Karakteristik Sumber Daya Waduk

dampak langsung dari penggenangan air, yaitu masalah pembebasan lahan. Pada saat penelitian, masih ada responden yang menyatakan kekecewaannya karena masalah pembebasan tanah yang tidak sesuai dengan nilai harga tanah saat itu. Secara sosial mereka kehilangan tanah, rumah dan karuhun lembur nenek moyang istilah setempat untuk menyebut kampung halaman. Ada masyarakat yang ―dipaksa‖ untuk melakukan transmigrasi ke luar pulau Jawa, dan ada pula yang tidak bersedia dan memilih mencari desa terdekat untuk bermukim. Dari sekian banyak masalah negatif yang timbul dari pembangunan waduk, dan hal tersebut tidak dipungkiri oleh masyarakat setempat, namun banyak pula masyarakat di Cirata mengatakan hal yang positif dengan adanya pembangunan waduk. Peluang usaha terbuka lebar, mulai dari buruh KJA, nelayan, petani, pemilik KJA, buruh angkut, sewa perahu, rumah makan, dan kegiatan ekonomi lain. Masyarakat pun tidak merasa kekurangan air walaupun menghadapi musim kemarau. Adanya usaha KJA dan usaha ikutan lainnya di sekitar waduk membuat masyarakat dapat hidup secara layak. Pada awal kegiatan budidaya ikan, kualitas air masih bagus, produksi ikan bisa mencapai hasil yang optimal, dan harga ikan tergolong tinggi, masyarakat dapat meraup untung yang cukup besar. Secara sosial perubahan status terjadi di masyarakat, dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang mampu menunaikan ibadah haji yang merupakan kewajiban bagi umat Islam. Secara umum permasalahan yang dialami oleh bendungan-bendungan besar di dunia, juga terjadi di Cirata. Laju sedimentasi melebihi perencanaan waduk, telah menyebabkan penurunan kualitas air waduk serta berkurangnya umur layan waduk selama 8 tahun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumber daya waduk. Masalah property right juga berkaitan dengan pemanfaatan yang berlebihan tersebut. Oleh karena keunikan Waduk Cirata yang melintasi 3 kabupaten, sehingga propety right juga menjadi salah satu pemicu terjadinya pengurangan daya dukung waduk. Masalah property right ini berkaitan dengan siapa yang memiliki kewenangan untuk mengelola dan menangani managemen sumber daya. Masalah property right ini akan dibahas pada bagian ekonomi, politik, kebijakan dan tata kelola kelembagaan dalam pemanfaatan Waduk Cirata. Dalam managemen pengelolaan CPRs, DolsakOstrom 2002 telah mengidentifikasi faktor-faktor kunci. Faktor-faktor kunci tersebut antara lain : ukuran SDA relatif kecil kecil, stabil dan memiliki batas-batas yang jelas, penggunaan sumber daya yang menghasilkan eksternalitas negatif paling kecil, kemampuan pengguna sumber daya dalam memonitor stock dan flows, dan pengguna sumber daya termasuk kategori pengguna moderate, dimana tingkat pengetahuan pengguna SDA cukup tinggi sehingga mampu memahami pentingnya penggunaan sumber daya yang tidak berlebihan. Sumber daya dengan ciri-ciri diatas masih mungkin dilakukan pencegahan kerusakan SDA karena dinamika SDA dipahami dengan benar oleh para pengguna sumber daya. CPRs dengan ukuran yang relatif kecil lebih kondusif dalam pembentukan dan pengelolaan kelembagaan untuk mengelola sumber daya. Seberapa kecil ukuran sumber daya yang dimaksud? Pada kondisi ini tidak ada definisi yang lebih tepat untuk menjelaskan ukuran dari sebuah CPRs. Beberapa peneliti biasanya mengelompokkan CPR ke dalam sumber daya lokal, regional dan global. Ukuran CPRs ini berhubungan dengan variabel lain contohnya CPRs yang relatif kecil, lebih mudah dimonitor. Stok yang sedikit lebih mudah dimonitor dengan menggunakan metode yang relatif sederhana dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. CPRs yang kecil cenderung hanya diminati oleh segelintir pengguna, sehingga aliran sumber daya mudah dimonitor dalam kaitannya dengan perhitungan stok dan pengaduan terhadap batas penggunaan sumber daya