Karakteristik Sumber Daya Waduk
dampak langsung dari penggenangan air, yaitu masalah pembebasan lahan. Pada saat penelitian, masih ada responden yang menyatakan kekecewaannya karena
masalah pembebasan tanah yang tidak sesuai dengan nilai harga tanah saat itu. Secara sosial mereka kehilangan tanah, rumah dan karuhun lembur nenek moyang
istilah setempat untuk menyebut kampung halaman. Ada masyarakat yang ―dipaksa‖ untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau Jawa, dan ada pula yang
tidak bersedia dan memilih mencari desa terdekat untuk bermukim. Dari sekian banyak masalah negatif yang timbul dari pembangunan
waduk, dan hal tersebut tidak dipungkiri oleh masyarakat setempat, namun banyak pula masyarakat di Cirata mengatakan hal yang positif dengan adanya
pembangunan waduk. Peluang usaha terbuka lebar, mulai dari buruh KJA, nelayan, petani, pemilik KJA, buruh angkut, sewa perahu, rumah makan, dan
kegiatan ekonomi lain. Masyarakat pun tidak merasa kekurangan air walaupun menghadapi musim kemarau. Adanya usaha KJA dan usaha ikutan lainnya di
sekitar waduk membuat masyarakat dapat hidup secara layak. Pada awal kegiatan budidaya ikan, kualitas air masih bagus, produksi ikan bisa mencapai hasil yang
optimal, dan harga ikan tergolong tinggi, masyarakat dapat meraup untung yang cukup besar. Secara sosial perubahan status terjadi di masyarakat, dibuktikan
dengan banyaknya masyarakat yang mampu menunaikan ibadah haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam.
Secara umum permasalahan yang dialami oleh bendungan-bendungan besar di dunia, juga terjadi di Cirata. Laju sedimentasi melebihi perencanaan
waduk, telah menyebabkan penurunan kualitas air waduk serta berkurangnya umur layan waduk selama 8 tahun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan
pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya waduk. Masalah property right
juga berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan tersebut. Oleh karena keunikan Waduk Cirata yang melintasi 3 kabupaten, sehingga propety right juga
menjadi salah satu pemicu terjadinya pengurangan daya dukung waduk. Masalah property right
ini berkaitan dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan menangani managemen sumber daya. Masalah property right ini
akan dibahas pada bagian ekonomi, politik, kebijakan dan tata kelola kelembagaan dalam pemanfaatan Waduk Cirata.
Dalam managemen pengelolaan CPRs, DolsakOstrom 2002 telah mengidentifikasi faktor-faktor kunci. Faktor-faktor kunci tersebut antara lain :
ukuran SDA relatif kecil kecil, stabil dan memiliki batas-batas yang jelas, penggunaan sumber daya yang menghasilkan eksternalitas negatif paling kecil,
kemampuan pengguna sumber daya dalam memonitor stock dan flows, dan pengguna sumber daya termasuk kategori pengguna moderate, dimana tingkat
pengetahuan pengguna SDA cukup tinggi sehingga mampu memahami pentingnya penggunaan sumber daya yang tidak berlebihan. Sumber daya dengan
ciri-ciri diatas masih mungkin dilakukan pencegahan kerusakan SDA karena dinamika SDA dipahami dengan benar oleh para pengguna sumber daya.
CPRs dengan ukuran yang relatif kecil lebih kondusif dalam pembentukan dan pengelolaan kelembagaan untuk mengelola sumber daya. Seberapa kecil
ukuran sumber daya yang dimaksud? Pada kondisi ini tidak ada definisi yang lebih tepat untuk menjelaskan ukuran dari sebuah CPRs. Beberapa peneliti
biasanya mengelompokkan CPR ke dalam sumber daya lokal, regional dan global. Ukuran CPRs ini berhubungan dengan variabel lain contohnya CPRs yang relatif
kecil, lebih mudah dimonitor. Stok yang sedikit lebih mudah dimonitor dengan menggunakan metode yang relatif sederhana dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi. CPRs yang kecil cenderung hanya diminati oleh segelintir pengguna, sehingga aliran sumber daya mudah dimonitor dalam kaitannya dengan
perhitungan stok dan pengaduan terhadap batas penggunaan sumber daya mudah diukur. Untuk sumber daya skala regional dan global biasanya sulit untuk
memperkirakan tehnik yang tepat dalam mengukur stok dan menghitung flow yang terjadi.
