Analisis Kerugian Perhitungan Estimasi Kerugian

43 triliun rupiah. Biaya pembangunan waduk pada tahun 1988 diperkirakan sebesar Rp8.786.123.965.355,00 8 triliun rupiah; maka jika net surplus dikurangi biaya untuk membangun waduk baru, diperkirakan masih terdapat sisa surplus sebesar Rp35.043.359.327.639,00 35 triliun rupiah Pembangunan waduk baru ini sangat penting karena relevansi pembangunan bendungan baru seringkali dikaitkan dengan peningkatan ekonomi suatu negara. Fungsi bendungan selain untuk penerangan, juga memenuhi pasokan listrik yang memiliki arti penting dalam pertumbuhan ekonomi. Konsumsi listrik akan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi yang berdampak pada output perekonomian. Pertumbuhan output ini pada akhirnya akan mendorong peningkatan permintaan akan energi listrik. Untuk itu ketersediaan sumber- sumber listrik masih terus diperlukan untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Belum lagi ditambah dengan jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan lebih banyak pasokan listrik terutama yang berasal dari sumber terbaharukan seperti air. Energi listrik yang berasal dari tenaga air cenderung lebih diutamakan karena beberapa keuntungan antara lain : i Bahan bakar jenis air ini sama sekali tidak habis terpakai ataupun berubah menjadi sesuatu yang lain, seperti PLTU contohnya yang menggunakan bahan bakar batu bara akan menghadapi masalah pembuangan limbahnya berupa abu batu bara. Air yang merupakan bahan bakar untuk listrik ini melimpas melalui turbin, tanpa kehilangan kemampuan pelayanan untuk wilayah di hilirnya. Air masih mampu mengairi sawah-sawah ataupun bahan baku air minum. ii Biaya pengoperasian PLTA lebih rendah jika dibandingkan dengan PLTN atau PLTU. iii Turbin-turbin pada PLTA bisa dioperasikan ataupun dihentikan pengoperasiannya setiap saat. Hal ini tidak mungkin pada PLTU dan PLTN. Dengan tehnik perencanaan yang baik pembangkit listrik dapat menghasilkan tenaga dengan efesiensi yang sangat tinggi meskipun fluktuasi beban cukup besar. iv Teknologi PLTA cukup sederhana, dapat dimengerti dan mudah untuk dioperasikan. Ketangguhan sistemnya dapat lebih diandalkan dibandingkan sumber-sumber daya lainnya. v Peralatan PLTA yang mutakhir, umumnya memiliki peluang yang besar untuk bisa dioperasikan selama lebih dari 50 tahun. Hal ini cukup bersaing jika dibandingkan dengan umur efektif dari PLTN yang sekitar 30 tahun. vi Pengembangan PLTA dengan memanfaatkan arus sungai dapat menimbulkan manfaat lain seperti pariwisata, perikanan, irigasi pertanian dan pengendali banjir DandekarSharma, 1991. Tentu saja berbagai keuntungan diatas tidak terlepas dari beberapa kelemahan dalam proses pembangunannya, antara lain yang paling menonjol adalah : Pertama, semua program PLTA merupakan program padat modal, sehingga laju pengembalian modal proyek PLTA rendah. Kedua, masa persiapan suatu proyek PLTA pada umumnya memakan waktu yang cukup lama, kurang lebih sepuluh sampai dengan lima belas tahun dari mulai persiapan hingga pengoperasiannya. Ketiga, PLTA sangat tergantung pada aliran sungai secara alamiah, sedangkan aliran sungai tersebut sangat bervariasi, banyak faktor yang menyebabkan variasi tersebut, misalnya adanya erosi di hulu, limbah rumah tanggaindutriperikanan, dan lain sebagainya. Keempat, timbulnya dampak sosial dari pembangunan bendungan besar jika harus merelokasi masyarakat dari wilayah tempat tinggal mereka DandekarSharma, 1991. GoldsmithHilyard 1993 pernah meneliti dampak sosial dan lingkungan dari pembangunan bendungan-bendungan raksasa di seluruh dunia. Mereka mengatakan bahwa lebih banyak kerugian yang diderita oleh masyarakat maupun lingkungan akibat pembangunan bendungan besar, dibandingkan keuntungan