Keramba Jaring Apung KJA

pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan diatas. Oleh karena setiap sumber daya memerlukan penanganan yang spesifik, maka perlu hasil evaluasi tipe pengaturan kelembagaan baik yang berhasil dikembangkan maupun yang tidak sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi pengelolaan sumber daya di wilayah lain. Karenanya, rekonstruksi kelembagaan yang ada sangat penting untuk mengevaluasi kinerja dan output yang dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.

2.3 Keramba Jaring Apung KJA

Kolam budidaya jala terapung merupakan budidaya ikan intensif yang merupakan ciri penebaran ikan yang tinggi dan ditunjang dengan pemberian makan yang terencana. Tehnik budidaya jala terapung kini tidak hanya dikembangkan di laut tetapi juga di perairan air tawar seperti danau dan waduk. Metode dalam pemeliharaan ini, kantong jala merupakan pembatas ruang gerak ikan sedangkan masa air perairan merupakan media hidup. Pemeliharaan ikan terapung ini mula-mula diuji coba di waduk Jatiluhur pada tahun 1974. Budidaya ikan dalam keramba di Waduk Cirata secara intensif mulai dilakukan pada tahun 1986 dan perkembangan paling pesat baru dimulai pada tahun 1988 Fausia et al., 1996 Fausia 1994 menyatakan lokasi yang tepat untuk budidaya ikan air tawar dengan menggunakan metode keramba jaring apung adalah danau, telaga, waduk atau rawa. Lokasi pemasangan keramba jaring apung harus memenuhi aspek tehnis dan aspek sosial ekonomis seperti : kedalaman perairan minimal 10 meter, kualitas air memenuhi persyaratan hidup ikan, bebas dari pencemaran air, bukan alur lalu lintas kapal, tidak merusak kelestarian lingkungan, kemudahan transportasi, ketersediaan bahan dan pakan, dekat dengan daerah pemasaran, kemudahan suplai benih, keamanan terjamin, legalitas lokasi budidaya, dan ketersediaan tenaga kerja. Waduk Cirata memenuhi kriteria aspek-aspek pembudidayaan keramba jaring apung tersebut sehingga mulai dikembangkan pada saat selesai dibangunnya waduk pada tahun 1988. Pada umumnya, konstruksi bagian atas keramba jaring apung memiliki bentuk yang sama, yang membedakan hanya ada dan tidaknya bangunan kayu rumah yang digunakan sebagai rumah jaga, gudang pakan, peralatan atau tempat berteduh. Walaupun tidak terlihat dari permukaan, perbedaan yang jelas adalah bagian jaringnya. Pada budidaya ikan jaring apung di Waduk Cirata biasanya menggunakan dua lapis jaring, jaring bagian atas yang terdiri dari satu petak atau lebih dipergunakan untuk membesarkan ikan mas, kemudian dibawahnya dipasang jaring yang disebut jaring kolor untuk pembesaran nilai. Ukuran rangka luar kolam jaring apung 15,8 m x 15,8 m 250 m 2 . KJA terdiri dari dua lapis. Lapis pertama terdiri dari 4 kolamjaring, lapis kedua terdiri dari 1 kolor. Lapor pertama diisi satu jaring ukuran 7 x 7 x 4 m 3 dengan diameter mata jaring 0,75‖ dan tiga jaring ukuran sama den gan diameter mata jaring 1‖. Lapis kedua kolor yang digunakan berkurukuran sesuai luas rangka luar 250 m 2 dengan kedalaman 6 m dan diameter mata jaring 1,25 ‖. Bagian-bagian keramba jaring apung : rakitgeladak, karamba, pelampung, rumah jaga, pemberat, dan jangkar. Jenis ikan yang umum dibudidayakan di jaring terapung air tawar adalah ikan mas dan ikan nila, namun ada beberapa jenis lainnya dengan jumlah yang relatif sedikit, yaitu ikan patin jambal siam, bawal dan gurame. Pakan yang diberikan merupakan pakan komersial berupa pellet kering. Ikan mas biasanya diletakkan di jaring lapis pertama dan ikan nila yang lebih tahan penyakit diletakkan pada kolorlapis kedua. Ikan nila ini pun tidak diberikan pakan, hanya memakan remah-remah dari lapis pertama dan makan peryphyton sejenis alga yang menempel pada jaring. KJA menurut hukum property right merupakan private property, karena dimiliki oleh seseorang yang jelas dapat teridentifikasi. Keuntungannya dinikmati oleh pemilik karamba, bisa dipindahtangankan kepemilikannya dan hak kepemilikannya bisa dijamin oleh pengelola. Sebagai private property, KJA ternyata tetap menjadi masalah karena pemanfaatannya berada di ruang publik yang mengandung ciri-ciri rivalness dan non-excludable. Dimana pemakaian ruang untuk karamba oleh satu pihak akan mengurangi pihak lain dalam menggunakan ruang yang sama. Luasnya waduk juga menjadikan kegiatan KJA ini sulit dikontrol dan dimonitor oleh pengelola. Hal lain menyebabkan aktivitas KJA akhirnya membawa dampak negatif bagi lingkungan. Perkembangan yang pesat budidaya ikan dalam KJA karena potensi produksi ikan yang dihasilkan, luas perairan waduk yang tersedia, kelestarian sumber daya, kemudahan dalam proses produksinya serta adanya informasi bahwa budidaya ikan dalam KJA memberikan hasil yang menguntungkan secara ekonomis. Penelitian Sudrajat 2009 menghasilkan surplus produsen yang diterima oleh RTP rata-rata sebesar Rp724.012.875,00tahun. Hal ini menyebabkan semakin banyaknya pihak luar yang menanamkan modalnya untuk bisnis KJA. Dibuktikan dengan semakin berkembangnya jumlah KJA di Waduk Cirata dari waktu ke waktu. Hasil sensus terakhir yang dilakukan oleh BPWC pada tahun 2011, jumlah KJA mencapai 53.031 petak dengan jumlah pemilik sebanyak 2.511 RTP rumah tangga petani, secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 8 Delapan. Dari hasil invetarisasi KJA di Waduk Cirata, telah terjadi peningkatan KJA sebanyak 39,17 jika dibandingkan dengan sensus pada tahun 2003, sedangkan jumlah pemilik menurun sebesar 3,87. Hal ini dikarenakan beberapa kasus kematian ikan massal yang terjadi beberapa waktu lalu menyebabkan beberapa RTP yang hanya memiliki beberapa petak KJA mengalami kebangkrutan dan menjual asetnya kepada pihak lain yang memiliki lebih banyak petak KJA.

2.4 Eksternalitas