Keunikan Waduk Cirata dibandingkan waduk kaskade lainnya dalam hal lintas wilayah administrasi ini mengakibatkan ketidakjelasan property right
waduk sehingga terdapat 3 kabupaten yang merasa memiliki kewenangan untuk pengusahaan waduk. Oleh karena itu bisa dikategorikan bahwa Waduk Cirata
merupakan CPRs dengan ukuran besar skala regional. Monitoring sumber daya ini relatif sulit karena ukuran waduk yang besar dan melintasi beda kabupaten
yang memiliki perbedaan kebijakan, perbedaan aturan main dan perbedaan administratif lainnya; dan karena besarnya waduk ini maka banyak pihak yang
tertarik untuk mengesktraksi atau memanfaatkan waduk untuk kepentingan ekonomi. Banyaknya pengguna sumber daya ini tentu saja menyulitkan proses
monitoring stok dan flow sumber daya tersebut. CPRs dengan skala lokal contohnya adalah waduk Jatiluhur di hilir sungai
Citarum yang merupakan kaskade dari Waduk Cirata. Kepemilikkan dan pengelolaan waduk jelas dikelola oleh satu pihak dengan melibatkan satu
pemerintahan kabupaten. Sehingga setiap upaya pemanfaatan waduk dan aktivitas penanggulangan kerusakan waduk dikelola oleh pihak-pihak yang jelas.
Monitoring flow dan stok dikelola oleh pihak yang berwenang, kebijakan yang dibuat dipatuhi oleh semua pengguna sumber daya. Pada awal pembangunannya,
waduk Jatiluhur tidak merelokasi masyarakat karena daerah yang terkena dampak genangan adalah hutan-hutan tidak berpenghuni, sehingga tidak ada janji apapun
kepada masyarakat yang terkena dampak. Hal inilah yang memungkinkan waduk Jatiluhur membuat peraturan dan monitoring siapa saja yang berhak untuk
memanfaatkan waduk sebagai tempat budidaya. Peraturannya tegas, dibuat dan dilakukan oleh pemerintah berwenang yang menjaga sumber daya tersebut
sebagai asset kabupaten. CPR dengan batas-batas yang jelas dan stabil ditemukan lebih kondusif
dalam keberlanjutan managemen kelembagaan. Jika batas-batas CPRs dipahami dengan benar dan tidak berubah seiring dengan waktu, maka mudah untuk
menentukan pengguna sumber daya dan aktivitas pengambilan sumber daya. Di lain pihak, jika sumber daya menghasilkan unit yang bergerak melewati batas-
batas, misalnya ikan yang bermigrasi, jumlah pengguna sumber daya biasanya akan naik secara drastis sehingga lebih sulit untuk membentuk dan mengelola
kelembagaan untuk mencegah penggunaan yang berlebihan dari sumber daya tersebut.
Dalam kasus Waduk Cirata penentuan batas atau zonasi baru dilakukan di tahun 2002. Begitu juga dengan pengaturan kegiatan perekonomian budidaya baru
ditertibkan oleh pengelola waduk dalam upaya untuk meningkatkan kelancaran usaha, jalur transportasi, mempermudah monitoring, dan bimbingan. Untuk
resource unit dalam usaha budidaya tentunya bersifat stabil karena konstruksi
karamba yang memudahkan perhitungan stok dan flow, namun untuk ikan-ikan
lain yang tidak dibudidayakan, saat ini baru wilayah Cianjur yang memiliki kelompok nelayan yang membantu memonitoring dan mengatur kegiatan-kegiatan
nelayan di wilayah mereka. Upaya ini tentunya merupakan langkah yang baik dalam managemen waduk dan dalam kerangka menciptakan suistanability sumber
daya. CPR yang menghasilkan eksternalitas negatif lebih sedikit relatif mudah
untuk dikelola dibandingkan dengan eksternalitas yang kompleks dan yang berinteraksi dengan resource system. Semakin kompleks reource system, maka
semakin sulit bagi pengguna sumber daya untuk mematuhi peraturan dalam mengatasi eksternalitas. Dalam berbagai analisis eksternalitas, kita harus
mendefinisikan dengan baik tipe dari eksternalitas oleh karena setiap tipe eksternalitas membutuhkan aturan yang berbeda. Ekstraksi sumber daya oleh satu
pengguna biasanya menimbulkan eksternalitas bagi pengguna lain. Pengambilan satu unit resource akan mengurangi jumlah resource unit yang tersedia untuk
