muka air waduk juga dipengaruhi oleh keluaran Waduk Saguling yang merupakan inflow Waduk Cirata dan tingkat sedimentasi di waduk. Jika
sedimentasi di waduk tinggi maka mempengaruhi kapasitas tampungan waduk yang pada akhirnya mempengaruhi tinggi muka air waduk. Oleh karena cuaca
sulit diprediksi dan siklus musim tidak teratur sehingga produksi listrik setiap tahun akan berbeda. Selain itu kesiapan pembangkit thermal base load juga
mempengaruhi pengoperasian PLTA Cirata. Jika pembangkit thermal berkapasitas besar dalam kondisi outage keluar dari sistem atau ada gangguan transmisi 500
kV sutet tegangan tinggi maka PLTA Cirata akan dioperasikan base load sehingga produksi akan meningkat.
Terjadinya penurunan curah hujan yang drastis pada tahun 1997 dipengaruhi oleh musim, adanya gejala el nino menyebabkan beberapa wilayah di
Indonesia mengalami kekeringan. PLTA Cirata pun mendapat dampak dari adanya gejala el nino tersebut, sehingga produksi listrik turun drastis pada level
858.040 MwH. Di tahun 2010-2011, terjadi gejala yang berkebalikan, dimana pada tahun tersebut curah hujan saat tinggi, dan PLTA difungsikan maksimum.
Bagian terpenting dari suatu waduk adalah besarnya kapasitas tampungan mati dead storage. Kapasitas tampungan mati tersebut mempunyai batas masa
layan yang telah direncanakan sejak awal pembangunannya. Apabila batas masa layan ini terlampaui berarti kapasitas tampungan matinya diperkirakan sudah
tertutup penuh oleh sedimen dan waduk berfungsi sebagai waduk runoff. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari PT. PJB dalam Laporan
pengukuran sedimentasi, maka dapat diprediksi umur layanan waduk. Untuk menghitung perkiraan sisa umur layan waduk menggunakan rumus sebagai
berikut: Vs = Vp
– Va Dimana :
Vs = Volume sedimen yang diendapkan m
3
Vp = Volume waduk pada saat perencanaan m
3
Va = Volume waduk aktual m
3
Berdasarkan rumus diatas, dapat dihitung besarnya volume sedimen yang diendapkan pada elevasi +185 yaitu sebesar 123 juta m
3
, pada elevasi +205 m sebesar 117 juta m
3
dan pada elevasi +220 m sebesar 146 juta m
3
. Dengan rumus tingkat laju sedimentasi waduk, maka dapat dihitung pada elevasi +185 m sebesar
6,15 juta m
3
tahun, pada elevasi +205 sebesar 5,85 juta m
3
tahun dan pada elevasi +220 m sebesar 7,3 juta m
3
tahun. Dengan rumus diatas maka dapat diperkirakan bahwa sisa umur layan waduk pada elevasi +185, +205 dan +220 adalah berturut-
turut 60 tahun, 180 tahun dan 250 tahun. Perhitungan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa laju sedimentasi tidak bertambah dari tahun ke tahun dan kondisi
hutan, tata guna lahan di daerah aliran sungai Citarum hulu dan wilayah sabuk hijau green belt di sekeliling Waduk Cirata tidak lebih buruk dari kondisi
sekarang. Berikut ini adalah matriks perhitungan umur layanan waduk :
Gambar 22 . Ilustrasi Umur Layan Waduk Setelah Pengukuran Sedimentasi 2007
7.3 Perhitungan Estimasi Kerugian
Perhitungan estimasi kerugian PLTA akibat sedimentasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu productivity approach dan Benefit Cost Analysis.
Benefit cost analysis merupakan pendekatan dengan membandingkan ratio antara
keuntungan yang dihasilkan, dalam hal ini produksi listrik dan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi listrik. Pendekatan ini membutuhkan data-data
berbagai macam pengeluaran cost dalam memproduksi listrik dan benefit yang
diperoleh dalam usaha penjualan produksi listrik. Productivity approach membutuhkan data produksi dan analisis dilakukan dengan melihat trend produksi
yang dihasilkan.
Adanya gap
atau penurunanpeningkatan
produksi mengindikasikan adanya potensi kerugiankeuntungan. Dalam penelitian ini
dilakukan kombinasi diantara dua pendekatan tersebut, produktivity approach dan benefit cost analysis
. Hal ini karena produktivitas listrik yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh curah hujan, kesepakatan dalam kelompok P3B, sistem
interkoneksi Jawa-Bali, faktor-faktor managemen dan politis. Sementara itu benefit cost analysis
membutuhkan data-data keuangan yang kemungkinan sulit diperoleh secara lengkap dan berurutan sesuai waktu beroperasinya pembangkit.
7.3.1 Analisis Benefit
Pendekatan yang dilakukan untuk memperoleh data benefit adalah dengan melihat data produksi listrik dan mencari data harga jual listrik dari produsen ke
perusahaan listrik. PT. PJB memiliki dokumentasi data produksi yang lengkap, customize
dan bisa diakses pihak luar. Data yang diperoleh untuk produksi listrik tersedia dari mulai awal pembangkit beroperasi ditahun 1988 sampai dengan
tahun 2011 dalam satuan MwH. Data produksi listrik tersebut merupakan data gross yang belum mempertimbangkan susut trafo kehilangan energi dalam
transmisi distribusi dan pemakaian sendiri. Berdasarkan hasil analisis data produksi, rata-rata susut trafo dan pemakaian sendiri kurang dari 10 persen
terhadap produksi gross. Oleh karena itu Tabel 25 dibawah ini berisi data produksi gross, produksi net, rata-rata produksi dan data penjualan.
