Faktor Ekonomi ANALISIS KELEMBAGAAN

Walaupun usaha budidaya yang dikembangkan pun saat ini tidak luput dari kutukan sumber daya resource curse dimana teori ini mengatakan bahwa masyarakat yang memiliki wilayah dengan sumber daya yang besar cenderung memiliki tingkat penghidupan yang jauh dari layak. Teori ini terbukti untuk kasus Cirata, dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki usaha KJA yang memiliki penghidupan yang layak, sementara itu hampir sebagian besar penduduk hanyalah buruh KJA dengan tingkat pendapatan rata-rata per bulan Rp600 000 – 800 000.00. Pemilik KJA berdasarkan sensus BPWC 2011 menunjukkan bahwa kepemilikan KJA 83 persen dikuasai oleh pribumi dan 14 persen non pribumi. Namun pada saat penelitian di lapangan dari 69 RTP, 40 persen diantaranya adalah milik pribumi dan 60 persen milik masyarakat di luar penduduk sekitar waduk. Jumlah unit KJA yang dimiliki oleh rata-rata pribumi hanya 4 unit sedangkan untuk non pribumi rata-rata memiliki 7 unit KJA. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat asli tidak mendapatkan manfaat cukup besar dari adanya waduk karena memiliki keterbatasan modal dan pengetahuan. Untuk masyarakat yang saat ini memiliki KJA dengan tingkat kepemilikan hanya 4 unit memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk gulung tikar manakala harga ikan turun atau harga pakan meningkat. Satu-satunya akses permodalan mereka adalah para sub agen pakan, dalam mekanisme principal agent. Sehingga ketika terjadi kasus kematian ikan karena musim ataupun penyakit, dengan jumlah karamba yang sedikit, mereka rentan menghadapi pengambil alihan karamba oleh sub agen pakan. Dengan tingkat pendidikan masyarakat saat ini yang sebagian besar hanya tamat SD bahkan putus sekolah di tingkat dasar 70 persen untuk RTP, tentu saja dalam jangka panjang mereka pun memiliki kerentanan yang tinggi untuk tidak mencapai penghidupan yang lebih layak atau secara tehnis memperluas usaha karamba yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka cenderung mudah dipermainkan oleh pelaku-pelaku ekonomi dengan pengaruh yang besar. Diharapkan dengan adanya kelompok-kelompok petani, mereka bisa diberdayakan dan mendapatkan dukungan, pengetahuan serta perubahan paradigma untuk kelangsungan usaha dan waduk yang menjadi tempat usaha mereka.

8.3 Faktor Politik

Berdasarkan data-data analisa stakeholder, maka diperoleh beberapa permasalahan terkait dengan pengelolaan lingkungan waduk. Pertama, oleh karena waduk Cirata meliputi 3 kabupaten dan kewenangan pengelolaan diserahkan kepada propinsi, maka secara politis Waduk Cirata adalah milik Propinsi Jawa Barat. Kedua, karena sumber daya ini milik propinsi maka semua bentuk kebijakan kabupaten seperti SK Bupati, Peraturan daerah dan kebijakan apapun yang dibuat oleh kabupaten tidak berlaku dan tidak bisa diterapkan di Waduk Cirata. Ketiga, oleh karena sumberdaya ini tidak mendatangkan keuntungan untuk daerah, maka dukungan dari pemerintah daerah terhadap sumberdaya ini juga relatif kecil. Hal ini dapat dilihat dari dinas-dinas terkait yang berwenang dalam pengelolaan budidaya perikanan maupun lingkungan hidup tidak memiliki dana untuk kegiatan operasionalnya. Dalam implemetasi di lapangan, walaupun kewenangan pengelolaan waduk Cirata berada di tangan propinsi namun masalah tehnis tetap ditangani oleh kabupaten. Oleh karena itu sejak awal masing-masing kabupaten melakukan upaya-upaya pembinaan tehnis kepada petani dan nelayan melalui instansi dinas terkait yaitu dinas perikanan.

