Perilaku Model Sistem Agroindustri Kakao
Sementara itu, pada periode 2011-2025, terjadi penurunan penerimaan petani secara konsisten akibat adanya penurunan harga dan produktivitas yang terjadi
secara simultan, dimana pada tahun 2025, penerimaan petani hanya sebesar Rp. 4.184.991,-hatahun. Jika kondisi ini terus terjadi, maka dikhawatirkan petani
akan beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, sehingga diperlukan upaya dari pihak-pihak terkait untuk dapat meningkatkan produktivitas
perkebunan rakyat, agar posisi Indonesia sebagai salah satu produsen utama kakao dunia dapat dipertahankan atau bahkan ditingkatkan.
Gambar 38 Penerimaan petani kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025. Secara umum, perilaku model sistem agroindustri kakao selama periode
analisis menunjukkan bahwa perkembangan industri pengolahan kakao
cenderung lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan usahatani kakao. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri kakao belum berkembang
dengan baik. Supriyati dan Suryani 2008 menyebutkan ada beberapa kendala yang menyebabkan terhambatnya perkembangan agroindustri kakao, antara lain:
i industri pengolahan kakao kekurangan bahan baku karena biji kakao lebih banyak diekspor; ii rendahnya mutu biji kakao karena tidak difermentasi; iii
harga biji kakao fermentasi dan non fermentasi tidak berbeda jauh; iv tidak dapat dihilangkannya biaya ekonomi tinggi sebagai akibat tingginya tingkat suku
bunga, pengurusan dokumen yang memerlukan waktu lama dan prosedur yang
01 1
20 8
01 1
20 9
01 1
20 1
01 1
20 1
1 01
1 20
1 2
01 1
20 1
3 01
1 20
1 4
01 1
20 1
5 01
1 20
1 6
01 1
20 1
7 01
1 20
1 8
01 1
20 1
9 01
1 20
2 01
1 20
2 1
01 1
20 2
2 01
1 20
2 3
01 1
20 2
4 01
1 20
2 5
1 . 0 0 0 . 0 0 0 2 . 0 0 0 . 0 0 0
3 . 0 0 0 . 0 0 0 4 . 0 0 0 . 0 0 0
5 . 0 0 0 . 0 0 0 6 . 0 0 0 . 0 0 0
7 . 0 0 0 . 0 0 0 8 . 0 0 0 . 0 0 0
9 . 0 0 0 . 0 0 0 Rp HA
P e
n e
ri m
a a
n p
e ta
n i
panjang, banyaknya pungutan-pungutan resmi dan tidak resmi, serta rendahnya produktivitas tenaga kerja sehingga menyebabkan rendahnya daya saing produk
kakao olahan Indonesia untuk masuk ke pasar global. Selain itu, industri pengolahan kakao dalam negeri juga kurang efisien yang ditunjukkan oleh
permasalahan idle capacity. Dalam periode 2005 - 2010, utilisasi kapasitas industri pengolahan kakao Indonesia hanya berkisar antara 55 - 60 persen dari
kapasitas terpasang. Dengan demikian, salah satu upaya yang harus dilakukan dalam rangka pengembangan agroindustri kakao Indonesia adalah peningkatan
efisiensi industri pengolahan kakao. Sebagai salah satu produsen biji kakao terbesar dunia, permasalahan
kekurangan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan merupakan masalah yang sangat ironis. Bahan baku yang melimpah justru tidak dapat
dimanfaatkan oleh industri pengolahan dalam negeri sebagai salah satu keunggulan komparatif dalam meningkatkan daya saingnya di pasar global.
Kondisi tersebut terjadi karena kemungkinan bahwa ekspor biji kakao lebih menguntungkan bagi pedagang dibandingkan menjual ke industri pengolahan
dalam negeri yang menyebabkan pedagang lebih memilih untuk melakukan ekspor biji kakao sehingga industri pengolahan mengalami kekurangan bahan
baku. Kondisi tersebut menunjukkan adanya permasalahan supply chain biji kakao dari petani ke industri pengolahan. Padahal, seharusnya pedagang
memperoleh insentif harga yang lebih tinggi jika menjual kepada industri pengolahan dibandingkan mengekspor karena biaya transportasi yang lebih
rendah. Selain itu, permasalahan di atas juga mengindikasikan masih rendahnya efisiensi industri pengolahan kakao dalam negeri sehingga hanya mampu
membeli bahan baku biji kakao dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga ekspor.
