Willingness to Pay WTP Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah untuk Mengatasi Sedimentasi

waduk. Sehingga mereka memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan responden yang telah berumur. Tingkat pendidikan berdasarkan hasil regresi menunjukkan tanda positif +, berarti bahwa responden dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, memberikan nilai WTP yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan umur responden diatas, masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih terbuka dan memahami tentang masalah lingkungan dan kaitannya dengan dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga mereka cenderung memberikan nilai WTP lebih besar dengan harapan mereka mampu berkontribusi untuk kegiatan pelestarian waduk. Jenis pekerjaan juga ikut mempengaruhi besar kecilnya nilai WTP. Masyarakat yang berprofesi petani ditandai dengan angka 1 satu dan non petani, ditandai dengan angka 0 nol. Yang termasuk kategori non petani adalah pemilik usaha kecil, wiraswasta atau karyawan. Hasil regresi menunjukkan tanda negatif - yang berarti bahwa masyarakat yang berprofesi non-petani memberikan nilai WTP lebih besar dibandingkan masyarakat yang berprofesi sebagai petani. Hal ini kemungkinan berkorelasi dengan tingkat pendapatan masyarakat. Responden yang berprofesi sebagai pemilikpengelola usaha, karyawan maupun wiraswasta memiliki pendapatan yang pasti setiap bulannya, sedangkan untuk petani, pendapatan tidak menentu tergantung pada musim, sehingga mereka cenderung memberikan nilai lebih rendah. Kemungkinan lain, profesi non petani sangat dipengaruhi oleh aktivitas di waduk seperti budidaya perikanan, dan pariwisata; sehingga ketika waduk tercemar atau mengalami penutupan lebih cepat, merekalah yang pertama kali merasakan dampaknya. Jika usaha budidaya ikan lancar, maka semakin banyak orang yang datang ke Cirata dan usaha mereka menjadi lebih lancar. Tingkat penghasilan responden juga sangat mempengaruhi nilai WTP. Responden dengan tingkat penghasilan yang tinggi cenderung memberikan nilai WTP yang lebih besar, dan sebaliknya masyarakat dengan tingkat pendapatan lebih rendah cenderung juga memberikan nilai WTP yang rendah pula. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang mengatakan bahwa preferensi manusia dalam melakukan pilihan tergantung pada informasi yang dipahaminya, dan tingkat pendapatannya. Hasil regresi diatas sesuai dengan teori karena variabel pendapatan menunjukkan tanda positif +, yang berarti responden dengan penghasilan lebih besar memberikan nilai WTP yang besar pula. Asal responden juga dianalisis dalam model persamaan yang dibangun. Variabel dummy untuk masyarakat pribumi adalah nol 0, sedangkan untuk masyarakat non-pribumi adalah satu 1. Variabel ini digunakan karena masyarakat pribumi cenderung lebih merasa memiliki sumber daya sehingga diharapkan memberikan nilai WTP yang lebih besar, dibandingkan masyarakat non-pribumi. Hasil penelitian membuktikan hal tersebut, tanda negatif pada model persamaan diatas menunjukkan bahwa masyarakat asli cenderung memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan masyarakat pendatang. Dalam persamaan untuk variabel jarak menunjukkan tanda negatif -, artinya responden dengan jarak rumah yang paling dekat dengan waduk memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan dengan responden yang jarak rumahnya cenderung semakin jauh dari waduk. Hal ini karena mereka adalah masyarakat yang paling rentan terkena dampak dari adanya perubahan waduk baik kualitas air, kuantitas, erosi maupun pencemaran air lainnya. Tanggapan terhadap sampah merupakan variabel lingkungan yang dianalisis dalam model pengelolaan sampah dan waduk yang lestari. Pertanyaan terhadap responden adalah: ‖apakah bapakibu merasa terganggu dengan banyaknya sam pah disekitar rumah dan waduk?