System Dynamics Model for Cocoa Agroindustry in Indonesia

(1)

MODEL DIN

IN

INAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI

DI INDONESIA

ABDUL MUIS HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

MODEL DINAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

DI INDONESIA

ABDUL MUIS HASIBUAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamika Sistem Agroindustri Kakao di Indonesia adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Abdul Muis Hasibuan NIM H451100231


(6)

(7)

ABSTRACT

ABDUL MUIS HASIBUAN. System Dynamics Model for Cocoa Agroindustry in Indonesia. Under direction of RITA NURMALINA and AGUS WAHYUDI.

Indonesia is one of the largest cocoa producer in the world, however, production of processed cocoa is still very low and the cocoa processing industry did not develop. This study aims to: develop a system dynamic model of cocoa agro-industry, analyze the impact of Gernas kakao and cocoa export tax policy achievement on cocoa downstream industry performance and farmers’ revenue, and develop policy alternatives for the development cocoa downstream industry and increasing farmers’ revenue. This study used system dynamic model approach. The cocoa agroindustry system dynamics model that has developed can illustrate the cocoa agoindustry system properly. The analysis showed that behavior of the cocoa processing industry’s ability to absorb the production of cocoa bean during the analysis period (2008 - 2025) in the actual conditions had a declining trend. The share of volume and value of processed cocoa products export and farmers’ revenue showed declining trend too. Gernas kakao and export tax policy simultaneously can increase the industry capacity to absorb domestic production of cocoa beans. The policies are also able to increase the share of volume and value of processed cocoa export. However, the policies are only able to raise the revenue of farmers who join theGernas kakaopolicy, while who do not follow the program have revenue levels lower than actual conditions. Thus, Gernas kakaoand export tax policies are more likely had positive impact on the processing industry, but had a negative impact to the farmers who are not involved in the Gernas kakao policy. Policy alternatives with scenario 8 could encourage the development of cocoa agro-industry as a whole system better than the other scenarios. Therefore, alternative policies should be implemented by the government to develop cocoa agro-industry are: continue to implement the Gernas kakao policy; increase productivity and quality of smallholders cocoa plantation which was not involved in the Gernas kakao policy; eliminate cocoa exports tax policy, but the government must be provide fiscal and monetary incentives to the processing industry and improve the business climate to encourage the growth of the cocoa processing industry.


(8)

Indonesia. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan AGUS WAHYUDI.

Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, pengembangan industri hilir diharapkan dapat menjadi motor penggerak sistem agribisnis kakao yang lebih berdaya saing di Indonesia. Namun, produksi kakao olahan Indonesia masih sangat rendah dan industri pengolahan kakao tidak berkembang akibat berbagai permasalahan yang terjadi dalam sistem agroindustri kakao, mulai dari hulu sampai hilir. Hal tersebut mendorong pemerintah menerapkan kebijakan Gernas kakao untuk memperbaiki produktivitas dan mutu biji kakao yang dihasilkan petani sesuai dengan kebutuhan industri pengolahan dan bea ekspor untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan meningkatkan daya saing industri pengolahan. Kebijakan tersebut berdampak pada pihak-pihak yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao sehingga perlu dianalisis dinamikanya sebagai satu kesatuan (sistem).

Penelitian ini bertujuan untuk (i) membangun model dinamika sistem agroindustri kakao; (ii) menganalisis dampak pencapaian kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir kakao dan penerimaan petani; dan (iii) menyusun alternatif kebijakan untuk pengembangan industri hilir kakao dan peningkatan penerimaan petani. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan dinamika sistem. Dampak kebijakan Gernas kakao dan bea ekspor kakao dianalisis dengan menggunakan 3 skenario, yaitu: (i) skenario 1 (pencapaian dampak Gernas dan bea ekspor kakao sebesar 40 persen dari target); (ii) skenario 2 (pencapaian dampak Gernas dan bea ekspor kakao sebesar 60 persen dari target); dan (iii) skenario 3 (pencapaian dampak Gernas dan bea ekspor kakao sebesar 80 persen dari target). Sedangkan untuk menyusun alternatif kebijakan digunakan 5 skenario yaitu: (i) skenario 4 (skenario 2 plus peningkatan produktivitas dan mutu kakao rakyat non Gernas sebesar 50 persen), (ii) skenario 5 (skenario 2 minus bea ekspor kakao), (iii) skenario 6 (skenario 5 plus peningkatan kapasitas industri sama dengan dampak bea ekspor), (iv) skenario 7 (penggabungan skenario 4, 5 dan 6), dan (v) skenario 8 (skenario 7 plus peningkatan kapasitas industri 10 persen per tahun).

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kondisi aktual kemampuan industri pengolahan kakao dalam menyerap produksi kakao selama periode analisis (2008 - 2025) mengalami tren yang menurun. Demikian juga dengan pangsa volume dan nilai ekspor produk kakao olahan serta penerimaan petani. Daya serap industri pengolahan kakao turun dari 55,51 persen pada tahun 2008 menjadi 30,42 persen pada tahun 2025, pangsa volume ekspor kakao olahan turun dari 33,67 persen menjadi 22,54 persen, pangsa nilai ekspor kakao olahan turun dari 37,97 persen menjadi 29,90 persen dan penerimaan petani turun dari Rp. 8.437.166,-/ha/tahun menjadi hanya sebesar Rp. 4.184.991,-/ha/tahun.

Analisis dampak kebijakan Gernas kakao dan bea ekspor menunjukkan bahwa ketiga skenario tersebut mampu meningkatkan kemampuan industri pengolahan dalam menyerap produksi biji kakao dan pangsa ekspor kakao olahan baik nilai maupun volume. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut menurunkan penerimaan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao yang merupakan komponen terbesar dari perkebunan rakyat yang ada. Pada akhir periode analisis, daya serap industri kakao dengan skenario 1, 2 dan 3 masing-masing sebesar 55,10 persen, 74,33 persen dan 100 persen; pangsa volume ekspor kakao olahan masing-masing 39 persen, 56,32 persen dan 88,87


(9)

v

persen; pangsa nilai ekspor kakao olahan sebesar 48,38 persen, 64,40 persen dan 92,13 persen; penerimaan petani yang terlibat dalam program Gernas kakao masing-masing sebesar Rp. 12.035.449,-/ha/tahun, Rp. 14.262.482,-/ha/tahun dan Rp. 16.546.368,-. Sedangkan petani yang tidak terlibat dalam program Gernas memiliki tingkat penerimaan yang sama pada ketiga skenario tersebut yaitu sebesar Rp. 3.975.741,-/ha/tahun.

Simulasi alternatif kebijakan dilakukan dengan membandingkan skenario-skenario tersebut dengan kondisi aktual dan skenario-skenario 2. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada akhir periode analisis, daya serap industri pengolahan kakao tertinggi diperoleh melalui skenario 8 sebesar 84,27 persen, diikuti skenario 6 sebesar 83,27 persen, skenario 2 sebesar 74,33 persen, skenario 7 sebesar 38,96 persen, skenario 4 sebesar 38,79 persen, dan kondisi aktual sebesar 30,42 persen, sedangkan daya serap terendah diperoleh pada skenario 5 yaitu 27,82. Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan tertinggi pada akhir periode analisis juga diperoleh dari alternatif kebijakan dengan skenario 8, diikuti oleh skenario 6, skenario 2, skenario 7, skenario 4, aktual dan skenario 5 dengan pangsa volume ekspor masing-masing sebesar 68,03 persen, 67,70 persen, 56,32 persen, 32,13 persen, 24,39 persen, 22,54 persen dan 19,55 persen. Sedangkan pangsa nilai ekspornya masing-masing sebesar 75,73 persen, 75,45 persen, 65,40 persen, 32,13 persen, 32,11 persen, 29,90 persen dan 26,27 persen. Hasil simulasi terhadap tingkat penerimaan petani menunjukkan bahwa skenario 8, 7, 6 dan 5 memiliki tingkat penerimaan petani tertinggi untuk petani yang mengikuti program Gernas kakao pada akhir periode analisis yaitu sebesar Rp. 15.013.139,-/ha/tahun. Sedangkan untuk petani yang tidak terlibat dalam program Gernas, penerimaan tertinggi diperoleh dari skenario 8 dan 7 yaitu sebesar Rp. 10.841.889,-/ha/tahun.

Kebijakan Gernas kakao dan penetapan bea ekspor kakao secara simultan mampu meningkatkan kemampuan industri pengolahan dalam menyerap produksi biji kakao domestik, pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan. Namun, kebijakan tersebut hanya mampu mengangkat penerimaan petani yang mengikuti program Gernas kakao, sedangkan petani yang tidak mengikuti program Gernas memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan kondisi aktual. Alternatif kebijakan dengan skenario 8 mampu mendorong perkembangan sistem agroindustri kakao secara keseluruhan lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya. Untuk itu, alternatif kebijakan yang sebaiknya diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pengembangan sistem agroindustri kakao adalah: (i) tetap melaksanakan program Gernas kakao; (ii) peningkatan produktivitas dan mutu kakao perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas kakao; (iii) penghapusan bea ekspor kakao, namun pemerintah tetap memberikan insentif fiskal dan moneter seperti pengurangan pajak dan subsidi suku bunga pinjaman serta perbaikan iklim usaha seperti perbaikan infrastruktur, kemudahan perizinan dan lain-lain sehingga mampu mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao. Untuk penelitian lebih lanjut, disarankan melakukan pengembangan model khususnya untuk submodel industri pengolahan kakao dengan menganalisis secara lebih detil bentuk-bentuk kakao olahan seperti kakao butter, kakao pasta, kakao powder, dan produk makanan dari coklat/kakao. Terkait dengan tidak berkembangnya industri pengolahan kakao, penelitian mengenai tingkat efisiensi industri pengolahan kakao di Indonesia secara lebih komprehensif perlu untuk dilakukan.

Kata kunci: kakao, model, dinamika sistem, kebijakan, agroindustri, penerimaan petani


(10)

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB


(11)

MODEL DINAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

DI INDONESIA

ABDUL MUIS HASIBUAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS


(13)

Judul Tesis : Model Dinamika Sistem Agroindustri Kakao di Indonesia

Nama : Abdul Muis Hasibuan

NIM : H451100231

Disetujui Komisi Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Dr. Ir. Agus Wahyudi, MS

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Agribisnis,

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(14)

rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Model Dinamika Sistem Agroindustri Kakao di Indonesia” dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Master pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr. Ir. Agus Wahyudi, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Dr. ir. Nunung Kusnadi, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Suharno, MAdev selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis.

4. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr. Ir, Suharno, MADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas dorongan semangat, bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan pada Program Studi Agribisnis.

5. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis.

6. Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti tugas belajar pada Program Studi Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

7. Kepala Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar atas dukungan yang diberikan kepada penulis.


(15)

xi

8. Karyawan/Karyawati Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri/Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar atas bantuan dan kerja samanya selama penulis mengikuti pendidikan.

9. Teman-teman seperjuangan Angkatan I pada Program Studi Agribisnis (Cicin Yulianti, Nia Rosiana, Cila Apriande, Hepi Risenasari, Ratna Mega Sari, Maria Montesori, Anisa Dwi Utami, Ratna Sogian Siwang, Fitri, Efri Junaidi, Sari Nalurita, Evita Fathia Luthfina, Muhamad Ridho Syafendi, Husnul Khotimah, Ahsin Aligori, Nur Qomariah Hayati, Asrul Koes, Ika Novita Sari, Jemmy Rinaldi, Rizma Aldillah, Nuni Gusnawaty, Lila Esty Nurani, Puspitasari, Yadi Rusyadi, Ratih Saridewi, Jamaludin Kabalmay, Anna Maria Ngabalin, Tati Atia Ngangun, Putri Indah Nugroho Wanti, Rikmat Sujaeni, Arifayani Rahman, Alfath Desita Juniar) atas diskusi, masukan dan keceriaan selama mengikuti pendidikan.

10. Penghargaan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Kohar Hasibuan dan Saelan Harahap, mertua M. Yahman dan Siti Mujayanah, SPd, Kakak Nur Hasanah Hasibuan, adik Rosmala Dewi Hasibuan, Dodi Afrizal Hasibuan dan Timbul Rasoki Hasibuan serta Mbak Yayuk dan Mas Yanwar Irfani. 11. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada istriku tercinta Apri

Laila Sayekti dan anakku tersayang Abrar Tsaqif Hasibuan yang telah memberikan dukungan penuh dan pengorbanannya selama penulis mengikuti pendidikan.

Bogor, Juli 2012


(16)

tanggal 10 Agustus 1982 dari ayah Kohar Hasibuan dan Ibu Saelan Harahap. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Pendidikan formal penulis diawali di SD negeri 142444 Padang Matinggi, Padangsidimpuan dari tahun 1988 – 1994. Kemudian penulis melanjutkan studi di SLTP Negeri 5 Padangsidimpuan dan lulus tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis lulus dari SMU Negeri 3 YPMHB (Yayasan Pendidikan Marsipature Huta na Be) Sipirok. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Program Studi Manajemen Agribisnis, Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2005. Penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Sains Agribisnis pada tahun 2010 melalui beasiswa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Sejak tahun 2006, penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Sejak tahun 2011 berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar) di bawah Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

Penulis menikah dengan Apri Laila Sayekti pada 11 Desember 2008 dan baru dikarunia satu orang anak Abrar Tsaqif Hasibuan, yang lahir pada tanggal 23 Januari 2011.

Selama mengikuti pendidikan pada Program Studi Magister Sains Agribisnis, penulis telah mempublikasikan sebuah artikel yang berjudul “Analisis Kinerja dan Daya Saing Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di Pasar Internasional”. Artikel tersebut sudah diterbitkan pada Buletin Riset Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Buletin RISTRI) Volume 1 Nomor 1 Tahun 2012 (terakreditasi dengan SK No. 312/Akred-LIPI/P2MB/10/2010, Tanggal 27 Oktober 2010).


(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Kegunaan Penelitian ... 11

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia ... 13

2.2 Kebijakan Pengembangan Agroindustri ... 15

2.3 Dampak Pengembangan Agroindustri terhadap Pendapatan Petani ... 18

2.4 Pendekatan Analisis Kebijakan Pertanian untuk Pengembangan Agroindustri ... 19

2.5 Pendekatan Dinamika Sistem untuk Merumuskan Strategi Pengembangan Komoditas dan Industri ... 20

III KERANGKA PEMIKIRAN ... 23

3.1 Konsep Agroindustri ... 23

3.2 Kebijakan Publik ... 25

3.3 Kebijakan Pertanian ... 27

3.3.1 Definisi dan Instrumen Kebijakan Pertanian ... 27

3.3.2 Kebijakan Bea Ekspor ... 29

3.4 Dinamika Sistem ... 31

3.4.1 Sistem ... 31

3.4.2 Pendekatan Sistem ... 32

3.4.3 Pendekatan Dinamika Sistem ... 34

3.5 Pembangunan Model Dinamika Sistem ... 37


(18)

4.1 Jenis dan Sumber Data ... 39

4.2 Metode Analisis Data ... 39

4.2.1 Analisis Kebutuhan ... 39

4.2.2 Formulasi Masalah ... 39

4.2.3 Identifikasi Sistem ... 40

4.2.4 Pengembangan Model ... 42

4.2.5 Validasi Model ... 55

4.2.6 Simulasi Kebijakan ... 56

V KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO ... 59

5.1 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia... 59

5.2 Perkembangan Industri Kakao Indonesia... 62

5.3 Perkembangan Harga Kakao Indonesia dan Dunia ... 65

5.4 Perkembangan Perdagangan Kakao Indonesia ... 66

5.4.1 Neraca Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan... 69

5.4.2 Posisi Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan... 67

5.5 Perkembangan Produksi Kakao Dunia... 70

5.6 Perkembangan Konsumsi Kakao Indonesia dan Dunia... 72

5.7 Daya Saing Produk Kakao Indonesia... 73

5.7.1 AnalisisRevealed Comparative Advantage(RCA) ... 73

5.7.2 AnalisisExport Product Dynamics(EPD)... 78

5.7.3 Constant Market Share Analysis(CMSA) ... 79

VI MODEL DINAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO ... 83

6.1 Validasi Model ... 83

6.2 Perilaku Model ... 84

6.2.1 Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku... 84

6.2.2 Perilaku Submodel Pengolahan... 87

6.2.3 Perilaku Submodel Konsumsi ... 89

6.2.4 Perilaku Submodel Perdagangan ... 90

6.2.5 Perilaku Model Sistem Agroindustri Kakao ... 93

VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR DAN PENERIMAAN PETANI... 99

7.1 Skenario 1: Pencapaian Target Dampak Kebijakan sebesar 40 Persen... 101


(19)

xv

7.2 Skenario 2: Pencapaian Target Dampak Kebijakan

sebesar 60 Persen ... 105

7.3 Skenario 3: Pencapaian Target Dampak Kebijakan sebesar 80 Persen ... 107

7.4 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario 1, 2 dan 3 109 VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO ... ‘ 113

8.1 Skenario 4: Skenario 2 Plus Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Rakyat Non Gernas sebesar 50 Persen ... 114

8.2 Skenario 5: Skenario 2 Minus Bea Ekspor Kakao ... 117

8.3 Skenario 6: Skenario 5 Plus Peningkatan Kapasitas Industri Sama dengan Dampak Bea Ekspor ... 120

8.4 Skenario 7: Penggabungan Skenario 4, 5 dan 6 ... 123

8.5 Skenario 8: Skenario 7 Plus Peningkatan Kapasitas Industri 10 Persen per Tahun... 125

8.6 Perbandingan Antar Skenario Alternatif ... 128

IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

9.1 Kesimpulan... 133

9.2 Saran... 133

DAFTAR PUSTAKA... 135


(20)

1 Produksi biji kakao, kapasitas dan realisasi industri pengolahan

kakao, Tahun 2005 – 2009 ... 7

2 Pengertiancausal link ... 37

3 Analisis kebutuhan pihak – pihak yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao... 40

4 Formulasi permasalahan pelaku yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao ... 40

5 Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku ... 44

6 Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan kakao ... 48

7 Asumsi yang digunakan pada submodel konsumsi ... 51

8 Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan ... 53

9 Luas areal dan produksi kakao menurut provinsi, Tahun 2010 ... 62

10 Kapasitas terpasang industri pengolahan kakao Indonesia, Tahun 2011 ... 64

11 Negara eksportir biji kakao dan produk olahan kakao di pasar internasional, Tahun 2010... 67

12 Pertumbuhan ekspor dan impor biji dan produk kakao Indonesia, Tahun 2000 - 2010 ... 68

13 Luas areal dan produksi kakao menurut negara, Tahun 2008 - 2010 . 71 14 Nilai RCA negara eksportir utama biji kakao, Tahun 2001 - 2010 ... 74

15 Nilai RCA negara eksportir utama kakao pasta, Tahun 2001 - 2010 ... 75

16 Nilai RCA negara eksportir utama kakao butter, Tahun 2001 - 2010 .. 76

17 Nilai RCA negara eksportir utama kakao bubuk, Tahun 2001 - 2010 . 77 18 CMSA biji dan produk olahan Indonesia di pasar ASEAN, Amerika Serikat dan China ... 80

19 Hasil uji validitas kinerja model sistem agroindustri kakao ... 83

20 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008 - 2025 (dalam Ha) ... 85

21 Produksi biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 (dalam ton) 87 22 Produksi kakao olahan pada kondisi aktual, Tahun 2008 - 2025 (dalam ton) ... 88

23 Konsumsi kakao olahan, konsumsi perkapita dan jumlah penduduk pada kondisi aktual, Tahun2008-2025 ... 90

24 Volume dan nilai ekspor kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008 - 2025 92 25 Daya serap industri, pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan serta penerimaan petani pada kondisi aktual, Tahun 2008 - 2025 ... 93


(21)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahun 1969 - 2009 ... 3

2 Luas areal dan produksi kakao Indonesia, Tahun 1967 – 2010 ... 4

3 Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahun 2009 ... 5

4 Perkembangan produksi dan grinding kakao Indonesia dan Malaysia, Tahun 2006 - 2010 ... 8

5 Menggerakkan agroindustri dalam konseptualisasi Agribisnis ... 24

6 Prosedur analisis kebijakan ... 26

7 Kebijakan bea ekspor kakao ... 29

8 Dampak kebijakan bea ekspor kakao terhadap industri hilir... 30

9 Pengertian sistem ... 32

10 Pola siklussystem life cycle... 34

11 Pola umum perilaku dinamika sistem ... 36

12 Diagram sebab akibat rancangan model dinamika sistem agroindusri kakao ... 41

13 Diagram input - output rancangan model dinamika sistem agroindustri kakao ... 41

14 Keterkaitan antar submodel dalam model sistem agroindustri kakao . 42 15 Diagram alir submodel penyediaan bahan baku ... 43