jangka pendek yang dihasilkan dari bendungan-bendungan tersebut. Dampak sosial yang dikaji dari pembangunan bendungan besar di negara-negara maju dan berkembang antara lain : masalah pembebasan lahan yang biasanya tidak menguntungkan masyarakat, masalah pemukiman kembali bagi masyarakat yang terkena dampak genangan, karena biasanya mereka mendapatkan tanah yang kurang subur; kehancuran sosial dan budaya masyarakat setempat. Pokok masalah yang disampaikan oleh GoldsmithHilyard 1993 dalam penelitian tentang pembangunan bendungan-bendungan besar di seluruh dunia ternyata pembangunan bendungan yang dibuat dengan tujuan irigasi tidaklah sepenuhnya memberikan peningkatan produksi pangan, karena dalam jangka panjang program irigasi tersebut telah mengubah areal luas tanah subur menjadi gurun pasir yang berlapis garam dan betapa industri yang bertenaga bendungan ini selanjutnya mengacaukan suplai bahan pangan karena terjadinya pencemaran dan merusak tanah pertanian. Sejumlah orang terpaksa harus dipindahkan dari rumah- rumah mereka agar di tempat itu dapat dibangun waduk; kehidupan sosial mereka menjadi berantakan dan kebudayaan mereka dihancurkan. Kesehatan mereka pun dipertaruhkan karena mendapat ancaman baru berupa bahaya penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh air waduk seperti malaria, schistosomiasis, filariasis, diare, dll. Selain itu dewasa ini bendungan-bendungan tersebut dicurigai memicu terjadinya gempa dan gagal mengendalikan banjir dan malah menurunkan kualitas air yang diperlukan oleh ratusan orang. Pada akhirnya ahli waris yang sesungguhnya dari program bendungan besar dan pengembangan air ini adalah perusahaan-perusahaan multinasional besar, elit-elit di dunia ketiga dan para politisi negara. Dari sisi lingkungan, keberadaan bendungan besar menurut GoldsmithHilyard 1993 telah menghilangkan tanah dan kehidupan margasatwa di bagian hulu, menghilangkan endapan lumpur dan kesuburan di bagian hilir. Plasma nutfah yang hilang dari keunikan wilayah tropis dan biodiversitas berbagai tumbuhan dan hewan yang ikut punah terendam air waduk. Ekosistem yang harus berubah digantikan dengan ekosistem baru dimana beberapa spesies harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Seringkali yang terjadi spesies endemik atau asli setempat tidak dapat menyesuaikan diri dan akhirnya punah digantikan oleh spesies invasif yang memang sengaja dimasukkan dalam ekosistem baru tersebut untuk kepentingan kehidupan manusia. Contohnya adalah budidaya ikan mas telah menggantikan ikan-ikan endemik seperti ikan nilem, benter, kalawak, dan tawes. Masalah lingkungan lain yang kemudian akan timbul dalam jangka panjang adalah salinitas yang tinggi dan sedimentasi di waduk. Banyak studi yang menerangkan bahwa masalah utama waduk terutama di daerah tropis lebih rentan mengalami sedimentasi karena tingkat konversi hutan dan penggundulan hutan yang menyebabkan tingkat erosi lebih tinggi dibandingkan yang telah direncanakan. Waduk Peligre di Haiti yang memanfaatkan sungai Artibonite diperkirakan dapat bertahan untuk masa 50 tahun, namun dalam 30 tahun bendungan tersebut harus ditutup karena sedimentasi. Bendungan tersebut akan meninggalkan tanah berlumpur luas yang tidak bisa ditanami. Sedimentasi sebelum waktunya sangat mempengaruhi nilai ekonomis bendungan. Biaya akhir pembangunan bendungan sangatlah besar, jika terjadi penutupan waduk lebih cepat, tentunya pengembalian hutang pembangunan tidak tercapai. Walaupun terdapat net surplus dari pembangunan waduk baru, dan adanya kebutuhan yang mendesak terhadap energi seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan penduduk, namun dalam pembangunannya kita perlu juga mempertimbangkan dampak-dampak sosial seperti diatas.