mudah diukur. Untuk sumber daya skala regional dan global biasanya sulit untuk memperkirakan tehnik yang tepat dalam mengukur stok dan menghitung flow yang terjadi. Keunikan Waduk Cirata dibandingkan waduk kaskade lainnya dalam hal lintas wilayah administrasi ini mengakibatkan ketidakjelasan property right waduk sehingga terdapat 3 kabupaten yang merasa memiliki kewenangan untuk pengusahaan waduk. Oleh karena itu bisa dikategorikan bahwa Waduk Cirata merupakan CPRs dengan ukuran besar skala regional. Monitoring sumber daya ini relatif sulit karena ukuran waduk yang besar dan melintasi beda kabupaten yang memiliki perbedaan kebijakan, perbedaan aturan main dan perbedaan administratif lainnya; dan karena besarnya waduk ini maka banyak pihak yang tertarik untuk mengesktraksi atau memanfaatkan waduk untuk kepentingan ekonomi. Banyaknya pengguna sumber daya ini tentu saja menyulitkan proses monitoring stok dan flow sumber daya tersebut. CPRs dengan skala lokal contohnya adalah waduk Jatiluhur di hilir sungai Citarum yang merupakan kaskade dari Waduk Cirata. Kepemilikkan dan pengelolaan waduk jelas dikelola oleh satu pihak dengan melibatkan satu pemerintahan kabupaten. Sehingga setiap upaya pemanfaatan waduk dan aktivitas penanggulangan kerusakan waduk dikelola oleh pihak-pihak yang jelas. Monitoring flow dan stok dikelola oleh pihak yang berwenang, kebijakan yang dibuat dipatuhi oleh semua pengguna sumber daya. Pada awal pembangunannya, waduk Jatiluhur tidak merelokasi masyarakat karena daerah yang terkena dampak genangan adalah hutan-hutan tidak berpenghuni, sehingga tidak ada janji apapun kepada masyarakat yang terkena dampak. Hal inilah yang memungkinkan waduk Jatiluhur membuat peraturan dan monitoring siapa saja yang berhak untuk memanfaatkan waduk sebagai tempat budidaya. Peraturannya tegas, dibuat dan dilakukan oleh pemerintah berwenang yang menjaga sumber daya tersebut sebagai asset kabupaten. CPR dengan batas-batas yang jelas dan stabil ditemukan lebih kondusif dalam keberlanjutan managemen kelembagaan. Jika batas-batas CPRs dipahami dengan benar dan tidak berubah seiring dengan waktu, maka mudah untuk menentukan pengguna sumber daya dan aktivitas pengambilan sumber daya. Di lain pihak, jika sumber daya menghasilkan unit yang bergerak melewati batas- batas, misalnya ikan yang bermigrasi, jumlah pengguna sumber daya biasanya akan naik secara drastis sehingga lebih sulit untuk membentuk dan mengelola kelembagaan untuk mencegah penggunaan yang berlebihan dari sumber daya tersebut. Dalam kasus Waduk Cirata penentuan batas atau zonasi baru dilakukan di tahun 2002. Begitu juga dengan pengaturan kegiatan perekonomian budidaya baru ditertibkan oleh pengelola waduk dalam upaya untuk meningkatkan kelancaran usaha, jalur transportasi, mempermudah monitoring, dan bimbingan. Untuk resource unit dalam usaha budidaya tentunya bersifat stabil karena konstruksi karamba yang memudahkan perhitungan stok dan flow, namun untuk ikan-ikan lain yang tidak dibudidayakan, saat ini baru wilayah Cianjur yang memiliki kelompok nelayan yang membantu memonitoring dan mengatur kegiatan-kegiatan nelayan di wilayah mereka. Upaya ini tentunya merupakan langkah yang baik dalam managemen waduk dan dalam kerangka menciptakan suistanability sumber daya. CPR yang menghasilkan eksternalitas negatif lebih sedikit relatif mudah untuk dikelola dibandingkan dengan eksternalitas yang kompleks dan yang berinteraksi dengan resource system. Semakin kompleks reource system, maka semakin sulit bagi pengguna sumber daya untuk mematuhi peraturan dalam mengatasi eksternalitas. Dalam berbagai analisis eksternalitas, kita harus mendefinisikan dengan baik tipe dari eksternalitas oleh karena setiap tipe eksternalitas membutuhkan aturan yang berbeda. Ekstraksi sumber daya oleh satu pengguna biasanya menimbulkan eksternalitas bagi