manawir untuk keret maupun mnu, dan konsep mananwir ini, juga mencakup pemimpin-pemimpin dalam kelompok-kelompok kekerabatan yang kecil. Apabila
dikaitkan dengan AK untuk reforestasi, para tokoh adat kemudian menggambarkan bahwa pemimpin yang dibutuhkan masyarakat di Biak saat ini
adalah yang berjiwa mansabye yaitu seorang yang berusaha untuk memecahkan problematika orang banyak atau yang bertipe demokratis; dan mansernanem
yaitu pemimpin yang
cerdik dan mampu melihat dan menangkap peluang-
peluang baru atau pemimpin-pemimpin yang inovatif. Pada tataran kelompok yang lebih luas bahkan lintas kelompok, pemimpin-pemimpin berciri mansabye
lah yang lebih dominan diperlukan. Sementara untuk kelompok yang lebih kecil, tipe pemimpin mansernanem akan lebih efektif untuk memberdayakan
kelompoknya.
Apabila AK untuk reforestasi akan didorong dengan memperhatikan formasi struktur agraria dan tipe kepemimpinan yang ada, maka AK untuk
reforestasi hanya efektif di jalankan di wilayah yafyafdas dan marires karena: i akses aktor terhadap lahan relatif mudah jika dibandingkan pada kawasan Mbrur
yang berciri: masih merupakan hutan asli, terbatas penyebarannya di Biak, dan dikuasai oleh beberapa marga; ii Yafyafdas dan marires merupakan lahan
yang pernah diolahdimanfaatkan oleh kelompok kekerabatan tertentu. Ini berarti bahwa, akses atas lahan tersebut jelas. Walaupun demikian, perlu pula untuk
diperhatikan, bahwa pada lahan-lahan ini terdapat lahantanah yang merupakan milik bersama dalam suatu keretkelompok kekerabatan yang hanya bisa
digunakandimanfaatkan untuk tanaman-tanaman semusim. Lahan-lahan ini dikenal dengan istilah saprop, dan pada lahan saprop ini, tidak dapat dilakukan
penanaman pohontanaman jangka panjang untuk reforestasi.
Dengan kata lain, AK terkait reforestasi di Biak, hanya efektif berjalan diatas struktur agraria berbentuk Yafyafdas dan Marires non Saprop Keret
dibawah kepemimpinan aktor bertipe mansernanem. Apabila dilaksanakan di Marires, maka peran negara menjadi lebih penting dan pemimpin-pemimpin yang
berciri mansabye akan memegang peran cukup penting dalam mensukseskan reforestasi.
Temuan ini justru membuka peluang baru untuk membuktikan kembali pernyataan yang dihasilkan melalui penelitian ini bahwa: AK pada wilayah
dengan Common Property Resource dimana konfigurasi sosio-budayanya tidak terdefinisi dengan baik, tidak dapat operasional.
6.3. Refleksi Metodologi
Pendekatan kualitatif yang menggunakan metode semi-directive dan metode snowball, dan dikombinasikan dengan ketersediaan dokumen yang
cukup, sangat membantu peneliti dalam menjaga agar fokus penelitian tetap terarah. Berdasarkan data yang diperoleh, serta mengacu pada teori yang ada,
maka memungkinkan penulis dapat membahas hasil temuan dari lapangan. Namun demikian, beberapa hal penting yang dapat menjadi acuan bagi siapapun
yang ingin melaksanakan penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah: i fleksibilitas yang tinggi justru berimplikasi pada proses dialektika pelaksanaan
penelitian yang berkonsekwensi pada penggunaan lebih banyak sumberdaya yang ada pada peneliti; ii pendekatan yang digunakan justru memunculkan
banyak lagi pertanyaan-pertanyaan penelitian atas fenomena dan kompleksitas sosial yang dirasakan di lapangan, yang hanya bisa dipahami dengan baik ketika
terjadi interaksi-interaksi dengan subjek.
Hasil temuan di lapangan semakin membuka cakrawala pemahaman tentang masih banyaknya fenomena sosial yang perlu untuk dijelaskan, bahkan
dari suatu lokasi yang relatif kecil sekalipun, misalnya pada fenomena reforestasi yang dikaji ini. Masih banyak pekerjaan penting yang perlu dilakukan guna
membongkar rahasia-rahasia interaksi sosial khususnya hubungan relasi kuasa yang ada.
6.4. Implikasi Kebijakan
AK terkait Reforestasi yang terjadi dilahan masyarakat adat Biak berinteraksi dengan identitas kolektif, solidaritas, kesadaran serta berlangsung di
dalam ideologi lingkungan yang ada dalam keret-keret di Biak. Aktor-aktor utama khususnya Manawir dalam keret, juga memegang peran penting untuk
mengendalikan faktor-faktor tersebut. Kegiatan reforestasi yang diinisiasi oleh pihak manapun di lahan masyarakat adat Biak, perlu diketahui bersama oleh
keret pemilik lahan atau kelembagaan lokal terkecil yang ada.
Apabila dalam jangka pendek, keret pemilik lahan memiliki peruntukan lahan diluar kegiatan pertanian, perkebunan atau kehutanan, maka kegiatan
reforestasi yang direncanakan di atas lahan keret perlu dipertimbangkan kembali. Sebaliknya, jika lahan keret belum memiliki peruntukan yang jelas dalam waktu
dekat, atau lahan yang dibiarkan menjadi hutan kembali, atau sementara dibiarkan bera, maka reforestasi dapat dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan masyarakat melalui kelompok keret pemilik.