BAB 8 ANALISIS KELEMBAGAAN

Dengan mengacu pada kerangka analisis Ostrom 2003, maka dapat diperoleh gambaran umum analisis kelembagaan yang meliputi karakteristik sumber daya waduk, faktor-faktor yang mempengaruhi pengguna sumber daya seperti faktor ekonomi, kebijakan, politik, kebijakan dan teknologi, serta analisis pengguna sumber daya yang terangkum dalam analisis stakeholder serta analisis konflik untuk melihat interaksi masing-masing aktor. Berikut ini adalah analisis deskriptif mengenai masing-masing kategori diatas :

8.1 Karakteristik Sumber Daya Waduk

Sumber daya buatan manusia berupa waduk di wilayah Cirata sangat unik dan merupakan pemanfaatan DAS Citarum yang sangat efisien, karena mencakup 3 Tiga buah waduk yang menggunakan satu aliran sungai yang disebut kaskade. DAS Citarum mengalir dengan debit air sebesar 52,6 m 3 detik mampu menghasilkan 1.937 MW 40 persen dari sistem kelistrikan Jawa yang dapat mengalirkan listrik untuk seluruh pulau Jawa, Bali dan Madura. Berikut ini adalah perbandingan Waduk Cirata diantara waduk kaskade lainnya : Tabel 29. Gambaran Umum Waduk Kaskade Keterangan Saguling Cirata Jatiluhur Letak Hulu Kab. Bandung Tengah Kab. Bandung Barat, Purwakarta dan Cianjur Hilir Kab. Purwakarta Pembangunan 1985 1998 1967 Fungsi Utama PLTA dan irigasi PLTA PLTA, Irigasi dan Air Minum Ketinggian dpl 645 250 116 Luas Waduk Ha 5.340 6.200 8.300 Volume juta m 3 982 2165 2970 Pengelola PT. IP Indonesia Power PT. PJB Pembangkitan Jawa Bali PJT II Perum Jasa Tirta II Produksi Listrik MW 700 1.008 150 Waduk Jatiluhur atau yang juga disebut waduk Ir. H Djuanda di Hilir Sungai Citarum merupakan waduk tertua diantara waduk kaskade. Waduk ini dibangun dengan tujuan utama untuk PLTA, irigasi, bahan baku air minum dan industri. Untuk mengantisipasi limbah dari hulu sungai yang dapat mencemari waduk Jatiluhur, maka dibangunlah waduk Saguling sebagai filter limbah, diharapkan dengan adanya Waduk Saguling maka inlet di pintu air Jatiluhur dapat memberikan air yang lebih bersih. Namun seiring dengan pembangunan Waduk Saguling, aktivitas ekonomi lain seperti perikanan dan pertanian juga dilakukan di Waduk Saguling yang menyebabkan kualitas air yang dihasilkannya semakin menurun. Oleh karena itu dibangunlah waduk di tengah-tengah DAS Citarum yaitu Cirata yang diharapkan dapat menjadi filter kedua bagi perairan Jatiluhur. Fungsi utama awal dibangunnya waduk hanya untuk PLTA. Pengoperasian PLTA tidak menghasilkan limbah dan hanya menggunakan air sebagai media untuk menghasilkan listrik. Berdasarkan wilayah administratifnya, Waduk Saguling berada di Kabupaten Bandung. Waduk Jatiluhur berada di Kabupaten Purwakarta dan keunikan Waduk Cirata berada pada lintas wilayah administratif yaitu Kabupaten Purwakarta, Cianjur dan Bandung Barat. Pengelola Waduk Jatiluhur adalah Perum Jasa Tirta II, pengelola Waduk Saguling adalah PT Indonesia Power dan pengelola Waduk Cirata adalah PT. Pembangkitan Jawa Bali. Keunikan lain dari Cirata adalah adanya pembagian kerja antara pembangkitan dan tata kelola waduk. PT. PJB membentuk anak perusahaan dengan nama BPWC Badan Pengelola Waduk Cirata yang khusus menangani kualitas air waduk dan kegiatan lain yang ada diatas waduk. Hampir semua waduk dibangun dengan fungsi utama