Property Right TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik spesifik untuk jenis CPRs tertentu dan penggunanya sangat mempengaruhi pengelolaan sumber daya tersebut. Semakin sama jenisnya, sederhana dan dalam skala yang kecil, maka semakin mudah untuk mendesign struktur kelembagan sehingga semakin terlindungi sumber daya tersebut dari degradasi dan penggunaan berlebihan. Sumber daya yang kompleks dengan berbagai interaksi dan eksternalitas negatif biasanya sangat sulit dikelola. Karakteristik individu pengguna CPRs, seperti preferensi, aset dan karakteristik dari kelompok koherensinya, tingkat kepercayaan, homogenitas, besarnya kelompok mempengaruhi kelembagaan pengelolaan sumber daya. CPRs kemudian dipengaruhi oleh kelembagaannya, pengelolaan kelembagaan itu sendiri dan ketersediaan teknologi DolsakOstrom, 2003

2.2 Property Right

Menurut Hidayat 2010, property right atau hak kepemilikan atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan, mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak tersebut kepada pihak lain. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa barang fisik, jasa, informasipengetahuan yang bersifat intangibel. Property sangat penting dalam perekonomian karena berkaitan dengan kepastian penguasaan faktor-faktor produksi dimana sumber daya alam merupakan salah satu dalam faktor produksi tersebut. Karakteristik property rights terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, Ekslusivitas , berarti pemanfaatannilai manfaat dari sesuatu dan biaya penegakan, secara eksklusif jatuh ke tangan pemilik termasuk keuntungan yang diperoleh dari transfer hak kepemilikan tersebut. Kedua, Tranferable, yang berarti seluruh hak kepemilikan dapat dipindahkan dari satu pemilik ke pemilik yang lain secara sukarela melalui jual beli, hibah, sewa dan lainnya. Ketiga, enforceability, yang berarti hak kepemilikan bisa ditegakkan, dihormasi dan dijamin dari praktek perampasan pihak lain. Tipe property right berdasarkan Ostrom 1990 membagi rezime kepemilikan menjadi 4 yaitu : rezim kepemilikan individu Private property regime, yakni kepemilikan pribadi atas sesuatu dimana hak atas sesuatu tersebut melekat pada pemiliknya, sehingga aturan berkenaan dengan sesuatu tersebut ditetapkan sendiri dan hanya berlaku untuk pemiliknya. Rezim kepemilikan bersama common property regime , yakni kepemilikan oleh sekelompok orang tertentu dimana hak, kewajiban dan aturan ditetapkan dan berlaku untuk anggota kelompok tersebut. Rezim kepemilikan negara state property regime, memiliki ciri bahwa hak kepemilikkan dan aturan-aturannya ditetapkan oleh negara, dan individu tidak boleh memilikinya; dan rezim akses terbuka atau tanpa kepemilikan open acces regime yang berarti tidak ada aturan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban. Biasanya open acces terjadi pada sumber daya dengan skala besar, dan sulit dijangkau untuk penegakkannya. Sejak awal dibangunnya Waduk Cirata sebagai PLTA, pemerintah telah memberikan komitmen peluang usaha kepada penduduk yang lahannya terpakai untuk pembangunan waduk dan juga penduduk sekitar. Salah satu peluang usaha tersebut adalah KJA. Bentuk hak yang diberikan kepada pemerintah tersebut termasuk dalam Common Property regime, yang berarti hak kepemilikan sumber daya secara milik bersama, karena itu siapapun yang mengaku penduduk setempat dan sekitarnya dapat masuk berinvestasi dalam budidaya KJA di kawasan ini. Ostrom 1990 menyebut common property sebagai Common pool resources CPR‘s. Rustiadi et al. 2009 menyatakan bahwa masalah keterbatasan dalam mengkonsumsi sumber daya timbul karena adanya kecenderungan overuse penggunaan yang berlebihan sehingga sangat mengganggu potensi orang lain untuk memanfaatkannya. Kecenderungan overuse tersebut dapat menyebabkan congestion yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara supply dan demand pada waktu-waktu tertentu. Contoh di jalan raya terjadi kemacetan jalan, karena banyak mobil, sementara ruang jalan sangat terbatas. Sumberdaya ruang jalan tersedia secara jangka panjang tidak cepat habis akan tetapi pada waktu tertentu pada pagi dan sore jam berangkatpulang kerja menjadi terbatas. Menyangkut masalah kepemilikan CPRs diatas, muncul adanya biaya cost yang harus dikeluarkan untuk membatasi akses pada sumberdaya bagi pihak-pihak lain untuk menjadi pemanfaat, adanya masalah free rider, yakni adanya pihak- pihak yang mendapatkan manfaat tetapi tidak berkontribusi pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk menyediakan, memelihara dan mengatur pemanfaatan sumberdaya. Kecenderungan free rider yang melampaui batas akan mengancam pada keberlanjutan sistem produksi. Kecenderungan pemanfaatan berlebihan overuse dan adanya free rider merupakan masalah yang sekaligus penciri dari sumber daya-sumber daya CPRs, untuk itu diperlukan mekanisme dan sistem kelembagaan yang dapat