pengguna lain. Pengambilan satu unit resource akan mengurangi jumlah resource unit yang tersedia untuk pengguna sumber daya yang lain. Berdasarkan tipe eksternalitas yang telah dibahas pada tinjauan pustaka, eksternalitas negatif di Waduk Cirata merupakan eksternalitas provision. Dari sisi supply adanya insentif terhadap free rider merupakan kendala dalam ketersediaan atau daya dukung lingkungan waduk. Para free rider yang merupakan pendatang yang ikut membuka usaha karamba mendapatkan kemudahan dari pihak-pihak berwenang sehingga insentif ini yang menimbulkan semakin banyak pemilik waduk yang non pribumi. Selain itu adanya pihak-pihak yang tidak memiliki ijin usaha atau SPL Surat Penempatan Lokasi juga menjadi free rider utama, karena mereka yang tidak membuat ijin usaha perikanan menikmati kegiatan usaha di waduk tanpa membayar untuk kegiatan pelestarian waduk. Oleh karena itu diperlukan maintaining sumber daya seperti adanya pengorganisasian masyarakat. Keberhasilan pengorganisasian masyarakat ini tergantung tingkat pendidikan, behavior dan attitude yang dimiliki oleh masyarakat setempat, selain faktor-faktor eksternal lainnya seperti kurangnya dukungan dan pembinaan dari pihak terkait, kurangnya modal, dan kuatnya pengaruh para sub agen dan agen pakan. Rata-rata tingkat pendidikan petani dan masyarakat di desa-desa sekitar waduk memang rendah dan kebiasaan masyarakat desa yang tidak bisa melakukan multiple task atau sesuatu yang rumit, sehingga menyebabkan kelompok-kelompok pengorganisasian masyarakat di Cirata membutuhkan waktu lebih lama dalam adaptasi kelompok. Adanya kelompok yang sudah terkenal dan menjadi juara nasional serta adanya keuntungan dalam berkelompok sangat memicu masyarakat lain dalam pengorganisasian masyrakat, bahkan mendorong kelompok lain untuk bisa melakukan hal yang serupa. Sisi demand terhadap eksternalitas provision terkait dengan tingginya permintaan akan ikan yang menyebabkan masyarakat terus berupaya untuk melakukan usaha-usaha walaupun ditengah kesulitan berkurangnya daya dukung lingkungan yang dibuktikan dengan penurunan kualitas air dan penurunan produktivitas ikan dari tahun ke tahun. Memang telah banyak terjadi penurunan jumlah petani ikan karena kasus kematian ikan massal, namun hal ini masih tergolong kecil. Menurut teori dibutuhkan maksimisasi discounted present value of rate return untuk petani ikan. Hal ini berarti bahwa orientasi bukan pada seberapa banyak jumlah petani ikan, namun seberapa besar produksi yang dihasilkan oleh sejumlah petani yang terbatas. Fakta nyata yang diperoleh pada saat wawancara dengan masyarakat adalah : dulu pada saat waduk baru dioperasikan hingga tahun 2003 persentase pertumbuhan ikan bisa mencapai 80, namun saat ini hanya 50 persen, dengan modal yang sedikit mampu menghasilkan sejumlah ikan yang sama dengan modal yang lebih besar pada saat ini. Oleh karena kompleksnya resource system waduk dengan berbagai sektor pengguna menyebabkan tidak terkontrolnya pengguna sumber daya lain sehingga menimbulkan eksternalitas bagi pengguna sektor lain. Semakin banyaknya pengguna sumber daya, maka semakin sulit pula mereka menaati peraturan untuk mengatasi eksternalitas. Walaupun sulit untuk mendesign dan menegakkan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya global dan regonal, bukan berarti tidak bisa, beberapa diantaranya bisa sukses dikelola dan dijaga. Akan tetapi implementasinya membutuhkan usaha yang cukup besar dari pengguna sumber daya dan dengan menggunakan teknologi yang mumpuni. Upaya-upaya tersebut tengah dijalankan oleh instansi pengelola maupun instansi tehnis terkait di Cirata untuk lebih memperdayakan kelompok-kelompok petani yang ada dalam melakukan monitoring stok, flow, eksternalitas negatif yang timbul dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing kabupaten yang berbeda.