sebagai PLTA, namun ternyata hampir semua waduk juga digunakan sebagai sarana bagi peningkatan perekonomian dalam bidang perikanan dan pariwisata. Begitu pula yang terjadi dengan waduk kaskade. Ketiganya menjadi sentra perikanan air tawar. Dalam pengelolaan sumber daya hal ini tentunya sangat efisien dan memberikan nilai tambah. Kegiatan ikutan lain ini tentu saja perlu dikelola dengan baik agar fungsi utama pembangunan waduk tidak terganggu. Oleh karena itu dibutuhkan kelembagaan yang tepat dalam menangani tata kelola waduk. Inefesiensi biasanya terjadi ketika kegiatan lain tersebut melebihi daya dukung lingkungan waduk dan atau menghasilkan eksternalitas negatif yang dapat mempengaruhi kualitas air yang dibutuhkan untuk tercapainya fungsi utama. Kekhasan Waduk Cirata yang genangannya melintasi 3 Tiga kabupaten maka pengelola membagi wilayah waduk menjadi 3 zonasi yaitu : Zona 1 meliputi Kabupaten Bandung Barat, Zona 2 berada di Kabupaten Purwakarta dan Zona 3 yaitu Kabupaten Cianjur. Zonasi ini untuk dipergunakan untuk mengatur tata letak karamba agar sirkulasi dan transportasi air dapat dilalui. Pengaturan tata letak diberlakukan untuk mempermudah monitoring dan dipergunakan oleh masing- masing dinas terkait dalam pendampingan dan pembinaan petani ikan KJA dan nelayan. Selain DAS Citarum, Waduk Cirata juga menerima aliran air dari DAS- DAS kecil seperti Cikundul, Cisokan, Cimeta, Cicendo dan Cibalagung. Lahan yang dikelola oleh Cirata selain luas perairan juga wilayah non waduk dengan luas 5.081.358 m 2 . Berikut ini adalah data teknis mengenai waduk Cirata yang diperoleh dari PT. PJB : Tabel 30 . Data Teknis Waduk Cirata Bendungan Nama bendungan Bendungan Cirata Type bendungan Concrete Faced Rockfill Dam CFRD Urugan batu dengan permukaan lapis beton sebagai bahan kedap air Tinggi, elevasi puncak 125 meter ; +225 meter Panjang puncak 453,5 meter Isi tubuh bendungan 3,9 juta m3 Waduk Reservoir Luas daerah tangkapan 4119 Km 2 Kapasitas tampungan waduk : - Total Gross kapasitas 2.165 Juta m 3 pada elev. +223,00 m - Kapasitas efektif 796 Juta m 3 +205,00 ~ + 220,00 m Luas area genangan 62,00 Km 2 pada elevasi normal + 220,00 m Luas area genangan 65,60 Km 2 pada elevasi normal + 223,00 m Debit rencana rata rata 1,080 m 3 detik Sumber : Laporan PT. PJB UP Cirata Waduk ini dibuat oleh PLN Proyek Pembangkit Hidro Jawa Barat PIKITDRO JABAR bekerjasama dengan beberapa kontraktor asing dan dalam negeri. Tercatat kontraktor dari Jepang Taisei Co dan Nisso Iwai, Austria Voest Alpine dan Elin Union, Prancis Gogelex dan Jerman Barat Brown Boveri serta kontraktor dalam negeri seperti PT. Boma Bisma Indra, PT Wasamitra, PT. Brantas Abipraya, PT. Citra Contrac, PT. Mega Eltra, PT. United Tractors, dan PT. Triguna Utama. Dengan konsultan utama dari Jepang, yaitu NEWJEC New Japan Engineering Consultant. Adanya sistem joint operation antara kontraktor asing dengan kontraktor nasional diharapkan dapat terjadi alih teknologi, memacu pertumbuhan kontraktor nasional dan devisa negara untuk pekerjaan utama tidak seluruhnya diserap oleh perusahaan asing. Pembangunan PLTA Cirata selain dibiayai langsung oleh Pemerintah Indonesia melalui dana APBN dan non APBN serta dana PLN juga mendapat bantuan pinjaman dari luar negeri, yaitu : a. IBRD