16 Diagram alir submodel pengolahan kakao ... 47

17 Diagram alir submodel konsumsi ... 50

18 Diagram alir submodel perdagangan ... 52

19 Produksi kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990-2010 ... 59

20 Luas areal kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990 - 2010... 60

21 Produktivitas kakao Indonesia menurut status pengusahaan, Tahun 1990-2010 ... 61

22 Volume grinding kakao dunia ... 63

23 Kapasitas terpasang dan realisasi produksi industri pengolahan kakao Indonesia, Tahun 2005 - 2011 ... 63

24 Perkembangan harga kakao dunia dan domestik, Tahun 2005 - 2011 65 25 Proyeksi harga kakao dunia ... 66

26 Perkembangan indeks spesialisasi perdagangan biji kakao dan produk kakao olahan Indonesia, Tahun 1999 - 2011... 70


(22)

28 Konsumsi kakao perkapita, Tahun 2000 - 2010 ... 72 29 Daya saing produk kakao Indonesia dengan metode EPD,

Periode 2001-2010 ... 79 30 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 85 31 Produksi biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 ... 86 32 Produksi kakao olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025 ... 88 33 Konsumsi kakao olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025 ... 90 34 Volume ekspor biji kakao dan olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025 91 35 Nilai ekspor biji kakao dan olahan kondisi aktual, Tahun 2008-2025 .. 92 36 Daya serap biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 ... 94 37 Pangsa nilai dan volume ekspor kakao olahan terhadap total ekspor

kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 ... 95 38 Penerimaan petani kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 ... 96 39 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 1, Tahun 2008-2025 ... 101 40 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual

dan skenario 1, tahun 2008-2025 ... 102 41 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 1,

Tahun 2008-2025 ... 104 42 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 2, Tahun 2008-2025 ... 105 43 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi

aktual dan skenario 2, Tahun 2008-2025 ... 106 44 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 2,

Tahun 2008-2025 ... 106 45 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 3, Tahun 2008-2025 ... 107 46 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual

dan skenario 3, tahun 2008-2025 ... 108 47 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 3,

Tahun 2008-2025 ... 109 48 Perbandingan daya serap industri pengolahan kakao pada kondisi

aktual, skenario 1, 2, dan 3, Tahun 2008-2025 ... 110 49 Perbandingan pangsa volume ekspor kakao olahan pada kondisi

aktual, skenario 1, 2 dan 3, Tahun 2008-2025 ... 111 50 Perbandingan pangsa nilain ekspor kakao olahan pada kondisi aktual,

skenario 1, 2 dan 3, Tahun 2008-2025 ... 111 51 Perbandingan penerimaan petani pada kondisi aktual ,

skenario 1, 2 dan 3, Tahun 2008-2025 ... 112 52 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual


(23)

xix

dan skenario 4, Tahun 2008-2025 ... 114 53 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual

dan skenario 4, tahun 2008-2025 ... 115 54 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 4,

Tahun 2008-2025 ... 116 55 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 5, Tahun 2008-2025 ... 118 56 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada

kondisi aktual dan skenario 5, Tahun 2008-2025 ... 118 57 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 5,

Tahun 2008-2025 ... 119 58 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 6, Tahun 2008-2025 ... 121 59 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual

dan skenario 6, Tahun 2008-2025 ... 122 60 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 6,

Tahun 2008-2025 ... 122 61 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 7, Tahun 2008-2025 ... 123 62 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual

dan skenario 7, Tahun 2008-2025 ... 124 63 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 7,

Tahun 2008-2025 ... 125 64 Daya serap biji kakao oleh industri pada kondisi aktual

dan skenario 8, Tahun 2008-2025 ... 126 65 Pangsa volume dan nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual

dan skenario 8, Tahun 2008-2025 ... 127 66 Penerimaan petani pada kondisi aktual dan skenario 8,

Tahun 2008-2025 ... 128 67 Perbandingan daya serap industri pengolahan kakao pada kondisi

aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008-2025 ... 129 68 Perbandingan pangsa volume ekspor kakao olahan pada kondisi

aktual, skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008-2025 ... 130 69 Perbandingan pangsa nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual,

skenario 2, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008-2025 ... 131 70 Perbandingan penerimaan petani pada kondisi aktual, skenario


(24)

1 Model dinamika sistem agroindustri kakao ... 144 2 Persamaan matematis model dinamika sistem agroindustri kakao ... 145 3 Model dinamika sistem dampak pencapaian kebijakan Gernas dan

bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir dan penerimaan

petani... 155 4 Persamaan matematis model dinamika sistem dampak pencapaian

kebijakan Gernas dan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir

dan penerimaan petani ... 156 5 Daya serap industri pengolahan pada kondisi aktual, skenario

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 168 6 Pangsa volume ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 169 7 Pangsa nilai ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario

1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 170 8 Penerimaan petani Gernas pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7 dan 8, periode 2008 - 2025 ... 171 9 Penerimaan petani Non- Gernas pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3,

4, 5,6, 7 dan 8, periode 2008 - 2025 ... 172 10 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4,

5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 173 11 Produksi biji kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

dan 8, Tahun 2008 - 2025... 174 12 Produksi kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

dan 8, Tahun 2008 - 2025... 175 13 Konsumsi kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

dan 8, Tahun 2008 - 2025... 176 14 Volume ekspor biji kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6,

7 dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 177 15 Volume ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5,

6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 178 16 Nilai ekspor biji kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7

dan 8, Tahun 2008 - 2025 ... 179 17 Nilai Ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5,


(25)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Industrialisasi komoditas – komoditas pertanian terutama komoditas ekspor seperti hasil perkebunan sudah selayaknya dijadikan sebagai motor untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional serta peningkatan pendapatan petani. Pengembangan agroindustri menjadi sangat penting mengingat Indonesia memiliki potensi dan keunggulan yang sangat besar seperti ketersediaan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi yang melimpah. Selain itu, proses industrialisasi juga dapat mendorong transformasi sektor pertanian ke industri sehingga dapat menggerakkan kegiatan ekonomi suatu komoditas mulai dari hulu sampai hilir melalui peningkatan nilai tambah komoditas menjadi produk.

Saragih (2010) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri secara otomatis akan menarik pertumbuhan pertanian primer sebagai penyedia bahan baku dan pertumbuhan pertanian primer ini akan menarik pertumbuhan industri hulu pertanian. Lebih luas lagi, Sinaga dan Susilowati (2007) menyebutkan bahwa kebijakan industri yang diarahkan kepada agroindustri diyakini akan dapat membangkitkan ekonomi nasional yang pertumbuhannya akan ditransmisikan ke seluruh sektor perekonomian dan menjadi pendorong terbentuknya pertumbuhan ekonomi nasional yang cepat dan merata. Jika dikaitkan dengan proses liberalisasi perdagangan yang terjadi, maka agroindustri merupakan suatu keharusan untuk tetap dapat bersaing di pasar. Produk pertanian primer tidak bisa lagi mengandalkan keunggulan komparatif dari sisi harga, sehingga produk olahan pertanian dalam bentuk barang setengah jadi maupun produk final dapat dijadikan andalan sektor pertanian untuk bersaing sehingga pengembangan agroindustri harus menempati posisi sentral dalam strategi pemerintah (Tambunan, 2010; Wilkinson and Rocha, 2009).

Sinkronisasi antara sektor pertanian dan industri dalam bentuk agroindustri menjadi sangat penting mengingat kedua sektor ini merupakan pilar utama perekonomian Indonesia. Sektor industri merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar bagi perekonomian Indonesia diikuti oleh sektor pertanian. Pada tahun 2010, sektor industri menyumbang PDB sebesar 28,8 persen, sementara sektor pertanian menyumbang sebesar 15,3 persen (BPS, 2011). Sumbangan kedua sektor ini dapat lebih ditingkatkan jika terjadi sinergi


(26)

yang lebih erat dalam bentuk agroindustri sehingga diperoleh nilai tambah dan daya saing yang lebih besar khususnya untuk komoditas – komoditas pertanian karena kedua sektor ini memiliki keterkaitan yang cukup erat. Susilowati, et al.,2007) menyebutkan bahwa sektor industri akan menciptakan permintaan investasi sektor pertanian primer yang merupakan penyedia bahan baku industri. Di sisi lain, Supriyati dan Suryani (2006) menyebutkan bahwa peluang pengembangan agroindustri masih sangat terbuka ditinjau dari sisi ketersediaan bahan baku yang disediakan oleh sektor pertanian dan permintaan produk olahan hasil industri.

Komoditas perkebunan yang menghasilkan komoditas – komoditas ekspor andalan Indonesia seperti kelapa sawit, karet, kakao, kelapa, kopi dan lada sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer. Hal ini menyebabkan harga komoditas perkebunan cenderung fluktuatif dan nilai tukar komoditas menjadi turun (Suprihatini, et al., 2004). Oleh karena itu, pengembangan industri hilir komoditas – komoditas perkebunan akan mengurangi ekspor dalam bentuk primer serta menjaring nilai tambah produk, memperkuat struktur ekspor komoditas, mengurangi risiko fluktuasi harga komoditas primer, mencegah penurunan nilai tukar dan mengantisipasi kejenuhan pasar komoditas primer perkebunan di masa yang akan datang dan pada akhirnya mampu meningkatkan devisa negara (Suprihatini, 2004).

Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor dari subsektor perkebunan yang merupakan komoditas unggulan nasional di mana komoditas ini memberikan sumbangan devisa ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet. Ekspor kakao Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada Tahun 2009, ekspor kakao berjumlah 535.236 ton dengan nilai sebesar US$ 1.413.535,-. Jumlah ini meningkat drastis dalam dua dasawarsa terakhir di mana pada tahun 1990, ekspor Indonesia hanya sebesar 119.725 ton dengan nilai US$ 127.091,- (Gambar 1). Sama halnya dengan komoditas perkebunan lainnya, kakao Indonesia sebagian besar masih diekspor dalam bentuk komoditas primer yaitu biji kakao kering sehingga harganya relatif masih rendah (Pusdatin, 2010). Dari 535.236 ton ekspor kakao Indonesia, sebanyak 439.305 ton atau lebih dari 82 persen diekspor dalam bentuk biji. Selebihnya diekspor dalam bentuk kakao buah, pasta, butter, tepung, dan makanan yang mengandung coklat (Ditjenbun, 2010).