mencegah atau menghindarinya Rustiadi et al., 2009 Ostrom 1990 menyatakan bahwa salah satu masalah utama yang terkait dengan penggunaan sumberdaya common-pool adalah biaya untuk membatasimencegah akses pengguna potensial. Penunggang gelap free rider dapat menyebabkan munculnya biaya tinggi dari sumberdaya common-pool dan barang-publik. Masalah penunggang gelap dapat terselesaikan apabila aturan- aturan diadopsi dan diterima dalam mengatur kegiatan-kegiatan individu dan biaya transaksi pengendalian social cost masih lebih rendah dari manfaat social benefit. Masalah tersebut seringkali muncul dalam pengelolaan sumber daya alam dan memberikan dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumber daya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung. Tingginya biaya tersebut tercermin dari faktor produksi yang lebih besar dari yang semestinya dalam mengeksploitasi sumber daya. Solusi untuk mencegah atau mengurangi terjadinya eksternalitas yakni memberikan hak pemilikan assigning property rights, internalisasi dan pemberlakuan pajak Pigouvian tax. Eksternalitas dan solusi yang ditawarkan akan dibahas pada sub bab Eksternalitas. Rustiadi et al. 2009 juga menegaskan bahwa d ebat mengenai CPR‘s pada dasarnya mencakup dua isu penting yaitu: 1 konsep yang berkaitan dengan sistem pengelolaannya, dan 2 hak kepemilikan yang menyertainya. Rustiadi et al. 2009 lebih lanjut menyatakan bahwa teori tragedi of the common yang dipopulerkan oleh Hardin pada tahun 1960-an merupakan salah satu fenomena pengelolaan sumber daya alam tersebut. Tragedi of the common terjadi apabila seseorang membatasi penggunaan sumberdaya yang terbatas namun tetangganya masyarakat lainnya tidak melakukannya. Akibatnya, sumberdaya akan mengalami penurunan ruin dan orang yang membatasi penggunaan sumberdaya tadi akan tetap kehilangan keuntungan jangka pendek akibat alokasi yang dilakukan orang tersebut. Tragedy of the commons dapat dihindari melalui suatu mekanisme yang dapat menyebabkan individu memandang barang-barang atau sumberdaya sebagai milik bersama serta adanya kelembagaan yang mengaturnya. Pemindahan hak milik penguasaan kadang-kadang mengganggu keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, akibat berubahnya perilaku masyarakat atas sumberdaya dimana sumberdaya yang sebelumnya dilindungi dengan baik menjadi sumberdaya yang dieksploitasi. Proses transformasi penguasaan sumberdaya dari sumberdaya yang dikelola oleh masyarakat adat lokal menjadi sumberdaya miliki negara di berbagai negara telah mengarahkan pada: 1 penghilangan kelembagaan kearifan lokal; 2 terjadinya situasi dimana kapasitas monitoring dan kontrol institusi negara menjadi lemah, terutama pada sumber daya-sumber daya yang berskala luas dan kompleks yang diklaim sebagai kekuasaan negara, dan 3 pemanfaatan sumber daya yang terjebak pada kondisi de facto open access dan kecenderungannya para pihak menjadi berlomba untuk memanfaatkan sumber daya sebesar-besarnya untuk kepentingan masing-masing. Sehingga pemilikan dan pengelolaan oleh pemerintah yang diduga merupakan satu-satunya solusi pelaksanaan secara universal untuk tragedy of the common secara serius terbantahkan oleh fakta-fakta ini. Menurut Rustiadi et al. 2009, argumen Hardin didasarkan atas dua asumsi, yaitu: 1 pengawasan d engan sifat ―memaksa‖ dapat berjalan secara efektif melalui pembentukan norma-norma internal atau pembentukan kewajiban pada semua pemakaian sumberdaya, dan 2 kesepakatan dalam aturan yang dicapai dalam suatu negara, umumnya pada pemerintahan nasional, karena pada pemerintah lokal dan informal serta lembaga non pemerintah tidak dapat membangun cara yang efektif untuk melindungi atau memperbaiki keadaan yang mengarah pada tragedi. Kebijakan yang menyerahkan sumberdaya dari status traditional common-property yang dimiliki komunitas lokal menjadi properti pemerintahan negara telah terbukti menjadi preseden yang buruk bagi keberlanjutan ketersediaan sumberdaya. Di berbagai tempat, pemerintah yang diberi kewenangan sering kali tidak memiliki personil di level bawah yang cukup terlatih untuk mengawasi sumber daya. Kelembagaan yang diperkirakan dapat digunakan untuk mengatasi tragedi ini merupakan aturan-aturan yang dibangun masyarakat untuk menentukan ‗dilakukan atau tidak dilakukan‘ berkaitan dengan situasi tertentu. Banyak tipe pengaturan kelembagaan telah dikembangkan untuk mencoba mengurangi permasalahan diatas. Oleh karena setiap sumber daya memerlukan penanganan yang spesifik, maka perlu hasil evaluasi tipe pengaturan kelembagaan baik yang berhasil dikembangkan maupun yang tidak sehingga dapat memberikan pembelajaran bagi pengelolaan sumber daya di wilayah lain. Karenanya, rekonstruksi kelembagaan yang ada sangat penting untuk mengevaluasi kinerja dan output yang dihasilkan, apakah sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.

2.3 Keramba Jaring Apung KJA