masing-masing zonasi. Hal ini yang seringkali luput dari pemantauan monitoring dan bimbingan tehnis dari masing-masing Dinas Perikanan kabupaten.
Penertiban KJA yang juga menjadi mandat dalam SK ini hanya 1 kali dijalankan dengan melibatkan pihak-pihak terkait. Alasan tidak berjalannya
penertiban KJA karena biaya operasional yang tinggi untuk melakukan penertiban. Surat Keputusan Gubernur ini tidak mengatur tentang sanksi dan
bagaimana penegakan aturan diberlakukan, pihak siapa yang berwenang dan bagaimana prosedurnya. Selama ini masalah di lapangan adalah adanya pihak-
pihak yang ―cuci tangan‖ karena merasa bukan kewenangannya. Siapa yang
berwenang terhadap pengelolaan Waduk Cirata, seperti apa kewenangan yang diterimanya dan bagaimana prosesnya adalah hal yang ditunggu oleh para
stakeholder terhadap pemerintah. Oleh karena karakteristik waduk melintasi beberapa kabupaten yang menjadikan Cirata harus dikelola secara eksklusif.
Eksklusif dalam hal ini adalah perlunya melibatkan ketiga kabupaten yang juga merasa memiliki waduk, memiliki paradigma yang sama terhadap pelestarian
waduk, pembagian peran yang jelas diantara stakeholder dan kepentingan bersama yang harus diutamakan.
Berdasarkan hasil FGD dengan enam kelompok petani pembudidaya, 2 kelompok nelayan dan 2 kelompok pengolahan hasil perikanan, mereka
mengatakan bahwa sebaiknya pengelolaan waduk diserahkan kepada pemerintah daerah. Selama ini mereka kurang merasakan adanya sentuhan pemerintah
propinsi Jawa Barat yang justru memiliki kewenangan untuk mengelola Waduk Cirata. Hal ini terlihat dari jumlah kegiatan yang dilakukan pihak propinsi Jawa
barat kepada masyarakat di Cirata sangat sedikit, kunjungan dari pihak dinas perikanan propinsi yang jarang dan seringkali aspirasi petani tidak direalisasikan.
Selama ini mereka merasa dukungan dari pemerintah daerah justru lebih besar, dilihat dari adanya pos atau kolam dinas perikanan masing-masing kabupaten di
kawasan Waduk Cirata dan ditempatkannya petugas penyuluh lapangan yang khusus menangani kecamatan yang ada di waduk. Dalam Surat Keputusan
memang disebutkan bahwa wewenang untuk melakukan pembinaan, pengawasan dan monitoring diserahkan kepada instansi tehnis terkait. Namun pelimpahan
wewenang ini tanpa disertai anggaran dari pusat, sehingga pihak daerah harus
menyediakan dana khusus untuk melakukan penugasan ini. Dalam hal ini hukum ekonomi berlaku, jika wewenang dan tugas yang dilakukan tidak mendatangkan
keuntungan secara langsung untuk daerah, dan sifatnya voluntary, tentu saja yang terjadi adalah kualitas ―ala kadarnya‖.
Secara umum, peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah kurang tegas dan tidak banyak mengatur tentang perbaikan kualitas
lingkungan, aktivitas
pelestarian waduk
dan mekanisme
pelimpahan tanggungjawab yang jelas. Oleh karena itu perlu adanya revisi kebijakan terutama
berkaitan dengan pembagian peran pengelolaan waduk dengan pemerintah daerah dan upaya-upaya pelestarian lingkungan waduk untuk menjaga keberlangsungaan
usaha budidaya di Cirata.
8.5 Faktor Teknologi
Karamba dua kolor atau lapis atas dan bawah merupakan inovasi penting dalam mengatasi inefesiensi pakan. Sesungguhnya ikan nila yang ditanam oleh
petani dilapis kedua merupakan ikan pemakan planton dan segala. Sehingga ketika pakan tidak dikonsumsi oleh ikan di lapis atas, akan dimanfaatkan oleh
ikan nila di lapis kedua. Sehingga perkembangbiakan ikan nila tidak memerlukan pakan khusus. Ikan nila merupakan ikan yang lebih tahan terhadap penyakit dan
dalam kondisi perairan yang buruk, namun pertumbuhannya yang lama 7-9 bulan dengan harga jual di pasaran yang rendah Rp7.000,00
– Rp9.000,00 menyebabkan petani tidak menanam ikan nila sebagai bisnis utamanya.
Saat ini tengah dikembangkan budidaya ikan mola sebagai alternatif lain ikan pemakan plankton yang lebih toleran dan tahan terhadap musim dan
penyakit. Ikan mola ini sama halnya dengan ikan nila, bisa dikonsumsi, namun harga jualnya masih rendah dengan pertumbuhan yang relatif lebih lambat.
Namun inovasi ini bisa menjadi pilihan alternatif petani ketika terjadi musim angin barat antara bulan Desember sampai dengan Januari.
