Sistem religi, pengetahuan dan teknologi

bahkan membuka lahan-lahan baru, bahkan melakukan wadwa pelayaran jauh untuk berdagang, serta berburu dan menangkap ikan. Hasil dari kerja keras ini akan digunakan pada saat pelaksanaan ’fanfan’ menjamumemberi makan pihak perempuankeluarga istri, ataupun digunakan pada saat ‘munsasu’ membayar kembalimenjamu kembali pihakkeluarga suami yang telah melaksanakan fanfan sebelumnya. Antropolog Kamma dikutip dalam PSBMP 2001 telah menyebutkan bahwa ada 44 jenis munara wor di Biak, di samping wor-wor yang dimiliki individu atau kelompok tertentu di Biak yang bersifat rahasia. Wor-wor ini dibagi ke dalam a Wor Siklus Hidup dan b Wor intensifikasiinsidentil. Sekali lagi bahwa aspek penting dalam pelaksanaan wor adalah fanfan atau munsasu. Pada pelaksanaan fanfan atau munsasu, akan nampak diperlihatkan harta benda yang diberikan dan atau dikembalikan kepada salah satu pihak keluarga. Alat pembayaran berupa papus harta dalam bentuk samfar 25 gelang siput, sarak gelang perak, piring porselen, mata uang kuno dan lain-lain. Praktek ini masih berlaku hingga saat ini. Gambar 17. Mas Kawin Gelang Samfar Sistem Pengetahuan orang Biak meliputi sistem penangkapan ikan, sistem bertani, ethnobotani, pengetahuan bilangan, waktu, warna, arahmata angin hingga sistem arsitektur tradisional. Dalam bidang perikanan, orang Biak bahkan memahami bagaimana waktu dan cara yang sesuai untuk menangkap ikan, khususnya ikan hiu. Dengan memperhatikan musim angin, dapat diketahui kapan populasi hiu meningkat di wilayah laut tertentu. Dalam bidang pertanian, seperti dikemukakan di bagian sebelumnya, masyarakat mampu untuk mengelola lahan 25 Samfar sangat bernilai karena proses pengambilan siput dan proses pembuatannya yang sulit. dengan sistem slash and burn, serta memahami jenis-jenis tanaman pangan, dan tanaman obat-obatan asliendemik. Pengetahuan arsitektur Orang Biak dapat dibuktikan lewat disain-disain rumah darurat, rumah sementara, dan rumah tidur. Untuk yang terakhir ini, terdapat 3 jenis yaitu: - Rum Som rumah mengambang atau Aberdado 26 yang merupakan rumah besar dengan beberapa kamarsim untuk keluarga yang sudah menikah - Rum Kambar, yaitu rumah dengan dua ruangan saja, yang digunakan untuk kamar dan ruang keluarga - Rum Toko, yaitu bentuk rumah yang telah mendapat pengaruh luar rumah orang cina yang diimpor dari Ternate atau Tidore

4.2.7. Institusi lokal pengelolaan sumber daya alam Struktur agraria

Dalam perspektif sejarah, kepemilikan tanah adalah dinamis sejalan dengan kondisi yang membentuknya. Susunan kepemilikan inilah yang menjadi ciri pokok struktur agraria. Struktur agraria lokal menjadi penting, dengan harapan untuk terjadinya suatu keseimbangan yang lebih baik antar-pelaku produksi agraria dalam masyarakat Fauzi, 2002. Berdasarkan kategori Kuhren yang dikemukakan kembali oleh Fauzi 2002, struktur agraria yang berdasarkan pada subjek pemilik atas tanah antara lain: a. Pertanian suku yang meliputi i penggembalaan berpindah atau pastoran nomadism; ii perladangan berpindah; b. Pertanian feodalistik yang meliputi: i feodalisme berdasarkan sewa; ii lantifundia hacienda; c. Pertanian keluarga; d. Pertanian kapitalistik; e. Pertanian kolektif yang meliputi: i pertanian sosialistik; ii pertanian komunistik. Sejarah telah menunjukkan bahwa struktur agraria yang terbentuk di Biak merupakan sistem perladangan berpindah. Ini jelas ketika pendatang pertama datang di Biak bagian utara, kemudian menguasai dan membuka hutan dan mengolah kebunladang yang telah dibuka, menurut waktu bera yang sesuai. 26 Rum Som dikenal di Supiori, Sowek dan Numfor, sementara Aberdado lebih dikenal di Pulau Biak. Disamping sanak keluarga berusaha mencari wilayah yang baru, distribusi lahan kepada keluarga dilakukan untuk mengefektifkan pemanfaatan lahan. Tanah dan segala yang ada di atasnya dikuasai dan dimiliki oleh kelompok sosial yang di sebut Keret. Dalam kondisi pertambahan penduduk di Biak yang cukup pesat sebagai gambaran: 35.000 jiwa pada tahun 1961 menjadi 120.206 jiwa pada tahun 2009, kebutuhan lahan untuk pemukiman dan pertanian senderung menjadi semakin tinggi. Pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat, tidak terlepas dari kondisi biofisik, serta struktur dan norma sosial masyarakat setempat. Demikian pula, pengaruh kebijakan eksternal, -secara dialektika- berperan bersama-sama pada dinamika di ranah lokal. Setiap kelompok masyarakat termasuk masyarakat adat Papua mengalami proses dialektika ini, bahkan sampai saat ini. Undang-undang No. 212001 tentang Otonomi Khusus lahir di tengah sadarnya bangsa akan pentingnya membangun perkehidupan Negara berbasiskan otonomi lokal. Perspektif otonomi seharusnya bermakna sebagaimana eksistensi sesungguhnya pada masa lampau. Jika demikian, maka sebagaimana yang pernah ada, komunitas lokal membentuk kesatuan masyarakat hukum adat sesuai setting lokasi masing-masing Dharmawan, 2006. Papua sendiri memiliki keragaman etnis dan budaya yang cukup tinggi. Terkait dengan hal ini, Roembiak 2002 dan Mansoben 2003 telah mengemukakan bagaimana masyarakat memahami sistem pemanfaatan lahan dan tipe sumber daya hutan khususnya di daerah Biak - Papua sebagai berikut: - Pertama, hutan asli atau hutan primer yang dikenal dengan istilah Karmgu atau Mbrur, tidak disentuh atau ditebang untuk digunakan oleh anggota warga kampung. Hutan ini tidak untuk berburu dan berladang. Orang Biak dahulu berladang di sekitar daerah interior, makin lama mereka pindah ke pesisir pantai. Meskipun telah pindah dan bermukim di tepi pantai, namun hutan atau karangan tetap dijaga dan tetap menjadi milik Keret maupun mnu. - Kedua, adalah yaf yang merupakan hutan untuk kegiatan berladang dan berburu secara berotasi. Apabila tanah ini telah menurun kesuburannya, maka disebut bekas kebun atau Yaf-das atau yapur, dan ditinggalkan 2 sampai 3 tahun lalu diolah kembali. - Ketiga, suatu padang luas yang disebut “Mamiai”, yang merupakan sejumlah bekas-bekas ladang yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Mamiai dapat ditanami