Permasalahan supply chain biji kakao dari petani ke industri juga diindikasikan oleh minimnya ketersedian bahan baku biji kakao yang
difermentasi. Akibat adanya distorsi perdagangan, petani tidak memperoleh insentif yang memadai untuk melakukan proses fermentasi biji kakao karena
selisih harga yang ditetapkan oleh pedagang untuk biji kakao fermentasi dan non fermentasi tidak menarik minat petani untuk melakukan proses fermentasi.
Padahal, biji kakao fermentasi seharusnya memiliki tingkat harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao non fermentasi seperti tingkat harga yang
diperoleh Pantai Gading di pasar internasional. Rendahnya ketersediaan biji
kakao fermentasi di pasar domestik memaksa industri pengolahan mengimpor biji kakao fermentasi dengan harga yang tinggi sehingga menjadi salah satu
penyebab rendahnya efisiensi industri pengolahan kakao Indonesia. Berbagai permasalahan yang menyebabkan lambatnya perkembangan
agroindustri kakao di Indonesia menuntut upaya dari pemerintah untuk mendorong perkembangan industri pengolahan kakao nasional untuk tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan kondisi saat ini. Jika percepatan
pengembangan industri kakao tidak dilakukan, maka Indonesia akan lebih cenderung menjadi produsen bahan mentah kakao dan kehilangan daya saing
dalam perdagangan kakao olahan. Seperti yang telah diuraikan pada Bab V, bahwa keunggulan komparatif biji kakao Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan produk kakao olahan akibat masih rendahnya ekspor kakao olahan Indonesia. Namun, Sa’id 2010 dan Gandhi and Jain 2011 mengingatkan
bahwa dalam pembuatan kebijakan pengembangan agroindustri kakao, pemerintah harus mampu memuaskan semua pihak, terutama petani kecil yang
merupakan komponen terbesar yang terlibat dalam sistem agroindustri kakao. Sejalan dengan pendapat tersebut, Syam, et al., 2006 juga menyebutkan
bahwa prioritas utama dalam penyusunan strategi pengembangan agroindustri berbasis kakao adalah pembangunan agroindustri yang terintegrasi dan
bersinergi dengan seluruh komponen yang terkait.
VII DAMPAK PENCAPAIAN KEBIJAKAN GERNAS DAN PENERAPAN BEA EKSPOR KAKAO TERHADAP KINERJA INDUSTRI HILIR
DAN PENERIMAAN PETANI
Agribisnis kakao memiliki permasalahan di hulu sampai ke hilir yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Usahatani kakao yang sebagian besar
diusahakan oleh perkebunan rakyat memiliki produktivitas dan mutu yang sangat rendah. Rendahnya produktivitas kakao nasional tidak terlepas dari belum
diterapkannya teknologi budidaya anjuran, terutama oleh perkebunan rakyat serta belum digunakannya klon unggul. Biji kakao hasil perkebunan rakyat
umumnya tidak difermentasi serta banyak mengandung kotoran dan jamur, sehingga industri pengolahan mengalami kekurangan bahan baku biji kakao
yang sesuai dengan standar mutu yang diinginkan. Kondisi tersebut merupakan faktor- faktor yang menyebabkan industri pengolahan kakao tidak berkembang.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan mutu usahatani kakao rakyat, pemerintah melalui Kementerian Pertanian melaksanakan gerakan
peningkatan produktivitas dan mutu kakao atau yang lebih dikenal dengan istilah “Gernas kakao” sejak tahun 2009. Gernas kakao dapat dianggap sebagai bentuk
kebijakan karena melalui gerakan ini pemerintah melakukan intervensi terhadap pasar input seperti subsidi benih, pupuk dan sarana produksi lainnya. Selain itu,
melalui gerakan ini, pemerintah juga melakukan perubahan kelembagaan dalam sistem agribisnis kakao, sehingga sesuai dengan pendapat Brooks 2010,
Gernas kakao dapat dipandang sebagai bentuk kebijakan pemerintah. Melalui kebijakan ini diharapkan terjadi peningkatan produktivitas kakao perkebunan
rakyat serta menghasilkan biji kakao yang sesuai dengan kualitas yang dibutuhkan oleh industri pengolahan.