Frekuensi pemberian pakan, jumlah pakan, tehnik pemberian pakan dan jenis pakan dengan merk apa yang menghasilkan pertumbuhan ikan paling
optimal sebenarnya sudah diketahui oleh pihak instansi terkait berdasarkan penelitian di kolam pembudidayaan dinas. Saat ini penelitian mengenai alternatif
lain untuk pemberian pakan dengan menggunakan bahan lokal tengah dikembangkan oleh kelompok petani sehingga mereka tidak lagi tergantung pada
pakan komersial yang harga belinya semakin meningkat. Upaya ini merupakan kerjasama kelompok dengan salah satu institusi pendidikan ternama di dalam
negeri. Namun saat ini masih dalam tahap penelitian dan belum disebarluaskan kepada petani maupun anggota kelompok petani. Hal ini berarti bahwa telah ada
upaya-upaya inovasi pembudidayaan yang dilakukan baik oleh dinas tehnis maupun upaya kelompok dalam mengatasi masalah yang ada, namun masalah
komunikasi yang menjadi corong utama dalam penyebarluasan informasi agak terhambat oleh karena belum terbangunnya media komunikasi dalam kelompok
maupun wadah penyebarluasan informasi. Pihak dinas yang diharapkan dapat menjadi jembatan dalam menggerakkan kelompok-kelompok binaannya,
seringkali terkendala masalah tehnis dan pembiayaan. Sementara tidak semua kelompok sudah mandiri dan melakukan kegiatan rapat rutin atau sekedar sharing
diantara anggota kelompok. Walaupun sudah lama terbentuk kelompok-kelompok yang ada masih perlu bimbingan baik tehnis maupun manajerial.
Secara umum petani budidaya, nelayan dan kelompok pengolahan di Cirata berdasarkan hasil penelitian tidak tersentuh oleh teknologi tinggi. Kearifan
lokal masih menjadi andalan dalam mengatasi masalah. Misalnya ketika terjadi kasus kematian budidaya ikan secara massal, petani menggunakan cara-cara
tradisonial dengan berenang mengupayakan air bergerak sehingga oksigen yang dibutuhkan oleh ikan dapat dihasilkan. Saat ini, beberapa petani yang memiliki
modal tidak lagi berenang untuk membuat gelombang air, tetapi menggunakan mesin pompa air untuk memompa dan mengalirkan air kembali ke kolam
sehingga tercipta gelembung dan riak-riak air. Selain itu ketika musim penyakit ikan karena cuaca mendung, curah hujan tinggi dan banyak angin, maka petani
akan menghentikan pemberian pakan, memasukkan batang pisang kedalam kolam dan memberikan ramuan tradisonial ke dalam pakan ikan. Cara ini memang tidak
dapat menyembuhkan atau menghindarkan ikan dari penyakit secara pasti, namun jumlah kematian ikan dapat diminimalisir. Ada pula beberapa petani pendatang
yang menggunakan solar cell untuk penerangan di kolam.
Akses masyarakat terhadap teknologi perikanan sangat rendah, hal ini karena tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, juga kurangnya dukungan dari
berbagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab dalam pengelolaan waduk. Kematian ikan terus berulang setiap tahun dengan kecenderungan semakin
bertambah, produktivitas petani semakin lama semakin menurun seiring dengan penurunan kualitas air. Hal ini terjadi karena masyarakat terlalu lama dibiarkan
berjalan sendiri tanpa ada koordinasi dari pengelolaan CPRs ini. Informasi terbaru mengenai penelitian yang berkaitan dengan kegiatan
budiadaya sebenarnya terdapat pada instansti terkait. Instansi tersebut juga melakukan upaya-upaya penelitian untuk meningkatkan produktivitas petani, dan
mereka telah menghasilkan berbagai penelitian yang berguna. Namun informasi- informasi ini masih terbatas di lingkungan dinas, karena transfer knowledge dari
petugas kepada petani terbatas. Hal ini disebabkan karena petugas penyuluh tidak berada di tempat dan kelompok pembudidaya sebagai perpanjangan tangan dari
dinas tehnis pun tidak aktif melakukan kegiatan dengan anggotanya.
8.6 Karakteristik Pengguna Sumber Daya
Stakeholder yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan waduk saat ini adalah : BPWC, kelompok pembudidaya petani ikan,
kelompok pengolahan hasil perikanan, kelompok pengusaha pakan, kelompok keamanan Pokmaswas, kelompok nelayan, kelompok pedagang dan pengusaha
sektor pendukung perikanan, instansi pemerintah terkait yaitu dinas perikanan, peternakan dan kelautan masing-masing kabupaten dan pemerintahan desa.
Berdasarkan analisis stakeholder, maka kelompok-kelompok diatas dapat dikategorikan seperti dibawah ini :
a. Lembaga lokal : kelompok pembudidaya ikan, kelompok nelayan,
kelompok pengolahan hasil perikanan, POKMASWAS Kelompok Masyarakat Pengawas
b. Lembaga private : BPWC, ASPINDAC, kelompok penjual pakan ikan
agen, sub agen, dan bandar ikan c.
Lembaga government : Dinas Perikanan, Peternakan, dan Kelautan Kabupaten Cianjur, Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Bandung
Barat dan Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat.
