Simulasi Kebijakan Metode Analisis Data

V KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO 5.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Pentingnya pengembangan agroindustri kakao di Indonesia tidak terlepas dari besarnya potensi yang dimiliki, terutama sebagai penghasil bahan baku. Produksi biji kakao Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2010, produksi kakao mencapai 844.626 ton. Jumlah ini meningkat hampir 5 kali lipat dari produksi pada tahun 1990 yang hanya sebesar 142.347 ton Gambar 19. Pada periode tersebut terjadi peningkatan produksi rata-rata per tahun sebesar 11,3 persen. Tren peningkatan produksi terbesar dihasilkan dari perkebunan rakyat dimana terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 13,42 persen per tahun. Perkebunan besar negara dan swasta juga mengalami tren peningkatan produksi, walaupun besarannya relatif kecil yaitu masing- masing 2,44 dan 4,57 persen per tahun. Proporsi produksi kakao sebagian besar disumbang oleh perkebunan rakyat dengan pangsa sebesar 91,6 persen dari total produksi kakao Indonesia pada tahun 2010. Sedangkan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta masing-masing hanya menyumbang 4,36 dan 4,03 persen. Gambar 19 Produksi kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990 - 2010. Sumber: Ditjenbun, 2011 Pertumbuhan produksi biji kakao tidak terlepas dari tingginya pertumbuhan luas areal pertanaman kakao Indonesia Gambar 20. Pada tahun 2010, luas real 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1 9 9 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 2 1 D a la m R ib u T o n PR PBN PBS Total kakao Indonesia adalah sebesar 1.651.539 ha, meningkat tajam dari tahun 1990 yang hanya seluas 357.490 ha. Pertumbuhan luas areal pada periode 1990-2010 lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan produksi yaitu sebesar 8,49 persen per tahun. Perkebunan rakyat mengalami pertumbuhan terbesar yaitu 10,38 persen per tahun, diikuti perkebunan besar swasta sebesar 1,06 persen per tahun. Sedangkan perkebunan besar negara justru mengalami penurunan luas areal rata-rata per tahun sebesar 0,13 persen per tahun. Gambar 20 Luas areal kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun1990 - 2010. Sumber: Ditjenbun, 2011 Jika dibandingkan antara pertumbuhan luas areal dan produksi dapat dilihat bahwa produksi kakao Indonesia meningkat lebih cepat dibandingkan dengan luas areal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada periode 1990-2010 terjadi tren peningkatan produktivitas kakao nasional. Pada tahun 1990, produktivitas kakao nasional hanya sebesar 398,18 kgha, sedangkan pada tahun 2010, produktivitasnya meningkat tajam sehingga mencapai 511,41 kgha. Namun demikian, tingkat produktivitas tersebut masih jauh di bawah potensi produksi kakao yang mencapai 2 tonhatahun. Walaupun terjadi tren peningkatan produktivitas sebesar 2,07 persen per tahun pada periode 1990-2010 seperti yang disajikan pada Gambar 21, jika dilihat dalam 5 tahun terakhir justru terjadi kecenderungan menurun. Secara nasional, pada periode 2005-2010, terjadi tren penurunan produktivitas kakao 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 1 9 9 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 2 1 D a la m R ib u H e kt a r PR PBN PBS Total nasional sebesar 3,34 persen per tahun. Tren penurunan tersebut disumbang oleh perkebunan rakyat yang mengalami tren penurunan sebesar 3,77 persen per tahun. Walaupun perkebunan besar negara dan swasta menunjukkan tren meningkat masing-masing sebesar 1,92 dan 3,92 persen per tahun, namun karena pangsanya yang hanya sekitar 8 persen dari total perkebunan kakao nasional membuat perkebunan besar negara dan swasta tidak mampu mendongkrak peningkatan produktivitas kakao secara nasional. Jika tren tersebut dibiarkan, maka pada masa yang akan datang, produksi kakao Indonesia akan mengalami penurunan. Gambar 21 Produktivitas kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990-2010. Sumber: Ditjenbun, 2011 Perkebunan kakao tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Wilayah yang menjadi sentra produksi kakao adalah Kawasan timur Indonesia, khususnya Pulau Sulawesi Tabel 9. Pada tahun 2010, Pulau Sulawesi menyumbang 59,24 persen dari total luas areal kakao nasional. Sedangkan dari sisi produksi, pulau ini menghasilkan 66,51 persen. Provinsi yang menjadi sentra adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Sementara itu, di luar Pulau Sulawesi, provinsi yang menjadi sentra utama kakao adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Aceh dan Jawa Timur. 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1 9 9 1 9 9 1 1 9 9 2 1 9 9 3 1 9 9 4 1 9 9 5 1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 2 1 P ro d u kt iv it a s kg h a PR PBN PBS Total Tabel 9 Luas areal dan produksi kakao menurut provinsi, Tahun 2010 No Provinsi Luas Areal Ha Produksi Ton 1 Aceh 82.016 30.339 2 Sumatera Utara 95.794 69.978 3 Sumatera Barat 85.263 34.806 4 Riau 7.187 4.694 5 Kepulauan Riau 2 6 Jambi 1.381 532 7 Sumatera Selatan 7.008 1.781 8 Bangka Belitung 272 98 9 Bengkulu 16.669 5.297 10 Lampung 65.382 27.059 11 Jawa Barat 12.936 4.176 12 Banten 6.640 2.213 13 Jawa Tengah 6.870 3.039 14 DI. Yogyakarta 4.820 1.243 15 Jawa Timur 61.229 23.166 16 Bali 13.392 7.117 17 Nusa Tenggara Barat 6.082 1.568 18 Nusa Tenggara Timur 47.059 12.569 19 Kalimantan Barat 10.454 2.374 20 Kalimantan Tengah 975 285 21 Kalimantan Selatan 618 35 22 Kalimantan Timur 35.054 12.552 23 Sulawesi Utara 14.989 3.629 24 Gorontalo 11.622 3.799 25 Sulawesi Tengah 234.096 144.049 26 Sulawesi Selatan 279.135 171.443 27 Sulawesi Barat 189.277 101.002 28 Sulawesi Tenggara 249.214 137.833 29 Maluku 25.050 9.688 30 Maluku Utara 36.439 13.689 31 Papua 29.705 11.522 32 Papua Barat 14.910 3.047 Indonesia 1.651.539 844.622 Sumber: Ditjenbun, 2010

