Secara umum, produk kakao olahan Indonesia memiliki daya saing di pasar-pasar tujuan ekspor utama, sedangkan biji kakao menunjukkan kondisi
sebaliknya. Perdagangan biji kakao Indonesia juga bersifat inelastis sehingga dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengembangkan industri hilir kakao
Arsyad and Yusuf, 2008. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis dan Nuryati 2011 menyebutkan bahwa diperlukan kebijakan untuk mendorong
perkembangan industri hilir kakao. Hal ini berarti diperlukan upaya untuk mendorong industrialisasi kakao nasional untuk dapat meningkatkan daya saing
ekspor produk kakao dalam arti luas. Pengembangan industri hilir menjadi sangat penting karena akan mampu mendorong peningkatan output Susilowati, 2007,
pendapatan petani Susilowati, et al., 2007; Sundari, 2000; Winarti, et al., 2005. Potensi pengembangan industri hilir kakao masih sangat besar jika dilihat
dari berlimpahnya bahan baku yang tersedia serta peluang untuk memperoleh nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja yang sangat besar sehingga harus
dimanfaatkan oleh pelaku bisnis kakao di Indonesia Wahyudi dan Rahardjo, 2008. Namun, strategi pengembangan industri hilir kakao di Indonesia
seharusnya dilakukan melalui pendekatan sistem sehingga pendekatannya lebih menyeluruh, terintegrasi dan bersinergi antar komponen yang terkait Syam, et
al., 2006.
VI MODEL DINAMIKA SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO 6.1 Validasi Model
Validasi yang dilakukan terhadap model sistem agroindustri kakao terdiri dari uji validitas struktur dan uji validitas kinerjaoutput model sesuai dengan
pendapat Muhammadi, et al., 2001. Uji validitas struktur yang dilakukan dengan menguji konsistensi dimensi yang dilakukan secara langsung oleh
perangkat lunak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model sistem agroindustri kakao yang dikembangkan memiliki dimensi yang konsisten sehingga tidak
terdapat kesalahan error. Tabel 19 Hasil uji validitas kinerja model sistem agroindustri kakao
No Kriteria
Variabel Produksi biji
kakao Produksi
kakao olahan
1 RMSPE
Root Mean Square Percentage Error 3,69
0,51 2
AME Average Mean Error
2,17 0.30
3 AVE
Average Variance Error 4,44
0,59
Uji validitas kinerjaoutput model dilakukan untuk menilai apakah kinerja model tersebut dapat mewakili sistem yang ada di dunia nyata di mana dapat
diperoleh kesimpulan yang meyakinkan. Kriteria yang digunakan untuk menguji kinerja model adalah RMSPE Root Mean Square Percentage Error, AME
Average Mean Error dan AVE Average Variance Error. Sedangkan variabel yang diuji adalah produksi biji kakao dan produksi kakao olahan. Hasil pengujian
terhadap kinerja model disajikan pada Tabel 19. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai RMSPE, AME dan AVE untuk produksi biji kakao masing-masing
sebesar 3,69 persen, 2,17 persen dan 4,44 persen. Sedangkan nilai untuk variabel produksi kakao olahan adalah sebesar 0,51 persen, 0,30 persen dan
0,59 persen. Nilai tersebut lebih rendah dari batas nilai maksimum yang disyaratkan sebesar 5 persen, sehingga model dinamika sistem agroindustri
kakao dinyatakan valid.
6.2 Perilaku Model
Pembangunan model sistem
agroindustri kakao bertujuan untuk mengetahui perilaku sistem agroindustri beserta submodel-submodel yang
menyusunnya di masa yang akan datang. Struktur model secara keseluruhan disajikan pada Lampiran 1, sedangkan persamaan-persamaan model disajikan
pada Lampiran 2. Data awal dalam model tersebut menggunakan data pada tahun 2008 yang dipakai sebagai tahun dasar analisis. Sedangkan periode
simulasi untuk menganalisis perilaku model adalah tahun 2008 sampai tahun 2025.
