8 1.
Apakah penerapan teknik budidaya padi sawah dengan metode SRI dapat meningkatkan pendapatan petani baik dalam skala rumah tangga petani
maupun skala wilayahkawasan jika dibandingkan dengan metode konvensional?
2. Seberapa besar kontribusi pendapatan usaha tani padi sawah terhadap total
pendapatan rumah tangga petani dan distribusinya. 3.
Bagaimana peran komoditas padi terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Indramayu terutama kontribusinya dalam produk domestik regional bruto.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas maka tujuan penelitian adalah:
1. Melakukan analisis usaha tani padi sawah metode konvensional dan SRI
dalam skala rumah tangga petani. 2.
Membandingkan besaran pendapatan usaha tani dengan penerapan metode konvensional dan SRI dalam skala wilayahkawasan
3. Melakukan analisis pendapatan rumah tangga petani dan distribusinya.
4. Melakukan analisis peran komoditas padi terhadap nilai tambah bruto serta
potensi peningkatan PDRB dengan penerapan metode SRI dan pemanfaatan produk ikutan tanaman padi.
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada petani padi mengenai penerapan sistem pertanian padi sawah yang efisien dan
optimal yang mampu memberikan pendapatan yang maksimal baik dalam skala rumah tangga maupun dalam skala wilayahkawasan. Serta sebagai bahan
pertimbangan bagi pejabat pemangku kebijakan Pemda dan Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu terutama dalam merencanakan pembangunan pertanian
yang maju, efisien dan berkelanjutan guna mendukung program ketahanan pangan nasional.
9
2 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Sistem Agribisnis Pertanian Padi Sawah
Kabupaten Indramayu merupakan penyangga kebutuhan beras di Jawa Barat, yang juga merupakan salah satu produsen terbesar, sehingga sampai saat ini
Kabupaten Indramayu dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya bahkan terjadi surplus yang dapat didistribusikan ke kabupaten lain. Nilai produksi padi yang
diusahakan di Indramayu sebesar 82.96 dari seluruh nilai total produksi komoditas tanaman pangan, dimana dari 31 kecamatan yang ada, 29 diantaranya
menempatkan padi sawah sebagai komoditas utamanya Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu 2011.
Berdasarkan data BPS Kabupaten Indramayu, pada tahun 2011, produksi padi Kabupaten Indramayu sebesar 1 415 050 ton dengan produktivitas rata-rata
6.13 tonha. Tingkat produktivitas tersebut relatif cukup tinggi atau di atas rata- rata produktivitas nasional. Keberhasilan tersebut tidak terlepas dari program
intensifikasi padi yang dicanangkan pemerintah dengan berbagai lembaga yang terkait di dalamnya. Perbaikan sistem pertanian menjadi syarat mutlak untuk
mencapai swasembada dan kemandirian pangan. Untuk itu, subsistem-subsistem yang mendukung sistem pertanian harus segera dibenahi dan diperbaiki,
diantaranya yaitu: 2.1.1 Subsistem Pengadaan Saprodi
Ketersediaan saprodi dalam agribisnis padi sangat berpengaruh terhadap proses dan hasil produksi usaha tani. Sarana produksi usaha tani padi meliputi
benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja manusia. Benih yang digunakan bervariasi, seperti varietas IR 64, Muncul, Ciherang dan Cisadane, digunakan
sebagai selingan. Benih padi diperoleh dari tokokios, balai benih dan perusahaan swasta. Jenis pupuk yang harus selalu tersedia pada komoditas tanaman pangan
adalah urea, TSP, KCL dan ZA. Pupuk bisa diperoleh dari tokokios yang menjual saprodi di lokasi kecamatan ataupun kabupaten. Penggunaan urea berkisar antara
200-250 kgha, SP 36 sebanyak 100-150kgha, KCl sebanyak 50 sampai 100kgha Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu 2011.
Kebutuhan tenaga kerja relatif terpenuhi dari tenaga kerja dalam dan luar keluarga yang tersedia di Kabupaten Indramayu. Kebutuhan tenaga kerja per
hektar dipengaruhi oleh musim tanam. Pada musim rendeng musim hujan, tenaga kerja berkisar antara 50-65 HOK, sedangkan pada musim tanam gadu
musim kering, berkisar antara 80 sampai 100 HOK per hektar per musim tanam.
2.1.2 Subsistem Produksi
Tanaman padi dapat hidup baik di daerah yang temperatur panas dan banyak mengandung uap air. Curah hujan yang baik rata-rata 200 mm per bulan atau lebih
dengan distribusi selama 4 bulan, curah hujan yang dikehendaki per tahun sekitar 1 500 sampai 2 000 mm. Suhu yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi 23 °C.
Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman padi berkisar antara 0 sampai 1 500 m dari permukan laut dpl.
10 Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang
kandungan fraksi pasir debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jumlah yang cukup. Padi dapat tumbuh dengan baik pada
tanah yang ketebalan lapisan atasnya antara 18 sampai 22 cm dengan pH antara 4 sampai 7.
Teknik bercocok tanam yang baik sangat diperlukan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan. Hal ini harus dimulai dari awal, yaitu sejak
dilakukan persemaian sampai tanaman itu bisa dipanen. Dalam proses pertumbuhan tanaman hingga berbuah ini harus dipelihara yang baik terutama
harus diusahakan agar tanaman terhindar dari serangan hama dan penyakit yang sering kali menurunkan produksi. Tahapan dalam budidaya padi sawah secara
konvensional dapat dijelaskan sebagai berkut:
Persemaian
Membuat persemaian merupakan langkah awal bertanam padi. Pembuatan persemaian memerlukan suatu persiapan yang sebaik-baiknya, sebab benih di
persemaian ini akan menentukan pertumbuhan padi di sawah. Oleh karena itu, persemian harus benar-benar mendapat perhatian agar harapan untuk
mendapatkan bibit padi yang sehat dan subur dapat tercapai. Benih yang digunakan sebaiknya benih unggul yang telah disebarluaskan kepada petani dan
bersertifikat, sehingga kualitas benih dapat dijamin. Kebutuhan benih padi per hektar sekitar 20 sampai 25 kilogram.
Persiapan dan Pengolahan Tanah
Pengolahan tanah bertujuan mengubah keadaan tanah pertanian dengan alat tertentu hingga memperoleh susunan tanah struktur tanah yang dikehendaki oleh
tanaman. Secara umum pengolahan tanah pada tanaman padi memiliki beberapa tujuan yaitu pengendalian gulma, keseragaman pemupukan, menaikan porositas
tanah, pelumpuran tanah dan menaikan daya serap tanah terhadap unsur hara. Pengolahan tanah sawah terdiri dari beberapa tahap yaitu: i pembersihan, ii
pencangkulan, iii pembajakan, dan iv penggaruan.
Penanaman
Penanaman merupakan kegiatan memindahkan bibit dari persemaian ke lahan sawah. Jarak tanam yang dianjurkan adalah 25 cm x 25 cm atau 30 cm x 15
cm atau jarak tanam jajar legowo 40 cm x 20 cm x 12.5 cm 2:1. Penanaman sebaiknya dilakukan dalam keadaan lahan tidak tergenang macak-macak. Bibit
yang ditanam sekitar 2 sampai 3 batang per lubang Herawati 2012. Pemindahan bibit padi biasanya dilakukan pada bibit berumur 25 sampai 30 hari setelah semai
HSS.
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan bertujuan untuk menjaga tanaman agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Tanaman padi yang dipelihara dengan baik dapat
membuahkan hasil yang memuaskan, sesuai dengan yang diharapkan. Dalam rangka pemeliharaan tanaman padi ini, yang perlu diperhatikan yaitu: i
penyulaman dan penyiangan, ii pengairan, iii pemupukan dan iv pengendalian hama dan penyakit.
11 Kegiatan penyulaman merupakan kegiatan mengganti tanaman padi yang
mati atau rusak akibat proses penanaman dengan jenis dan varietas yang sama supaya pertumbuhan tanaman sama dan serempak. Penyulaman tidak boleh
melampaui 10 hari setelah tanam HST. Guna melindungi tanaman padi dari gulma maka perlu dilakukan penyiangan. Gulma berkompetisi dengan tanaman
padi dalam zat makanan, ruang dan potensi sebagai tanaman inang host bagi hama dan penyakit tertentu. Pengendalian gulma dapat dilakukan secara manual
dengan mencabut tanaman pengganggu gulma yang ada pada pertanaman atau secara semi mekanis dengan alat bantu seperti landak, kiskis atau rotary weeder
dan pemberian herbisida. Penyiangan umumnya dilakukan 2 sampai 3 kali selama tanam, biasanya pada umur 14 HST, 35 HST dan 55 HST.
Air sangat diperlukan tanaman padi sawah untuk pertumbuhan. Menurut cara pemberian, pengairan padi sawah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
pengairan secara terus-menerus continuous flow dan pengairan secara periodikterputus-putus intermitten. Pengairan secara intermitten lebih hemat
dalam penggunaan air, karena air tidak diberikan secara terus-menerus pada fase- fase tertentu dilakukan pengeringan. Teknik budidaya padi secara konvensional
bisanya menggunakan teknik irigasi secara terus menerus countinuous flow.
