1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Indonesia yang merupakan negara berkembang dimana
sektor pertanian masih diberikan prioritas yang utama. Hal ini mengingat bahwa sektor pertanian berperan dalam penyediaan bahan pangan bagi 237.64 juta
penduduk Indonesia, penyerapan tenaga kerja dan penyediaan bahan baku pada sektor lain, sehingga pertanian merupakan sektor yang dominan dalam
perekonomian nasional. Selain itu pada tahun 2011, sektor pertanian merupakan penyumbang produk domestik bruto PDB nasional terbesar ketiga yaitu sebesar
13.56 setelah sektor industri pengolahan 27.29 dan sektor perdagangan, hotel dan restoran 18.82 BPS 2012.
Sektor pertanian merupakan sumber pendapatan penting bagi 35.09 penduduk Indonesia BPS 2012. Sebagian besar rumah tangga petani berlahan
sempit mengandalkan usaha tani sebagai sumber utama pendapatannya. Oleh karena itu sangat beralasan bila ketidakmerataan pendapatan rumah tangga di
perdesaan yang berbasis pertanian berkaitan erat dengan ketidakmerataan struktur penguasaan lahan pertanian Nurmanaf 2002.
Padi selain sebagai bahan makanan pokok bagi lebih dari 95 penduduk Indonesia, juga menjadi sumber mata pencaharian bagi 25 juta rumah tangga
petani, sehingga tidak mengherankan bila fluktuasi produksi dan distribusi beras mempengaruhi stabilitas nasional. Besar kecilnya kontribusi usaha tani padi
terhadap pendapatan rumah tangga petani ditentukan oleh luas penguasaan lahan, Implikasinya, kebijakan di bidang usaha tani padi lebih banyak dinikmati oleh
petani dengan skala usaha yang luas.
Masalah utama yang dihadapi oleh petani padi di Indonesia ditentukan oleh implikasi dua faktor pengendali berikut: Pertama, implikasi dari globalisasi
khususnya liberalisasi perdagangan internasional yang akan meningkatkan tekanan pesaing dari negara lain. Kecenderugan yang terjadi adalah: a di pasar
produk pertanian, harga akan cenderung tertekan ke bawah karena petani dari sejumlah negara eksportir mampu menekan biaya pokok produksi sehingga dapat
memasarkan produksinya dengan harga yang lebih rendah, b di pasar sarana produksi, harga riil cenderung meningkat karena berbagai bentuk subsidi bagi
industri sarana produksi pertanian semakin dikurangi atau bahkan dihilangkan. Kedua, implikasi dari kelangkaan dan degradasi sumber daya, terutama lahan dan
air. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan perekonomian maka kebutuhan akan lahan dan air akan semakin meningkat. Di sisi lain, praktek-
praktek pendayagunaan sumber daya yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian umumnya tidak menghasilkan keuntungan jangka pendek yang
memadai disinsentif, sehingga laju degradasi lahan dan air sulit ditekan. Akibatnya, persaingan pemanfaatan lahan semakin meningkat, padahal
ketersediaan lahan dan air semakin langka dan kualitasnya menurun.
2 Kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut dapat ditempuh dengan acuan
prinsip efisiensi. Artinya, untuk sejumlah sumber daya tertentu yang dapat dijangkau, petani dituntut mampu memproduksi lebih banyak keluaran output,
atau untuk menghasilkan sejumlah keluaran tertentu, petani harus mampu memanfaatkan sumber daya yang lebih sedikit. Dengan kata lain, kunci pemecahan
masalah ini adalah peningkatan produktivitas sumber daya. Penelitian Dhungana et al. 2004 menyatakan di negara berkembang, inovasi teknologi dan atau introduksi
teknologi baru yang lebih efisien dibutuhkan untuk meningkatkan produksi, akan tetapi terdapat masalah seperti cultural constrains yang menyebabkan teknologi
tersebut tidak dapat diterapkan. Karena itu peningkatan atau perbaikan efisiensi usaha tani menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi padi.