(27)

Gambar 1 Volum

Luas areal per cukup signifikan dala luas areal kakao Indo ton. Jumlah ini menin 749.917 ha dengan p lagi lebih 2 kali lipat m menandakan bahwa Perkembangan usah Indonesia sebagai p Gading, Ghana dan luas areal sebesar 1 2010, posisi Indonesi persen kakao dunia ( terus menerus serta menjadi produsen kak

Perkebunan ka sentra produksi kakao Tengah dan Sulawesi perkebunan rakyat de

ume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tahun 1 (Sumber: Ditjenbun, 2010)

ertanaman dan produksi kakao Indonesia lam beberapa tahun terakhir (Gambar 2). Pa donesia hanya sebesar 357.490 ha dengan p ningkat tajam 10 tahun kemudian dengan lua

produksi 421.142 ton. Kemudian pada tahun t menjadi 1.651.539 ha dengan produksi 844 a usahatani kakao semakin menarik unt sahatani kakao yang cukup signifikan tersebu produsen kakao terbesar keempat di dunia n Nigeria pada tahun 2008, di mana Pantai G r 1,78 juta hektar (Pusdatin, 2010). Sedangk

sia menjadi peringkat ketiga yang memprodu (ICCO, 2011). Dengan perkembangan usaha rta masih besarnya potensi yang dimiliki, I akao terbesar dunia pada masa yang akan da kakao tersebar di seluruh provinsi di Indon

ao berada di Sulawesi Selatan, Sulawesi Ten esi Barat. Sebagian besar perkebunan kakao d dengan proporsi hampir mencapai 95 persen

3

n 1969 - 2009.

juga meningkat Pada tahun 1990, produksi 142.347 uas areal menjadi n 2010 meningkat 4.626 ton. Hal ini ntuk diusahakan. but menempatkan ia setelah Pantai i Gading memiliki gkan pada tahun duksi lebih dari 15 hatani kakao yang Indonesia dapat datang.

onesia. Sentra – enggara, Sulawesi o diusahakan oleh n dan melibatkan


(28)

1.567.273 kepala keluarga terlibat membuat penguasa yaitu hanya 1 ha/kepala ke produktivitas tanaman kak pada perkebunan rakyat perkebunan besar nasiona lebih baik dengan produkt (Ditjenbun, 2010). Tingkat klon unggul kakao yang produktivitas kakao di Gua yang merupakan negara de

Gambar 2 Luas areal d

Rendahnya produkt diterapkannya teknologi b serta belum digunakanny banyak terserang hama da Masalah pada subsistem permasalahan yang terjadi dan sarana produksi. Data tanaman kakao yang ru

rga petani pada tahun 2010. Banyaknya pe saan lahan rata – rata untuk setiap petani cu keluarga. Hal tersebut juga berdampak pada r kakao Indonesia. Pada tahun 2009, produktivi t (PR) hanya sebesar 811 kg/ha/tahun, se nal (PBN) dan perkebunan besar swasta (PB uktivitas masing – masing 941 dan 979 kg t produktivitas tersebut jauh di bawah potensi g mencapai 2 ton/ha/tahun. Sebagai perb uatemala pada tahun 2008 mencapai 1,71 ton

dengan produktivitas kakao tertinggi di dunia.

l dan produksi kakao Indonesia, Tahun 1967 – (Sumber: Ditjenbun, 2010)

ktivitas kakao nasional tidak terlepas da budidaya anjuran, terutama oleh perkebun nya klon unggul. Di samping itu, perkebun dan penyakit khususnya hama penggerek bu m usahatani (on farm) tersebut tidak terl di pada subsistem hulu seperti penyediaan be ta statistik menunjukkan bahwa pada tahun 20 rusak dan tua sehingga tidak dapat men

petani yang cukup kecil, a rendahnya ktivitas kakao sedangkan PBS) sedikit kg/ha/tahun nsi produksi rbandingan, ton/ha/tahun

.

– 2010.

dari belum unan rakyat unan kakao buah kakao. erlepas dari enih unggul 009, jumlah enghasilkan


(29)

mencapai 220.040 h nasional.

Pada subsistem dihasilkan dari perke rakyat umumnya tid jamur. Selain itu, pe berkembang. Kondisi kakao olahan sepert yang mengandung co sangat sedikit. Hal in dimana pangsa eksp persen dari total nilai

Gambar 3 Vo

Minimnya peng yang terjadi dalam si agroindustri kakao be Wahyudi, 2008). Pa hanya bisa di jual k (Manggabarani, 2010 masih sangat besar ji peluang untuk mem sangat besar sehingg (Wahyudi dan Rahard

Besarnya poten faktor yang mengh

(a) Vo

ha, atau hampir 15 persen dari total per

stem hilir, mutu produk kakao Indonesia, k kebunan rakyat sangat rendah. Biji kakao ha tidak difermentasi serta banyak mengandun

engolahan kakao seperti dalam bentuk bubu disi ini menyebabkan produksi dan ekspor

rti kakao butter, tepung kakao, kakao paste coklat masih sangat rendah dan nilai tambah ini dapat dilihat dari komposisi ekspor dan nil spor biji kakao mencapai 82 persen hanya m ai ekspornya (Gambar 3).

Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia, Tah (Sumber: Ditjenbun, 2010)

ngolahan kakao tidak terlepas dari berbaga sistem agribisnis kakao mulai dari hulu samp belum berkembang dan beroperasi secara opt Padahal, kakao merupakan komoditas agro ke konsumen (industri) setelah melalui prose

10). Di sisi lain, potensi pengembangan ind r jika dilihat dari berlimpahnya bahan baku yan

mperoleh nilai tambah dan penyerapan ten gga harus dimanfaatkan oleh pelaku bisnis kak ardjo, 2008).

ensi pengembangan industri hilir kakao serta a ghambat mendorong pemerintah menera

olume ekspor (b) Nila

5

erkebunan kakao

khususnya yang hasil perkebunan ung kotoran dan buk coklat belum or produk-produk ste serta makanan h yang diperoleh nilai ekspor kakao menghasilkan 77

hun 2009.

gai permasalahan pai hilir sehingga ptimal (Drajat dan roindustri karena roses pengolahan ndustri hilir kakao ang tersedia serta enaga kerja yang akao di Indonesia

adanya berbagai rapkan berbagai


(30)

kebijakan yang terkait dengan agribisnis kakao sehingga diharapkan agroindustri kakao nasional dapat berkembang. Kebijakan yang telah dilaksanakan antara lain: (i) kebijakan industri nasional yang menempatkan industri pengolahan kakao sebagai industri prioritas; (ii) gerakan nasional peningkatan produktivitas dan mutu kakao (Gernas kakao); (iii) penerapan bea ekspor kakao untuk menjamin kebutuhan industri dalam negeri. Penerapan kebijakan tersebut diharapkan mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao dalam negeri serta memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan petani yang merupakan salah satu komponen penting dalam sistem agribisnis kakao, sehingga perlu dikaji dinamika dampaknya pada masa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagai salah satu produsen kakao terbesar di dunia, pengembangan industri hilir diharapkan dapat menjadi motor penggerak sistem agribisnis kakao yang lebih berdaya saing. Namun hal tersebut tidak sejalan dengan perkembangan industri hilir kakao. Pada periode 2005 – 2009, ketika produksi kakao menunjukkan tren peningkatan sebesar 3,94 persen per tahun, kapasitas dan realisasi produksi industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan (Tabel 1). Pada Tahun 2005, kapasitas yang dimiliki industri pengolahan kakao mampu mengolah produksi kakao nasional sebesar 41,85 persen, namun yang terealisasi hanya 23,02 persen karena tingkat utilisasi kapasitas industri hanya sebesar 55 persen. Sedangkan kapasitas industri pada tahun 2009 justru mengalami penurunan menjadi 297.000 ton walaupun sempat mencapai 353.900 ton pada periode 2006 – 2007. Penurunan kapasitas industri tersebut menyebabkan kemampuan industri pengolahan kakao dalam menyerap produksi biji kakao domestik turun dari 41,85 persen pada tahun 2005 menjadi 36.69 persen pada tahun 2009.

Pengolahan kakao nasional yang belum berkembang menyebabkan nilai tambah kakao diperoleh negara-negara yang menjadi tujuan ekspor biji kakao, seperti Malaysia yang merupakan negara tujuan utama ekspor biji kakao Indonesia (42 persen dari total ekspor biji kakao). Pada Tahun 2010, volume grinding kakao Malaysia mencapai 302 ribu ton, jauh di atas volume grinding Indonesia yang hanya sebesar 130 ribu ton (Gambar 4). Padahal pada tahun yang sama, produksi biji kakao Malaysia hanya sebesar 15 ribu ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negerinya, Malaysia mengimpor biji


(31)

7

kakao dalam jumlah yang cukup besar, salah satunya dari Indonesia. Pada tahun 2010, Malaysia mengimpor biji kakao dari Indonesia sebesar 202 ribu ton (Kemendag, 2011). Berkembangnya industri hilir kakao Malaysia menyebabkan negara tersebut memperoleh nilai tambah dan daya saing yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari nilai ekspor kakao Malaysia yang mencapai 71 persen nilai ekspor kakao Indonesia, padahal produksi kakao Malaysia hanya 1,8 persen dari produksi kakao Indonesia. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pengembangan industri hilir kakao dalam negeri menjadi sangat penting untuk peningkatan nilai tambah dan daya saing ekspor kakao Indonesia.