8.3.1 Kabupaten Purwakarta

Kabupaten Purwakarta memiliki bangunan TPI Tempat Pelelangan Ikan yang saat ini sudah tidak digunakan lagi, dan 1 orang petugas penyuluh lapangan untuk melayani 1 kecamatan yaitu kecamatan Maniis sejak tahun 1990. Sebelum tahun 1997, TPI digunakan untuk pencatatan penarikan ikan dari Waduk dan penarikan retribusi budidaya perikanan. Untuk kepentingan tersebut ditempatkan 3 orang staf selain petugas penyuluh lapangan. Namun sejak tahun 1997 TPI tidak difungsikan lagi dan hanya digunakan untuk pelayanan umum seperti pengajian dan rapat desa. Selain Cirata, Kabupaten Purwarkarta memiliki kewenangan mengelola Waduk Jatiluhur secara penuh, karena waduk tersebut hanya berada di wilayah Purwakarta. Untuk itu Waduk Jatiluhur dikenai wajib PAD sebesar Rp.120jutatahun, sedangkan Waduk Cirata secara legalitas dimiliki oleh propinsi. Oleh karena lintas 3 kabupaten dan Purwakarta hanya memiliki 20 persen dari perairan Waduk Cirata, maka perda kabupaten tidak bisa diterapkan untuk Cirata, sehingga retribusi untuk jaring apung dan perikanan tangkap tidak bisa ditarik dan PAD kabupaten tidak bisa dibebankan untuk Cirata. Oleh karena itu lebih banyak program bantuan dan staf di alokasikan ke Jatiluhur dibandingkan Cirata. Misalnya : bangunan TPI, staf perikanan, kolam percontohan, bantuan jaring, perahu, dan modal. Kegiatan selama 20 tahun ini yang dilakukan oleh Provinsi Jawa Barat baru dilakukan 2 kali pelatihan untuk seluruh petani ikan di Cirata. Sedangkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah daerah sebelum tahun 1997 cukup banyak, antara lain : 1. Tahun 1996, bantuan modal untuk 80 orang petani yang terdiri dari 2 desa 40 orang, masing-masing 3,5jutaorang tepatnya bantuan diberikan di desa Sirnagalih dan tegal datar. 2. 4 paket pabrik pelet di 2 desa sebesar Rp.70.000.000,00; saat ini keberadaan pabrik ini tidak berjalan karena tidak ada pembeli, petani tidak mau coba-coba jenis pakan karena takut gagal panen. Padahal harga jual cukup rendah. Pada saat itu harga pakan RP.4.000,00 sementara produk pakan sendiri dijual dengan harga Rp.2.500,00 3. Berbagai pelatihan dan penyuluhan oleh petugas penyuluh lapangan untuk peningkatan produktivitas ikan, penanganan penyakit dan peringatan dini terjadinya upwelling kepada petani Ketika harga pakan tinggi, pihak dinas tidak bisa berbuat banyak, karena merasa bukan merupakan kewenangan kabupaten, ada pihak yang lebih besar untuk mengatasi masalah lintas sektoral yaitu KKP kementrian Kelautan dan Perikanan. Mereka sekedar mengusulkan adanya subsidi pakan seperti penerapan subsidi pupuk untuk petani padi. Saat ini produsen pakan sama sekali tidak terikat untuk membayar retribusi apapun kepada pihak Kabupaten karena adanya peraturan pemerintah No. 66 tahun 1997 tentang penghapusan retribusi pelayanan umum. Sebelum peraturan itu ditetapkan setiap pakan yang masuk ke Cirata dikenai retribusi sebesar Rp.1Kg. Retribusi inilah yang akan dikembalikan kepada petani untuk kegiatan dan pengembangan usaha budidaya perikanan. Purwakarta dibandingkan dengan dua kabupaten lain dikatakan oleh BPWC sebagai kabupaten yang cukup baik karena 74 persen petani di wilayah Kabupaten Purwakarta telah menggunakan kontruksi drum dan tidak lagi menggunakan styrofoam yang tidak ramah lingkungan. Selama 4 tahun terakhir telah terjadi pengurangan jumlah pemilik karamba dari 11.170 petak di tahun 2007 menjadi 10.049 di tahun 2011.