Upaya peningkatan efisiensi usaha tani bukan persoalan yang sederhana. Gugus variabel yang harus dipertimbangkan petani sangat banyak, bukan hanya
yang berdimensi teknis dan ekonomis, tetapi juga sosial budaya. Dalam dimensi teknis, penguasaan budidaya pertanian yang produktif menjadi syarat utama yang
harus dipenuhi. Dalam dimensi ekonomi, kemampuan petani menjangkau dan mengolah informasi yang berkaitan dengan tingkat kelayakan finansial dan
prospek pemasaran tiap jenis komoditas yang secara teknis dapat diusahakan harus semakin tinggi. Dalam dimensi sosial budaya, petani dihadapkan pada
kenyataan bahwa setiap keputusan dan tindakan dalam usaha taninya harus selalu berada dalam bingkai norma setempat, sehingga berbagai perubahan yang perlu
dilakukan harus selaras dengan dinamika sosial budaya setempat. Secara simultan, ketiga dimensi itu harus dipertimbangkan ketika petani akan mengambil
keputusan tentang apa, kapan, seberapa banyak, dengan cara bagaimana, dan kemana akan memasarkan produksi yang akan dihasilkannya.
Lahan sawah di Indonesia pada umumnya telah mengalami degradasi kesuburan tanah fisik, kimia dan biologi sebagai akibat dari pemupukan kimia
pada sistem Bimas dan Inmas dalam era pembangunan orde baru yang diindikasikan oleh rendahnya kandungan bahan organik. Dampaknya antara lain,
tanah menjadi keras dan liat sehingga sulit diolah, respon terhadapan pemupukan rendah, tidak responsif terhadap unsur hara tertentu, tanah menjadi masam,
penggunaan air irigasi menjadi tidak efisien serta produktivitas tanaman cenderung stagnan dan semakin susah untuk ditingkatkan. Hal ini disebabkan
oleh kesuburan tanah yang semakin menurun karena cara-cara pengelolaan lahan sawah yang kurang tepat. Kebiasaan petani menggunakan pupuk kimia yang terus
menerus sedangkan bahan organik yang berupa jerami padi tidak dikembalikan ke lahan tetapi dibuang atau dibakar, sehingga mengakibatkan lahan sawah menjadi
miskin unsur hara yang dibutuhkan tanaman serta memburuknya sifat fisik lahan.
Peran kemantapan produksi pangan mempunyai saham yang cukup besar dalam hubungannya dengan kemantapan pembangunan nasional bagi seluruh
rakyat Indonesia, sebagaimana diketahui pula bahwa mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal di wilayah perdesaan dengan mata pencaharian pokok
pada sektor pertanian khususnya pertanian tanaman pangan, upaya untuk mempertahankan swasembada pangan akan berpengaruh pula pada kestabilan
sosial politik yang diperlukan dalam pembangunan nasional.
Berdasarkan nilai tukar petani, tingkat daya beli petani tanaman pangan baik tingkat nasional maupun regional Jawa Barat dari tahun 2008 sampai 2010 terjadi
penurunan dibandingkan dengan tahun dasar tahun 2007, hal ini ditunjukkan
3 denga nilai NTP yang kurang dari 100. Baru dari tahun 2011 hingga 2012 nilai
NTP tanaman pangan lebih dari 100, hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan daya beli petani Gambar 1.1. Nilai NTP kurang dari 100 NTP 100 dapat
diartikan bahwa kemampuan daya beli petani periode tersebut relatif lebih buruk dibandingkan dengan periode tahun dasar, sebaliknya jika nilai NTP 100 berarti
terjadi kenaikan daya beli petani. NTP merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani, karena mengukur kemampuan tukar
produk yang dihasilkan petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani baik untuk proses produksi maupun untuk konsumsi rumah tangga petani.
90.00 92.00
94.00 96.00
98.00 100.00
102.00 104.00
106.00
2008 2009
2010 2011
2012 N
T P
P e
ta n
i T
a n
. P
a n
g a
n
NTPP Nasional NTPP Jabar
Sumber: BPS Pusat berbagai tahun
Gambar 1.1 Nilai tukar petani tanaman pangan NTPP Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa
Barat dengan kondisi sumber daya alam terutama sumber daya lahan dan sumber daya irigasi yang cukup baik dalam mendukung budidaya tanaman, sehingga
merupakan daerah sentra produksi pertanian. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik BPS Kabupaten Indramayu, Kabupaten Indramayu memiliki luas
wilayah 204 011 hektar yang terdiri atas 119 043 hektar 58.35 merupakan lahan sawah beririgasi dengan irigasi teknis sebesar 71 343 hektar dan 23 737
hektar irigasi setengah teknis, sedang 23 963 hektar di antaranya adalah lahan sawah tadah hujan. Adapun luas lahan kering di Kabupaten Indramayu tercatat
seluas 84 968 hektar atau sebesar 41.65 dari luas wilayah seluruhnya.