Masyarakat Biak memahami dan bersedia mengikuti mekanisme prosedural kegiatan reforestasi dari pemerintah. Namun demikian, penting
ditekankan bahwa sebelum ada program reforestasi dari agen pemerintah, masyarakat ternyata telah memiliki kemampuan melakukan reforestasi dan
inovasi walaupun dalam skala yang berbeda. Implikasi kebijakan kemudian dapat dilihat dari sisi regulasi dan teknis.
Regulasi:
Sampai saat ini keret diakui di Biak sebagai kelembagaan adat masyarakat, yang menguasai lahan adat tertentu. Alokasi penguasaan atas
lahan terus berlangsung di dalam komunitas masyarakat lokal, bahkan pada beberapa wilayah justru memperlihatkan eksistensi konflik antara masyarakat
adat dengan pihak di luar masyarakat adat. Reforestasi dalam hal ini bisa menjadi bagian dari upaya-upaya penguasaan lahan, khususnya jika dilihat
sebagai suatu proses pengakuan, pembenaran dan penerimaan pada masyarakat.
AK dalam masyarakat Biak perlu pula dilihat dari dimensi: kewenangan atas suatu wilayah, kewenangan kelembagaan lokalnya, serta kewenangan atas
pengelolaan sumber daya. Hingga kini, belum ada gambaran representatif dari batas-batas wilayah pada kelompok adatkeret di Biak di dalam suatu aturan
formal. Eksistensi regulasi Negara tentang fungsi kawasan hutan, menyisakan banyak perdebatan dan berpotensi konflik, apabila ingin diselaraskan dengan
eksistensi wilayah adat yang telah terbangun sejak dahulu di masyarakat. Setiap pilihan, apakah mengakui eksitensi wilayah adat atau lahankawasan hutan yang
diatur Negara merupakan pilihan-pilihan politis. Untuk itu, beberapa hal yang dapat disarankan adalah, Kankain Kakara Byak KKB yang telah eksis
kelembagaannya, perlu menginisiasi dan difasilitasi negara untuk melakukan: Proses bersama untuk menyusun kembali norma atau aturan hukum dari
penguasaan wilayah oleh lembaga masyarakat adat setempat untuk tanah- tanah adat. Tipe-tipe lahan seperti MburKarmgu, YafdasYafdas,
MamiaiMarires memiliki kriteria tertentu dan sepatutnya disepakati bersama oleh semua pihak. Pengakuan akan hak-hak dan kewajiban setiap
pemanfaatan lahan tertentu termasuk melakukan reforestasi menjadi syarat utama.
Pendaftaran hak-hak adat masyarakat keret terkait wilayah yang dikuasai sebagaimana tersebut pada point 1 diatas, yang dinaungi perangkat hukum
tertentu. Dalam hal ini perangkat Peraturan Daerah menjadi muaranya.
Tanpa terkecuali, pengakuan atas wilayah-wilayah saprop atau obyek milik bersama, dan dioverlay dengan lahankawasan hutan milik Negara yang ada
saat ini. Kekuatan masyarakat lokal khususnya di Biak perlu menjadi perhatian.
Dalam pembangunan kehutanan berbasis kekuatan lokal, perlu dipahami eksistensi dari kekuatan negara versus masyarakat lokal. Penelitian terbaru
Cronkleton et al. 2012 dengan mengambil sampel di 4 negara Asia dan Amerika latin, merekomendasikan agar terhadap tantangan pada pengelolaan
hutan yang berciri ko-manajemen, penting untuk diperhatikan beberapa persoalan yang eksis seperti: kerangka kerjaaturan yang memberatkan
khususnya terkait biaya awal dan kemudian dapat menghalangi partisipasi; tanggung jawab yang tidak seimbang, yang malah justru membebani
masyarakat; serta kerangka aturan yang seragam dan tidak fleksibel yang membuat kesulitan aktor beradaptasi bahkan justru tidak memberikan pengaruh.
Dengan kata lain bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang belum berbasiskan kekuatan rakyat, serta berpotensi meningkatkan biaya-biaya, perlu ditinjau ulang.
Terkait aksi kolektif yang ada, maka implikasinya sebagai berikut: 1. Aksi kolektif yang digerakkan oleh anggota komunitas biasa dari keret,
membuktikan adanya daya inovasi yang relatif tinggi telah berlangsung di atas lahan keret. Untuk kelompok ini, pemerintah seyogyanya memfasilitasi secara
“proporsional” atas upaya yang telah dilakukan masyarakat, agar daya inovasi aktor lokal terus meningkat dan program pemerintah dapat berjalan.
2. Pemberian ruang yang lebih luas pada tokoh adat manseren untuk terlibat dalam program pemerintah seyogyanya menjadi pertimbangan utama, ketika
kegiatanprogram pemerintah akan disosialisasikan dan diimplementasikan pada kawasan-kawasan dengan status penguasaan lintas keret.
3. Sebagai tokoh kampung yang mendapat legitimasi pemerintah, para manawir adalah penyambung informasi yang terpenting di ranah masyarakat Biak.
Mananwir seyogyanya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membawa aspirasi masyarakat kepada pemerintah seefektif mungkin, tanpa melalui
birokrasi yang menyulitkan. Tokoh kampung ini dapat berperan pula untuk mendorong reforestasi.
4. Tokoh luar yang telah menjadi bagian dari masyarakat Biak melalui proses perkawinan dan selanjutnya mendorong reforestasi berlangsung adalah
fenomena menarik. Ini berarti bahwa masyarakat Biak relatif lebih terbuka dengan warga dari luar Biak, sehingga informasi yang berkembang di luar