International Bank Reconstruction and Development, sebesar ekivalen US 241,300,000 b. CDC Common Wealth Development Cooperation, sebesar ekivalen US 18,800,000 c. SC Supplier Credits, sebesar ekivalen US 69,000,000 d. Pemerintah Austria e. APBN dan non APBN, sebesar ekivalen US 235,900,000 Sehingga total pembiayaan untuk pembangunan waduk dan pembangkit Cirata I 4 trafo sebesar US 565.000.000 sedangkan untuk pembangunan Cirata II atau penambahan 4 trafo yaitu unit 5, 6, 7 dan 8 menelan biaya sebesar Rp32.272.182.061,00; SFR 997.292,00; NTD 207.933.845,00 dan Yen 2.791.593.431,00. Nilai ini setara dengan Rp8.786.123.965.355 kurang lebih delapan triliun rupiah Dampak dari pembangunan waduk ini cukup besar terutama terhadap kehidupan masyarakat di 3 Kabupaten. Dampak ini dapat dilihat secara jangka pendek maupun jangka panjang, dan ada yang bersifat baik adapula dampak buruk. Salah satu contoh dampak sosial yang dialami masyarakat yang terkena dampak langsung dari penggenangan air, yaitu masalah pembebasan lahan. Pada saat penelitian, masih ada responden yang menyatakan kekecewaannya karena masalah pembebasan tanah yang tidak sesuai dengan nilai harga tanah saat itu. Secara sosial mereka kehilangan tanah, rumah dan karuhun lembur nenek moyang istilah setempat untuk menyebut kampung halaman. Ada masyarakat yang ―dipaksa‖ untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau Jawa, dan ada pula yang tidak bersedia dan memilih mencari desa terdekat untuk bermukim. Dari sekian banyak masalah negatif yang timbul dari pembangunan waduk, dan hal tersebut tidak dipungkiri oleh masyarakat setempat, namun banyak pula masyarakat di Cirata mengatakan hal yang positif dengan adanya pembangunan waduk. Peluang usaha terbuka lebar, mulai dari buruh KJA, nelayan, petani, pemilik KJA, buruh angkut, sewa perahu, rumah makan, dan kegiatan ekonomi lain. Masyarakat pun tidak merasa kekurangan air walaupun menghadapi musim kemarau. Adanya usaha KJA dan usaha ikutan lainnya di sekitar waduk membuat masyarakat dapat hidup secara layak. Pada awal kegiatan budidaya ikan, kualitas air masih bagus, produksi ikan bisa mencapai hasil yang optimal, dan harga ikan tergolong tinggi, masyarakat dapat meraup untung yang cukup besar. Secara sosial perubahan status terjadi di masyarakat, dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang mampu menunaikan ibadah haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam. Secara umum permasalahan yang dialami oleh bendungan-bendungan besar di dunia, juga terjadi di Cirata. Laju sedimentasi melebihi perencanaan waduk, telah menyebabkan penurunan kualitas air waduk serta berkurangnya umur layan waduk selama 8 tahun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya waduk. Masalah property right juga berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan tersebut. Oleh karena keunikan Waduk Cirata yang melintasi 3 kabupaten, sehingga propety right juga menjadi salah satu pemicu terjadinya pengurangan daya dukung waduk. Masalah property right ini berkaitan dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan menangani managemen sumber daya. Masalah property right ini akan dibahas pada bagian ekonomi, politik, kebijakan dan tata kelola kelembagaan dalam pemanfaatan Waduk Cirata.