pengguna sumber daya yang lain. Berdasarkan tipe eksternalitas yang telah dibahas pada tinjauan pustaka, eksternalitas negatif di Waduk Cirata merupakan
eksternalitas provision. Dari sisi supply adanya insentif terhadap free rider merupakan kendala dalam ketersediaan atau daya dukung lingkungan waduk. Para
free rider yang merupakan pendatang yang ikut membuka usaha karamba
mendapatkan kemudahan dari pihak-pihak berwenang sehingga insentif ini yang menimbulkan semakin banyak pemilik waduk yang non pribumi. Selain itu
adanya pihak-pihak yang tidak memiliki ijin usaha atau SPL Surat Penempatan Lokasi juga menjadi free rider utama, karena mereka yang tidak membuat ijin
usaha perikanan menikmati kegiatan usaha di waduk tanpa membayar untuk kegiatan pelestarian waduk. Oleh karena itu diperlukan maintaining sumber daya
seperti adanya pengorganisasian masyarakat. Keberhasilan pengorganisasian masyarakat ini tergantung tingkat pendidikan, behavior dan attitude yang dimiliki
oleh masyarakat setempat, selain faktor-faktor eksternal lainnya seperti kurangnya dukungan dan pembinaan dari pihak terkait, kurangnya modal, dan kuatnya
pengaruh para sub agen dan agen pakan. Rata-rata tingkat pendidikan petani dan masyarakat di desa-desa sekitar waduk memang rendah dan kebiasaan masyarakat
desa yang tidak bisa melakukan multiple task atau sesuatu yang rumit, sehingga
menyebabkan kelompok-kelompok pengorganisasian masyarakat di Cirata membutuhkan waktu lebih lama dalam adaptasi kelompok. Adanya kelompok
yang sudah terkenal dan menjadi juara nasional serta adanya keuntungan dalam berkelompok sangat memicu masyarakat lain dalam pengorganisasian masyrakat,
bahkan mendorong kelompok lain untuk bisa melakukan hal yang serupa. Sisi demand terhadap eksternalitas provision terkait dengan tingginya
permintaan akan ikan yang menyebabkan masyarakat terus berupaya untuk melakukan usaha-usaha walaupun ditengah kesulitan berkurangnya daya dukung
lingkungan yang dibuktikan dengan penurunan kualitas air dan penurunan produktivitas ikan dari tahun ke tahun. Memang telah banyak terjadi penurunan
jumlah petani ikan karena kasus kematian ikan massal, namun hal ini masih tergolong kecil. Menurut teori dibutuhkan maksimisasi discounted present value
of rate return untuk petani ikan. Hal ini berarti bahwa orientasi bukan pada
seberapa banyak jumlah petani ikan, namun seberapa besar produksi yang dihasilkan oleh sejumlah petani yang terbatas. Fakta nyata yang diperoleh pada
saat wawancara dengan masyarakat adalah : dulu pada saat waduk baru dioperasikan hingga tahun 2003 persentase pertumbuhan ikan bisa mencapai 80,
namun saat ini hanya 50 persen, dengan modal yang sedikit mampu menghasilkan sejumlah ikan yang sama dengan modal yang lebih besar pada saat ini.
Oleh karena kompleksnya resource system waduk dengan berbagai sektor pengguna menyebabkan tidak terkontrolnya pengguna sumber daya lain sehingga
menimbulkan eksternalitas bagi pengguna sektor lain. Semakin banyaknya pengguna sumber daya, maka semakin sulit pula mereka menaati peraturan untuk
mengatasi eksternalitas. Walaupun sulit untuk mendesign dan menegakkan kelembagaan dalam
pengelolaan sumber daya global dan regonal, bukan berarti tidak bisa, beberapa diantaranya bisa sukses dikelola dan dijaga. Akan tetapi implementasinya
membutuhkan usaha yang cukup besar dari pengguna sumber daya dan dengan menggunakan teknologi yang mumpuni. Upaya-upaya tersebut tengah dijalankan
oleh instansi pengelola maupun instansi tehnis terkait di Cirata untuk lebih memperdayakan kelompok-kelompok petani yang ada dalam melakukan
monitoring stok, flow, eksternalitas negatif yang timbul dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing kabupaten yang berbeda.