Tabel 1 Produksi biji kakao, kapasitas dan realisasi industri pengolahan kakao,Tahun 2005 – 2009

Tahun

Produksi Biji Kakao

(ton)

Kapasitas Produksi

Industri (ton)

Realisasi Produksi Industri

(ton)

Utilisasi Kapasitas

Industri (%)

Rasio Kapasitas

Industri – Produksi Kakao (%)

Rasio Realisasi Industri – Produksi Kakao (%)

2005 748.828 313.400 172.370 55,00 41,85 23,02

2006 769.386 353.900 198.200 56,00 46,00 25,76

2007 740.006 353.900 198.200 56,00 47,82 26,78

2008 803.594 297.000 178.000 59,93 36,96 22,15

2009 809.583 297.000 178.500 60,10 36,69 22,05

Sumber: Ditjenbun (2010); Ditjen Agrokim (2009), diolah

Salah satu permasalahan yang menyebabkan tidak berkembangnya industri pengolahan kakao adalah adanya upaya negara – negara tujuan ekspor kakao olahan Indonesia dalam melindungi industri kakao dalam negerinya menjadi penghambat perkembangan industri pengolahan kakao dalam negeri. Muttaqin (2011a) menyebutkan bahwa ekspor produk kakao olahan Indonesia sulit bersaing di Eropa dan Amerika Serikat karena mendapat hambatan berupa pengenaan bea masuk hingga 7 – 9 persen yang membuat industri pengolahan kakao sulit berkembang. Masalah lain yang dihadapi industri pengolahan kakao domestik adalah pasokan bahan baku yang belum memenuhi standar, sehingga sebagian besar bahan baku harus dipenuhi melalui impor. Muttaqin (2011b) mencatat bahwa produksi kakao fermentasi nasional hanya 15 persen dari produksi sehingga hanya memenuhi sekitar 60 persen dari kebutuhan industri pengolahan. Penerapan perdagangan bebas sesuai dengan Komitmen ASEAN –


(32)

CEPT dimana mulai 1 Ja negara ASEAN menjadi 0 p olahan dari negara ASEAN industri pengolahan kakao

Gambar 4 Perkembangan (Sumber: Ditjen

M

Upaya pemerintah un banyak dan melibatkan ber dituangkan dalam Peratura industri pengolahan kakao nasional yang akan diperku kelas dunia dan industri tersebut, dilakukan beber kakao dalam negeri diman persen dari kapasitas terp bahan baku industri yang b peningkatan produksi dan merupakan salah satu ben peningkatan mutu hasil k industri pengolahan kakao Keuangan No. 67/PMK.01

Januari 2010, bea masuk produk olahan ka persen membuka peluang membanjirnya pro N terutama Malaysia juga dapat menjadi anca o nasional (Manggabarani, 2010).

an produksi dan grinding kakao Indonesia dan Tahun 2006 - 2010.

enbun, 2010; Kemendag, 2011; ICCO, 2011; Malaysian Cocoa Board, 2011)

untuk mengembangkan industri hilir kakao su erbagai instansi. Dalam kebijakan industri nasi uran Presiden Republik Indonesia No. 28 Ta ao dan coklat termasuk dalam klaster indust rkuat dan direstrukturisasi agar mampu menja stri andalan masa depan. Untuk menindak

erapa strategi seperti optimalisasi kapasita ana pada tahun 2014 diharapkan dapat me rpasang (Depperin, 2008). Untuk memenuhi k

berkualitas, Departemen Pertanian melakuka n mutu kakao nasional (Gernas Kakao). G entuk kebijakan pemerintah dalam upaya mem

kakao nasional. Sementara itu, untuk menu kao, Kementerian Keuangan melalui Peratura

011/2010 menetapkan bea keluar atas bara

kakao antar roduk kakao caman bagi

n Malaysia, ;

sudah cukup asional yang ahun 2008, stri prioritas njadi industri klanjuti hal sitas industri encapai 80 i kebutuhan kan gerakan Gerakan ini empercepat numbuhkan ran Menteri rang ekspor


(33)

9

berupa biji kakao yang besarannya antara 0 sampai 15 persen, tergantung harga komoditas di pasar internasional (Kemenkeu, 2010). Upaya untuk memperlancar pasokan biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri dilakukan dengan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen untuk perdagangan biji kakao dalam negeri sejak tahun 2007 (Media Industri, 2010).

Berbagai kebijakan tersebut diklaim berdampak positif terhadap industri kakao dalam negeri. Ditjenbun (2011) menyebutkan bahwa sebelum diterapkannya bea keluar kakao, dari 16 unit industri kakao dalam negeri, yang beroperasi hanya 5 unit. Namun, setelah peraturan bea keluar diterapkan, jumlah industri yang beroperasi bertambah 6 unit dan 3 unit yang ada meningkatkan kapasitas terpasang. Berbagai kebijakan tersebut juga diklaim meningkatkan nilai tambah kakao dalam negeri sebesar 26 persen dan menurunkan volume ekspor biji kakao sekitar 20 persen (Ditjenbun, 2011). Keberhasilan tersebut diharapkan sejalan dengan upaya peningkatan ekspor kakao olahan yang ditargetkan sebesar 8 persen per tahun (Ditjen Agrokim, 2009).

Keberhasilan penerapan kebijakan bea keluar dalam merangsang industri hilir kakao dikhawatirkan tidak sejalan dengan upaya meningkatkan taraf hidup petani. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa kakao yang dihasilkan petani sebagian besar tidak sesuai dengan kebutuhan industri sehingga bahan baku industri dipenuhi dari impor menjadi kontraproduktif. KPPU (2009) menyebutkan bahwa industri pengolahan kakao dan petani belum terintegrasi dan terdistorsi oleh sistem perdagangan yang berujung pada inefisiensi. Ketika industri pengolahan dan kegiatan usahatani tidak terintegrasi dengan baik, maka penerapan bea keluar ekspor biji kakao hanya akan menyebabkan turunnya harga di tingkat petani, sehingga bea keluar tersebut menjadi tanggungan petani kakao. Arsyad (2007) menyebutkan bahwa kebijakan bea ekspor akan menekan harga domestik sehingga menurunkan pendapatan petani. Selain itu, penetapan bea ekspor juga menyebabkan dampak negatif terhadap volume ekspor dan produksi. Skenario larangan ekspor gelondong jambu mete yang diteliti oleh Indrawanto (2008) menunjukkan bahwa kebijakan larangan ekspor mampu menjamin pasokan bahan baku untuk agroindustri, namun di sisi lain biaya keterjaminan pasokan tersebut akan ditanggung oleh petani berupa penurunan harga akibat semakin sempitnya alternatif pasar. Penerapan bea ekspor juga tetap memunculkan peluang terjadinyapolicy resistanceseperti yang terjadi pada


(34)

penerapan kebijakan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao. Sejak penerapan penghapusan pajak pertambahan nilai perdagangan kakao domestik pada tahun 2007, industri pengolahan kakao justru mengalami penurunan kapasitas dan realisasi produksi (Tabel 1). Opini tersebut didukung oleh hasil penelitian Permani,et al., (2011) yang menyebutkan bahwa penerapan pajak ekspor kakao berpengaruh menyebabkan kerugian yang sangat signifikan kepada petani, dan hanya sedikit mampu mendorong perkembangan industri pengolahan. Hal ini menunjukkan bahwa selain menyebabkan penurunan pendapatan petani secara langsung, kebijakan penerapan bea ekspor kakao juga berpeluang tidak mampu mendorong perkembangan industri hilir kakao.

Pengembangan agroindustri juga dapat berdampak negatif kepada petani secara langsung. Hanson and Cranfield (2009) mengingatkan bahwa jika proses agroindustrialisasi tidak diikuti dengan kebijakan yang tepat dapat memberikan efek negatif dalam jangka pendek melalui tersingkirnya petani kecil dan usaha informal. Sedangkan dalam jangka panjang dapat memunculkan konsentrasi vertikal dan horizontal dari rantai pasok produk agroindustri serta terjadinya eksternalitas lingkungan. Pengembangan agroindustri kakao selayaknya dapat berkontribusi positif kepada seluruh komponen yang terkait terutama petani kecil, walaupun setiap komponen/stakeholders yang terlibat memiliki kepentingan dan kebutuhan yang berbeda - beda sesuai dengan pendapat Sa’id (2010). UNEP (2009) menyebutkan bahwa salah satu tahap penting dalam integrasi kebijakan adalah harmonisasi kebijakan untuk kepentingan yang berbeda dari setiap stakeholdersyang terkait.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pengembangan industri hilir kakao melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan dan permasalahan yang berbeda – beda sehingga menimbulkan interaksi yang rumit. Pertumbuhan produksi biji kakao yang sangat cepat tidak mampu diimbangi oleh pertumbuhan industri pengolahan. Kebijakan yang diterapkan pemerintah seperti bea ekspor juga diduga tidak mampu memberikan dampak positif terhadap seluruh pihak yang terlibat akibat adanya dampak negatif yang ditimbulkan berupa penurunan pendapatan petani. Untuk itu, sesuai dengan pendapat Syam, et al.,(2006), strategi pengembangan agroindustri berbasis kakao di Indonesia seharusnya dilakukan melalui pendekatan sistem sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar komponen yang terkait. Adanya dinamika yang terjadi pada setiap komponen yang terkait dengan industri hilir kakao


(35)

11

menyebabkan perubahan perilaku dari waktu ke waktu. Untuk itu, perlu dibangun model agroindustri kakao yang mencakup seluruh komponen yang terlibat sebagai sistem serta dinamika perubahan perilakunya. Selain itu, perlu dianalisis bagaimana dampak kebijakan pengembangan agroindustri kakao yang diterapkan pemerintah (Gernas dan bea ekspor kakao) terhadap dinamika industri hilir kakao nasional dan penerimaan petani, serta alternatif kebijakan yang dapat diterapkan pemerintah yang mampu mengakomodasi kepentingan dari elemen-elemen yang terkait dalam sistem agroindustri kakao.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Membangun model dinamika sistem agroindustri kakao

2. Menganalisis dampak pencapaian kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri hilir kakao dan penerimaan petani.

3. Menyusun alternatif kebijakan untuk pengembangan industri hilir kakao dan upaya peningkatan penerimaan petani.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan mengevaluasi kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor kakao yang telah diterapkan pemerintah dalam upaya pengembangan industri hilir kakao dan peningkatan penerimaan petani. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif kebijakan bagi pengambil kebijakan dalam upaya pengembangan industri hilir kakao sekaligus mampu meningkatkan penerimaan petani. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas kakao dan penggunaan pendekatan dinamika sistem dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1. Sistem agroindustri kakao dalam penelitian ini melingkupi subsistem penyediaan bahan baku (usahatani kakao), subsistem pengolahan kakao, subsistem perdagangan kakao dan subsistem konsumsi produk kakao olahan.