Sebagai lumbung beras di Jawa Barat, Kabupaten Indramayu masih tertinggi dalam produksi padi se-Propinsi Jawa Barat Gambar 1.2, dalam periode
sebelas tahun terakhir dari tahun 2001 sampai 2011, Kabupaten Indramayu masih nomor satu dalam produksi padi se-Propinsi Jawa Barat. Produksi padi
selama kurun waktu tersebut rata-rata mencapai 1.14 juta tontahun dengan rata- rata produktivitas sebesar 56.07 kuintalhektar. Oleh karena itu, sektor pertanian
merupakan sektor basis unggulan di Kabupaten Indramayu di samping sektor pertambangan dan sektor industri pengolahan. Sektor pertanian pada tahun 2011
menyumbang 19.93 terhadap total Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan tahun 2000 Kabupaten Indramayu, penyumbang terbesar kedua
setelah sektor pertambangan dan penggalian 29.41. Selain itu data penduduk Kabupaten Indramayu berdasarkan sektor usaha utama menunjukkan sebanyak
4 56.36 penduduk yang berusia di atas 15 tahun bekerja di sektor pertanian baik
sebagai petani pemilik, petani penggarap, maupun sebagai buruh tani BPS Indramayu 2011.
400,000 500,000
600,000 700,000
800,000 900,000
1,000,000 1,100,000
1,200,000 1,300,000
1,400,000 1,500,000
2001 2002
2003 2004
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011 P
ro d
u k
si P
a d
i t
o n
Indramayu Subang
Karawang Sukabumi
Cianjur
Sumber: BPS Jabar 2012; Kementan 2012
Gambar 1.2 Produksi padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat Produktivitas tanaman padi di Kabupaten Indramayu cukup tinggi,
produktivitas tertinggi terjadi pada tahun 2011, dimana produktivitasnya mencapai 61.26 kuintalhektar dengan total produksi 1.42 juta ton. Jika dibandingkan
dengan produktivitas padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat dan tingkat Propinsi Jawa Barat serta tingkat nasional, produktivitas padi Kabupaten
Indramayu masih lebih tinggi Gambar 1.3
42.00 44.00
46.00 48.00
50.00 52.00
54.00 56.00
58.00 60.00
62.00
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 P
ro d
u k
ti v
it a
s P
a d
i k
u h
a
Indramayu Subang
Karawang Sukabumi
Cianjur Jawa Barat
Indonesia
Sumber: BPS Jabar 2012; Kementan 2012
Gambar 1.3 Produktivitas padi di beberapa kabupaten di Jawa Barat, tingkat Propinsi Jawa Barat dan Indonesia
Namun demikian, tingginya produktivitas tersebut tidak berbanding lurus dengan besarnya tingkat pendapatan baik di tingkat petani maupun di tingkat
wilayah dan kesejahteraan petani. Di tingkat wilayah, besarnya pendapatan
5 produk domestik regional bruto PDRB per kapita Kabupaten Indramayu masih
tergolong rendah jika dibandingkan dengan PDRB per kapita Propinsi Jawa Barat dan di tingkat nasional. Dari tahun 2007 sampai 2011, rata-rata PDRB per kapita
atas dasar harga konstan tahun 2000 tanpa migas Kabupaten Indramayu mencapai 4.85 juta rupiah per tahun, sedangkan tingkat Propinsi Jawa Barat 7.64
juta rupiah per tahun dan tingkat nasional 9.77 juta rupiah per tahun BPS 2012.
Produktivitas usaha tani padi yang telah dicapai oleh petani di Kabupaten Indramayu belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani. Kondisi riil di
lapangan menunjukkan bahwa persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu tergolong cukup tinggi. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa
dampak dari tingginya produktivitas padi secara langsung diduga belum dapat dinikmati oleh kalangan petani. Jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten di
Jawa Barat tingkat persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu menempati posisi tertinggi ke dua setelah Kota Tasikmalaya, dan jika
dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di Propinsi Jawa Barat maupun di tingkat nasional, tingkat prosentase kemiskinan di Kabupaten Indramayu masih
lebih tinggi. Pada tahun 2010 persentase penduduk miskin di Kabupaten Indramayu mencapai 16.58, sedangkan Jawa Barat 11.27 dan tingkat nasional
13.33 BPS Jabar 2012. Begitu juga dengan tingkat indeks pembangunan manusia IPM, IPM Kabupaten Indramayu pada tahun 2010 yaitu 67.75, paling
rendah jika dibandingkan dengan IPM beberapa kabupaten di Propinsi Jawa Barat Tabel 1.1 Oleh karena itu, sejauh mana pengaruh dari perkembangan sektor
pertanian terutama komoditas padi terhadap pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Indramayu perlu dilakukan kajian yang komprehensif.