5.2 Perkembangan Industri Kakao Indonesia

Sebagai salah satu produsen kakao terbesar dunia, sudah selayaknya Indonesia menjadi kekuatan industri kakao dunia. Namun, jika dilihat dari volume grinding kakao, Indonesia hanya menempati peringkat ke-8 di bawah Belanda, Jerman, Amerika Serikat, Pantai Gading, Malaysia, Ghana dan Brasil Gambar 22. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara dengan volume grinding terbesar justru dimiliki oleh negara-negara yang bukan produsen biji kakao sehingga harus mengimpor biji kakao untuk memenuhi industri dalam negerinya. Namun, jika dibandingkan dengan produsen utama biji kakao seperti Pantai Gading dan Ghana, volume grinding kakao Indonesia juga jauh tertinggal yang menandakan bahwa industri kakao dalam negeri belum berkembang dengan baik. G Perkembangan terpasang dan realisa Agrokim menunjukka Indonesia masih ren Pada tahun 2010, ka 38,6 persen dari tota antara produksi biji kakao hanya mampu Gambar 23 pengo 100000 200000 300000 400000 500000 600000 20 K Gambar 22 Volume grinding kakao dunia. Sumber: ICCO, 2011 n industri kakao Indonesia ditandai den lisasi industri pengolahan kakao yang beroper kkan bahwa kapasitas terpasang industri pen endah jika dibandingkan dengan produksi k kapasitas terpasang industri kakao hanya ma tal produksi biji kakao nasional. Sedangkan jik iji kakao dengan realisasi produksi industri u mengolah 21,13 persen produksi biji kakao. 3 Kapasitas terpasang dan realisasi produksi golahan kakao Indonesia, Tahun 2005 - 2011. Sumber: Ditjen Agrokim, 2011 005 2006 2007 2008 2009 2010 2 Kapasitas Terpasang Industri Realisasi Produk engan kapasitas erasi. Data Ditjen engolahan kakao ksi kakao nasional. mampu menyerap jika dibandingkan stri, maka industri o. si industri 1. 2011 uksi Pada tahun 2005, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao adalah sebesar 313.400 ton dengan realisasi produksi sebesar 132.730 ton Gambar 23. Pada tahun 2008 dan 2009, terjadi penurunan kapasitas terpasang menjadi 297.000 ton dari tahun sebelumnya yang mencapai 353.900 ton. Sedangkan realisasi produksi juga turun dari 198.200 ton pada tahun 2007 menjadi 178.000 ton pada tahun 2008 dan 178.500 ton pada tahun 2009. Adanya kebijakan pemerintah untuk mengembangkan industri kakao menyebabkan kapasitas terpasang industri kembali mengalami peningkatan menjadi 326.700 ton pada tahun 2010. Namun, peningkatan kapasitas terpasang tersebut tidak berdampak pada realisasi produksinya karena ketersediaan bahan baku untuk industri masih rendah akibat kecenderungan pedagang untuk mengekspor biji kakao dibandingkan dengan menjual ke industri. Tabel 10 Kapasitas terpasang industri pengolahan kakao Indonesia, Tahun 2011 No Nama Perusahaan Kapasitas