‖ Responden diberikan pernyataan berupa angka 1 satu yang berarti mereka merasa terganggu dengan adanya sampah dan angka 0 nol yang berarti mereka merasa tidak terganggu dengan adanya sampah. Hasil regresi menunjukkan tanda positif + yang berarti bahwa masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya sampah di sekitar waduk memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan masyarakat yang tidak merasa terganggu dengan adanya sampah di pinggiran waduk dan di sekitar rumah mereka. Diantara semua variabel yang diuji dengan menggunakan regresi linear, dengan selang kepercayaan 90 persen, hanya 2 dua variabel yang memberikan pengaruh nyata terhadap nilai WTP, yaitu variabel penghasilan dan asal responden. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dengan penghasilan yang tinggi cenderung mulai memperhatikan kondisi lingkungan sekitar dan bersedia memberikan kontribusi terhadap program pelestarian waduk yang mungkin menjadi sumber mata pencahariannya. Asal responden juga memberikan pengaruh nyata terhadap nilai WTP, hal ini merupakan bukti bahwa masyarakat pribumi lebih menginginkan waduk ini lestari. Berikut ini adalah hasil analisis regresi dengan menggunakan software minitab : The regression equation is WTP = 11572 - 3068 sex + 232 jmlh ART - 26 Umur + 51 Pendidikan - 776 Pekerjaan + 0,00304 Penghasilan - 10132 Asal - 10,4 jarak m + 4354 Tanggapan sampah 65 cases used, 2 cases contain missing values Predictor Coef SE Coef T P VIF Constant 11572 12689 0,91 0,366 sex -3068 3726 -0,82 0,414 1,107 jmlh ART 232 1273 0,18 0,856 1,053 Umur -25,5 156,8 -0,16 0,871 1,169 Pendidikan 51,2 820,0 0,06 0,950 1,448 Pekerjaan -776 4098 -0,19 0,850 1,414 Penghasilan 0,003037 0,001141 2,66 0,010 1,341 Asal -10132 4658 -2,18 0,034 1,169 jarak m -10,40 11,36 -0,92 0,364 1,101 Tanggapan sampah 4354 3617 1,20 0,234 1,101 S = 13891,6 R-Sq = 25,6 R-Sqadj = 13,4 PRESS = 17000089804 R-Sqpred = 0,00 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 9 3649286930 405476326 2,10 0,045 Residual Error 55 10613766916 192977580 Total 64 14263053846 Source DF Seq SS sex 1 249550096 jmlh ART 1 29201301 Umur 1 24942400 Pendidikan 1 594332403 Pekerjaan 1 181998065 Penghasilan 1 1288634056 Asal 1 769685151 jarak m 1 231205067 Tanggapan sampah 1 279738391 Untuk melihat gambaran demand masyarakat terhadap program managemen pengelolaan sampah berdasarkan nilai WTP yang diberikan, berikut ini merupakan gambar kurva demand dari RT non petani KJA : Gambar 18 . Kurva Demand WTP Untuk Rumah Tangga Non-Petani KJA Gambaran WTP untuk keluarga petani KJA dilakukan dengan menseleksi data responden. Data yang dipilih untuk analisis regresi RTP adalah data yang diperoleh dari kuesioner yang benar-benar sebagai pemilik KJA dan bukan merupakan pekerjaburuh KJA. Oleh karena itu dari 68 reponden yang berhasil dikumpulkan dari RTP KJA, hanya 35 responden yang benar-benar ditemui sebagai pemilik KJA, sisanya hanya mendapati buruh KJA yang bekerja. Dari hasil 35 responden inilah analisis WTP dilakukan. Analisis regresi menghasilkan fungsi WTP untuk RTP KJA adalah sebagai berikut : WTP = 60226 - 688 Umur + 0,00405 Pdptanbln - 22332 kualitas lingk Nilai diatas berarti bahwa WTP RTP dipengaruhi oleh tiga variabel yang dominan