Permasalahan kekuarangan bahan baku biji kakao yang diakibatkan oleh kecenderungan pedagang yang lebih memilih untuk mengekspor dibandingkan
menjualnya kepada industri pengolahan dalam negeri direspon pemerintah dengan menerapkan kebijakan bea ekspor biji kakao. Melalui instrumen ini,
pedagang diharapkan tidak lagi mendapat insentif yang lebih tinggi untuk mengekspor biji kakao dibandingkan dengan menjual kepada industri
pengolahan dalam negeri. Selain itu, industri pengolahan dalam negeri jugamemperoleh tingkat harga yang lebih rendah sehingga merangsang industry
pengolahan untuk berproduksi lebih tinggi. Dengan demikian, penerapan bea
ekspor kakao diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta ketersediaan bahan baku biji kakao untuk industri pengolahan dalam negeri.
Dari uraian di atas, kebijakan Gernas kakao berdampak pada peningkatan produktivitas dan produksi biji kakao fermentasi perkebunan rakyat di lokasi
Gernas. Sedangkan penerapan bea ekspor berdampak pada peningkatan kapasitas terpasang dan tingkat utilisasi industri pengolahan, harga domestik dan
luas areal kakao perkebunan rakyat. Asumsi dampak kebijakan Gernas kakao dan penerapan bea ekspor yang digunakan dalam penelitian ini seperti yang
telah diuraikan dalam bab IV adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan
Gernas kakao diasumsikan mampu meningkatkan
produktivitas perkebunan rakyat di lokasi gerakan dari 660 kghatahun pada tahun 2008 menjadi 1.500 kghatahun pada tahun 2013 sesuai
dengan target yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan. Target produktivitas pada tahun 2009, 2010, 2011, dan 2012 diasumsikan
meningkat dalam besaran yang sama sebesar 168kghatahun atau sebesar 30 persenhatahun.
2. Peningkatan produksi biji kakao fermentasi melalui Gernas Kakao juga menggunakan target dari Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu produksi
biji kakao fermentasi di lokasi gerakan sebesar 100 persen dari total produksi pada tahun 2013. Dengan demikian, persentase produksi biji
kakao fermentasi pada periode 2009-2012, diasumsikan meningkat rata- rata sebesar 18,84 persen per tahun 18,84 persen per tahun untuk areal
perkebunan rakyat yang terlibat dalam Gernas kakao. 3. Penerapan bea ekspor kakao diasumsikan mampu meningkatkan
kapasitas terpasang dan utilitas kapasitas terpasang industri pengolahan kakao. Dampak penerapan kebijakan tersebut diasumsikan mampu
meningkatkan kapasitas terpasang sebesar 10 persen per tahun dan meningkatkan utilisasi kapasitas terpasang sebesar 20 persen.
4. Penerapan bea ekspor berdampak pada penurunan harga domestik sehingga menurunkan harga yang seharusnya diterima petani sebesar
bea ekspor. 5. Penerapan bea ekspor juga diasumsikan akan menurunkan luas areal
perkebunan rakyat yang tidak terlibat dalam program Gernas Kakao. Besaran penurunan luas areal akibat penerapan bea ekspor adalah
2.5325 persen per tahun. Nilai tersebut diperoleh dengan menghitung
rata-rata penu akibat penera
Model sistem ag kakao dan bea eksp
matematisnya disajik menganalisis dampak
1. Skenario 1 sebesar 4
2. Skenario kebijakan
3. Skenario 3 sebesar 8