Data penjualan diperoleh dengan mengalikan produksi listrik net dan harga jual listrik kepada PT. PLN Persero. Penjualan listrik ini dilakukan melalui
hubungan kerjasama yang istimewa. Penentuan harga ditetapkan berdasarkan perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan
pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya. Menurut Laporan Tahunan PT. PJB Tahun 2010, harga jual listrik Rp679,00KwH
lebih rendah dibandingkan harga tahun 2009 yang ditetapkan sebesar Rp680,00KwH. Berdasarkan data rata-rata harga jual listrik dalam 10 tahun
terakhir 2000-2010, diperoleh rata-rata harga jual Rp399,00KwH. Oleh karena
itu untuk perhitungan benefit perusahaan ditetapkan harga jual listrik sebesar
Rp350,00KwH.
Tabel 25
. Data Produksi Listrik Gross, Estimasi Produksi Listrik Netto dan Penjualan Listrik dari Tahun 1988-2011
TAHUN Prod. Gross
MwH Prod. Netto
MwH Rata-rata
MwH Data Penjualan Rp
1988 797.464
717.718 72.497
251.201.160.000 1989
1.258.056 1.132.250
104.838 396.287.640.000
1990 1.253.904
1.128.514 104.492
394.979.760.000 1991
1.106.550 995.895
92.213 348.563.250.000
1992 1.799.207
1.619.286 149.934
566.750.205.000 1993
1.607.459 1.446.713
133.955 506.349.585.000
1994 1.488.516
1.339.664 124.043
468.882.540.000 1995
1.402.533 1.262.280
116.878 441.797.895.000
1996 1.481.659
1.333.493 123.472
466.722.585.000 1997
858.040 772.236
71.503 270.282.600.000
1998 1.731.668
1.558.501 144.306
545.475.420.000 1999
1.357.189 1.221.470
113.099 427.514.535.000
2000 1.292.114
1.162.903 107.676
407.015.910.000 2001
1.691.325 1.522.193
140.944 532.767.375.000
2002 1.369.796
1.232.816 114.150
431.485.740.000 2003
956.810 861.129
79.734 301.395.150.000
2004 1.140.901
1.026.811 95.075
359.383.815.000 2005
1.374.487 1.237.038
114.541 432.963.405.000
2006 891.707
802.536 74.309
280.887.705.000 2007
1.110.929 999.836
92.577 349.942.635.000
2008 1.216.975
1.095.278 101.415
383.347.125.000 2009
1.291.748 1.162.573
107.646 406.900.620.000
2010 2.401.036
2.160.932 200.086
756.326.340.000 2011
1.068.098 961.288
89.008 336.450.870.000
Rata-rata 1.331.174
1.198.056 111.183
419.319.744.375
Sumber : Data PT. PJB yang diolah 2012
Untuk mendapatkan gambaran benefit sampai dengan akhir proyek, maka dilakukan ektrapolasi data berdasarkan data benefit diatas. Ektrapolasi dilakukan
dengan membuat model regresi variabel tunggal yaitu waktu. Model yang diperoleh dapat memberikan gambaran estimasi benefit yang diperoleh PT. PJB
sampai dengan akhir proyek. Hasil ektrapolasi benefit sampai dengan tahun 2075 87 tahun dapat dilihat pada Lampiran 10.
7.3.2 Analisis Cost
Identifikasi selanjutnya adalah identifikasi costbiaya operasional dan maintenance
yang harus dikeluarkan oleh PT. PJB untuk kegiatan produksi listrik. Komponen biaya operasional secara keseluruhan meliputi : pemeliharaan saluran
air, pemeliharaan instalasi, pemeliharaan saluran, pemeliharaan unit umum dan pemeliharaan unit bisnis. Komponen biaya maintenance meliputi pembelian suku
cadang, pemakaian umum, pembelian alat kontrolinstrumen dan pembelian suku cadang mesin.
Tabel 26 . Estimasi Cost OperasionalMaintenance vs Cost Karena Sedimentasi
Tahun Pemeliharaan
Saluran Air Biaya Operasional BPWC
Total OpsMaint Cost
2000 33.265.008
11.000.000.000 66.259.872.801
2001 32.380.000
11.550.000.000 81.071.635.377
2002 -
12.127.500.000 937.969.435.328
2003 -
12.733.875.000 283.015.367.013
2004 -
13.370.568.750 261.525.906.695
2005 -
14.039.097.188 265.840.403.730
2006 239.804.100
14.741.052.047 291.854.686.832
2007 1.262.209.854
15.478.104.649 270.217.636.678
2008 667.491.400
16.252.009.882 284.391.251.046
2009 -
17.064.610.376 265.824.163.151
2010 -
17.917.840.895 283.846.488.948
2011 2.956.764.047
18.813.732.939 279.710.170.503
Rata-rata 432.659.534
14.590.699.310 297.627.251.509
Sumber : Data Primer yang diolah 2012
Berdasarkan hasil wawancara dengan staf keuangan, jenis biaya yang harus dikeluarkan berkaitan dengan akibat sedimentasi adalah pembersihan
saluran air. Biaya pembersihan saluran air ini bukanlah merupakan pengeluaran rutin setiap tahun, hanya pengeluaran tentatif yang diperlukan jika terjadi
sumbatan atau kerusakan saluran air. Oleh karena tingkat sedimentasi berkaitan dengan tata kelola waduk, maka PT. PJB memberikan kewenangan kepada
BPWC sebagai anak perusahaan PT PJB UP Cirata untuk mengatur dan memastikan kualitas dan kuantitas air waduk dengan biaya operasional rutin
BPWC berasal dari PT. PJB sebesar Rp. 11-15 milyartahun. Informasi ini akan dimasukkan dalam operasional cost untuk menangani sedimentasi. Tabel 25 diatas