Biodiversitas, deforestasi dan sejarah reforestasi di Biak
jenis mamalia ada di Pulau Biak termasuk: satu jenis bandikut, jenis kus-kus, opossum ekor kipas, opossum laying, dan kanguru pohon berbulu kelabu.
Dinas Kehutanan Biak Numfor yakin akan tingginya keaekaragaman flora fauna di Biak, namun sekaligus mengakui bahwa data-data ini belum
teridentifikasi dengan baik.
Dari segi keanekaragaman hayati, diketahui Kabupaten Biak Numfor memiliki berbagai keanekaragaman hayati yang terdiri atas rotan, gaharu, tanaman
obat, tumbuhan berbunga, spesies burung, spesies satwa mamalia, spesies satwa reptile, spesies ampibi, lebah. Sejauh ini manfaat keanekaragaman
hayati tersebut belum teridentifikasi dengan baik dan belum mendapat porsi perhatian yang seharusnya Renstra Dishutbun Biak-Numfor.
Sumber daya hutan Kabupaten Biak Numfor berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 891Kpts-II1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan
Perairan di wilayah Provinsi Irian JayaPapua adalah seluas 221.270 ha atau 0,52 dari kawasan hutan di tanah Papua seluas 42.244.841 Ha. Kawasan
hutan Biak-Numfor menurut fungsinya sebagai berikut:
Kawasan Konservasi Cagar Alam : 6.138 Ha 2,8 Hutan Lindung
: 118.886 Ha 53,7 Hutan Produksi Terbatas
: 52.841 Ha 23,9 Hutan Produksi
: 29.765 Ha 13,4 Areal Penggunaan Lain
: 13.641 Ha 6,2 Selanjutnya, laporan tentang deforestasi di Biak masih menggantung pada
angka deforestasi Papua sebesar 0,13 juta hatahun. Hanya saja, laporan kerusakan hutan yang disampaikan Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Biak-Numfor
29
menyebutkan bahwa lahan berpotensi kritis tidak produktif seluas 42.618 ha dengan komposisi: semak belukar 12.804 Ha, tanah
terbuka 6,820 Ha dan pertanian lahan kering bercampur semak seluas 22.995 Ha. Lebih lanjut dikatakan bahwa kerusakan hutan yang terjadi di Biak
diakibatkan oleh tekanan ke kawasan hutan seiring bertambahnya penduduk, meningkatnya permintaan kayu, minimnya pendapatan dan lapangan kerja bagi
masyarakat.
29
Rencana Strategis Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor Tahun 2009- 2012
Studi ini mencoba mengambil data hasil interpretasi citra satelit dan kemudian melakukan perhitungan change detection
30
di Laboratorium GIS Tropenbos Bogor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10
tahun 2000 – 2010 hanya terjadi deforestasi sebesar 1,89, atau 550 hektar per tahun lihat Tabel 5. Dengan demikian, maka laju deforestasi di Biak masih
tergolong sangat kecil jika dibandingkan deforestasi Papua secara keseluruhan. Laju reforestasi di Biak tidak nampak dari hasil interpretasi menggunakan citra
Landsat, sehingga diperlukan citra dengan skala resolusi lebih tinggi. Tabel 5. Perubahan Tutupan Lahan di Biak-Numfor Tahun 2000 dan 2010
Perubahan Tutupan Lahan
Luasha Prosentase
Hutan – Hutan 228.818
78,6 Hutan – Non Hutan
5.500 1,89
Non Hutan – Hutan ---
--- Non Hutan – Non
Hutan 55.916
19,21 LapanganTubuh Air
896 0,31
Luas Total 291.130
100 Sumber: Pengolahan di Lab GIS Tropenbos 2011 peta lihat lampiran
Program reforestasi di Biak sudah berlangsung cukup lama, bahkan pada jaman pendudukan Belanda, penanaman pohon dammar Agathis di Adibai-Biak
Timur sudah dimulai. Usaha penyadapan getah damar saat ini sudah terhenti, namun bukti bahwa tegakan ini ada, masih dapat disaksikan di Biak Gambar
18.
