Reforestasi yang didorong melalui aksi kolektif dapat pula memperhatikan bentuk-bentuk relasi kuasa yang eksis antar aktor masyarakat dan negara. Pada
akhirnya, penguatan aksi kolektif seyogyanya memperhatikan juga aspek solidaritas dan trust sebagai bagian dari aspek mikro-kognitif serta
kepemimpinan sebagai bagian dari aspek mikro-struktur modal sosial.
VI. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Terwujudnya aksi kolektif terkait reforestasi di Papua khususnya Biak, memiliki ‘jalan ceritera’ tersendiri serta terus mengalami dinamika. AK terwujud
pula dalam suatu jejaring kompleks yang heterogen yang melibatkan para aktor. Pada bagian sebelumnya, telah disampaikan bagaimana isu deforestasi
yang kemudian disusul dengan fenomena-fenomena reforestasi, serta berusaha dijelaskan juga oleh para ahli melalui berbagai pendekatan. Salah satu
pendekatannya adalah melihat bagaimana AK diejawantahkan dalam gerakan reforestasi tersebut. Akhirnya persoalan penelitian mengerucut pada
bagaimanakah sebenarnya pola AK yang mewujudkan reforestasi. AK dapat dikaji tidak hanya dari aspek struktural, namun perlu pula dilihat dari dimensi
psikologi sosial dalam proses interaksinya.
Dengan mengacu pada permasalahan dan pendekatan yang digunakan, maka jawaban atas beberapa pertanyaan penelitian yang dielaborasi dari
pertanyaan utama, secara berturut-turut, diuraikan dalam pencapaian tujuan sebagaimana berikut.
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan penelitian yang pertama yaitu menemukan tipologi AK pada masyarakat adat, maka Model AK di dalam masyarakat adat Papua di Biak
yang terkait kegiatan reforestasi antara lain adalah: Pertama, tipe inisiatif dari kolektivitas dalam kelompok yang didukung oleh kekuatan dari luar. Pada tipe ini,
reforestasi terwujud dan terkonsentrasi di lahan keret masing-masing, menunjukkan kemampuan inovasi dalam kelompok, dan digerakkan oleh aktor
yang berciri transformatif, yang pada akhirnya meningkatkan eksistensi kerjasama dengan pihak luar dalam melaksanakan reforestasi. Kedua, tipe yang
digerakkan oleh tokoh kampung yang mendapatkan otoritas dari pemerintah. Model ini menunjukkan bagaimana masyarakat dikoordinasikan di dalam keret
bahkan lintas keret untuk pelaksanaan reforestasi. Mananwir mnu sebagai aktor utama, menyadari pentingnya menggalang kekuatan lintas kelompok dalam
pelaksanaan kegiatan pemerintah. Potensi ini justru menunjukkan bahwa program-program pemberdayaan pemerintah cenderung dipercayakan untuk
dilakukan dalam kelompok. Ketiga adalah, tipe yang digerakkan oleh tokoh informal tokoh adat berbasis genealogiskekerabatan. Tipe ini menunjukkan
bagaimana kemampuan mananwir tertentu tokoh adatmanseren sebagai aktor
penggerak, untuk mendorong reforestasi tidak hanya dalam kelompok keret sendiri, namun juga lintas keret. Hanya saja, performa reforestasi yang
berlangsung, kurang menunjukkan daya inovasi dan improvisasi. Keempat adalah, tipe yang digerakkan oleh orang luar tetapi mendapatkan legitimasi dari
adat karena perkawinan. Reforestasi yang terjadi di tanah milik ini, berbasiskan rasionalitas manfaat kayu pada masa depan.
Tujuan penelitian yang kedua adalah menemukan penjelasan hubungan AK dan reforestasi di lahan masyarakat adat. Pola reforestasi yang eksis pada
struktur agraria berbentuk yafyafdas adalah pola msen dan home garden; sementara pada struktur agraria berbentuk mariresmamiai, berpola tumpang sari
dan monokultur. Penelitian menunjukkan bahwa reforestasi di Biak, pada struktur agraria yafyafdas dan mariresmamiai, didorong oleh AK yang bertipe Inisiatif
dari kolektivitas dalam kelompok yang didukung oleh kekuatan dari luar, atau digerakkan pula oleh mananwir dan manseren.