8.2 Faktor Ekonomi

Dalam pemanfaatan waduk sebagai perairan umum, masyarakat sangat diuntungkan dengan adanya budidaya KJA, karena sebagian besar masyarakat yang dimukimkan kembali di daerah sekitar waduk memiliki hak untuk membuka usaha KJA dan usaha garapan lahan pertanian di daerah pasang surut air. Usaha dibidang budidaya perikanan ini sangat menguntungkan sehingga semakin banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan usahanya dibidang perikanan. Selain menguntungkan trend permintaan terhadap komoditas ini relatif meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari kenaikan rata-rata konsumsi ikan per kapita nasional dari tahun 2005 sebesar 25 kgkapitatahun menjadi 30,48 kgkapita di tahun 2010. Hal ini menjadi salah satu pemicu peningkatan produksi ikan budidaya, khususnya ikan air tawar. Dalam kurun waktu lima tahun 2002 —2006 terjadi peningkatan produksi ikan mas, nila, patin, dan bawal air tawar, masing- masing 19, 65, 10 dan 251 persen. Provinsi Jabar tercatat sebagai wilayah yang menghasilkan lebih dari separuh ikan air tawar konsumsi yang beredar di pasar lokal. Waduk Cirata di Jawa Barat menghasilkan rata-rata 8000 ton ikan air tawar Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, 2011. Sejauh ini, pasar ikan konsumsi air tawar Cirata masih membidik konsumen lokal yang dijual dalam bentuk segar. Pemasaran hasil produksi terutama untuk pasar tradisonial di wilayah : Jakarta Muara Baru dan Muara Angke, Bandung, Bogor, Semarang, Surabaya, Lampung dan di sekitar pulau Jawa. Pasar lokal masih menjadi target pembudidaya karena mereka masih menganggap harga internasional belum menarik. Sebagai contoh, harga fillet patin di pasar dunia saat ini mencapai US2,8 —US3,0 atau Rp26.000—Rp27.900 per kg. Untuk menghasilkan 1 kg fillet patin dibutuhkan 4 kg patin segar dengan harga rata-rata Rp10.000 per kg. Dengan demikian dibutuhkan Rp40.000 untuk menghasilkan satu kg fillet patin, di luar biaya produksi, pengemasan, dan transportasi. Oleh karena itu wajar bila orientasi pembudidaya ikan-ikan air tawar masih tertuju ke pasar lokal. Berdasarkan hasil wawancara dengan bandar ikan untuk masuk dalam tahap ekspor ke luar negari, kualitas ikan Cirata belum memenuhi syarat karena ukuran ikan yang kurang besar dan kontinuitas yang masih dipertanyakan. Walaupun demikian para bandar ikan yang membeli hasil ikan Cirata mengatakan bahwa selama ini mereka tidak pernah rugi, berapapun ikan yang mereka bawa untuk dijual pasti akan habis di pasaran tradisonial. Bahkan untuk beberapa musim, kebutuhan masih belum bisa tercukupi. Oleh karena kebutuhan domestik untuk ikan air tawar pun masih belum mencukupi, para bandar ikan belum menjajaki pasar luar negeri untuk ekspor. Walaupun kecenderungan permintaan ikan terus meningkat namun tidak berkorelasi positif dengan harga ikan. Harga jual ikan diserahkan pada mekanisme pasar dimana jika permintaan tinggi maka harga akan tinggi, dan saat stok ikan melimpah, harga akan turun. Kondisi ini masih menjadi dilema bagi petani ikan Cirata. Ketika Waduk Jatiluhur dan Saguling panen ikan secara bersamaan maka harga ikan akan jatuh. Harga jual ikan mas bulan Mei 2012 ini berkisar Rp. 13.500,00Kg. Harga ini tergolong normal, tahun 2009 harga ikan sempat jatuh mencapai Rp.11.500Kg, tahun berikutnya Rp.12.500Kg. Bulan Juli-Agustus, biasanya terjadi over produksi sehingga harga bisa turun, menjelang bulan Desember-maret harga bisa naik mencapai Rp20.500,00Kg karena musim angin barat, biasanya musim banyak penyakit yang menyebabkan kematian ikan. Sementara harga ikan diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak demikian halnya dengan harga pakan ikan. Hal inilah yang dikeluhkan oleh petani. Pakan pellet merupakan input utama dalam budidaya KJA. Harga pakan yang terus meningkat, sementara harga ikan relatif