30
Metode deteksi perubahan tutupan lahan dari interpretasi beberapa citra satelitfoto udara
Gambar 18. Tegakan Agathis di Biak Timur Kadishutbun Biak mengungkapkan bagaimana kondisi terakhir tegakan
Agathis yang ada di Biak Timur. Agathis telah menjadi icon Biak beberapa dekade sebelumnya. Selain program top down, sesungguhnya masyarakat tidak
tinggal pasif namun berdasarkan pengalaman dan kebutuhan mereka, beberapa jenis telah ditanam secara swadaya di sekitar dusunlahan milik keret.
Dengan adanya agathis, dan kalau masyarakat hanya agathis, itu mungkin belum cukup, jadi dorang kembangkan jenis tanaman cempedak
31
. Selain cempedak, ada durian. Durian-durian ini dan cempedak yang ada di Adibai,
sekarang jadi potensi unggulan di daerah itu. Dengan adanya cempedak itu, ada perubahan yang signifikan, pendapatan masyarakat, kesejahteraan
maasyarakat dan ekonomi masyarakat itu berubah, ada peningkatan. Ini yang sebenarnya didorong terus, tidak hanya kehutanan, tapi pertanian, perkebunan
ini sama-sama melakukan aktivitas di dalam satu hamparan, sehingga dari sisi keberhasilan-keberhasilan tidak hanya kehutanan, tapi dari sisi pertanian,
dalam rumpun khusus. Ini yang terutama kita lakukan, semua teman-teman kesana, supaya Adibai ini kita mau kembalikan sebenarnya, icon Adibai tahun
80-an yang begitu indah dengan tanaman agathis, sekarang ini kita bisa lihat, dengan sekian ratus hektar, kini tinggal mungkin 4 hekter yang kita
pertahankan sebagai tegakan benih dan sudah bersertifikat. Yang di luar itu,
31
Artocarpus champeden Spreng
sudah habis dibabat. Jadi kemudian, di dalam lahan agathis juga, memang ada konflik konflik soal kepemilikan tanah marga. Sebenarnya itu tidak kita
harapkan, dan kita tidak bisa paksa lebih jauh, tetapi kita orang kehutanan, bagaimana kondisi agathis tahun 80-an kita mau kembalikan, tidak hanya
agathis, tapi bagaimana dari pertanian, peternakan, kehutanan perkebunan, dan semua orang yang mencintai Adibai waktu itu ya mari kita sumbangkan
pikiran dan tenaga untuk mengembalikan masa jaya. Memang ini butuh waktu, biaya, tenaga yang besar.
Reforestasi yang dilakukan di Biak, dapat dikatakan didominasi oleh program Pemerintah. Staff khusus Gubernur Papua menyatakan bahwa
kegiatan-kegiatan penanaman pohon di Papua masih bersifat top down.
Gerhan di Indonesia merupakan pendekatan proyek, jangka pendek, pake batik dll, karena hampir sulit masyarakat terlibat langsung, Merupakan
government driven, Juga dana tidak disiapkan terus menerus… Saya duga di Biak berhasil “karena ada yang membayar atau petani mendapat manfaat”..
Bapak Gubernur berpendapat bahwa untuk networking yang volunteer sulit. Siklop
32
mengkombine gerakan masal dan insentif, dan untuk mendorong Siklop ada penanaman bamboo untuk penegasan kawasan, persoalannya,
untuk menanam 100 km siapa? Makanya dibentuk dalam kelompok-kelompok dan diberi insentif Sumule
Jika berangkat dari pendefinisian reforestasi skala kecil, sporadis dan relatif menyebar, maka pernyataan bahwa reforestasi adalah by government driven
boleh jadi perlu kembali mendapat perhatian. Praktek reforestasi bisa dilihat dari cara pandang aktor, dan masing-masing memiliki kebenarannya.
Dari penelusuran di Biak, terlihat bagaimana tanaman jangka panjang di Biak Timur, Yendidori, Biak Barat, Biak Utara dan Warsa, telah ditanam di areal
milik masyarakat. Walaupun didominasi oleh program pemerintah, namun inisiatif masyarakat dalam skala kecil juga patut diperhitungkan. Selain jenis tanaman
yang direkomendasikan pemerintah, masyarakat berupaya untuk melakukan penanaman berdasarkan informasi yang diperoleh, atau merupakan aktivitas
meniru kegiatan penanaman yang dilakukan kelompok masyarakat lain Gambar 19.