Perilaku model yang diukur dalam penelitian adalah daya serap industri pengolahan terhadap produksi biji kakao, pangsa ekspor kakao olahan
dibandingkan dengan ekspor produk kakao secara keseluruhan biji dan olahan dan penerimaan petani. Sebelum menganalisis perilaku model, perlu mengkaji
perilaku masing-masing submodel yang menyusun model sistem agroindustri kakao. Hal ini penting karena perilaku submodel merupakan indikator yang
sangat penting yang mampu menjelaskan perilaku model secara keseluruhan.
6.2.1 Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku
Bahan baku utama untuk industri pengolahan kakao adalah biji kakao, sehingga perilaku submodel penyediaan bahan baku biji kakao menjadi
komponen yang sangat penting dalam sistem agroindustri kakao. Penyediaan bahan baku biji kakao dalam sistem agroindustri kakao sangat terkait dengan
dua aspek yaitu kuantitas dan kualitas. Untuk itu, komponen submodel penyediaan bahan baku yang dianalisis adalah perkembangan luas areal
sebagai faktor utama produksi biji kakao dan produksi biji kakao fermentasi dan nonfermentasi yang mengindikasikan kuantitas dan kualitas biji kakao yang
dihasilkan. Luas areal yang dianalisis dibagi atas 3 jenis pengusahaan yaitu
perkebunan rakyat PR, perkebunan besar negara PN dan perkebunan besar swasta PR. Pembagian status pengusahaan tersebut dilakukan terkait dengan
kualitas biji kakao yang dihasilkan serta adanya perbedaan tren pertumbuhan luas areal. Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah, seluruh biji kakao
yang dihasilkan PN dan PS merupakan biji kakao fermentasi, sedangkan biji kakao fermentasi yang dihasilkan oleh PR hanya sebesar 7,78 persen. Hasil
simulasi perkembangan luas areal perkebunan kakao menurut status
pengusahaan disajikan pada Gambar 30 dan Tabel 20. Sedangkan hasil simulasi untuk produksi biji kakao fermentasi, nonfermentasi dan total disajikan pada
Gambar 31 dan Tabel 21.
Gambar 30 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025
Tabel 20 Luas areal perkebunan kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008 - 2025 dalam Ha
01 1
20 8
01 1
20 9
01 1
20 1
01 1
20 1
1 01
1 20
1 2
01 1
20 1
3 01
1 20
1 4
01 1
20 1
5 01
1 20
1 6
01 1
20 1
7 01
1 20
1 8
01 1
20 1
9 01
1 20
2 01
1 20
2 1
01 1
20 2
2 01
1 20
2 3
01 1
20 2
4 01
1 20
2 5
5 0 0 . 0 0 0 1 . 0 0 0 . 0 0 0
1 . 5 0 0 . 0 0 0 2 . 0 0 0 . 0 0 0
2 . 5 0 0 . 0 0 0 3 . 0 0 0 . 0 0 0
3 . 5 0 0 . 0 0 0 4 . 0 0 0 . 0 0 0
4 . 5 0 0 . 0 0 0 HA
LA PR LA PN
LA PS LA To t a l
Tahun Total LA
LA PR LA PN
LA PS
112008 1.425.216
1.326.784 50.584
47.848 112009
1.525.850 1.423.554
54.658 47.637
112010 1.633.870
1.527.383 59.060
47.428 112011
1.749.819 1.638.784
63.816 47.219
112012 1.874.277
1.758.310 68.955
47.011 112013
2.007.867 1.886.554
74.508 46.805
112014 2.151.260
2.024.152 80.509
46.599 112015
2.305.172 2.171.786
86.993 46.394
112016 2.470.375
2.330.187 93.998
46.189 112017
2.647.696 2.500.141
101.569 45.986
112018 2.838.024
2.682.492 109.748
45.784 112019
3.042.311 2.878.142
118.587 45.582
112020 3.261.581
3.088.062 128.137
45.382 112021
3.496.932 3.313.293
138.456 45.182
112022 3.749.542
3.554.951 149.607
44.983 112023
4.020.676 3.814.235
161.655 44.785
112024 4.311.693
4.092.430 174.674
44.588 112025
4.624.049 4.390.916
188.741 44.392
Dari Gambar 30 d perkebunan kakao pada
growth. Peningkatan luas dengan pertumbuhan rata
pertumbuhan luas areal P penurunan. Pada tahun 2
diprediksi mencapai 3,39 j oleh PR, 4,08 persen oleh P
Gambar 31 Produksi Dari Gambar 31 dap
kakao fermentasi dan non mengalami peningkatan. D
fermentasi dan non ferme Adanya penurunan produ
negara, serta penurunan lu pada produksi kakao, k
perkebunan rakyat dan produktivitas perkebunan b
Pada tahun 2025, p 1,61 juta ton, dimana 248,5
dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan l a periode simulasi yang mengikuti pola e
s areal tersebut sebagian besar disumbang ata-rata per tahun sebesar 7,29 persen. S
l PN adalah sebesar 8,05 dan PS justru m 2025, jumlah luas areal perkebunan kakao
9 juta ha, dengan komposisi 94,96 persen d h PN, dan 0,96 persen oleh PS.
si biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2 apat dilihat bahwa terjadi tren peningkatan pr
on fermentasi, sehingga produksi total biji k . Dinamika peningkatan produksi biji kakao
entasi cenderung mengikuti pola exponenti duktivitas perkebunan rakyat dan perkebun
luas areal perkebunan besar swasta tidak b karena adanya dorongan peningkatan lu
n perkebunan besar negara, serta pe besar swasta.
produksi biji kakao Indonesia diperkirakan 8,54 ribu ton merupakan biji kakao fermentasi
luas areal exponential
ng oleh PR Sedangkan
mengalami o Indonesia
diusahakan
8-2025. produksi biji
kakao juga ao total, biji
ntial growth. unan besar
berdampak luas areal
peningkatan n mencapai
asi dan 1,36
juta ton berupa biji non fermentasi. Jumlah ini sebenarnya masih lebih rendah dari sasaran produksi biji kakao Kementerian Pertanian, dimana pada tahun
2014, produksi biji kakao Indonesia ditargetkan mencapai 1,65 juta ton Kementan, 2010, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil simulasi yang
hanya 1,02 juta ton pada tahun yang sama. Namun, target pemenuhan permintaan biji kakao fermentasi untuk industri pengolahan nasional yang
direncanakan tercapai pada tahun 2014, diperkirakan sudah dapat dicapai pada tahun 2013. Secara keseluruhan, perilaku submodel penyediaan bahan baku
yang diukur melalui perilaku luas areal dan produksi biji kakao menunjukkan peningkatan selama periode analisis dengan pola exponential growth. Hal ini
mengindikasikan bahwa usahatani kakao masih cukup menarik untuk diusahakan sehingga mendorong pelaku-pelaku yang terlibat dalam subsistem ini terutama
petani perkebunan rakyat terus meningkatkan luas areal dan produksi kakao.
Tabel 21 Produksi biji kakao pada kondisi aktual, Tahun 2008-2025 dalam ton
6.2.2. Perilaku Submodel Pengolahan
Perilaku submodel pengolahan diindikasikan oleh jumlah produk kakao olahan yang diproduksi oleh industri pengolahan kakao. Komponen yang paling
menentukan dalam produksi kakao olahan kapasitas terpasang dan kapasitas
Tahun
112008 803.594
120.539 683.055
112009 837.011
125.625 711.386
112010 871.838
130.946 740.892
112011 908.135
136.513 771.623
112012 945.966
142.338 803.628
112013 985.396
148.436 836.960
112014 1.026.494
154.818 871.675
112015 1.069.331
161.500 907.830
112016 1.113.982
168.497 945.485
112017 1.160.525
175.824 984.701
112018 1.209.043
183.499 1.025.544
112019 1.259.619
191.538 1.068.081
112020 1.312.343
199.961 1.112.383
112021 1.367.308
208.786 1.158.521
112022 1.424.609
218.035 1.206.574
112023 1.484.349
227.730 1.256.620
112024 1.546.633
237.892 1.308.741
112025 1.611.571
248.547 1.363.025
Total Produksi Biji Produksi Biji
Fermentasi Produksi Biji
Nonfermentasi