stabil sangat mempengaruhi profit petani. Pada saat penelitian ini berlangsung Mei 2012, telah terjadi 3 Tiga kali kenaikan harga pakan. Penjualan pakan didominasi oleh beberapa produsen pakan seperti Comfeed dengan produk PI Comfeed, SPM dan SPF, Sinta dengan produk Laju, Jatra dan Pilar, Charoen Poekpan Turbo 89, P88, dan Cargill Extra M, Profish dan FEE. Produsen ini bekerjasama dengan 4 agen besar yang ada di perairan Cirata yaitu SH Sayap Heulang, JP Janari Perdana, AP Agung Pratama dan SD Sari Dagang. Sayap Heulang menjual produk Cargill dan Pokpan. Agung Pratama menjual produk Bintang yaitu CV, Malindo dan Wonokoyo. JP khusus menjual produk Sinta. Mekanisme penjualan melalui agen- agen, sub agen dan petani ditetapkan secara bersama-sama melalui wadah Asosiasi GPMT Gabungan Pengusaha Makanan Ternak. Melalui asosiasi ini maka mekanisme penjualan pakan berlaku sama untuk setiap pelabuhan di masing-masing kabupaten. Produk Sinta yang paling banyak digunakan oleh petani ikan Cirata, harga jual pakan merk Jatra ukuran 3mm = 5.000kg, Laju 3mm = 4.500kg, Pilar 3mm = 4.250kg dan Jatra khusus untuk bibit 2mm = 5.250kg. Harga tersebut merupakan harga agen kepada sub agen. Sedangkan dari sub agen kepada petani harga pakan merk Jatra Rp.5.870Kg. Harga pakan merk Sinta Rp.5.700,00Kg naik dari Rp.5.500,00Kg. Kenaikan ini menurut GPMT karena bahan baku pakan yang harus impor dari luar negeri mengalami kenaikan harga. Bahan baku yang dimaksud adalah tepung tulang yang memiliki kandungan protein tinggi. Hal ini menyusul keputusan pemerintah untuk melarang impor semua produk olahan daging sapi dari Amerika karena merebaknya wabah sapi gila, sehingga importir produk olahan daging sapi seperti pengusaha pakan ternak ini harus mengalihkan pembeliannya ke negara lain seperti Australia atau New Zealand yang mematok harga lebih tinggi. Mata rantai pemasaran hasil produksi budidaya perikanan Cirata lebih banyak dikuasai oleh para sub agen pakan. Sistem penjualan pakan kepada petani ternyata menggunakan sistem hutang, petani membayar dengan ikan setelah masa panen 3 bulan. Masing- masing sub agen yang biasa disebut ―gudang‖ memiliki aturan tersendiri dalam memberikan pinjaman kepada petani ikan. Ada yang mensyaratkan maksimal 21 hari harus membayar, ada pula yang mensyaratkan setelah hutangnya berjumlah Rp10.000.000,00 keatas, maka harus membayar bahkan ada yang tergantung permintaan dari petani tetapi maksimum 2 minggu harus sudah membayar hutangnya. Para petani ikan ini terikat perjanjian tidak tertulis dengan para pemilik gudan pakan, mereka wajib menjual hasil ikannya kepada pemilik gudang setelah masa panen untuk membayar hutang-hutang pakannya. Jika terjadi kasus kematian ikan secara massal, maka petani-petani ikan ini tidak bisa membayar hutangnya dan bahkan semakin menumpuk. Oleh karena pihak gudang tidak ingin menanggung resiko kerugian, mereka meninjau kembali luasan kolam dan feasibilitas petani, jika mereka menganggap petani masih mampu membayar hutangnya maka mereka kembali meminjamkan uang untuk modal budidaya ikan supaya bisa mencicil hutang-hutang mereka; namun jika luasan kolam sedikit dan tidak memungkinkan untuk menutup hutang-hutangnya, maka pihak gudang akan mengambil alih kolam sebagai ganti rugi pembayaran hutang. Ikatan kerjasama ini secara ekonomi memang merugikan petani, karena petani tidak memiliki alternatif pilihan penjualan ke pihak lain dan jika sudah jatuh tempo, sementara ikan belum cukup umur untuk panen, mereka tetap akan dipaksa untuk panen dini. Tentu saja hal ini akan mempengaruhi pendapatan petani, karena bobot ikan yang belum mencukupi akan dihargai rendah. Namun ketimpangan kerjasama ini belum pernah berakibat fatal misalnya konflik terbuka. Petani lebih banyak mengalah dan pasrah dengan keadaan manakala pemilik gudang mengambil