yaitu umur, pendapatan dan tanggapan RTP terhadap kualitas lingkungan waduk. Seperti halnya pada variabel RT non petani KJA, variabel umur menunjukkan tanda negatif - yang berarti bahwa semakin muda umur responden, semakin tinggi dalam memberikan penilaian terhadap WTP managemen pengelolaan sampah di waduk. Begitupula untuk tingkat pendapatan masyarakat petani KJA menunjukkan tanda positif +, yang berarti RT dengan pendapatan lebih besar memberikan WTP lebih tinggi dibandingkan dengan RT yang memiliki pendapatan lebih rendah. Hal ini tercermin dari jumlah kepemilikan petakan KJA. Variabel kualitas lingkungan yang diuji dalam RTP KJA adalah dengan menanyakan sejauhmana kualitas lingkungan waduk saat ini. Variabel ini menggunakan variabel dummy , dimana kategori ―0‖ untuk menunj ukkan bahwa kualitas lingkungan buruk dan kategori ―1‖ untuk menunjukkan kualitas lingkungan waduk masih baik. Tanda negatif - pada hasil analisis varibel kualitas lingkungan menyatakan bahwa responden yang mengatakan kualitas lingkungan waduk saat ini dalam keadaan buruk, memberikan nilai WTP yang lebih besar dibandingkan responden yang mengatakan kualitas air waduk saat ini masih tergolong baik. Diantara ketiga variabel yang diuji, variabel umur dan pendapatan memberikan pengaruh yang nyata pada selang kepercayaan 90 persen. Artinya kedua variabel tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kesediaan masyarakat membayar untuk managemen pengelolaan sampah. Berikut ini adalah hasil running dengan menggunakan software minitab untuk RTP KJA : Regression Analysis: WTP versus Umur; Pdptanbln; kualitas lingk The regression equation is WTP = 60226 - 688 Umur + 0,00405 Pdptanbln - 22332 kualitas lingk Predictor Coef SE Coef T P Constant 60226 26209 2,30 0,028 Umur -687,7 416,8 -1,65 0,109 Pdptanbln 0,004046 0,002150 1,88 0,069 kualitas lingk -22332 15771 -1,42 0,167 S = 29267,6 R-Sq = 21,4 R-Sqadj = 13,7 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 3 7212458732 2404152911 2,81 0,056 Residual Error 31 26554326983 856591193 Total 34 33766785714 Source DF Seq SS Umur 1 2576124335 Pdptanbln 1 2918746899 kualitas lingk 1 1717587497 Unusual Observations Obs Umur WTP Fit SE Fit Residual St Resid 17 47,0 120000 29847 8225 90153 3,21R 19 24,0 100000 25435 10820 74565 2,74R 32 42,0 100000 44288 14809 55712 2,21R R denotes an observation with a large standardized residual. Kurva demand untuk menggambarkan bagaimana keinginan masyarakat dalam berkontribusi terhadap perubahan lingkungan, dapat tergambar pada grafik dibawah ini : Gambar 19. Kurva Demand WTP Rumah Tangga Petani KJA Kurva diatas menunjukkan trend menurun, yang berarti bahwa semakin besar nilai WTP, maka semakin sedikit orang yang memilih selang WTP tersebut, dan semakin kecil nilai WTP, semakin banyak orang yang memilih selang tersebut. Sama halnya dengan barang komoditas, semakin mahal harganya, semakin sedikit orang yang mampu membeli. Kurva ini sesuai dengan preferensi masyarakat yang berkembang selama ini. Namun inti dari kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka pelestarian waduk merupakan apresiasi yang patut ditonjolkan. Kesediaan membayar ini menunjukkan bahwa masyarakat merasa sumber daya waduk merupakan barang komditas yang penting dan bersedia bersama-sama mengeluarkan sejumlah uang supaya waduk ini tetap bertahan dan memberikan jasa layannya secara optimal. Oleh karena itu, nilai WTP masyarakat ini dapat digunakan oleh perusahaan pengelola waduk sebagai biaya investasi untuk memperbaiki lingkungan. Nilai investasi diperoleh