Tanaman padi membutuhan zat hara makro dan mikro untuk pertumbuhan dan perkembangan. Zat hara makro terutama nitrogen N, pospor P dan kalium
Aak 1992. Ketiga unsur tersebut diperoleh dari pupuk buatan pabrik anorganik seperti urea, SP36 dan KCl. Pupuk ini menjadi penopang utama selama proses
pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi secara konvensional. Jika kondisi kesuburan lahan tidak dapat menopang pertumbuhan optimal maka perlu
dilakukan pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan 2 sampai 3 kali selama musim tanam, yaitu pada umur 14 HST, 30 HST dan 50 HST Herawati 2012.
Serangan hama dan penyakit pada tanaman padi dapat menurunkan hasil produksi bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu diperlukan
penanganan yang serius terhadap kemungkinan muncul dan berkembangnya organisme penggangu tanaman OPT. Pengendalian hama dan penyakit dapat
dilakukan melalui cara mekanis seperti gropyokan untuk tikus, pemberian pestisida alami atau manufaktur, musuh alami dan kultur teknis atau budidaya.
Pengaturan tinggi genangan dapat juga mengendalikan serangan tikus. Pengelolaan ikan dalam petakan sawah terutama jenis predator seperti ikan mas
atau gabus juga dapat mengendalikan serangan hama tertentu.
2.1.3 Subsistem Panen dan Penanganan Pasca Panen
Panen merupakan tahap akhir penanaman padi sawah. Pemanenan harus dilakukan pada waktu yang tepat, sebab ketepatan waktu memanen berpengaruh
terhadap jumlah dan mutu gabah dan berasnya Aak 1992. Panen biasanya dilakukan oleh tenaga upahan dengan sistem borongan. Cara menghitungnya
adalah 5 lima bagian ke pemilik sawah satu bagian ke penderepburuh.
Pada umumnya petani di desa tidak melakukan semua tahap yang ada pada proses pascapanen. Mereka hanya melakukan satu hal yaitu setelah padi diangkat
dari sawah dengan cara disabit mereka merontokan hasil panen dari batangnya dengan cara memukulkan hasil panen pada kayu dan untuk mengurangi
kehilangan produksi perlu diberi alas, misalnya plastik dan sebelum dikeringkan hasil panen langsung dijual ke bandar-bandartengkulak yang sudah ada di tempat
12 dan siap membeli apabila harga sudah disepakati. Ada juga sebagian petani yang
terlebih dahulu menjemur gabah hasil panen, kemudian menjualnya ke penggilingan dalam bentuk gabah kering giling GKG. Pada umumnya petani
menyimpan sebagian hasil panennya untuk konsumsi sehari-hari.
2.1.4 Subsistem Pemasaran
Pemasaran hasil produksi dilakukan pada saat panen berlangsung. Petani biasanya menjual hasil produksinya ke tengkulak atau pedagang lokal di
daerahnya masing-masing. Ada beberapa bentuk hasil produksi yang dijual oleh petani kepada pedagang pengumpul, yaitu mereka menjual dalam bentuk gabah
kering panen GKP, gabah kering giling GKG dan dalam bentuk beras. Namun pada umumnya petani di wilayah sentra produksi lebih suka menjual hasil
produksi dalam bentuk gabah kering giling GKG. Adapun rantai pemasaran yang terjadi pada komoditas beras secara umum adalah:
Gambar 2.1 Rantai pemasaran padi di Kabupaten Indramayu 2.1.5 Subsistem Kelembagaan Penunjang
Masih terdapatnya campur tangan pemerintah terutama pada mekanisme penentuan harga dasar dan harga atap, yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan petani dan konsumen. Namun pada kenyataannya ketetapan harga dasar kering giling sering dilanggar oleh pedagang pengumpul atau tengkulak
yang memanfaatkan situasi dan kondisi petani pada saat panen raya terjadi. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya posisi tawar petani serta kurang berfungsinya
lembaga pemasaran yang ada, dalam hal ini KUD, untuk membeli dan mendistribusikan hasil panen petani.
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk kelembagaan pemasaran baru yang diharapkan dapat memperkecil gap pasar atau
keterpisahan petani dengan pasar dan mempersingkat rantai pemasaran yang ada pada saat sekarang ini.