8.3.2 Kabupaten Bandung Barat

Kabupaten Bandung Barat memiliki kolam percontohan sejak awal waduk dioperasikan untuk kegiatan KJA, terdiri dari 8 unit dan telah menghasilkan berbagai penelitian terkait dengan pembudidayaan ikan air tawar. Antara lain umur ikan yang bisa diperpendek dari 90 hari menjadi 70 hari dengan menggunakan suplemen. Jenis pakan yang paling bagus untuk pertumbuhan optimum ikan, dan lain sebagainya. Penyuluh lapangan ditugaskan sejak tahun 2003 dan telah melakukan berbagai kegiatan penyuluhan kepada petani ikan bersama-sama dengan BPWC. Hal ini dilakukan karena petugas penyuluh tidak memiliki dana operasional untuk kegiatan-kegiatan bimbingan dan penyuluhan tehnis di lapangan. Hal ini berkaitan dengan kewenangan pengelolaan waduk yang dipegang oleh Propinsi Jawa Barat. Sama halnya dengan kondisi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat pun lebih banyak memberikan bantuannya untuk kegiatan-kegiatan di wilayah lain yang mampu memberikan masukan tambahan bagi PAD, sehingga praktis untuk kegiatan di Cirata tidak dianggarkan. Bantuan-bantuan yang selama ini diberikan berasal dari kementrian dan dana dari pusat. Misalnya : DAK Dana Alokasi Khusus berupa modal usaha yang diberikan untuk 2 kelompok petani ikan, masing-masing kelompok senilai Rp.65.000.000,00. Dana PUMP, rencana tahun ini akan diberikan ke desa Cipendeuy. Dana PPK IPM Rp.11.800.000,00kelompok yang diberikan untuk dua kelompok di tahun 2006. Menurut pemerintah daerah yang menjadi masalah petani saat ini bukanlah harga pakan, tetapi harga ikan yang berfluktuatif. Jika pemerintah ingin subsidi, seharusnya subsidi produksi dengan cara menetapkan harga dasar pembelian ikan, dan jangan diserahkan pada mekanisme pasar. Banyak pihak menganjurkan variasi ikan jenis lain. Mengapa petani enggan untuk beralih? karena satu-satunya ikan yang masih memiliki nilai ekonomis adalah ikan mas. Harga ikan gurame, misalnya juga hampir sama tinggi, tapi produksi bisa mencapai 1 tahun, sama halnya dengan ikan patin. Saat ini petani masih bisa bertahan karena ada jaring lapis dua kolor yang berisi ikan nila. Hal yang menjadi kendala jika pemerintah menetapkan harga dasar pakan adalah adanya jaringan terkoordinir yang kuat seperti GPMT, dimana pemerintah sulit mengatasi raksasa ekonomi yang dipenuhi kaum kapitalis, dan adanya alasan bahan baku pakan yang harus diimpor. Oleh karena itu lebih tepat jika pemerintah menetapkan HET ikan, sehingga petani tidak akan dirugikan dengan harga pakan yang tinggi. Kabupaten Bandung Barat memiliki lebih banyak kelompok petani ikan dibandingkan kabupaten Purwakarta, tercatat sebanyak 465 kelompok petani ikan, dan ada 1 kelompok yang menjadi juara nasional tahun 2011 sebagai kelompok terbaik, yaitu kelompok Doa Ibu. Kelompok ini memiliki 54 anggota, dan telah menjalankan prinsip-prinsip koperasi karena mampu memberikan pinjaman modal kepada anggotanya dengan kondisi keuangan yang sehat. Kelompok ini pula yang menjalankan model kearifan lokal dalam pengelolaan budidaya ikan. Pada saat terjadinya kasus kematian ikan massal, anggota kelompok ini bebas dari kematian ikan karena menerapkan cara-cara tradisonial. Keberadaan kelompok ini telah menginsipirasi petani lain untuk bergabung atau membentuk kelompok lain dibawah binaan kelompok Doa Ibu. Di kabupaten Bandung Barat ini pula terbentuk paguyuban kelompok-kelompok petani ikan Cirata dengan nama ASPINDAC Asosiasi Petani Pembudidaya Ikan Cirata. Asosiasi kelompok yang baru dibentuk tahun 2007 ini menguatkan posisinya melalui akta notaris dan menjadi kelompok yang diakui secara nasional. Kabupaten Bandung Barat pula yang mulai menggelontorkan program pelestarian untuk Waduk Cirata dengan memberikan 15 tongkang dan bak sampah untuk menjaga kebersihan waduk.