32
Siklop adalah focus gerakan penanaman di Jayapura. CA Cyclop terancam penutupan lahannya karena okupasi peladangan, pernah mengakibatkan banjir bandang di Sentani,
sehingga menjadi isu sentral lingkungan. Selain persoalan okupasi lahan, menghijaukan siklop kembali merupakan tantangan oleh karena disekitar CA Cyclop, lebih dari satu suku dan ondoafi
yang memiliki hak ulayat.
Gambar 19. Reforestasi versi government driven vs local driven Reforestasi dapat dikaitkan pula dengan eksistensi instansi-instansi
kehutanan yang telah ada. Untuk itu akan disampaikan sejarah singkat eksisnya Dinas Kehutanan dan Perkebunan di Biak. Berdasarkan Keputusan Gubernur
Nomor 92GIJ1974 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kehutanan Propinsi Irian Jaya, tanggal 7 Mei 1974 dibentuklah Organisasi Dinas
Kehutanan Propinsi Irian Jaya. Dengan Keputusan Gubernur tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dalam menjalankan tugasnya, bertanggung jawab langsung
kepada Gubernur. Sementara di tingkat Kabupaten, Dinas Kehutanan membawahi 8 delapan Kesatuan Pemangkuan Hutan yang tersebar di wilayah:
Jayapura dan Jayawijaya; Biak-Numfor; Paniai; Yapen Waropen; Manokwari; Sorong; Fakfak; dan Merauke. Sejak tahun 1974 hingga 1986 KPH Biak di
Pimpin berturut-turut oleh: Leo Verbon; Ujung Sahala Hutagaol; dan Suratman Rasbad.
Pada tanggal 5 November 1985 Gubernur Propinsi Dati I Irian Jaya Izzac Hindom bersama DPRD Propinsi Dati I Irian Jaya yang diketuai oleh Barnabas
Suebu mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 1985, tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Cabang Dinas Kehutanan
Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya. Berdasarkan Perda 10 Tahun 1985 ini, dibentuk Cabang Dinas Kehutanan CDK sebanyak 19 unit Lokasi. Cabang
Dinas XIX meliputi wilayah kerja Daerah Tingkat I Biak Numfor ini, dan sejak tahun 1986 dipimpin oleh: Makabory 1986-1987; Bambang Sutedjo 1987-
1992; Silass Saa 1992-1997; dan Mayor 1997-2001
Selanjutnya, berdasarkan Perda Kabupaten Biak Numfor nomor 16 Tahun 2001 Struktur Organisasi CDK berubah menjadi Dinas Kehutanan Kabupaten
Biak Numfor dan dikepalai oleh: P. Dimara 2002-2005; Andarias F. Lameky, 2005-2009. Sesuai Perda Kabupaten Biak Numfor No 3 tahun 2009, Dinas
Kehutanan berubah menjadi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Biak Numfor dan dikepalai oleh Andarias F. Lameky 2009-sekarang.
Dari sejarah panjang pengelolaan hutan di Biak, maka sejarah dinamika reforestasi dapat dipetakan sebagai berikut:
Sebelum gerakan reforestasi pemerintah RI dilakukan, masyarakat telah melakukan penanaman tanaman jangka panjang di wilayah keretnya. Aktivitas ini
sangat terkait dengan aspek budaya pada saat itu, ketika para warga keret mencoba memanifestasikan fan-fan dan munsasu. Jenis cempedak merupakan
komoditi utama yang merupakan gambaran terjadinya hubungan antara masyarakat Biak dan non Biak; berikut jenis-jenis kayu perahu yang dijaga
keberadaannya dilahan masyarakat sebagai komoditi bernilai.
Di sisi yang lain, Pemerintah Hindia Belanda, sudah mencanangkan program penanaman bagi jenis dammar untuk menghasilkan kopal. Menurut
informan, pembelian kopal sangat fair dilakukan oleh Belanda, sehingga tegakan Agathis dapat dijaga dengan baik oleh masyarakat.
