Pola tanam dan komoditas
Pertama: Pola agroforestri
Pola yang masuk dalam kelompok ini adalah tumpang sari dan homegarden. Ketika mbrur
43
telah ditebang untuk diambil kayunya atau diusahakan sebagai kebun yafdas, maka lahan-lahan ini ditanami kembali oleh
warga dalam bentuk
homegarden yang terdiri atas kombinasi tanaman pokok
kehutanan, perkebunan dan sebagian komoditas pertanian. Pola ini jelas terlihat di lahan JW, dimana gaharu dikombinasikan dengan sirih, pinang, nenas. Pada
lahan-lahan yang cenderung mengarah ke marginalmarires, program penanaman yang didorong pemerintah mengambil peran utama, dan segera
setelah tanaman tumbuh, pemilik lahan mengkombinasikannya dengan tanaman pertanian dalam bentuk
tumpang sari Kedua: Pola non agroforestri.
Pada kelompok ini, pemilik lahan memutuskan untuk tidak mengkombinasikan pohon dengan tanaman pertanian dengan alasan:
Pola Mnsen memang dilakukan pemilik lahan di Yafdas agar gaharu dapat tumbuh,
dan di sisi lain, karena lahan-lahan Msen adalah berbatu, maka akan tidak sesuai bila diaplikasikan dengan tanaman pertanian. Sementara pola
monokultur yang
dibangun di Marires, belum diusahakan dalam bentuk tumpang sari. Untuk kasus ini, terlihat bahwa pemilk lahan akan dibatasi dengan kemampuan mengelola
memanfaatkan sela-sela tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian, hingga kemampuan akses dapat diatasi dengan cara memperbanyak partisipantenaga
kerja untuk memanfaatkan sela tanaman reforestasi dapat dilakukan, sebagaimana dalam pola Tumpang sari
44
.
43
hutan utuh
44
Jika dilihat dari perspektif menanam pohon secara tradisional dalam skala kecil di Indonesia, maka menurut Snelder dan Lasco 2008:29, paling tidak terdapat beberapa model penanaman
pohon antara lain: hutan rakyat village forest, talun village forest garden, dan kebun talunpekarangan homegardens. Sementara Alavalapati et al. 2004:2 mengelompokkan praktek
agroforestri di daerah tropis antara lain: 1. Taungya Tumpangsari : Tanaman pertanian ditanam di antara dan selama masa-masa awal
penanaman pohon 2. Homegarden kebun-pekarangan: Berbagai kombinasi antara pohon dan tanaman di
pekarangankebun, bisa juga terdapat ternak yang dipelihara. 3. Improved fallow lahan pemberaan yang diperbaiki: Didominasi fast growing species dengan
tujuan meningkatkan kesuburan tanah sekaligus menghasilkan produk ekonomis 4. Multipurpose trees pohon multiguna: Tanaman penghasil buah atau lainnya yang ditanam
secara acak atau sistematis untuk menghasilkan buah, kayu bakar, pakan ternak, kayu dan lainnya
5. Kombinasi Pohon dan tanaman lainnya: Campuran tanaman multi layer perkebunan dan kehutanan
6. Silvopastur: Kombinasi pohon dan usaha ternak.
Ke empat pola tersebut terbentuk melalui serangkaian proses yang dapat disederhanakan dalam diagram alur sebagai berikut:
Gambar 29. Dinamika fungsi lahan dan pola reforestasi Pemilihan pola tertentu oleh suatu kelompok, sangat terkait dengan sistem
reforestasi. Apabila aktor berada dalam suatu kesepakatan dengan pihak luar menyangkut model penanaman, maka pola yang akan terjadi adalah tumpang
sari dan monokultur. Kedua pola ini dilaksanakan pada hamparan yang relatif luas. Sementara pola msen dan homegarden merupakan pola yang lebih
fleksibel, yang dapat dilakukan berdasarkan kalkukasi pilihan aktor. Suatu kelompok dapat menerapkan pola jamak tidak hanya satu dalam pemanfaatan
lahannya.
Tabel 13, menggambarkan pengelompokkan komoditas tanaman, berdasarkan pola reforestasi yang terjadi di Biak.
Tabel 13. Pola reforestasi di Biak dan komoditi
Pola reforestasi Komoditi utama
Keterangankomoditi tambahan
Penanaman di MSen Gaharu Aquilaria filaria
Memelihara tegakan komposisi jenis lain
yang ada Home Garden
Gaharu Aquilaria filaria, Jati Tectona grandis,
Melinjo Gnetum gnemon, Cempedak Arthocarpus
champeden, Mahkota dewa Phaleria papuana
Kombinasi dengan pinang, sirih, nenas,
Tumpang Sari Bintangur Callophyllum
inophyllum, Merbau Intsia bijuga, Matoa Pometia
pinnata, Nyatoh Palaquium sp
Palawija
Monokultur Bintangur Callophyllum
inophyllum, Merbau Intsia bijuga, Matoa pometia
pinnata, Nyatoh Palaquium sp, Jati
Tectona grandis, Agathis Agathis labiladeri,
Trembesi Samanea saman
lahan dibiarkan setelah tahapan kegiatan
pembersihan tanaman dilakukan
Sumber: data primer 2011
Berdasarkan penelitian sebelumnya Suharjito 2002b, 2011, 2012b; Febryano et al. 2009, diungkapkan bahwa faktor yang dapat menjadi
pertimbangan masyarakat dalam menentukan komoditi budidaya adalah : kejelasan hak penguasaan atas lahan, ketersediaan tenaga kerja yang tersedia
dan memadai, adanya akses pada pasar produk kayu sebagai pendorong masyarakat membudidayakan pohon, tingkat kekayaan, dan pengetahuan tata
cara budidaya yang dikuasai oleh masyarakat. Untuk kasus Biak, pertimbangan masyarakat untuk menentukan pola tanam juga ditentukan berdasarkan
kesepakatan dengan mekanisme yang disepakati untuk dilakukan masyarakat, khususnya pada program bersifat “topdown”. Disamping itu pula, pada pola
tumpang sari, motif lainnya yang terlihat adalah manifestasi untuk mengamankan aset lahan dan tanaman jangka panjang yang telah ada sebelumnya di atas
lahan, dengan melibatkan pihak luar orang Biak dalam pemanfaatan lahan.