Terpasang ton 1 PT.General Food Industry 100.000 2 PT.Bumitangerang Mesindotama 96.000 3 PT. Cocoa Ventures Indonesia 14.000 4 PT. Asia Cocoa Indonesia 65.000 5 PT. Teja Sekawan Cocoa Industries 24.500 6 PT. Kakao Mas Gemilang 450 7 PT. Mas Ganda 5.000 8 PT. Tri Keeson Utama 7.800 9 PT. EffemPT. Mars Syimbioscience Indonesia 17.000 10 PT. Budidaya Kakao Lestari 15.000 11 PT. Jaya Makmur Hasta 15.000 12 PT. Unicom Kakao Makmur Sulawesi 10.000 13 PT. Davomas Abadi, Tbk 140.000 14 PT. Maju Bersama Cocoa Industries 20.000 15 PT. Poleko Cocoa IndustryPT. Hope Indonesia 4.000 16 PT. Kopi Jaya kakao 24.000 17 PT. Industri Kakao Utama 25.000 Jumlah 582.750 Sumber: Kemenperin, 2011 Penerapan bea ekspor biji kakao pada pertengahan tahun 2010 mendorong minat investor untuk berinvestasi di bidang industri pengolahan kakao. Data Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa pada tahun 2011, kapasitas terpasang industri pengolahan kakao mencapai 582.750 ton yang melibatkan 17 perusahaan Tabel 10. Kementerian Perindustrian 2011 juga menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas terpasang tersebut masih terus berlanjut dengan m memproyeksikan ba pengolahan kakao In perusahaan.

5.3 Perkembangan

Pola perkemba kecenderungan yang pada Januari 2010 y harga kakao domest kakao domestik tertin 29.237 per kg. Kon terhadap dollar Ame mencapai Rp. 11.85 dalam US cent, harg sebesar USCent 31 Firdaus dan Ariyoso sangat dipengaruhi o Gambar 24 Perkemb Su Pada periode peningkatan yang cu karena terjadinya k masuk beberapa investor baru. Asosiasi bahwa pada tahun 2015, kapasitas terp Indonesia akan mencapai 750.000 ton yang n Harga Kakao Indonesia dan Dunia bangan harga kakao dunia dan domestik ng hampir sama Gambar 24. Harga dunia yang menembus USCent 353 per kg. Pada sa stik di spot Makassar mencapai Rp. 28.836, rtinggi justru terjadi pada Februari 2009 yang ondisi tersebut terjadi karena pengaruh nil erika Serikat dimana pada bulan tersebut n 852,75 per USD. Sedangkan jika dikonversi rga domestik tertinggi juga terjadi pada Jan 310,89 per kg. Kondisi ini sesuai dengan so 2010 yang menyebutkan bahwa harga i oleh nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mbangan harga kakao dunia dan domestik, Ta Sumber: World Bank, 2011; Bappebti; 2011 e 2005 - 2010, harga kakao dunia me cukup signifikan. Peningkatan harga kakao konflik di Pantai Gading Bappebti, 20 65 si Industri Kakao rpasang industri ng melibatkan 25 stik menunjukkan a tertinggi dicapai a saat yang sama 6,- per kg. Harga ng mencapai Rp. nilai tukar rupiah nilai tukar rupiah rsi menjadi harga Januari 2010 yaitu n hasil penelitian a kakao domestik ika Serikat. ahun 2005-2011. enunjukkan tren o tersebut terjadi 2011a sehingga