Kecuali yang di hutan agathis dulu, peremajaan hutan agathis itu, secara alami. Jadi rupanya dia punya biji itu bersayap, ketika dia pecah di dahan, lalu
dia bisa beterbangan. Sehingga di sana ada Small disana ada Poles, di sana ada trees, macam-macam, itu karena masalah alami. Nanti Boswezen masuk
di Adibai, baru kesadaran membuat kultur itu sudah mulai terbentuk. Selain di luar hutan agathis, belum ada kesadaran untuk menhutankan kembali hutan
yang sudah digundulkan, hutan yang sudah di tanduskan karena perkebunan liar, perladangan liar yang berpindah-pindah.
Ada dua bentuk reforestasi yang terjadi yaitu 1 penanaman untuk kepentingan kelompok keret, yang berwujud solidaritas, atau memperkuat
kepastianklaim batas lahan keret, serta berfungsi secara ekonomis bagi keluarga bahan konsumsi; 2 penanaman bermotif ekonomi, didorong oleh
program pemerintah Belanda melalui BUMNnya pada saat itu, untuk menanam Agathis yang bertujuan ekspor.
Penanaman agathis sekitar tahun 1957 yang sekarang sudah jadi trees… Kehutanan ada di bawah Ekonom Sesaken Asosiasi Perekonomian,
semacam BUMN. Lalu Indonesia masuk, Boswezen diserah terimakan sehingga statusnya jadi jelas. Asosiasi ini ada di bawah pengawasan
Gubernur. Tugas Boswezen tidak berpikir masalah penghutanan kembali, mereka berpikir bagaimana ekspor dammar ke London, hamburg, untuk
kepentingan itulah mereka tebang hutan agathis itu untuk menambah areal.
Walaupun tidak banyak catatan yang diperoleh, namun ulasan Nawir et al. 2008 paling tidak bisa menggambarkan kegiatan reforestasi yang terjadi.
Reboisasi dan penghijauan di Jawa dianggap merupakan rujukan oleh instansi
teknis di luar Jawa untuk pelaksanaan reforestasi, walau dalam bentuk yang tidak sama persis.
Tidak ada catatan rentang kegiatan reforestasi pada awal berdirinya KPH Biak tahun 1974. Namun, ketika Departemen Kehutanan terbentuk tahun 1983,
maka muncullah proyek Proyek Perencanaan dan Pembinaan Reboisasi dan Penghijauan Daerah Aliran Sungai - P3RPDAS yang bernaung dibawah
Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Ditjen RRL. Saat ini kita kenal dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, yang sebelumnya adalah
BalaiSub Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah BRLKTSub BRLKT.
Pengelolaan DAS menjadi penting karena beberapa sebab yaitu: 1 Daerah aliran sungai mempunyai batas wilayah dan konsep unit yang logis untuk
pengelolaan ekosistem karena konsep daerah aliran sungai mengakui pentingnya peran air dalam hubungan biologis, dan 2 Daerah aliran sungai
mudah dikenal, sehingga memudahkan para pengelola dalam mengukur dan mengamati komponen dasar fisik dan kimia dari suatu ekosistem. Dengan
demikian, kegiatan-kegiatan reforestasi dikoordinasikan melalui unit-unit pelaksana teknis yaitu BP-DAS.
Walaupun demikian, masih ada persoalan pengelolaan DAS yang perlu di atasi antara lain: efektivitas sistem perencanaannya, sikronisasi program dengan
instansi sektor lainnya. Wilayah DAS kemudian menjadi satuan unit pengelolaan yang dianggap lebih sesuai, walaupun pendekatan ekoregion juga penting.
Ekoregion mencakup wilayah ekosistem tertentu yang meliputi interaksi fisik lingkungan dan sosial budaya di atasnya.
Kesadaran lingkungan terus dibangun. Tidak terkecuali, kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari berusaha untuk
mengaddress persoalan seputar reforestasi. Kegiatan yang bertemakan uji provenance, rehabilitasi lahan kritis dilakukan di Sentani Jayapura, Wamena,
Anggi-Manokwari, Bintuni dan beberapa wilayah lain di Papua. Sementara itu, sekitar tahun 1990-an semua HPH di Papua diwajibkan untuk melakukan
penanaman di sekitar Daerah Tangkapan Air DTA Danau Sentani Jayapura, yang dikenal dengan istilah Sentani Sadar Lingkungan Sentani Darling.