Tabel 1.1 Tingkat kemiskinan dan IPM beberapa kabupaten di Propinsi Jawa Barat
Kabupaen Kota
Garis kemiskinan Jumlah penduduk
miskin Persentase
penduduk miskin
IPM 2009
2010 2009
2010 2009
2010 2009
2010
Indramayu 242 931
264 576 319 530
276 000 17.99
16.58 67.39
67.75 Subang
219 956 234 803
201 780 198 300
14.13 13.54
70.86 71.14
Karawang 239 832
266 597 264 830
260 200 12.90
12.21 69.47
69.79 Sukabumi
174 793 184 127
265 480 249 500
11.78 10.65
70.17 70.66
Cianjur 192 176
202 438 311 120
310 900 14.14
14.32 68.66
69.14 Cirebon
211 501 230 346
390 540 333 300
18.22 16.12 68.37
68.89 Kota
Tasikmalaya 243 897
263 177 140 110
131 500 23.55
20.71 75.17
74.40 Jawa Barat
220 068 230 445
4 983 600 4 716 000
11.96 11.27
71.64 72.29
Indonesia 200 979
212 672 32 530 000
31 020 000 14.15
13.33 71.76
72.27 Sumber: BPS Jabar 2012
Sistem usaha tani padi yang dilakukan oleh petani Kabupaten Indramayu dikategorikan masih sederhana konvensional, karena masih mengandalkan
pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para pendahulunya. Tingkat efisiensi usaha tani padi yang rendah dan metode usaha tani yang belum
optimal menjadi penyebab rendahnya pendapatan yang diterima oleh petani. Tingginya tingkat produktivitas padi ternyata disertai dengan kecenderungan
6 penggunaan faktor-faktor produksi yang masih berlebihan in-efisien. Hal ini
menyebabkan tingginya biaya produksi, sehingga keuntungan bersih yang diterima oleh petani menjadi tergolong rendah. Kenaikan harga-harga faktor
produksi seperti pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja telah memperburuk tingkat pendapatan petani.
Upaya dalam meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan produksi pertanian tanaman pangan khususnya padi, sejak tahun 1999 di Indonesia telah
dikenalkan suatu sistem usaha tani padi yang hemat penggunaan input produksi dan tingkat produktivitasnya yang tinggi jika dibandingkan dengan sistem usaha
tani konvensional, yaitu metode SRI System of Rice Intensification. Metode SRI merupakan sistem teknik budidaya tanaman padi yang mengubah cara petani ke
arah bagaimana mengelola tanaman padi, air dan zat hara tanaman nutrient agar mampu meningkatkan pertumbuhan akar serta mendorong peningkatan dan
keragaman jenis-jenis organisme tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode SRI dapat meningkatkan pendapatan petani jika dibandingkan dengan metode konvensional
Wardhana 2009; Juanda et al. 2011. Anugerah et al. 2008 melaporkan bahwa penerapan metode SRI mampu 1 meningkatkan hasil produksi jika dibandingkan
dengan budidaya padi kovensional; 2 meningkatkan pendapatan; 3 meningkatkan efisiensi produksi dan efisiensi usaha tani secara finansial; serta 4
pangsa harga pasar lebih tinggi sebagai beras organik.
Konsep pertanian yang efisien dan ramah lingkungan, ke depan menjadi keharusan yang mesti diterapkan dalam usaha tani padi di Indonesia, untuk
mencapai kondisi tersebut perlu adanya masukan berbagai kebijakan yang dapat mengarahkan pada pemanfaatan yang optimal dari segala sumber daya potensial
yang dapat dikembangkan di lokasi tertentu spesifik lokasi. Oleh karena itu, kajian mengenai analisis sistem pertanian padi sawah metode konvensional dan
SRI perlu dilakukan kaitannya dengan tingkat pendapatan rumah tangga petani dan tingkat pendapatan wilayah, serta bagaimana peranan komoditas padi
terhadap kinerja perekonomian Kabupaten Indramayu menjadi topik yang menarik untuk dilakukan penelitian.
1.2 Perumusan Masalah