Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk terhadap Sedimentasi

kehilangan tebal lapisan tanah di seluruh permukaan daerah alisan sungai lokal Cirata sebesar 3,96 mm Luas DAS lokal 1.836 Km 2 . Dengan asumsi berat jenis sedimen di Waduk Cirata sebesar 0,6 tonm 3 maka besar volume sedimen di Waduk Cirata sekitar 4,37 juta ton per tahun. Pengurangan kapasitas tampungan waduk dari sejak perencanaan sampai tahun 2007 bervariasi untuk setiap elevasi. Adapun pengurangan kapasitas tampungan untuk setiap elevasi dapat dilihat dari perbedaan kapasitas tampungan antara hasil pengukuran sedimen dengan perencanaan seperti pada Tabel 23. Sesuai hasil penelitian sedimentasi diatas, maka pada kondisi saat ini produksi listrik Cirata masih dalam status aman. Yang patut diperhatikan adalah tingkat sedimentasi yang harus dijaga, bahkan dikurangi untuk bisa memperpanjang umur waduk dan tetap menjaga kontinuitas pasokan listrik. Tabel 24. Perbedaan Kapasitas Tampungan antara Perencanaan vs Pengukuran Elevasi Vol Vol Pengurangan Kapasitas m Juta m 3 Juta m 3 Juta m 3 220 1973 1827 146 7,4 215 1677 1548 129 7,7 210 1411 1292 119 8,5 205 1177 1060 117 10 200 971 851 120 12,4 195 790 666 124 5,7 190 630 505 125 19,8 185 491 368 123 25,1 180 373 254 119 31,8 175 277 186 91 32,7 170 200 134 66 33,1 165 140 90,1 50 35,6 160 100 55,3 45 44,7 150 50 12 38 76 140 20 4,06 16 79,7 130 0,011 Sumber : Data Pengukuran Sedimentasi PT PLN PJB 2008 Apabila terjadi musim kemarau yang panjang, dan tinggi muka air sampai pada elevasi terendah maka sistem pola operasi waduk kaskade berlaku. Misalnya dengan meminta pasokan air dari Waduk Saguling di hulu sungai. Permintaan tersebut harus melalui sistem dan prosedur yang dibangun oleh PT PLN untuk kaskade tiga bendungan yaitu PLTA Saguling, Cirata dan jatiluhur, serta masing- masing otorita. Sistem ini yang disebut P3B Penyaluran Pusat Pengatur Beban. Setiap bulan anggota P3B mengadakan rapat rutin untuk menentukan berapa target yang diwajibkan untuk Cirata, Saguling dan Jatiluhur dalam produksi listrik, penggunaan air irigasi, air minum, dan peruntukkan lainnya berdasarkan data curah hujan dari Meteorologi dan data-data pendukung lain dari BPPT. Hasil rapat ini harus disepakati, tidak boleh dilanggar dan menjadi indikator performance masing-masing otorita pembangkit.

