLIV, No. 1: 19 - 38.
Direktorat Jenderal Industri Agrokimia [Ditjen Agrokim]. 2009. Statistik 2009 Agrokim.
Direktorat Jenderal
Industri Agrokimia,
Departemen Perindustrian, Jakarta.
Direktorat Jenderal Perkebunan [Ditjenbun]. 2010. Statistik Perkebunan 2009 – 2011: Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian,
Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan [Ditjenbun]. 2011. Kebangkitan Industri Kakao
dan Cokelat
Nasional. http:ditjenbun.deptan.go.idindex.php
componentcontentarticle36-news227-kebangkitan-industri-kakao-dan- cokelat-nasional-.html. Diakses tanggal 15 September 2011.
Djamhari, C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan Menengah; Rangkuman Pemikiran. Infokop, 25 XX: 121 – 132.
Dradjat, B. dan T. Wahyudi. 2008. Prospek dan Strategi Pengembangan Industri Hilir. Dalam: Kakao: Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Editor:
T. Wahyudi, T.R. Panggabean dan Pujiyanto, p. 294 – 313. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Estherhuizen, D. 2006. Measuring and Analyzing Competitiveness in the Agribusiness Sector: Methodological and Analytical Framework.
University of Pretoria. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Jilid
1. IPB Press, Bogor. Eriyatno dan F. Sofyar. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk
Pascasarjana. IPB Press, Bogor. Fatah, L. 2007. The potentials of agro-industry for growth promotion and equality
improvement in Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development, 4 1: 57 – 73.
Firdaus, M. dan Ariyoso. 2010. Keterpaduan pasar dan faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan
Pembangunan, 31: 69-79.