alih kolamnya ketika hutang sudah mulai menumpuk. Dari wawancara kepada pemilik gudang, hampir sebagian besar mengaku mengalami penurunan pelanggan karena gulung tikar terutama semenjak kasus kematian ikan massal yang terjadi tahun 1996 dan terus berlanjut dalam skala kecil sampai sedang hingga tahun 2007. Sementara itu akses petani ke perbankan sebagai alternatif modal usaha, baru dirintis tahun 2010 dimana kelompok ASPINDAC Asosisasi Petani Ikan Waduk Cirata membuat rekomendasi sehingga beberapa petani yang bergabung dengan kelompok ini bisa mengajukan pinjaman ke Bank Jabar. Tidak kurang dari 60 milyar digelontorkan untuk petani ikan di Cirata. Keengganan masyarakat untuk meminjam uang sebagai modal ke pihak perbankan dikarenakan administrasi yang berbelit, menyulitkan dan mereka harus tergabung dalam kelompok petani ikan. Itupun melalui proses seleksi yang ketat. Pada akhirnya banyak dari petani kembali ke gudang untuk meminjam pakan, karena prosedurnya yang ringkas dan hanya bermodalkan kepercayaan. Pihak gudang pun mulai membina hubungan dengan para petani melalui berbagai pertemuan dan pelatihan yang difasilitasi oleh GPMT atau produsen pakan. Selain mereka mempromosikan jenis pakan terbaru atau mensosialisasikan keunggulan produk pakan, mereka juga memberikan bimbingan tehnis untuk peningkatan produksi ikan. Hal inilah yang jarang dilakukan oleh dinas terkait yang menjadi tugas dan kewenangannya. Pada intinya, faktor ekonomi memang mendorong terjadinya penggunaan waduk secara berlebihan sehingga mengurangi daya dukung lingkungan. Walaupun usaha budidaya yang dikembangkan pun saat ini tidak luput dari kutukan sumber daya resource curse dimana teori ini mengatakan bahwa masyarakat yang memiliki wilayah dengan sumber daya yang besar cenderung memiliki tingkat penghidupan yang jauh dari layak. Teori ini terbukti untuk kasus Cirata, dimana hanya sebagian kecil masyarakat yang memiliki usaha KJA yang memiliki penghidupan yang layak, sementara itu hampir sebagian besar penduduk hanyalah buruh KJA dengan tingkat pendapatan rata-rata per bulan Rp600 000 – 800 000.00. Pemilik KJA berdasarkan sensus BPWC 2011 menunjukkan bahwa kepemilikan KJA 83 persen dikuasai oleh pribumi dan 14 persen non pribumi. Namun pada saat penelitian di lapangan dari 69 RTP, 40 persen diantaranya adalah milik pribumi dan 60 persen milik masyarakat di luar penduduk sekitar waduk. Jumlah unit KJA yang dimiliki oleh rata-rata pribumi hanya 4 unit sedangkan untuk non pribumi rata-rata memiliki 7 unit KJA. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat asli tidak mendapatkan manfaat cukup besar dari adanya waduk karena memiliki keterbatasan modal dan pengetahuan. Untuk masyarakat yang saat ini memiliki KJA dengan tingkat kepemilikan hanya 4 unit memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk gulung tikar manakala harga ikan turun atau harga pakan meningkat. Satu-satunya akses permodalan mereka adalah para sub agen pakan, dalam mekanisme principal agent. Sehingga ketika terjadi kasus kematian ikan karena musim ataupun penyakit, dengan jumlah karamba yang sedikit, mereka rentan menghadapi pengambil alihan karamba oleh sub agen pakan. Dengan tingkat pendidikan masyarakat saat ini yang sebagian besar hanya tamat SD bahkan putus sekolah di tingkat dasar 70 persen untuk RTP, tentu saja dalam jangka panjang mereka pun memiliki kerentanan yang tinggi untuk tidak mencapai penghidupan yang lebih layak atau secara tehnis memperluas usaha karamba yang dimilikinya. Oleh karena itu mereka cenderung mudah dipermainkan oleh pelaku-pelaku ekonomi dengan pengaruh yang besar. Diharapkan dengan adanya kelompok-kelompok petani, mereka bisa diberdayakan dan mendapatkan dukungan, pengetahuan serta perubahan paradigma untuk kelangsungan usaha dan waduk yang menjadi tempat usaha mereka.