dari nilai mean WTP RTM dan RTP dikalikan dengan banyaknya rumah tangga petani KJA dan rumah tangga masyarakat yang tinggal di sekitar waduk dan dikalikan dengan sisa masa layan waduk yang terhitung sejak pengukuran tahun 2007 tinggal 60 tahun lagi. Sehingga jika WTP ini diterapkan di tahun 2012, sisa masa layan waduk tinggal 55 tahun lagi. Berikut ini adalah perhitungan biaya lingkungan yang diperoleh dari WTP masyarakat : Tabel 23 . Biaya Lingkungan Perbaikan Waduk dari WTP Masyarakat Variabel WTP RTM WTP RTP Mean WTP Rp 6.175 25.357 Jumlah KK 22.584 2.511 Asumsi 40 9.034 1.004 Sisa layan waduk Tahun 55 55 Nilai Biaya Perbaikan waduk 36.816.436.800 16.809.256.728 TOTAL Rp 53.625.693.528 Sumber : Data Primer diolah 2012 Asumsi yang digunakan sebagai pengali mean WTP dari RTM Rumah tangga masyarakat sekitar waduk sebesar 40 persen berdasarkan atas jumlah KK yang tinggal hanya di sekitar waduk atau kurang dari 1 Km dari tepian waduk. Rumah Tangga Petani KJA diasumsikan akan berkurang hingga 40 persennya dari sensus KJA 2011. Pengukuran sedimentasi yang dilakukan PT. PJB pada tahun 2007, menghasilkan studi yang menyatakan bahwa umur layan waduk dengan laju sedimentasi 4,38 juta tontahun hanya tinggal 60 tahun lagi. Selama berlangsung penelitian ini di tahun 2012, umur waduk sudah berkurang selama 5 tahun, sehingga pengali untuk sisa layan waduk menjadi 55 tahun. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka diperoleh nilai perbaikan waduk yang berasal dari keinginan masyarakat untuk ikut berkontribusi terhadap pelestarian waduk sebesar Rp53.625.693.528,00 53 milyar rupiah.

BAB 7 ESTIMASI KERUGIAN EKONOMI PLTA

PT Pembangkitan Jawa Bali PT PJB merupakan salah satu produsen listrik untuk PLN yang tergabung dalam interkoneksi Jawa dan Bali. Produk utamanya dalam pengelolaan PLTA adalah : 1. Kesiapan operasi unit pembangkit dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung kepada pelanggan yang dinyatakan dengan EAF Equivalent Availability Factor declare;

2. Energi listrik kWh dengan mekanisme penyampaian dikirim langsung

kepada pelanggan melalui transmisi tenaga listrik berdasarkan kontrak jual beli;

3. Jasa Operation dan Maintenance OM pembangkit, dengan mekanisme

penyampaian langsung kepada pelanggan melalui layanan pengoperasian dan pemeliharaan pembangkit berdasarkan kontrak Buku Saku Panduan Magang PT. PJB, 2010 Kesiapan operasi unit pembangkit yang dinyatakan melalui EAF merupakan indikator perusahaan dalam mewujudkan pelayanan kepada pelanggan. EAF tahun 2010 untuk UP. Cirata sebesar 95,98 persen. Artinya bahwa pembangkit siap beroperasi sebesar 95,98 persen dari total kemampuan daya yang dihasilkan. Penjualan energi listrik diakui berdasarkan kilo watt hour KwH yang dipasok kepada PT. PLN Persero dengan menggunakan formula tarif yang ditetapkan melalui perjanjian jual beli tenaga listrik. Formula tarif mencangkup perhitungan komponen harga tetap kapasitas, harga tetap operasi dan pemeliharaan, harga bahan bakar, tingkat pasokan energi, serta variabel lainnya. Disamping usaha utama, PT. PJB juga mengembangkan usaha penunjang tenaga listrik yaitu unit jasa operasi dan pemeliharaan OM pembangkit. Unit jasa ini berada di bawah anak perusahaan PJB yaitu PT. Pembangkitan Jawa Bali Services dan PT. Rekadaya Elektrika. Untuk dapat menghasilkan produk utama ini, kinerja staf PT. PJB sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal perusahaan. Kondisi internal berkaitan dengan hal-hal tehnis pembangkit antara lain adalah kesiapsiagaan staf PJB selama dua