2.2 Budidaya Padi Sawah Metode SRI System of Rice Intensification
Metode budidaya padi sawah dengan sistem SRI dikembangkan di Madagaskar pada awal tahun 1980 oleh Fr. Henri de Laulanie, S.J, kemudian pada
tahun 1990 dibentuk Association Tefy Sains ATS, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Di Indonesia, uji coba
metode SRI pertama kali dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6.2 ton
per hektar dan pada musim hujan 19992000 menghasilkan padi rata-rata 8.20 ton per hektar Uphoff 2002; Sato 2007 dalam Anugrah 2008.
Petani Pedagang
Pengumpul Bandar
Besar Pasar
Konsumen
13 Meode SRI lebih merupakan sebuah sistem ketimbang suatu teknologi. SRI
didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI juga didasari
pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik jarak tanam, kelembaban,
tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobik selama masa pertumbuhan. Prinsip-prinsip ini telah diterjemahkan ke dalam seperangkat
kebiasaan dasar 1 pemindahan bibit yang muda secara hati-hati satu per satu dengan jarak tanam agak jauh; 2 selama masa pertumbuhan vegetatif tanah tidak
digenangkan; pemakaian kompos, dan 3; penyiangan dini serta berkali-kali. Petani yang mempraktekkan SRI didorong untuk bereksperimen dengan cara memperbaiki
pinsip-prinsip ini, agar dapat diketahui bagaimana penerapan prinsip dasar SRI yang terbaik dalam kondisi khusus setempat.
Penerapan metode SRI pada budidaya padi sawah dilaporkan dapat menghemat penggunaan air irigasi sekitar 50 irigasi intermitten selama fase
vegetatif. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Padi Internasional IRRI pada tahun 1991 mennunjukkan bahwa dari rata-rata produksi
padi sebesar 3.40 ton gabah per hektar, air memberikan kontribusi sebesar 26, pupuk sebesar 21 dan faktor lainnya seperti bibit, pestisida dan tenaga kerja
memberikan kontribusi sebesar 53 Wardhana 2009.
Kelebihan dari penerapan metode SRI pada budidaya padi sawah yaitu jumlah anakan yang dihasilkan lebih banyak daripada metode konvensional.
Sampai umur tanam sekitar 30 hari setelah tanam, taman padi akan tampak kecil, kurus dan jarang. Selama bulan ke dua, pertumbuhan batang mulai terlihat nyata.
Perbedaan mencolok akan terlihat pada bulan ke tiga, petakan sawah tampak padat dengan pertumbuhan batang yang sangat cepat. Perbandingan antara metode
konvensional dan metode SRI dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Perbandingan metode konvensional dengan metode SRI di Indonesia Sato S 2005 dalam Juanda et al. 2011
Deskripsi Konvensional
SRI Pembenihan
a. Umur semai hari 25-30
8-14 b. Tinggi bibit
25-30 10
Jumlah tanaman per lubang 4-5
1 Jarak tanam cm
20 x 20 30 x30
Metode tanam Manual
Manual Pengaturan air
Terus menerus Berselang
Sejak dikenalkan pada tahun 1999, aplikasi metode SRI di Indonesia telah mengalami modifikasi terutama dalam hal pengelolaan air dan penambahan bahan
organik. Hal lain yang menjadi perhatian dalam penerapan metode SRI umumnya adalah peluang pemanfaatan bahan organik sebagai tambahan atau pengganti pupuk
buatan pabrik pupuk kimiaanorganik. Walaupun pada metode SRI internasional tidak dipersyaratkan penggunaan bahan organikpupuk kandang, tetapi untuk kasus
penerapan di Indonesia pemanfaatan bahan organik diharapkan menjadi salah satu keunggulan. Hal ini disesuaikan dengan keadaan lahan dan iklim di daerah tersebut.
14 Menurut Juanda et al. 2011, penerapan budidaya padi dengan metode SRI
mempunyai banyak keuntungan jika dibandingkan dengan metode konvensional yang biasa dilakukan oleh petani pada umumnya, diantaranya yaitu :
1 Tanaman hemat air, selama pertumbuhan dari mulai tanam sampai panen
memberikan air maksimum 2 cm, paling baik macak-macak sekitar 5 mm dan ada periode pengeringan sampai tanah retak irigasi terputus.
2 Hemat biaya, hanya butuh benih 5 kg per hektar, menggunakan pupuk dan
pestisida organik buatan sendiri. 3
Hemat waktu, bibit ditanam lebih muda 5 sampai 12 hari setelah tanam sehingga waktu panen akan lebih awal.
4 Produksi meningkat, di beberapa tempat mencapai 11 ton per hektar.
5 Ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia sehingga tidak
menyebabkan kerusakan pada tanah dan lingkungan.
2.3 Optimasi Pendapatan Petani