8.3.3 Kabupaten Cianjur

Kabupaten Cianjur merupakan kabupaten yang memiliki Waduk Cirata terluas, 60 persen perairan waduk berada di kabupaten ini. Petani dan kelompok pembudidaya, kelompok nelayan, kelompok pengolahan ikan juga banyak terdapat di kabupen ini, mereka lebih aktif dan dinamis, karena dukungan dari dinas perikanan sangat besar, hal ini terlihat dari adanya UPTD Unit Pelaksana Tingkat Dinas yang merupakan kantor perwakilan dari dinas perikanan kabupaten. UPTD ini melaksanakan berbagai program kegiatan bersama dengan petani dan masyarakat. Walaupun kondisinya sama dengan dua kabupaten lain, namun Cianjur memiliki metode tersendiri untuk menangani masalah keuangan dan pelaksanaan UPTD-nya yaitu dengan melakukan usaha-usaha pembudidayaan ikan yang dilakukan sama seperti petani lain. Hasil usaha tersebut yang masuk dan disetorkan sebagai PAD. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua UPTD Dinas Perikanan Kab Cianjur, Cirata dikenai wajib PAD rata-rata sebesar Rp.32.800.000tahun. Pada awal operasional waduk, Kabupaten Cianjur pernah menerapkan PERDA Kabupaten Cianjur No 11 Tahun 1992 yaitu menerapkan retribusi QC Quality Control untuk hasil budidaya ikan sebesar Rp.1Kg. Hasil retribusi ini dapat meningkatkan PAD sebesar Rp15.000.000,00. Retribusi ini berlaku sampai dengan tahun 1997. Setelah tahun 1997 terbit peraturan pemerintah pusat mengenai penghapusan semua retribusi bagi pelayanan umum kepada masyarakat dan aturan ini berlaku untuk semua kabupaten. Dengan adanya peraturan tersebut, pemerintah daerah kehilangan sumber pendapatan untuk daerahnya dan tidak memiliki alternatif lain dalam mendukung kegiatan-kegiatan perekonomian dan budidaya di Cirata. Pengelolaan waduk dinilai sangat minim menurut hasil wawancara dengan petani karena pihak provinsi yang mempunyai kewenangan untuk mengelola waduk kurang ―menyentuh‖ kebutuhan dan permasalahan stakeholder yang berkepentingan dengan Waduk Cirata. Hal ini dikarenakan kurangnya sumber daya manusia di tingkat propinsi dan adanya benturan dengan daerah berkaitan dengan otonomi daerah. Oleh karena itu BPWC sebagai lembaga pengelola waduk yang ditunjuk oleh PT. PJB atas referensi Gubernur memiliki peranan penting dalam melakukan pengelolaan waduk. Namun kewenangan BPWC sebagai badan juga tidak mumpuni untuk mengelola waduk seluas 6600 ha. Tugas pokok dan kewenangannya pun terbatas pada kebersihan, penghijauan, pemantauan kualitas dan kuantitas air waduk. Walaupun demikian stakeholder lebih banyak mengenal BPWC sebagai ―pemilik‖ waduk dibandingkan pemerintahan propinsi Jawa Barat.