7.2 Perhitungan Produksi Listrik

Dalam perhitungan produksi listrik yang dikaitkan dengan ketersediaan pasokan air, berlaku ilmu mekanika fluida, dimana terdapat 4 Empat perubahan energi yang diperlukan dari air menjadi listrik yaitu : energi ketinggian potensial menjadi energi kecepatan kinetik. Dari energi kecepatan dirubah menjadi energi mekanik atau energi putar dan terdapat generator di dalam turbin yang berfungsi merubah energi putar menjadi energi listrik. Kerugian yang diperoleh bisa terjadi pada saat perubahan energi kinetik, karena daya yang dihasilkan oleh listrik berhubungan dengan banyaknya air yang dibutuhkan. Perhitungan produksi listrik berdasarkan, ketinggian air h yang diperoleh dari selisih elevasi air di bendungan, di tampungan air dan di pembuangan; flow atau debit air Q; efesiensi turbin massa jenis air seperti rumus dibawah ini, berdasarkan Simanjuntak 2011 : H adalah ketinggian air pada elevasi normal dikurangi elevasi di bendungan dan dikurangi elevasi di pembuangan. Elevasi standar di tail race atau dipembuangan adalah 113 m, elevasi efektif = 103 meter dan elevasi rendah berada pada 97 meter, sehingga didapatkan hasil : H = 215 – 103 – 5,2 H = 106,8 meter Berkaitan dengan operasional waduk untuk kebutuhan pembangkitan listrik, jika batasan TMA tinggi muka air sudah terpenuhi antara 205 sd 220 m, maka pengaturan untuk daya yang dibangkitkan adalah melalui pengaturan debit air yang masuk ke turbin mekanisme pembukaan Guide Vane, yang berarti bahwa flow atau debit air sudah diatur sesuai dengan kapasitas turbin dan listrik yang ingin dihasilkan. Nilai debit ait tersebut adalah : Q = 135 m 3 s Maka : Oleh karena adanya efesiensi generator, maka hasil produksi listrik tersebut akan dikalikan dengan efesiensi generator sebesar 98, sehingga : Dengan perhitungan elevasi standar inilah maka produksi listrik Cirata yang mampu dihasilkan sebesar 126 MW per turbin. Oleh karena PLTA Cirata memiliki 8 turbin, sehingga total kapasitas listrik terpasang yang mampu dihasilkan sebesar 1.008 MW. Jadi TMA sangat mempengaruhi produksi listrik, selama batasan TMA terpenuhi elevasi normal 205 – 220 m, maka operasional pembangkit bisa difungsikan. Ketika TMA semakin menurun dan alat pembangkit terus menerus difungsikan, disinilah peran P3B dalam sistem kaskade Citarum mengatur permintaan produksi listrik. TMA ini sangat dipengarui oleh curah hujan. Oleh karena itu kondisi curah hujan menjadi pantauan yang mutlak dilakukan dalam perencanaan produksi listrik. Bekerjasama dengan lembaga meteorologi, PT. PJB melakukan pantauan perkiraan curah hujan di daerah Jawa Barat dan sekitarnya. Berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan seperti pada gambar dibawah ini, menunjukkan bahwa selama tahun 1994 - 2011 rata-rata curah hujan sebesar 1959,67 mmtahun. Angka curah hujan relatif rendah di tahun 1997, 1999, 2006 dan 2009, dan curah hujan yang cukup tinggi di tahun 2011 seperti yang terlihat dalam Gambar 20. Gambar 20. Data Curah Hujan Rata-rata dari tahun 1994 sd 2011 Gambar 21. Data Produksi Gross Listrik Tahunan dari 1988 sd 2011 MwH Jika data curah hujan dibandingkan dengan produksi listrik seperti yang terlihat pada Gambar 21, maka trend produksi listrik mengikuti alur curah hujan. Oleh karena peningkatanpenurunan curah hujan dapat mempengaruhi tinggi muka air waduk yang pada akhirnya mempengaruhi produksi listrik. Selain curah hujan yang pengukurannya di anak-anak sungai yang bermuara ke waduk, tinggi muka air waduk juga dipengaruhi oleh keluaran Waduk Saguling yang merupakan inflow Waduk Cirata dan tingkat sedimentasi di waduk. Jika sedimentasi di waduk tinggi maka mempengaruhi kapasitas tampungan waduk yang pada akhirnya mempengaruhi tinggi muka air waduk. Oleh karena cuaca sulit diprediksi dan siklus musim tidak teratur sehingga produksi listrik setiap tahun akan berbeda. Selain itu kesiapan pembangkit thermal base load juga mempengaruhi pengoperasian PLTA Cirata. Jika pembangkit thermal berkapasitas besar dalam kondisi outage keluar dari sistem atau ada gangguan transmisi 500 kV sutet tegangan tinggi maka PLTA Cirata akan dioperasikan base load sehingga produksi akan meningkat. Terjadinya penurunan curah hujan yang drastis pada tahun 1997 dipengaruhi oleh musim, adanya gejala el nino menyebabkan beberapa wilayah di Indonesia mengalami kekeringan. PLTA Cirata pun mendapat dampak dari adanya gejala el nino tersebut, sehingga produksi listrik turun drastis pada level 858.040 MwH. Di tahun 2010-2011, terjadi gejala yang berkebalikan, dimana pada tahun tersebut curah hujan saat tinggi, dan PLTA difungsikan maksimum. Bagian terpenting dari suatu waduk adalah besarnya kapasitas tampungan mati dead storage. Kapasitas tampungan mati tersebut mempunyai batas masa layan yang telah direncanakan sejak awal pembangunannya. Apabila batas masa layan ini terlampaui berarti kapasitas tampungan matinya diperkirakan sudah tertutup penuh oleh sedimen dan waduk berfungsi sebagai waduk runoff. Berdasarkan data-data yang diperoleh dari PT. PJB dalam Laporan pengukuran sedimentasi, maka dapat diprediksi umur layanan waduk. Untuk menghitung perkiraan sisa umur layan waduk menggunakan rumus sebagai berikut: Vs = Vp – Va Dimana : Vs = Volume sedimen yang diendapkan m 3 Vp = Volume waduk pada saat perencanaan m 3 Va = Volume waduk aktual m 3