(36)

2. Kebijakan pemerintah dalam pengembangan agroindustri kakao yang dianalisis adalah kebijakan gerakan peningkatan produktivitas dan mutu kakao (Gernas kakao) dan penerapan bea ekspor kakao. Kebijakan Gernas kakao juga tidak dirinci menjadi instrumen-instrumen yang lebih detil seperti subsidi input (pupuk dan benih), pembinaan kelembagaan dan lain-lain. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan sistem agribisnis kakao baik langsung maupun tidak langsung tidak dilibatkan dalam model.

3. Dalam submodel pengolahan kakao, bahan baku yang dilibatkan dalam memproduksi kakao olahan hanya biji kakao, baik fermentasi dan non fermentasi, sehingga bahan baku lain yang digunakan tidak dianalisis. 4. Produk industri hilir yang digunakan dalam model dinamika sistem adalah

produk kakao olahan secara keseluruhan dan tidak menganalisis secara detil bentuk-bentuk kakao olahan seperti kakao butter, kakao pasta, kakao powder, dan produk makanan dari coklat/kakao. Dengan demikian, data yang digunakan juga merupakan data agregat produk kakao olahan secara nasional.


(37)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia

Kebijakan agribisnis kakao yang diterapkan oleh pemerintah tidak bisa dilepaskan dari kebijakan perkebunan seperti yang tertuang dalam Undang – Undang No. 18 tahun 2004. Dengan demikian, tujuan pengembangan agribisnis kakao tidak bisa dilepaskan dari tujuan penyelenggaraan perkebunan seperti yang tertuang dalam undang – undang tersebut, yaitu: (i) meningkatkan pendapatan masyarakat; (ii) meningkatkan penerimaan negara; (iii) meningkatkan penerimaan devisa negara; (iv) menyediakan lapangan kerja; (v) meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing; (vi) memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan (vi) mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut yang terkait dengan agribisnis kakao, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun 2009 melaksanakan program “Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Nasional” (Gernas kakao) yang merupakan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan sumberdaya yang ada secara optimal. Gernas kakao tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 – 2011 di 9 provinsi dan 40 kabupaten dengan sasaran sebagai berikut: (i) perbaikan tanaman kakao rakyat seluas 450.000 ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70.000 ha, rehabilitasi 235.000 ha dan intensifikasi seluas 145.000 ha; (ii) pemberdayaan petani melalui pelatihan dan pendampingan kepada 450.000 petani; (iii) pengendalian hama dan penyakit tanaman seluas 450.000 ha; dan (iv) perbaikan mutu kakao sesuai dengan standar nasional Indonesia (SNI). Beberapa target yang ingin dicapai melalui pelaksanaan kebijakan ini adalah: (i) peningkatan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660 kg/ha/tahun menjadi 1.500 kg/ha/tahun pada tahun 2013; (ii) peningkatan produksi kakao di lokasi gerakan dari 297.000 ton/tahun menjadi 675.000 ton/tahun; (iii) meningkatnya pendapatan petani dari Rp. 13.200.000/ha/tahun (2009) menjadi Rp. 30.000.000/ha/tahun (2013); (iv) meningkatnya devisa negara dari US$ 494 juta (2009) menjadi US$ 1.485 juta (2013); dan (v) meningkatnya mutu kakao sesuai SNI sebanyak 675.000 ton/tahun (2013).


(38)

Kebijakan di sektor industri hilir kakao juga sudah mulai menjadi perhatian pemerintah. Melalui Peraturan Presiden No. 28 tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional, industri kakao ditempatkan sebagai salah satu industri prioritas tinggi karena dianggap memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan berdasarkan kemampuannya bersaing di pasar internasional dan faktor – faktor produksinya tersedia di Indonesia. Konsekuensinya adalah industri kakao dapat memperoleh fasilitas berupa insentif fiskal, insentif non fiskal dan kemudahan lainnya dari pemerintah. Dalam road map yang disusun oleh Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Kementerian Perindustrian, sasaran pengembangan industri kakao dalam kurun waktu (2010 – 2014) adalah sebagai berikut: (i) optimalisasi kapasitas terpasang industri kakao olahan dalam negeri dari 40 persen menjadi 80 persen; (ii) peningkatan biji kakao fermentasi dari 20 persen menjadi 80 persen; (iii) peningkatan pasokan bahan baku biji kakao fermentasi untuk industri dalam negeri; (iv) meningkatnya investasi di bidang industri kakao; (v) pengendalian ekspor biji kakao kering sebagai bahan baku industri kakao dalam negeri; dan (vi) peningkatan ekspor produk kakao olahan rata – rata 16 persen per tahun.

Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari target kebijakan pemerintah. Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi industri dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk ekspor biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea keluar ekspor biji kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga rata – rata internasional yang berpedoman pada harga rata – rataCIF New York Board of Trade (NYBOT). Tarif bea keluar biji kakao adalah sebagai berikut: (i) untuk harga referensi sampai dengan USD 2.000, tarif sebesar nol persen; (ii) harga referensi USD 2.000 – 2.750, tarif sebesar 5 persen; (iii) harga referensi USD 2.750 – 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan (iv) harga referensi lebih dari USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah juga menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk olahan kakao dikenakan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan untuk negara – negara yang termasuk dalam perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEAN-CHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya sudah dihapuskan.

Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah berupa insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao


(39)

15

kering baik yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang hasil pertanian yang bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Selain kebijakan yang langsung terkait dengan komoditas kakao, berbagai kebijakan pemerintah, baik fiskal maupun moneter, seperti subsidi pertanian secara umum, pembangunan infrastruktur, kebijakan nilai tukar, inflasi, dan lain – lain, berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perkembangan agribisnis kakao. Setiap jenis kebijakan juga akan memberikan dampak yang berbeda – beda bagi setiap pihak yang terkait.

2.2 Kebijakan Pengembangan Agroindustri

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai produsen komoditas pertanian, terutama dari subsektor perkebunan yang selama ini dijadikan sebagai komoditas andalan ekspor dalam perdagangan internasional. Dalam upaya peningkatan nilai tambah dan daya saing di pasar internasional, kegiatan agroindustri memegang peranan yang sangat penting, termasuk dalam upaya pengembangan sektor agribisnis secara keseluruhan dan peningkatan pendapatan petani. Peran agroindustri memiliki nilai yang sangat strategis dalam menjembatani antar sektor pertanian mulai dari hulu hingga ke hilir, sehingga pengembangan agroindustri yang tepat diharapkan mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja, pendapatan petani, volume ekspor dan devisa, daya saing, nilai tukar produk hasil pertanian serta penyediaan bahan baku industri. Secara makro, Susilowati (2007) menyebutkan bahwa agroindustri mempunyai peran lebih besar terhadap peningkatan output, PDB dan penyerapan tenaga kerja. Untuk itu, kebijakan mengenai pengembangan agroindustri menjadi sangat penting.

Permasalahan umum yang dihadapi dalam upaya pengembangan agroindustri di Indonesia adalah (i) masih rendahnya produktivitas dan daya saing; (ii) keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya; (iii) lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan sektor lain; (iv) kebijakan makro dan mikro ekonomi yang kurang berpihak kepada agroindustri (Djamhari, 2004). Lebih lanjut, Supriyati dan Suryani (2006) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri mengalami berbagai kendala seperti (i) tidak terjaminnya kontinuitas dan kualitas pasokan produk pertanian sebagai sumber bahan baku industri, (ii) keterbatasan


(40)

kemampuan sumberdaya manusia; (iii) teknologi yang digunakan sebagian besar masih sederhana sehingga kualitas produk yang dihasilkan rendah; dan (iv) kemitraan antara agroindustri skala kecil dengan skala besar/sedang belum berkembang. Implikasi dari berbagai permasalahan tersebut adalah perlunya kebijakan dari pemerintah yang mampu menjembatani permasalahan tersebut menjadi potensi dan peluang untuk pengembangan agroindustri.

Dalam upaya pengembangan agroindustri suatu komoditas, Hanson and Cranfield (2009) menyebutkan ada beberapa langkah strategis yang harus ditempuh oleh pemerintah. Langkah tersebut adalah: (i) kerja sama agroindustri pada setiap tingkatan sektor/subsektor dalam menyusun kegiatannya untuk meningkatkan daya saing di pasar domestik dan internasional; (ii) agroindustri berskala besar harus membantu usaha kecil dan produsen; (iii) menghilangkan hambatan kelembagaan; (iv) memastikan persaingan yang efektif antar pelaku agroindustri untuk memberikan pilihan bagi produsen bahan baku (petani) dan konsumen serta harga yang adil; (v) meningkatkan infrastruktur; (vi) menetapkan kerangka regulasi yang memfasilitasi investasi dan mendorong persaingan antar perusahaan agroindustri serta melindungi petani dan konsumen; (vii) melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan; dan (viii) bernegosiasi dengan mitra dagang internasional untuk akses pasar dan bantuan teknis.

Untuk mendorong daya saing agroindustri, kebijakan pemerintah memegang peranan kunci. Christy, et al., (2009) membagi 3 jenis kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing agroindustri di negara berkembang. Pertama, Essential Enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan perdagangan, infrastruktur serta kepemilikan lahan dan property rights. Kedua, Important enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan finansial, penelitian dan pengembangan, standar dan regulasi. Ketiga, Useful enablers, yaitu kebijakan yang terkait dengan layanan dan kemudahan dalam melakukan bisnis. Banyaknya peranan pemerintah dalam menciptakan lingkungan bisnis agroindustri yang berdaya saing menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah menjadi faktor kunci pengembangan agroindustri nasional.

Pentingnya kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangan agroindustri spesifik komoditas juga banyak ditunjukkan melalui berbagai hasil penelitian. Suprihatini, et al., (2004) menyebutkan bahwa upaya percepatan pengembangan agroindustri komoditas perkebunan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu (i) penerapan kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN); (ii) insentif


(41)

17

investasi; (iii) penerapan kebijakan harmonisasi tarif bagi produk hilir dan bahan bakunya; (iv) konsistensi dukungan pemerintah; (v) efisiensi biaya produksi; (vi) jaminan keamanan investasi; (vii) penelitian dasar; (viii) kualitas bahan baku dan bahan penolong; (ix) respon sosial; dan (x) supply chain management dan infrastruktur. Namun, dari 10 faktor tersebut hanya terdapat 4 faktor kunci yaitu PPN, insentif investasi, konsistensi dukungan pemerintah dan harmonisasi tarif. Empat faktor kunci yang diidentifikasi peneliti tersebut dapat dilihat bahwa semuanya terkait langsung dengan kebijakan fiskal yang dapat dilakukan oleh pemerintah. Pendapat ini konsisten dengan hasil penelitian Sinaga dan Susilowati (2007) dan Suprihatni (2004) yang menyebutkan bahwa kebijakan ekspor, investasi/permodalan dan insentif pajak perlu difokuskan kepada sektor agroindustri. Sementara itu, Susila (2005) menyebutkan bahwa kebijakan yang terkait dengan harga output lebih efektif dalam pengembangan industri gula.