Lembaga lokal adalah lembaga informal yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan yang sama serta memiliki tujuan yang sama. Cakupan
organisasi ini kecil dengan jumlah anggota kurang dari 50 orang. Lembaga ini biasanya tidak memiliki aturan-aturan yang tertulis dan tidak bersifat kaku.
Lembaga private atau lembaga swasta adalah lembaga yang dikelola secara profesional, memiliki aturan-aturan yang jelas dan tertuang dalam ADART,
anggotanya lebih besar dari kelompok lokal dan cakupan kerja organisasi ini lintas kabupaten atau untuk keseluruhan area waduk. Lembaga pemerintah, adalah
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, dengan tugas dan fungsi merupakan penunjukkan dari atasan. Cakupan kerja hanya wilayah administratif kabupaten
tersebut dan tujuan utama adalah melayani masyarakat sebagai abdi negara. Analisis stakeholder lebih lanjut untuk mengetahui agenda yang dimiliki
masing-masing organisasi, kebutuhan yang dirasakan dan keterkaitan antara aksi dan hasilnya tertuang dalam matriks pada lampiran 15. Secara deskriptif
bagaimana peran masing-masing kelompok dan bagaimana mereka melaksanakan aturan mainnya tercantum pada pembahasan dibawah ini :
8.6.1 Badan Pengelola Waduk Cirata BPWC
BPWC merupakan anak perusahaan PT. PJB Up. Cirata yang dibentuk pada tahun 2002. BPWC bertanggung jawab dalam mengelola Waduk Cirata
secara partisipatif untuk mendapatkan manfaat yang optimal bagi BPWC dan masyarakat. Selain itu BPWC juga bertanggungjawab terhadap peningkatan dan
pelestarian mutu lingkungan hidup untuk menjaga pasokan dan kontinuitas air demi kelangsungan PT. PJB. Mandat ketiga adalah memberdayakan masyarakat
sekitar waduk Cirata melalui institusi perekonomian lokal untuk mencapai kesejahteraan dan kemandirian. Dalam menjalankan tujuannya, BPWC mendapat
dana operasional dari PT. PJB sebesar 11-15 milyar rupiah per-tahun. Dana tersebut digunakan untuk melakukan berbagai program perbaikan lingkungan
waduk seperti penghijauan di daerah green belt dan pembersihan sampah dengan merekrut tenaga lokal yang bertugas untuk memungut sampah-sampah di sekitar
perairan waduk. Sebanyak 30 orang petugas kebersihan ditempatkan di 7 lokasi yang setiap hari bertugas memungut sampah di danau. Biaya yang dikeluarkan
untuk penanggulangan sampah di waduk sebesar 200-300 juta per-bulan, atau sebesar 3 milyar per-tahun. Adapun ketujuh lokasi pembersihan adalah : dam
intake, batas zona bahaya, DAS Cisokan, DAS Citarum-Cimeta, DAS Cibalagung, DAS Cikundul, dan DAS Cilangkap. Untuk kegiatan penghijauan,
BPWC telah menanm 100.000 bibit pohon yang ditanam sepanjang pinggir waduk. Biaya untuk penghijauan rata-rata sebesar 250 juta rupiah per-tahun, yang
terdiri dari pengadaan bibit 150 juta rupiah per tahun dan pemeliharaan bibit sebesar 80 juta rupiah per-tahun. Selain itu BPWC juga melakukan kegiatan CSR
kepada masyarakat di desa Ciroyom, Kec. Cipeundeuy, Kab. Bandung Barat berupa pembuatan shelter ojek, steam pencucian motor, bantuan mesin jahit,
perbaikan madrasah, rumah jompo, sumur pompa, mesjid, dan masih banyak kegiatan pengembangan ekonomi masyarakat. Rata-rata dana CSR untuk kegiatan
diatas sebesar 400-700 juta rupiah per-tahun. Sesuai peraturan perundang-undangan, BPWC menjadi filtering pertama
bagi pengurusan perijinan yaitu mekanisme pembuatan SPL Surat Penempatan Lokasi. Surat ini merupakan lampiran untuk pengurusan surat ijin pembudidaya
ke tingkat propinsi. Dalam rangka pengurusan SPL ini, BPWC bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Dinas perikanan masing-masing kabupaten,
pemerintahan kecamatan muspika, dan pihak desa, melakukan kegiatan pengurusan SPL dengan sistem jemput bola. Pihak-pihak yang ditetapkan untuk
bekerjasama menurut SK Gubernur No. 14 tahun 2002, berhak atas beberapa persen pembagian hasil seperti tercantum pada alur mekanisme pada bagian faktor
kebijakan. Biaya operasional untuk kegiatan pengurusan SPL ini sebesar 34 juta rupiah per-bulan, sedangkan pendapatan BPWC dari hasil SPL ini rata-rata hanya
12 juta per-bulan. Hal ini secara ekonomi tidak efesien, perlu ada mekanisme baru untuk pengurusan SPL, karena SPL ini hanya berlaku 1 tahun dan terus akan
diperbaharui.