60
5.4 Peluang dan Kendala Pengembangan Metode SRI di Kabupaten Indramayu
Metode budidaya padi sawah SRI merupakan salah satu upaya perbaikan kualitas budidaya padi sawah melalui pemberdayaan petani dan peningkatan
kearifan lokal yang mulai ditinggalkan. Pada awal penerapan metode SRI tidak serta merta dapat meningkatkan produksi padi, memerlukan waktu kurang lebih 4
sampai 5 musim tanam supaya diperoleh hasil yang optimal. Dalam jangka panjang hasil tersebut akan stabil terkait perbaikan kondisi tanah dan kualitas padi
Juanda et al. 2011.
Kabupaten Indramayu dengan kondisi tanah yang relatif subur, tingkat kesesuaian tanah untuk budidaya padi sangat tinggi 67.41 dan sebagian besar
merupakan lahan sawah beririgasi 58.35 merupakan modal utama untuk pengembangan budidaya padi sawah organik dengan metode SRI. Beberapa
keuntungan yang diperoleh petani dengan penerapan metode SRI yaitu:
1. Harga produk berupa beras organik lebih tinggi dan pangsa pasar yang terus
berkembang, akan meningkatkan pendapatan petani dan peluang dalam usaha agribisnis.
2. Benih yang dibutuhkan lebih efisien, yaitu sekitar 13.44 kgha, sedangkan
kebutuhan benih metode konvensional sebanyak 27.65 kgha, sehingga dengan penerapan metode SRI dapat menghemat benih padi sebesar
51.46. Hal ini akan mendorong petani untuk menggunakan benih padi unggul bersertifikat karena tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk
membelinya.
3. Hasil analisis menunjukkan nilai elastisitas produktivitas padi terhadap
PDRB Kabupaten Indramayu sebesar 1.23, jika penerapan metode SRI dapat meningkatkan produktivitas padi sebesar 3.65 maka dengan
penerapan metode SRI dapat meningkatkan PDRB Kabupaten Indramayu sebesar 4.49.
Namun demikian, pengembangan metode SRI di Kabupaten Indramayu
masih menghadapi beberapa kendala baik kendala teknis maupun non teknis budaya diantaranya yaitu:
1. Metode penanaman satu bibit per satu titik tanam dan tidak boleh terlalu
dalam masih merepotkan petani. Tenaga kerja tanam biasanya enggan jika disuruh tanam SRI, meskipun mau pekerja tanam minta bayaran yang lebih
tinggi sehingga biaya tanam akan meningkat.
2. Akibat proses tanam yang kurang baik, banyak bibit yang tidak tertanam
dengan baik dan mati, selain itu dengan tanam satu bibit per titik tanam jika terserang hama keong mas langsung habis sehingga kegiatan penyulaman
dilakukan dengan intensif dan memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak.
3. Sistem irigasi yang berselang intermitten sangat menyulitkan petani dalam
pengeringan, karena kondisi lahan sawah di Kabupaten Indramayu relatif datar sehingga kesulitan dalam pembuangan air irigasi dalam petakan
sawah.
4. Pengeringan air irigasi dalam petakan sawah menyebabkan tumbuh
suburnya tanaman pengganggu gulma sehingga kegiatan penyiangan bisa
61 dilakukan 3 sampai 5 kali dalam 1 musim tanam, hal ini akan meningkatnya
biaya pemeliharaan. 5.
Diperlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan diperlukan kemauan yang tinggi untuk belajar dalam meningkatkan keterampilan dalam budidaya
dengan metode SRI, serta mengubah kebiasaan dan budaya dalam berusaha tani padi, sehingga diperlukan bimbingan dan penyuluhan yang intensif dari
intansi terkait supaya tumbuh motivasi dan kemauan petani untuk menerapkan metode SRI.
6. Belum adanya regulasi dari pemerintah yang menjamin dan memberikan
kompensasi ganti rugi bagi petani SRI dalam menghadapi kegagalan panen menyebabkan kurangnya minat petani untuk menerapkan metode
terebut, karena bagi petani yang baru menerapkan metode SRI selain menghadapi produksi yang masih rendah, biaya yang cukup tinggi juga
menghadapi resiko kegagalan panen yang tinggi, sehingga perlu adanya dukungan kebijakan dari pemerintah baik pemerintah daerah maupun pusat.
Perkembangan metode SRI di Kabupaten Indramayu dirasakan berjalan
sangat lambat, dari data sebaran petani SRI terdapat 138 petani padi yang menerapkan metode tersebut atau sebanyak 0.06 dari seluruh rumah tangg
petani padi yang tersebar di 13 kecamatan yang ada di Kabupaten Indramayu. Dari data Gambar 5.17, Kecamatan Sliyeg, Sukagumiwang, Cikedung dan
Sindang petani yang menerapkan metode SRI cukup banyak dibandingkan dengan kecamatan lain di Kabupaten Indramayu, karena memang kecamatan tersebut
merupakan daerah demplot SRI binaan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu yang dibiayai baik dari dana hibah Propinsi Jawa Barat
maupun dari APBD Kabupaten Indramayu. Kecamatan Cikedung mulai dilaksanakan demplot dan pelatihan metode SRI pada tahun 2010 dengan jumlah
petani binaan sebanyak 10 orang, Kecamatan Sukagumiwang mulai tahun 2011 dengan petani binaan sebanyak 20 orang, Kecamatan Sliyeg dan Sindang
pelatihan dan demplot metode SRI mulai tahun 2012 dengan peserta binaan masing-masing sebanyak 50 dan 20 orang petani.
Rendahnya tingkat adopsi dari metode SRI disebabkan karena metode tersebut masih tergolong baru dan memerlukan tingkat ketekunan dan
keterampilan yang lebih baik. Budidaya padi sawah metode SRI membutuhkan pemeliharaan yang cukup intensif mulai dari tanam sampai penen. Proses tanam
satu batang per satu lubang tanam memerlukan ketekunan dan ketelitian jangan sampai ada yang terlewat, tanam satu batang sangat rentan jika ada serangan hama
keong, jika ada serangan hama keong karena yang ditanam satu batang maka akan langsung mati sehingga kegiatan penyulaman perlu dilakukan dengan intensif.
Selain itu, penerapan pengairan secara berselang intermitten merangsang pertumbuhan gulma tumbuh secara pesat sehingga kegiatan penyiangan bisa
dilakukan 3-5 kali dalam satu musim tanam, oleh karena itu biaya usaha tani metode SRI lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode konvensional. Berbeda
dengan metode konvensional yang lebih mudah dan murah dalam penerapannya. Dengan kondisi yang demikian membuat petani lebih memilih metode
konvensional ketimbang metode SRI.
62
Gambar 5.6 Peta sebaran petani SRI di Kabupaten Indramayu
5.5 Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Petani