BPWC vs Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat

seiring dengan peningkatan perbaikan infrastruktur waduk dan peningkatan fasilitas pariwisata yang dikembangkan oleh pengelola. Permintaan akan ikan dengan berbagai jenis ikan yang terus ada sepanjang waktu inilah yang menyebabkan petani karamba tetap bertahan disaat harga pakan ikan terus naik. Begitupula dengan hasil perikanan lain seperti tutut, ikan tangkapan nelayan bukan ikan nilaemas hasil budidaya juga mendatangkan pendapatan bagi masyarakat. Peluang ini dimanfaatkan juga oleh para pemilik gudang untuk meningkatkan kuantitas penjualan pakan ikan dan juga memberikan pinjaman dana segar untuk pengelolaan budidaya perikanan. Pengaruh faktor eksternal seperti kekuatan ekonomi inilah yang terus membuat masyarakat bertahan dalam usaha budidaya. Dari sektor pertanian, hasil kebun dan bercocok tanam di lahan pasang surut waduk seperti padi, kacang-kacangan dan umbi-umbian merupakan bahan pangan yang terus diminati oleh konsumen. Hampir semua hasil sumber daya yang berasal dari waduk mengalami trend permintaan yang meningkat. Oleh karenanya masyarakat banyak bertahan dengan usaha budidaya-budidaya tersebut walaupun resiko yang harus ditanggung cukup tinggi. Misalnya di sektor pertanian, jika musim hujan datang lebih cepat dan merendam lahan pertanian, maka mereka dipastikan akan gagal panen, begitupula ketika musim angin barat dan penghujan dimana kondisi perairan waduk mudah terjadi upwelling dan timbul berbagai penyakit ikan, maka dipastikan akan terjadi kematian ikan baik secara serentak maupun terlokalisasi. Banjir yang melanda hulu sungai juga dapat menimbulkan kerugian bagi nelayan yang menanam jaringnya di tengah waduk. Kondisi demikian tidak menyurutkan para pengguna sumber daya untuk tetap berusaha oleh karena demand yang terus tinggi terhadap bahan pangan. Secara politis, daerah belum memanang waduk sebagai asset milik daerah yang harus dijaga. Hal ini tercermin dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Kebijakan pengelolaan waduk kurang menggambarkan upaya- upaya untuk pelestarian lingkungan, namun lebih kepada ekstraksi yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi daerah. Dari sisi kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan Waduk Cirata, pemerintah Propinsi tidak tegas dalam hal sangsi bagi pelanggar peraturan sejak awal sehingga menyebabkan pembiaran terhadap pelaku. Mudahnya memperoleh ijin membuka usaha dan adanya oknum-oknum di organisasi yang bertanggungjawab menyebabkan semakin banyak usaha budidaya perikanan yang baru dibuka. Di sektor pertanian, tidak diberlakukannya ijin untuk membuka lahan pertanian dan tidak adanya tindakan tegas terhadap pelanggar menyebabkan penggunaan lahan pasang surut semakin bertambah. Pengguna sumber daya yang terbagi menjadi tiga kategori memiliki karakteristik berbeda. Lembaga lokal seperti kelompok pembudidaya skala kecil, buruh KJA, nelayan, sektor usaha rumah tangga adalah kelompok pengguna langsung sumber daya, yang diklaim sebagai penyumbang sedimentasi dan kerusakan lingkungan waduk. Terdiri dari masyarakat menengah dan menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, merupakan penduduk asli yang merasa memiliki waduk dan berhak atas janji kompensasi pemerintah yang memperbolehkan masyarakat setempat untuk melakukan usaha perikanan tanpa dipungut biaya apapun. Walaupun kelompok ini diklaim sebagai penyumbang kerusakan waduk sebenarnya kelompok ini adalah kelompok yang rentan baik terhadap tekanan pihak eksternal seperi para pemilik gudang, tengkulak ikan maupun akibat dari pengelolaan waduk yang tidak lestari. Mereka pula yang menjadi target dan sasaran dari kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang dibuat pemerintah. Kelompok kedua adalah lembaga swasta seperti BPWC dan Kelompok Penjual Pakan. Kelompok ini merupakan kelompok kelas menengah ke atas atau tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan mudah memahami permasalahan dan kondisi yang tengah dihadapi oleh CPRs. Kelompok ketiga adalah lembaga pemerintah seperti pemerintah daerah, dinas perikanan dan peternakan masing-masing kabupaten, dinas pertanian, dll. Kelompok ini juga memiliki akses yang cukup besar terhadap pendanaan, teknologi, dan informasi terkini. Ketiga kelompok merupakan kelompok oportunis yang memanfaatkan waduk untuk kepentingannya dengan agendanya masing- masing. Tidak adanya koordinasi dan persamaan pandangan diantara para stakeholder menyebabkan pengelola kesulitan untuk menjaga dan mengelola waduk yang cukup besar. Akibatnya masing-masing pemerintah daerah melakukan aktivitas dan agendanya di lingkungan masing-masing tanpa adanya