Indrawanto (2008) menyebutkan bahwa kebijakan larangan ekspor gelondong jambu mete akan menjamin supply bahan baku untuk agroindustri jambu mete dalam negeri. Namun, jaminan bahan baku dan tingkat keuntungan yang tinggi hanya diperoleh industri besar. Di sisi lain, biaya keterjaminan pasokan bahan baku tersebut akan ditanggung oleh petani sebagai akibat semakin sempitnya pasar gelondong yang menyebabkan harga gelondong menjadi rendah. Penghapusan larangan ekspor dan insentif moneter seperti penurunan suku bunga bank juga menjadi instrumen penting yang dijadikan oleh Sukmananto (2007) untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan kayu. Sementara itu, Munandar, et al., (2008) mengarahkan kebijakan difokuskan kepada penetapan standar mutu, pengendalian nilai tukar, penetapan tingkat suku bunga, liberalisasi perdagangan dan pengembangan teknologi.

Sementara itu, terkait dengan agribisnis kakao, kebijakan subsidi pupuk memberikan dampak positif terhadap produksi dan ekspor kakao. Sedangkan kebijakan bea ekspor akan menurunkan harga ekspor buat eksportir sehingga menekan harga kakao dalam negeri. Kondisi ini menyebabkan harga yang terbentuk tidak menarik bagi petani sehingga produksi dan ekspor kakao menjadi turun (Arsyad, 2007). Hasil penelitian Arsyad and Yusuf (2008) juga menunjukkan bahwa kebijakan penurunan tingkat suku bunga mampu mendorong ekspor dan produksi kakao Indonesia.

Secara umum, Rossi (2004) menyebutkan bahwa langkah penting yang harus dilakukan pemerintah dalam upaya pengembangan sistem agroindustri


(42)

adalah mengintegrasikan berbagai sektor dan pelaku yang terlibat dalam sistem agroindustri sehingga dapat dihadirkan koordinasi dan tindakan kolektif untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dalam sistem agroindustri tersebut. Hal senada juga disampaikan oleh Sa’id (2010) yang menyebutkan bahwa dalam penyusunan kebijakan pengembangan sistem agroindustri kakao, pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak yang terlibat terutama masyarakat petani kecil.

2.3 Dampak Pengembangan Agroindustri terhadap Pendapatan Petani Pengembangan agroindustri dilakukan dalam rangka peningkatan nilai tambah suatu komoditas sehingga mampu mendorong peningkatan output, PDB, kesempatan kerja dan lain – lain serta memberikan multiplier effect dalam kaitannya dengan sektor lainnya mulai dari hulu hingga ke hilir. Pengembangan agroindustri secara langsung berdampak pada kegiatan pertanian primer mengingat subsistem usahatani merupakan pemasok bahan baku utama bagi sektor agroindustri. Peningkatan nilai tambah yang terjadi akibat adanya kegiatan agroindustri seharusnya juga terdistribusi kepada subsistem usahatani sehingga petani juga dapat menikmati peningkatan nilai tambah yang terjadi melalui peningkatan harga komoditas yang berujung pada peningkatan pendapatan petani.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan agroindustri mampu meningkatkan pendapatan petani. Namun, ada beberapa penelitian yang menunjukkan hal sebaliknya. Oladipo (2008) menyebutkan bahwa pengembangan agroindustri kelapa sawit berdampak positif terhadap kesejahteraan petani secara langsung maupun tidak langsung melalui perbaikan infrastruktur. Selanjutnya penelitian Gandhi, et al., (2001) menunjukkan bahwa keberadaan sektor agroindustri berkontribusi sangat signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani kecil dan tenaga kerja pedesaan sehingga sangat berperan dalam mengentaskan kemiskinan. Sementara itu, Fatah (2007) menyebutkan bahwa kegiatan agroindustri dapat membantu petani kecil untuk tetap survive dan meningkatkan kesejahteraannya. Dampak positif pengembangan agroindustri terhadap pendapatan petani juga ditunjukkan melalui penelitian yang dilakukan Susilowati, et al., (2007); Sundari (2000); Winarti,et al., (2005).


(1)

1

7

5

Lampiran 12 Produksi kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun

Aktual

Skenario 1

Skenario 2

Skenario 3

Skenario 4

Skenario 5

Skenario 6

Skenario 7

Skenario 8

1/1/2008

178.000

177.903

177.903

177.903

177.903

177.903

213.543

237.303

237.303

1/1/2009

178.854

180.160

180.160

180.160

180.160

180.160

229.065

240.313

264.044

1/1/2010

179.729

182.445

182.445

182.445

182.445

182.445

245.552

243.362

293.497

1/1/2011

180.627

184.760

184.760

184.760

184.760

184.760

263.063

246.449

325.934

1/1/2012

181.547

195.170

199.916

205.138

199.916

187.104

281.660

263.814

361.654

1/1/2013

182.490

206.035

216.034

227.217

216.034

189.477

301.409

282.253

400.985

1/1/2014

183.455

217.374

233.171

251.134

233.171

191.881

322.379

301.832

444.290

1/1/2015

184.443

229.205

251.389

277.037

251.389

194.315

344.643

322.619

491.966

1/1/2016

185.454

241.550

270.753

305.086

270.753

196.780

368.281

344.687

544.450

1/1/2017

186.489

254.428

291.334

335.454

291.334

199.277

393.374

368.114

602.225

1/1/2018

187.547

267.862

313.205

368.327

313.205

201.805

420.011

392.981

665.820

1/1/2019

188.628

281.876

336.444

403.907

336.444

204.365

448.285

419.375

735.817

1/1/2020

189.734

296.491

361.133

442.410

361.133

206.957

478.294

447.389

812.857

1/1/2021

190.864

311.733

387.361

484.072

387.361

209.583

510.143

477.119

897.644

1/1/2022

192.018

327.629

415.220

529.147

415.220

212.242

543.943

508.670

990.955

1/1/2023

193.197

344.203

444.810

577.908

444.810

214.934

579.811

542.152

1.093.642

1/1/2024

194.401

361.484

476.234

630.652

476.234

217.661

617.873

577.679

1.206.644

1/1/2025

195.630

379.501

509.604

687.697

509.604

220.422

658.260

615.377

1.330.991


(2)

1

7

6

Lampiran 13 Konsumsi kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025

Aktual

Skenario 1

Skenario 2

Skenario 3

Skenario 4

Skenario 5

Skenario 6

Skenario 7

Skenario 8

1/1/2008

15.082,52

15.082,52

15.082,52

15.082,52

15.082,52

15.082,52

15.082,52

15.082,52

15.082,52

1/1/2009

16.068,63

16.068,63

16.068,63

16.068,63

16.068,63

16.068,63

16.068,63

16.068,63

16.068,63

1/1/2010

17.119,21

17.119,21

17.119,21

17.119,21

17.119,21

17.119,21

17.119,21

17.119,21

17.119,21

1/1/2011

18.238,47

18.238,47

18.238,47

18.238,47

18.238,47

18.238,47

18.238,47

18.238,47

18.238,47

1/1/2012

19.430,92

19.430,92

19.430,92

19.430,92

19.430,92

19.430,92

19.430,92

19.430,92

19.430,92

1/1/2013

20.701,33

20.701,33

20.701,33

20.701,33

20.701,33

20.701,33

20.701,33

20.701,33

20.701,33

1/1/2014

22.054,80

22.054,80

22.054,80

22.054,80

22.054,80

22.054,80

22.054,80

22.054,80

22.054,80

1/1/2015

23.496,76

23.496,76

23.496,76

23.496,76

23.496,76

23.496,76

23.496,76

23.496,76

23.496,76

1/1/2016

25.033,00

25.033,00

25.033,00

25.033,00

25.033,00

25.033,00

25.033,00

25.033,00

25.033,00

1/1/2017

26.669,68

26.669,68

26.669,68

26.669,68

26.669,68

26.669,68

26.669,68

26.669,68

26.669,68

1/1/2018

28.413,37

28.413,37

28.413,37

28.413,37

28.413,37

28.413,37

28.413,37

28.413,37

28.413,37

1/1/2019

30.271,06

30.271,06

30.271,06

30.271,06

30.271,06

30.271,06

30.271,06

30.271,06

30.271,06

1/1/2020

32.250,21

32.250,21

32.250,21

32.250,21

32.250,21

32.250,21

32.250,21

32.250,21

32.250,21

1/1/2021

34.358,75

34.358,75

34.358,75

34.358,75

34.358,75

34.358,75

34.358,75

34.358,75

34.358,75

1/1/2022

36.605,16

36.605,16

36.605,16

36.605,16

36.605,16

36.605,16

36.605,16

36.605,16

36.605,16

1/1/2023

38.998,43

38.998,43

38.998,43

38.998,43

38.998,43

38.998,43

38.998,43

38.998,43

38.998,43

1/1/2024

41.548,18

41.548,18

41.548,18

41.548,18

41.548,18

41.548,18

41.548,18

41.548,18

41.548,18

1/1/2025

44.264,64

44.264,64

44.264,64

44.264,64

44.264,64

44.264,64

44.264,64

44.264,64

44.264,64

Konsumsi Kakao Olahan (Ton)

Tahun


(3)

1

7

7

Lampiran 14 Volume ekspor biji kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025

Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8

1/1/2008 380.512 380.512 380.512 380.512 380.512 380.512 380.512 380.512 380.512

1/1/2009 380.508 380.673 380.673 380.673 728.127 380.673 320.096 579.277 579.277

1/1/2010 407.388 427.093 425.669 423.734 795.097 425.669 342.546 644.358 584.892

1/1/2011 435.406 469.580 483.334 497.087 895.206 483.334 353.327 742.554 616.922

1/1/2012 464.611 582.454 621.883 661.312 1.029.611 621.883 425.663 875.024 675.844

1/1/2013 495.052 644.528 689.289 732.859 1.127.193 733.737 496.788 987.924 742.748