AK yang digerakkan oleh mananwir dan manseren, dapat berlangsung pada pengaturan-pengaturan pemanfaatan lahanpemungutan hasil hutan
khususnya dalam struktur agraria mbrur atau dalam struktur lahan yafdasmamiai yang merupakan saprop keret. Namun demikian, reforestasi cenderung sulit
dilakukan pada lahan-lahan ini karena: selain struktur hutan Mbrur itu sendiri merupakan hutan utuh, saat ini banyak marga yang berkepentingan pada
kawasan-kawasan Mbrur dan saprop. Reforestasi dianggap bisa mengarah pada dugaan ‘upaya-upaya klaim atas lahan’.
Reforestasi yang dilakukan pada struktur agraria yafyafdas dan mariresmamiai, memiliki skala yang luas dan melintasi lahan-lahan keret, serta
memerlukan kepeloporan mananwirmanseren. Apabila akan dikembangkan pada lahan keret tertentu, maka reforestasi dengan inisiatif dari kolektivitas
dalam kelompok yang didukung oleh kekuatan dari luar berperan. Sementara aktivitas reforestaisi yang berkaitan dengan upaya mempertahankan lahan keret
dari okupasi pihak lain, mengedepankan kebersamaan, serta berupaya untuk memanfaatkan lahan kritis atau mamiai, juga berbasis kolektivitas yang
digerakkan oleh tokoh informal.
Dengan mengembangkan analisis terhadap relasi kuasa yang eksis antar aktor “masyarakat adatsipil” terhadap negara, maka terdapat pola relasi yang
bertipe: suplementer atau tambahan-pelengkap; komplementer atau memperlengkapi fungsi yang kurang dijalankan oleh negara; substitusi yang
bermakna aktor-aktor mengambil peran pengganti atas kegiatan yang seharusnya menjadi domain negara; adversial merupakan aktor opponent
negara; dan bebasindependenpelopor yaitu aktor yang nampak “bebas” dalam posisinya, namun sebenarnya memiliki kedekatan pada kelompok adversial.
Pola-pola ini dapat menjadi rujukan untuk program penguatan reforestasi pada lahan-lahan masyarakat adat.
6.2. Implikasi Teoritik
Refleksi atas teori pembingkaian kolektif Gamson Fenomena reforestasi merupakan efek dari AK yang telah terjadi dalam
kelompok masyarakat adat Biak di Papua. AK yang dipandang dari perspektif gerakan sosial, dapat dijelaskan melalui teori struktur mobilisasi sumber daya,
struktur peluang politik, dan pembingkaian kolektif. Disamping pengaruh struktural, AK dapat berlangsung karena adanya proses pembingkaian collective
framing yang cenderung bernuansa sosio-psikologi.
Teori pembingkaian kolektif dapat dijelaskan dari berbagai sudut pandang antara lain: merupakan kerangka yang bermakna sebagai kerangka ideologi
Oliver dan Johnston, 2000; merupakan komponenframe components yang terkait collective identity identitas kolektif, injustice ketidak adilan, dan agency
agensi atau bagaimana kesadaran dirikelompok menghadapi tantangan Gamson 1992b; Vicari 2010; ataupun juga dari sisi proses yaitu: diagnostic
identifikasi masalah, prognostic solusi yang diinginkan dan motivational bagaimana aksi dilakukan, lihat Della Porta dan Dinani 2006; Vicari 2010.
Berdasarkan data yang ada, kajian ini kemudian menggunakan konsep-konsep yang terkait dengan komponen-komponen frame frame components.
Gamson secara khusus kemudian menggunakan identitas kolektif, solidaritas, kesadaran, dan mikromobilitas yang meliputi aktor dan jaringan
sebagai komponen yang dapat menentukan AK berlangsung. Hasil penelitian ini menguatkan teori Gamson sekaligus memberi kontribusi dengan mengelaborasi
tipe aktor yang berperan dalam AK di Biak.
Dengan mendekonstruksikan frame, maka penelitian ini ingin menjelaskan komponen dari frame aksi yang ada. Studi ini menggunakan frame Gamson
untuk berangkat memahami lebih jauh lagi atau bergerak dari posisi ‘rasionalist’ kearah ‘interpretivist’. Aktor beraksi bukan tanpa tujuan, namun lebih dari itu, kita
perlu untuk menemukan hal-hal apa saja yang mendorong aktor bisa bertindak. Misalkan saja, bagaimana mereka memahami lingkunganya, apa saja tujuan-