Kegiatan Sentani Darling dikatakan belum berhasil karena tidak diikuti dengan kegiatan pemeliharaan yang memadai.
Pelaksanaan reforestasi dalam berbagai cara dan melalui berbagai aktor dapat berjalan dengan baik, walapun pada akhirnya kinerjanya cenderung
menurun jika dilihat dari eksistensi tanaman yang hidup setelah penanaman. Persoalan kepemilikan tanah adat pada saat kegiatan ini dijalankan, sepertinya
tidak terlalu mencuat ke permukaan, dan program relatif dapat berjalan dan dilaporkan berhasil. Tidak terkecuali di Biak, kondisi inipun berlaku. Pada periode
ini, kegiatan reforestasi merupakan program top-down dan berangsur-angsur diarahkan untuk memperkuat tingkat partisipasi masyarakat lokal.
Ketika terjadi reformasi tahun 1998, kondisi Papua mulai memperlihatkan gejala untuk segera masuk ke dalam era yang lebih demokratis dan bermartabat.
Eksistensi adat semakin diperhitungkan sebagai salah satu komponen penentu suksesnya program-program pembangunan, termasuk reforestasi.
Di skala Nasional, Master Plan Rehabilitasi Hutan dan Lahan MP-RHL dikembangkan pada tahun 2000 dan digunakan sebagai dasar perencanaan.
Program reforestasi dikembangkan melalui skema pendanaan: Dana Alokasi Khusus – Dana Reboisasi DAK-DR. Program tersebut telah beroperasi sejak
tahun 2001 di bawah kendali pemerintah kabupaten, tanpa adanya koordinasi yang jelas dengan Unit Pelaksana Teknis UPT atau Balai Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai BPDAS setempat. Data mengenai realisasi sulit diperoleh.. Banyak pihak menduga bahwa pemerintah kabupaten telah menggunakan
sebagian dana tersebut untuk tujuan di luar rehabilitasi. Inisiatif rehabilitasi terbaru dari Departemen Kehutanan, yaitu Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
dan Lahan GN RHLGerhan, diluncurkan pada akhir tahun 2003 guna menyikapi keperluan untuk merehabilitasi luas areal hutan dan lahan
terdegradasi yang semakin meningkat Nawir et al. 2008.
Gerakan ini diakui oleh informan sebagai kegiatan-kegiatan bersifat insentif.
Saya mau berbicara secara spesifik dari sudut pandang kehutanan, masalah Gerhan yang sekarang merupakan aksi masyarakat itu. Itu merupakan
motivasi dari Pemerintah plus Dinas Kehutanan dan Departemen Kehutanan.
Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan GN-RHLGerhan yang selanjutnya disebut Gerhan mempunyai target selama 5 tahun 2003-2007
seluas 3.000.000 Ha. Untuk tahun 2007 direncanakan seluas 900.000 Ha. Sumber dana kegiatan Gerhan sejak tahun 2003 sampai dengan 2006
seluruhnya berasal dari Dana Reboisasi DR bagian pusat 60. Mengingat sumber dana DR semakin menurun maka pendanaan Gerhan 2007 selain dana
DR akan menggunakan pula sumber dana APBN-Perubahan 2007 Permenhut P. 21Menhut-V2007.
Tahun 2008, GN-RHL diubah menjadi Kegiatan RHL yang diharapkan menjadi kegiatan yang terpola dengan baik lagi. Permenhut P.70Menhut-II2008
tentang Petunjuk Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan memberlihatkan bagainana RHL cukup komprehensive dengan sejumlah ketentuan yang meliputi
aspek perencanaan, penyediaan bibit, reboisasi, penghijauan, rehabilitasi hutan mangrove dan pantai, penerapan teknik konservasi tanah dan air, pemberdayaan
masyarakat. Disamping itu, Departemen Kehutanan antusias membangun Kebun Bibit Rakyat KBR untuk menyediakan bibit dalam jumlah dan kualitas yang
memadai. Setiap KBR akan menyediakan bibit sebanyak 50.000 batang. Laporan BP DAS Mamberamo – Jayapura menunjukkan bahwa selama periode GN-RHL
sekitar 5.565 Ha kawasan telah ditanami di Biak, dari 43.315 Ha yang direncanakan seluruh di Tanah Papua, dan ada 21 KBR yang terealisasi selama
tahun 2010.