1/1/2014 528.095 684.856 727.293 766.803 1.219.478 819.365 538.875 1.097.967 800.437

1/1/2015 566.774 694.454 717.757 735.756 1.268.640 860.817 533.802 1.167.580 810.595

1/1/2016 607.135 703.700 706.132 700.137 1.320.390 903.744 527.037 1.242.748 818.381

1/1/2017 649.253 712.586 692.287 659.573 1.374.869 948.227 518.464 1.323.909 823.322

1/1/2018 693.204 721.107 676.082 613.655 1.432.226 994.348 507.959 1.411.539 824.879

1/1/2019 739.070 729.252 657.365 561.941 1.492.618 1.042.192 495.389 1.506.150 822.442

1/1/2020 786.936 737.012 635.977 503.955 1.556.212 1.091.849 480.610 1.608.293 815.321

1/1/2021 836.889 744.379 611.746 439.178 1.623.183 1.143.411 463.469 1.718.561 802.735

1/1/2022 889.022 751.342 584.488 367.050 1.693.715 1.196.975 443.801 1.837.596 783.802

1/1/2023 943.431 757.888 554.011 286.964 1.768.003 1.252.640 421.430 1.966.087 757.529

1/1/2024 1.000.217 764.005 520.106 198.264 1.846.254 1.310.512 396.166 2.104.777 722.797

1/1/2025 1.059.484 769.682 482.552 100.239 1.928.683 1.370.700 367.808 2.254.468 678.347


(4)

1

7

8

Lampiran 15 Volume ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025

Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8

1/1/2008 193.156 193.059 193.059 193.059 193.059 193.059 228.699 252.459 252.459

1/1/2009 196.098 197.405 197.405 197.405 197.405 197.405 246.309 257.558 281.288

1/1/2010 199.311 202.027 202.027 202.027 202.027 202.027 265.134 262.944 313.079

1/1/2011 202.822 206.955 206.955 206.955 206.955 206.955 285.258 268.645 348.129

1/1/2012 206.662 220.285 225.031 230.253 225.031 212.219 306.775 288.929 386.768

1/1/2013 210.864 234.410 244.409 255.591 244.409 217.852 329.784 310.628 429.360

1/1/2014 215.467 249.386 265.183 283.146 265.183 223.893 354.391 333.844 476.302

1/1/2015 220.512 265.274 287.458 313.106 287.458 230.384 380.713 358.688 528.035

1/1/2016 226.045 282.140 311.344 345.677 311.344 237.371 408.872 385.278 585.041

1/1/2017 232.116 300.056 336.962 381.082 336.962 244.905 439.002 413.741 647.853

1/1/2018 238.783 319.099 364.442 419.564 364.442 253.042 471.248 444.217 717.057

1/1/2019 246.108 339.355 393.923 461.386 393.923 261.844 505.764 476.854 793.296

1/1/2020 254.159 360.916 425.558 506.835 425.558 271.382 542.719 511.813 877.281

1/1/2021 263.012 383.882 459.509 556.220 459.509 281.731 582.291 549.267 969.792

1/1/2022 272.752 408.362 495.954 609.880 495.954 292.975 624.676 589.404 1.071.689

1/1/2023 283.471 434.476 535.083 668.181 535.083 305.208 670.085 632.425 1.183.916

1/1/2024 295.272 462.355 577.105 731.522 577.105 318.531 718.744 678.550 1.307.514

1/1/2025 308.268 492.139 622.242 800.335 622.242 333.060 770.898 728.015 1.443.629


(5)

1

7

9

Lampiran 16 Nilai ekspor biji kakao pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025

Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8

1/1/2008 980.617.475 980.617.475 980.617.475 980.617.475 980.617.475 980.617.475 980.617.475 980.617.475 980.617.475

1/1/2009 1.099.210.785 1.099.687.649 1.099.687.649 1.099.687.649 2.103.414.383 1.099.687.649 924.691.921 1.673.415.174 1.673.415.174

1/1/2010 1.276.347.046 1.338.082.664 1.333.621.440 1.327.559.330 2.491.038.400 1.333.621.440 1.073.196.035 2.018.773.812 1.832.467.590

1/1/2011 1.297.554.635 1.399.396.669 1.440.383.038 1.481.369.407 2.667.802.033 1.440.383.038 1.052.950.110 2.212.886.641 1.838.489.300

1/1/2012 1.254.449.608 1.572.625.262 1.679.084.184 1.785.543.106 2.779.950.821 1.679.084.184 1.149.289.996 2.362.564.354 1.824.778.846

1/1/2013 1.188.125.398 1.546.866.610 1.654.293.325 1.758.862.111 2.705.263.757 1.760.969.131 1.192.290.761 2.371.017.587 1.782.594.988

1/1/2014 1.214.619.105 1.575.168.203 1.672.774.166 1.763.647.445 2.804.799.203 1.884.539.714 1.239.413.487 2.525.324.869 1.841.005.912

1/1/2015 1.246.903.238 1.527.798.284 1.579.064.588 1.618.662.233 2.791.008.446 1.893.796.795 1.174.365.064 2.568.676.846 1.783.309.385

1/1/2016 1.329.626.110 1.541.102.199 1.546.429.194 1.533.300.917 2.891.654.312 1.979.200.241 1.154.211.070 2.721.617.105 1.792.254.818

1/1/2017 1.415.370.619 1.553.438.433 1.509.186.746 1.437.868.848 2.997.214.332 2.067.135.812 1.130.251.562 2.886.121.693 1.794.841.372

1/1/2018 1.511.184.398 1.572.012.270 1.473.858.965 1.337.767.026 3.122.252.536 2.167.679.173 1.107.350.833 3.077.155.977 1.798.235.587

1/1/2019 1.603.781.904 1.582.475.972 1.426.482.979 1.219.412.615 3.238.981.871 2.261.557.721 1.074.993.789 3.268.346.091 1.784.699.152

1/1/2020 1.699.780.814 1.591.946.987 1.373.710.275 1.088.542.729 3.361.418.552 2.358.394.452 1.038.117.710 3.473.912.551 1.761.093.150

1/1/2021 1.799.310.919 1.600.415.629 1.315.252.840 944.232.671 3.489.843.114 2.458.334.220 996.458.557 3.694.906.849 1.725.879.433

1/1/2022 1.902.506.821 1.607.870.950 1.250.805.191 785.486.830 3.624.549.712 2.561.526.200 949.734.704 3.932.455.438 1.677.335.810

1/1/2023 2.009.508.114 1.614.300.749 1.180.043.479 611.233.506 3.765.846.774 2.668.124.084 897.645.978 4.187.764.946 1.613.536.173

1/1/2024 2.120.459.571 1.619.691.576 1.102.624.550 420.319.347 3.914.057.675 2.778.286.283 839.872.643 4.462.127.759 1.532.328.593

1/1/2025 2.246.106.176 1.631.725.565 1.023.010.476 212.505.766 4.088.808.274 2.905.883.132 779.752.409 4.779.472.658 1.438.094.644

Nilai Ekspor Biji Kakao (USD) Tahun


(6)

1

8

0

Lampiran 17 Nilai Ekspor kakao olahan pada kondisi aktual, skenario 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7 dan 8, Tahun 2008 - 2025

Aktual Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5 Skenario 6 Skenario 7 Skenario 8

1/1/2008 600.304.572 600.002.738 600.002.738 600.002.738 600.002.738 600.002.738 710.767.581 784.610.810 784.610.810

1/1/2009 609.450.410 613.509.519 613.509.519 613.509.519 613.509.519 613.509.519 765.499.486 800.459.529 874.210.454

1/1/2010 619.435.957 627.876.893 627.876.893 627.876.893 627.876.893 627.876.893 824.004.164 817.198.551 973.011.097

1/1/2011 630.347.556 643.191.741 643.191.741 643.191.741 643.191.741 643.191.741 886.548.790 834.915.133 1.081.942.936

1/1/2012 642.280.754 684.619.927 699.370.112 715.597.162 699.370.112 659.550.151 953.420.639 897.956.301 1.202.029.825

1/1/2013 655.341.274 728.518.770 759.592.668 794.347.186 759.592.668 677.058.392 1.024.928.704 965.394.550 1.334.398.692

1/1/2014 669.646.077 775.062.650 824.156.989 879.983.929 824.156.989 695.833.975 1.101.405.461 1.037.547.890 1.480.289.896

1/1/2015 685.324.541 824.440.694 893.383.966 973.096.007 893.383.966 716.006.835 1.183.208.777 1.114.758.852 1.641.068.626

1/1/2016 702.519.761 876.858.171 967.619.749 1.074.322.572 967.619.749 737.720.628 1.270.723.992 1.197.396.518 1.818.237.441

1/1/2017 721.389.983 932.538.022 1.047.237.876 1.184.357.687 1.047.237.876 761.134.165 1.364.366.177 1.285.858.728 2.013.450.071

1/1/2018 742.110.185 991.722.547 1.132.641.594 1.303.955.094 1.132.641.594 786.422.995 1.464.582.596 1.380.574.472 2.228.526.604

1/1/2019 764.873.827 1.054.675.251 1.224.266.381 1.433.933.392 1.224.266.381 813.781.154 1.571.855.373 1.482.006.510 2.465.470.195

1/1/2020 789.894.775 1.121.682.888 1.322.582.700 1.575.181.684 1.322.582.700 843.423.089 1.686.704.413 1.590.654.213 2.726.485.452

1/1/2021 817.409.425 1.193.057.696 1.428.099.000 1.728.665.702 1.428.099.000 875.585.785 1.809.690.560 1.707.056.664 3.013.998.672

1/1/2022 847.679.054 1.269.139.862 1.541.364.993 1.895.434.491 1.541.364.993 910.531.109 1.941.419.058 1.831.796.032 3.330.680.097

1/1/2023 880.992.405 1.350.300.235 1.662.975.220 2.076.627.664 1.662.975.220 948.548.403 2.082.543.304 1.965.501.257 3.679.468.414

1/1/2024 917.668.541 1.436.943.308 1.793.572.954 2.273.483.315 1.793.572.954 989.957.332 2.233.768.947 2.108.852.061 4.063.597.711

1/1/2025 958.059.994 1.529.510.499 1.933.854.449 2.487.346.612 1.933.854.449 1.035.111.039 2.395.858.354 2.262.583.326 4.486.627.127

Nilai Ekspor Kakao Olahan (USD) Tahun