Petani KJA vs Kelompok Penjual Pakan AgenSub Agen

awal sehingga menyebabkan pembiaran terhadap pelaku. Mudahnya memperoleh ijin membuka usaha dan adanya oknum-oknum di organisasi yang bertanggungjawab menyebabkan semakin banyak usaha budidaya perikanan yang baru dibuka. Di sektor pertanian, tidak diberlakukannya ijin untuk membuka lahan pertanian dan tidak adanya tindakan tegas terhadap pelanggar menyebabkan penggunaan lahan pasang surut semakin bertambah. Pengguna sumber daya yang terbagi menjadi tiga kategori memiliki karakteristik berbeda. Lembaga lokal seperti kelompok pembudidaya skala kecil, buruh KJA, nelayan, sektor usaha rumah tangga adalah kelompok pengguna langsung sumber daya, yang diklaim sebagai penyumbang sedimentasi dan kerusakan lingkungan waduk. Terdiri dari masyarakat menengah dan menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, merupakan penduduk asli yang merasa memiliki waduk dan berhak atas janji kompensasi pemerintah yang memperbolehkan masyarakat setempat untuk melakukan usaha perikanan tanpa dipungut biaya apapun. Walaupun kelompok ini diklaim sebagai penyumbang kerusakan waduk sebenarnya kelompok ini adalah kelompok yang rentan baik terhadap tekanan pihak eksternal seperi para pemilik gudang, tengkulak ikan maupun akibat dari pengelolaan waduk yang tidak lestari. Mereka pula yang menjadi target dan sasaran dari kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang dibuat pemerintah. Kelompok kedua adalah lembaga swasta seperti BPWC dan Kelompok Penjual Pakan. Kelompok ini merupakan kelompok kelas menengah ke atas atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mudah memahami permasalahan dan kondisi yang tengah dihadapi oleh CPRs. Kelompok ketiga adalah lembaga pemerintah seperti pemerintah daerah, dinas perikanan dan peternakan masing-masing kabupaten, dinas pertanian, dll. Kelompok ini juga memiliki akses yang cukup besar terhadap pendanaan, teknologi, dan informasi terkini. Ketiga kelompok merupakan kelompok oportunis yang memanfaatkan waduk untuk kepentingannya dengan agendanya masing- masing. Tidak adanya koordinasi dan persamaan pandangan diantara para stakeholder menyebabkan pengelola kesulitan untuk menjaga dan mengelola waduk yang cukup besar. Akibatnya masing-masing pemerintah daerah melakukan aktivitas dan agendanya di lingkungan masing-masing tanpa adanya koordinasi. Pihak pengelola saat ini berupaya untuk merangkul dinas terkait dan para kelompok-kelompok untuk duduk bersama membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian waduk dan sudah dilakukan beberapa kali kegiatan pertemuan. Kegiatan bersama yang diinisiasi oleh pengelola haruslah merupakan langkah yang kontinyu dan bukan bersifat tentantif, sehingga proses desiminasi terus berjalan dan akhirnya semua stakeholder memiliki kesamaan visi dan persepsi terhadap pengelolaan waduk. Rekomendasi paling konkret saat ini adalah dengan melakukan redesign kelembagaan. Skenario diatas yaitu best case scenario dan status quo merupakan saran konkret yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan Cirata saat ini. Memontum lain yang bisa dijadikan upaya awal memulai tata kelola yang baik adalah dengan perubahan peraturan perundang-undangan yang saat ini sedang dilakukan oleh DPRD Propinsi Jawa Barat. Undang-undang yang baru diharapkan harus memuat sangsi yang tegas terhadap pelanggar ketentuan, siapa yang berwenang menegakkan peraturan dan fokus untuk berbagi peran dengan pihak pemerintah daerah dan pengelola waduk. Fungsi koordinasi bisa tetap berada pada level Propinsi, namun pemerintah daerah sebaiknya diberikan peluang untuk melakukan pengawasan dan monitoring kegiatan budidaya dan kegiatan pelestarian waduk. Pengelola waduk diberikan kewenangan penuh untuk bisa menegakkan peraturan terkait dengan penertiban kegiatan-kegiatan yang memanfaatkan waduk dengan melibatkan pemerintah daerah. Propinsi Jawa Barat yang berwenang sejak awal dibukanya waduk, mulai lebih memperhatikan managemen pengelolaan waduk dan tidak hanya melulu fokus pada bidang perikanan saja, untuk itu sebaiknya propinsi tidak menempatkan kewenangan pengelolaan Waduk Cirata dibawah Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat. Rekomendasi yang dapat diberikan berkaitan dengan pengelolaan kelembagaan waduk adalah membentuk badan otorita yang khusus menangani masalah pengelolaan sumber daya alam sebagai aset daerah dan memiliki kewenangan melebihi kewenangan daerah kabupaten agar dapat menjadi leading sector dalam gerakan pelestarian waduk. Kondisi umum yang sering terjadi dalam sebuah badankelembagaan baru adalah masalah sumber daya manusia. Untuk itu pemerintah juga perlu mempertimbangkan aspek sumber daya manusia dalam pembentukan badan otorita ini karena sangat berpengaruh terhadap berfungsinya gerakan pelestarian waduk. Untuk itu Ostrom telah mengidentifikan standar pelayanan yang disyaratkan untuk mencapai visi pengelolaan sebuah CPRs yaitu equity, suistanability dan prosperity DolsakOstrom 2003 menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan equity, suistanability dan prosperity maka pengguna sumber daya harus dilatih kemampuannya dalam berkomunikasi, membuat aturan main dalam pengelolaan sumber daya dan menegakkan aturan bila terdapat pihak yang melanggar. Hal-hal tersebut merupakan elemen yang penting dalam mencapai good govenance atau sukesnya sebuah kelembagaan untuk managemen CPRs. Mendesign kelembagaan untuk mengelola CPRs seperti membuat peraturan untuk distribusi alokasi sumber daya, monitoring dan penegakannya membutuhkan usaha yang keras. Pengguna sumber daya dapat mendesign bentuk kelembagaan baru atau mengganti aturan yang sudah berlaku ketika tidak ada manfaat yang diterima atau cost yang digunakan untuk menegakkan peratuan melebihi benefitnya. Walaupun tidak memiliki kewenangan untuk merubah sebuah peraturan setidaknya kita masih bisa duduk bersama untuk mengusulkan perubahan tersebut. Pengorganisasian masyarakat yang dibentuk sebagian besar masyarakat di Cirata tidak berdasarkan atas isu yang sama atas pentingnya menjaga sumber daya ini dari daya dukung lingkungan yang semakin berkurang, namun lebih banyak dibentuk karena desakan untuk mencari modal usaha. Isu untuk mendapatkan modal usaha bukanlah sesuatu yang salah, namun faktor ekonomi ini muncul karena akar permasalahan berupa daya dukung lingkungan yang berkurang dari banyaknya pengguna sumber daya. Menurut para pakar dan peneliti, terdapat delapan prinsip umum untuk sebuah pengorganisasian masyarakat yang sehat : 1. Peraturan dibuat dan dikelola oleh pengguna sumber daya 2. Keluhan tentang aturan mudah untuk dimonitor 3. Aturan mampu ditegakkan bersama 4. Sangsi dapat diberlakukan 5. Pengadilan tersedia dengan biaya yang rendah 6. Ratio petugas dan pengguna sumber daya proporsional 7. Lembaga yang mengatur CPRs perlu dibuat dalam berbagai tingkatan