puluh empat jam dalam merawat dan mengoperasikan alat-alat pembangkit sehingga berfungsi efesien dan bertahan dalam jangka panjang. Faktor eksternal pembangkit listrik tenaga air adalah tata kelola waduk yang menjadi bahan bakar bagi alat pembangkit untuk menghasilkan listrik. Bahan bakar berupa air tersebut ditampung dalam suatu waduk dan menjadi sumber bahan bakar dalam jangka panjang. Tata kelola waduk tersebut dipengaruhi oleh seberapa besar aktivitas penunjang yang memanfaatkan waduk, tekanan lingkungan dari sekeliling waduk, dan limpasan erosi dan limbah dari hulu sungai-sungai yang bermuara di waduk. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi air di waduk adalah besarnya curah hujan, evaporasi dan besarnya sedimen mempengaruhi kualitas dan kuantitas air. Alat-alat pembangkit listrik membutuhkan air dalam jumlah yang cukup dengan kualitas yag baik. Jika kualitas air di waduk dalam keadaan buruk, misalnya mengandung unsur logam tinggi tentunya akan mempengaruhi efesiensi alat-alat pembangkit. Untuk memahami lebih jauh mengenai ketersediaan air dengan produksi listrik yang menjadi produk utama PLTA, maka perlu dipelajari hubungan antara tinggi muka air, sedimentasi dan produksi listrik seperti pembahasan dibawah ini :

7.1 Hubungan antara Elevasi, Luas Permukaan dan Volume Waduk terhadap Sedimentasi

Waduk diperlukan untuk menampung air pada saat musim hujan, apabila terjadi kemarau, maka air tetap tersedia dan listrik tetap dapat dihasilkan. Tampungan air di waduk pada prinsipnya sama dengan tampungan air ditempat penampungan lainnya. Hal yang membedakan adalah tampungan di waduk selalu dalam skala besar dan air yang ditampung sangat bermakna bagi kepentingan pengairan di daerah hilir dan bahkan bernilai ekonomi bila dapat membangkitkan tenaga listrik seperti di PLTA. Penambahan dan pengurangan volume air waduk dapat dikontrol melalui perubahan atau fluktuasi elevasi muka air waduk. Luas permukaan waduk juga sangat tergantung pada elevasi muka air. Luas permukaan waduk diperlukan untuk analisis perubahan tampungan, evaporasi waduk dan menghitung volume curah hujan yang langsung jatuh ke waduk. Pada umumnya, air yang ditampung di waduk tidak semua dapat dimanfaatkan. Hal ini berhubungan dengan perencanaan struktur awal sebuah waduk. Biasanya sebuah waduk memiliki batas air tertinggi disebut dengan elevasi normal normal pool level sedangkan batas air terendah disebut elevasi minimum minimum pool level. Pada elevasi normal, permukaan air waduk tepat mencapai mercu bangunan pelimpah spillway dan elevasi minimum tercapai pada saat permukaan air tepat mencapai dasar dari bangunan penyadap intake, gambar lihat lampiran. Ruang antara elevasi normal sampai pada elevasi minimum disebut sebagai kapasitas tampungan efektif yaitu air yang dapat dimanfaatkan untuk operasi waduk selama musim kemarau. Ruang dibawah elevasi minimum disebut dengan kapasitas tampungan mati dead storage. Dalam sebuah waduk, ruang tersebut haus disediakan untuk menampung kadar lumpur yang tersuspensi pada saat air masuk ke dalam waduk. Besarnya kapasitas tampungan mati pada sebuah waduk didasarkan pada data kadar sedimen melayang dari semua sungai yang masuk ke waduk pada saat perencanaan. Semakin besar sedimen melayang dari sungai-sungai yang direncanakan masuk ke waduk, semakin besar pula kapasitas tampungan mati yang harus disediakan oleh seorang perencana. Untuk Waduk Cirata, posisi elevasi normal terletak pada +220 m sedangkan elevasi minimum terletak pada +185 m. Mengingat pertimbangan teknis operasional