Pada periode ini, reforestasi ala pemerintah yang melibatkan masyarakat semakin intens, dan mulai mempertimbangkan pemangku kepentingan lain untuk
bersama-sama menumbukan tanaman kehutanan di lahan masyarakat adat Biak. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Biak melaporkan pula bagaimana antusiasme
permintaan bibit kehutanan dari instansi pemerintah, swastaBUMN, TNI-POLRI, YayasanOrganisasi Masyarakat. Sampai tahap ini, distribusi bibit tidak
mengalami kendala. Disisi lain, Dishutbun kemudian memikirkan bagaimana meningkathan produktivitas suatu lahan dengan mengintensifkan kegiatan
kehutanan dan perkebunan, serta program instansi teknis lainnya. Bahkan dana Otonomi Khusus untuk pengembangan masyarakat, mulai diusulkan untuk
mendorong kegiatan RHL.
Dana Otsus itu ada ditekan pada 3 aspek. Yang pertama adalah
pembangunan infrastruktur, kemudian aspek kedua itu adalah pembangunan
di bidang pendidikan, dan yang
ketiga bidang kesehatan. Tapi, setelah kita
lihat, bahwa kegiatan-kegiatan pembangunan kehutanan ini bisa juga memberdayakan masyarakat. Maka ada inisiatif dari kami untuk mencoba kita
pakai dana Otsus untuk kegiatan pembangunan kehutanan khususnya bidang rehabilitasi, di Biak, dan tidak hanya di biak, kita juga diskusikan sampai tingkat
provinsi. Nah sepanjang itu untuk kepentingan masyarakat, tidak ada masalah. Saya hadir kemaren waktu pembahasan otsus di Jayapura, sepanjang itu
untuk kepentingan masyarakat, dana Otsus tetap jalan. Oleh karena itu, apa kira-kiraprogram apa yang bisa menyentuh masyarakat, bisa bergeliat
kehidupan mereka di kampong yang lewat kegiatan rehabilitasi. Mungkin dia tanam, dapat uang, setelah dia tanam dia jaga itu,kemudian paling tidak
lingkungan juga mulai semakin bagus Kadishutbun.
Dana otsus dapat dimanfaatkan untuk reforestasi dan beriringan dengan berlangsungnya kegiatan RESPEK Rencana Strategis Pembangunan
Kampung. Respek adalah pengalokasian dana tunai block grant sebesar Rp. 100 juta rupiah yang berasal dari APBD Provinsi Papua kepada setiap kampung.
Tahun 2007, pakar ekonomi politik Fukuyama datang ke Papua dan kepada Gubernur Barnabas Suebu di Mulia-Puncak Jaya ia mengajukan pertanyaan
seputar gagasan Respek dan apakah Respek bisa menjawab persoalan orang Papua. Pertanyaan Fukuyama dijawab Bas Suebu:
Respek baru saja dimulai dan oleh karena itu membutuhkan waktu untuk menunjukkan hasil yang benar-benar teruji; keyakinan kami yang sangat
mendalam bahwa Respek adalah jalan keluar yang paling utama dalam pembangunan manusia Papua Suebu 2010:6.
Periode pasca Otsus menunjukkan bahwa sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan reforestasi semakin bervariasi, dan banyak aktor
dapat terlibat dalam kegiatan ini. Dana Otsus Pemerintah Provinsi dan Dana melalui Pemerintah Pusat cukup banyak tersedia, dan lebih menarik lagi adalah,
masyarakat pun semakin menyadari akan adanya peluang-peluang pemanfaatan danaprogram pemerintah di atas lahan milik keret. Pasca otsus menunjukkan
bagaimana perhatian pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk memberdayakan masyarakat mulai dibangun dari kelembagaan lokal terkecil
yaitu kampung.
Dari sisi masyarakat, akses ke sumber daya semakin terbuka. Kelompok- kelompok masyarakat memiliki peluang untuk mengajukan permohonan bantuan
guna terlibat dalam program-program pemerintah. Mekanisme prosedural yang harus ditempuh suatu kelompok tani misalnya, tidak sulit untuk dipenuhi oleh
masyarakat lihat dokumen-dokumen di lampiran 3.