dan keamanan dari keempat turbin sebelum tahun 1997 maka elevasi muka air minimum dalam Pola Operasi Minimum Waduk Cirata ditetapkan pada elevasi +205 m. Hal ini dilakukan untuk melindungi turbin-turbin dari kemungkinan terjadinya gangguan cavitasi. Ketersediaan air dalam waduk menjadi komponen paling penting dalam pembangkit listrik tenaga air, sehingga debit dan jumlah air harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan memenuhi standarisasi untuk dapat menghasilkan listrik. Jika muka air mencapai elevasi terendah, maka dapat mempengaruhi efesiensi turbin. Waduk bisa mencapai elevasi terendah bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain curah hujan dan sedimentasi yang tinggi. Jika curah hujan tinggi, maka waduk dapat menampung air hujan dan muka air waduk akan meningkat. Jika curah hujan rendah maka muka air waduk dapat berkurang. Sedimentasi berkaitan dengan erosi dan limbah yang diperoleh dari anak-anak sungai yang bermuara ke waduk. Jika erosi tinggi di hulu sungai atau di sekeliling waduk, dapat terbawa sampai ke badan waduk, begitu pula jika air sungai membawa limbah dan sampah, dapat menyebabkan sedimentasi di badan waduk. Hal yang mampu ditangani oleh manusia adalah tingkat sedimentasi. Oleh karena itu, penghitungan sedimentasi dan kualitas air waduk terus dipantau secara rutin minimal setahun sekali. Berdasarkan penelitian yang panjang yang dilakukan oleh PT PJB dapat dicari hubungan antara elevasi dengan volume air waduk dalam bentuk persamaan matematis. Berdasarkan persamaan matematis tersebut ditentukan elevasi normal +220 m dengan volume kumulatif 1827 juta m 3 , dan elevasi minimum +205 m, dengan volume kumulatif sebesar 1060 juta m 3 , sehingga volume efektif yang merupakan selisih antara elevasi normal dan elevasi minimum sebesar 767 juta m 3 . Volume ini lebih kecil dibandingkan dengan saat perencanaan yaitu sebesar 796 juta m 3 . Hal ini disebabkan oleh adanya akumulasi sedimentasi dan sampah anorganik lainnya di dasar waduk yang terus berlangsung dari sejak Waduk Cirata beroperasi di tahun 1988 sampai dengan saat ini. Berdasarkan data perencanaan waduk, elevasi muka air dasar pintu pengambilan intake ditetapkan pada +185 m, dengan volume sekitar 491 juta m 3 dan rencana cadangan pada +205 dengan kapasitas tampungan sebesar 1177 m 3 . Setelah dilakukan pengukuran sedimentasi di tahun 2007, ternyata akumulasi sedimen di Waduk Cirata pada elevasi +185 m setelah 20 tahun beroperasi diperkirakan sebesar 123 juta m 3 dan pada elevasi +205 m diperkirakan sebesar 117 juta m 3 . Hal ini menunjukkan bahwa kapasitas tampungan mati yang tersisa pada elevasi +185 m tinggal 368 juta m 3 dan pada elevasi +205 m tinggal 1060 juta m 3 . Oleh karena itu kapasitas tampungan mati Waduk Cirata masih cukup besar meskipun telah beroperasi selama 20 tahun. Laju sedimentasi waduk merupakan kecepatan penambahan sedimen di waduk. Perkiraan laju sedimen waduk dapat diketahui dengan cara membandingkan perbedaan kapasitas tampungan efektif awal pada saat perencanaan dengan kapasitas tampungan hasil perhitungan terakhir. Perbedaan tersebut merupakan kondisi volume sedimen yang diendapkan di dasar waduk dan tingkat laju sedimentasi waduk dapat dihitung berdasarkan total volume sedimen dibagi dengan lamanya waktu operasi, dalam satuan m 3 tahun. Berdasarkan hasil perhitungan sedimentasi tahun 2007 diperoleh volume sedimen yang diendapkan selama periode 20 tahun dari 1988 – 2007 sebesar 146 juta m 3 atau 7,28 juta m 3 tahun. Volume total sedimen tersebut setara dengan